POV Amanda“A-aku—uh, baiklah. Aku tidak akan berdebat tentang ini lagi,” bisikku mengakhiri pembicaraan dan masih terisak dari sisa tangisku.Sorot mata Logan kemudian berubah melembut. Jemarinya terulur menyentuh wajahku, menghapus jejak air mata yang tertinggal, menawarkan perlindungan menenangkan. Kedua lengannya terangkat untuk merengkuh tubuhku sekali lagi.Aku seketika merasa aman dalam pelukan Logan yang erat dan nyaman. Belum pernah ada perasaan yang demikian luar biasa yang menyentuh hatiku sebelumnya. Rasanya seperti punya tempat teduh untuk bernaung kala hujan deras turun.Aku melihat sisi Logan yang baru. Maskulinitasnya yang biasa mendominasi anehnya justru terasa menentramkan bagiku. Setengah gemetar dari syok yang mengguncang punggungku, aku balas memeluknya, meruntuhkan seluruh egoku untuk jatuh sepenuhnya dalam pangkuan pria yang baru saja resmi menjadi suamiku ini.Kegelisahanku memudar perlahan. Ketakutanku mencair dan lenyap tanpa bekas. Segala sesuatunya terasa t
POV LoganAku masih menunggu dokter keluar dari dalam untuk mengabariku tentang kondisi Amanda yang belum juga siuman sejak satu jam lalu. Cemas dan putus asa. Dirundung habis oleh rasa takut membuatku tidak berdaya, seolah-olah semesta akan kehilangan gravitasinya kapan saja.Aku tidak akan lagi peduli pada perbedaan usia yang sempat membentangkan kami sebelumnya atau pendapat orang-orang tentang hubunganku. Persetan dengan opini mereka. Duniaku akan berakhir tanpa Amanda dan aku tidak sanggup harus melawan ketetapan takdir sekali lagi.Aku telah kehilangan Brielle dan Magdalena di masa lalu. Merelakan mereka pergi dengan cara yang tidak adil merupakan satu-satunya jalan agar aku mampu melanjutkan hidup. Masa kini adalah milikku dan aku ingin membuat Amanda bahagia tanpa harus menyembunyikan status kami di depan publik.“Tuan Caldwell?” Suara beraksen Texas itu kemudian muncul menegurku.Aku tersentak sesaat sebelum berdiri menghampiri dokter yang umurnya mungkin dua atau tiga tahun
POV Amanda“Konyol. Untuk apa kau menanyakan sesuatu yang sudah kau tahu jawabannya?”“Hanya memastikan.”“Aku menikahimu bukan hanya untuk menemaniku tidur atau gara-gara kehamilan ini, Amanda.” Nada Logan dipenuhi rasa humor.“Kupikir kau marah padaku.”“Tidak ada gunanya memarahimu. Kau punya pemikiran sendiri dan aku menghargainya. Jika kita ingin pernikahan ini berhasil, maka saling menghormati adalah kunci utamanya.”Logan mengerling padaku dan meneruskan, “Kuharap kau tidak lupa bahwa aku pria berumur, Amanda. Aku juga punya ego, tetapi aku lebih terkendali dari yang pernah kau duga.”“Jadi, apa yang membuatmu melamarku?”Logan terkekeh sebentar dan menyahut, “Menurutmu mengapa aku mengambil langkah besar yang akan mengubah hidup kita berdua selamanya?”“Karena kau pria tua kesepian yang usianya tidak lagi muda? Apa aku benar?” selorohku menggoda Logan.Logan menertawakanku. Sepasang matanya menyipit sebelum senyum itu kemudian melebar dan bertahan lebih lama dari biasanya. Pan
POV Logan“Apa karena dia? Pria yang lebih pantas jadi pamanmu itu? Tidakkah dia terlalu tua untukmu?” cemooh Andrew dengan suara lantang, sorot matanya mengarah padaku, menatap penuh kebencian.Suasana mendadak diselimuti oleh ketegangan yang sama sekali tidak membuatku merasa gentar. Aku menyudahi percakapan yang baru saja terpotong bersama sang perawat dan berpaling menghadapi Andrew. Pandangan kami saling bertemu, mengaliri udara dengan kecemasan, membuat kesiap Amanda terdengar dari bibirnya.“Andrew? Da-dari mana kau tahu aku di sini? Maksudku, kau tadi mabuk—” “Dan terlihat tidak peduli?” selanya dengan nada sinis.Amanda kemudian menyandarkan punggungnya. Wajahnya pias, sepucat warna bola salju yang diguncang oleh tangan-tangan bocah nakal, dan bibirnya yang tipis itu setengah terbuka. Bersiap menyemburkan sejumlah kalimat untuk mematahkan spekulasi Andrew yang dianggapnya mengada-ada.Sayangnya, Andrew sama sekali tidak mengada-ada. Dia memang tahu dan aku lah orang yang mem
POV AmandaKepalaku pengar. Rasanya seperti baru saja menenggak tiga botol sampanye demi mengungguli sebuah pertandingan yang tidak pernah ditakdirkan untuk kumenangkan. Aroma pertama yang kucium adalah bau steril khas rumah sakit, bau yang tidak kusukai, bau yang membuatku takut hanya dengan membayangkannya.Lemah tidak pernah jadi kata favoritku. Aku sudah bersinggungan dengan hal-hal yang berkaitan tentang medis sejak Logan membawaku ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak berdaya dan bukannya keras kepala seperti biasa.Saat aku membuka mata, pemandangan yang kutangkap hanya warna putih di banyak tempat. Terlalu asing untuk sebuah kamar, terlalu kosong dengan perabot yang minim, dan terlalu kaku dengan ranjang crank yang sama sekali tidak empuk. Punggungku mendadak mati rasa untuk sedetik yang terasa seperti selamanya sewaktu menyadari bahwa aku masih ada di sini. Rumah sakit, erangku dalam hati. Aku menggali sisa ingatan yang juga memudar seiring dengan kesadaran
POV LoganSudah tiga bulan berlalu sejak insiden keguguran Amanda di rumah sakit dan kehidupan kami berjalan seperti biasa. Rasanya seperti menemukan mimpi baru dari hari-hari buruk yang telah lama kami tinggalkan jauh di belakang. Kehadiran Amanda membawa angin segar di pergantian langit sore, memberi sentuhan yang menyenangkan, memercikkan semburat warna yang pernah hilang dalam hidupku.“Teh?”“Tanpa gula.” Aku mengangguk sekilas sebelum meneruskan pekerjaan, menyapukan kuas ke permukaan kanvas, dan menggoreskan pola dengan hati-hati.Detik berikutnya, aku mendengar suara teko dari bahan keramik yang terangkat dan denting benda yang diisi. Disusul derap langkah yang muncul dari arah belakang. Amanda kemudian menyodorkan secangkir teh yang baru saja dituangnya padaku. “Terima kasih, Sayang.” Aku kembali mengangguk dan mencicipinya sedikit.“Berapa lama lagi kau akan duduk di sini? Menatap papan lukis sepanjang hari dan mengabaikanku?” Nada Amanda sarat dengan kecemburuan, satu alis
POV Amanda“Kedua, aku ingin mendengar kau menyebut namaku saat kau klimaks di bibirku.” Logan membisikkannya dengan suara berat, menyentuh lembut garis rahangku menggunakan bibirnya, mengirimkan gelenyar aneh yang kukenali itu ke perutku.“Dan ketiga, aku akan membuatmu merasakan diriku seutuhnya.” Logan kembali berbisik dengan nada yang lebih kasar, seolah-olah pengendalian diri yang selalu dibanggakan olehnya habis meleleh di bawah kakiku.Darahku berdesir hebat sewaktu Logan mendorongku ke salah satu pilar. Tangannya langsung bergerak membebaskan kancing celana pendekku dan membuat kain dari bahan denim itu seketika meluncur melewati kedua kakiku. Aku menggeram sewaktu jemari Logan menyusup ke balik pelindung terakhir yang masih kukenakan. “Sial, Amanda. Kau basah sekali. Kau akan membuatku mati karena terangsang,” umpatnya kemudian. Aku melihat bibir Logan gemetar dan mendengus sebelum satu jarinya berpindah ke celah yang lebih pribadi. Kesiapku sontak mengudara. Punggungku me
POV Logan Lidahku mencari titik yang tepat untuk menaklukkan Amanda dan aku segera menemukannya. Kedua paha Amanda menegang selama beberapa waktu sebelum tubuhnya mengejang penuh penerimaan. Punggung Amanda sontak membusur kala gelombang itu datang menyapunya. Aku mendengar Amanda mengudarakan erangan parau yang panjang dan memacu semangatku untuk membuatnya meneriakkan namaku di sela-sela pelepasan. Menyaksikan Amanda menggelinjang hebat mendadak membuat dadaku sesak oleh rasa bangga yang tidak terbantahkan. Bersumpah akan melimpahinya kenikmatan sebanyak mungkin. “Lo-Logan... Logan...” geram Amanda terbata-bata, jemarinya mencengkeram erat rambutku, memegang sisa kendali dirinya yang begitu rapuh. “Panggil aku dengan benar,” desisku sambil menonton Amanda menggeliat melalui kakinya. Kepala Amanda kembali mendongak dan bibirnya yang gemetar meracau tentang sesuatu yang kotor. Dia mengerang lebih panjang, lebih parau, lebih erotis. Membuatku mengecap lebih banyak rasa dirinya di