“Saya butuh kamu untuk menemani sampai besok,” imbuh Theo.
Felicia menatap ragu. “Tapi …”
“Please …” mohon Theo disertai puppy eyesnya.
Felicia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tatapan memohon Theo membuat hatinya goyah.
Ditambah lagi, sekarang ini Theo memasang ekspresi sok imut khas berondong ganteng yang menggemaskan. Astaga, kalau sudah begini, Felicia makin sulit untuk menolak permintaan Theo.
Felicia menatap Theo dalam-dalam. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Felicia mengangguk perlahan.
“Saya ikut kamu ke apartemenmu,” ucap Felicia akhirnya.
Senyum tipis terukir di wajah Theo. “Makasih, Feli.”
“Saya cuma menemani kamu aja ‘kan? Nggak ada yang aneh-aneh?” tanya Felicia, memastikan.
“Enggak. Saya nggak akan ngapa-ngapain.”
“Oke, saya mau berkemas dulu,
Theo cepat-cepat memberikan tissue kepada Felicia sambil tertawa kecil.“Nih,” kata Theo dengan senyum hangatnya.Felicia membersihkan mulutnya sendiri lalu berujar, “Maaf, The. Kamu sih bikin saya kaget!"Theo malah kembali tertawa. Seolah terhibur dengan reaksi Felicia.Felicia yang merasa bersalah pun menyodorkan tissue kepada Theo. “Nih, bersihkan muka kamu.”Theo menerim tissue itu. Namun, sebelum menggunakannya, Theo tersenyum lalu mengambil sebutir nasi goreng di wajahnya dan memakannya.Sontak, Felicia melotot melihatnya. “Theo, jorok! Itu ‘kan bekasnya saya!”“Enak kok,” kata Theo.Felicia hanya bisa melongo. Sebelum Theo memakan lagi bekas nasi di wajah, Felicia beranjak dari duduk lalu membersihkan wajah Theo dengan tissue.“Nggak usah aneh-aneh,” ucap Felicia.Theo hanya tersenyum. Dan, tiba-tiba menahan tangan Felicia agar tak men
Felicia terus mengusap punggung Theo dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan. Dia merangkul Theo lebih erat, membiarkan pria itu menangis sepuasnya.Beberapa menit kemudian, tangis Theo akhirnya mereda. Theo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Maaf, Feli. Baju kamu jadi basah, saya nggak seharusnya nangis begini,” ucap Theo dengan suara serak khas seseorang habis menangis. Dia lantas menunduk, terlihat malu.Felicia menggeleng, menatap Theo dengan penuh pengertian. “Nggak apa-apa kok.”Theo tersenyum tipis, merasa lebih lega. Dia terdiam cukup lama, tatapannya lurus ke depan, seperti sedang mengenang kejadian di masa lalu.“Mama saya orangnya baik banget. Saking baiknya, Mama masih mau bertahan walaupun ada cewek ular merusak rumah tangganya,” ucap Theo, bercerita tiba-tiba dengan raut wajah yang berubah marah.“Apa maksudnya Mama tirimu?” tebak Felicia.“Ya,” angguk Theo. “Padahal Mama saya jauh lebih cantik.”Theo mengeluarkan dompet dari sakunya dan membuka
Felicia tertegun, pertanyaan Theo membuatnya bingung. Ia bisa merasakan intensitas emosi Theo yang berusaha menahan kecewa. Dalam situasi seperti ini, ia merasa tak berdaya, tak tahu harus menjawab apa."Theo, saya..." Felicia menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Saya butuh waktu."Theo menatap Felicia dengan mata penuh harapan yang mulai memudar."Berapa lama lagi, Bu Feli? Saya butuh kepastian. Saya udah berusaha sebisa saya, tapi rasanya seperti berjalan di tempat."Felicia mengalihkan pandangannya, mendadak ada perasaan bersalah yang menghinggapinya. Ada banyak alasan yang membuatnya tak bisa menerima perasaan Theo.“Kamu pasti tahu sendiri kalau kita nggak pantas bersama,” ucap Felicia, dengan terpaksa.“Karena apa? Jangan bilang alasannya masih karena umur saya dan karena saya cuma anak magang di sini?” tanya Theo dengan nada bicara yang mulai meninggi.Felicia tak menjawab. Ia
Tiba-tiba Felicia merasa lemas setelah mendengar obrolan Theo dan temannya. Masih dengan diam-diam, Felicia pergi dari sana dan kembali ke mejanya.Diana dan Fani, teman Felicia yang ada di sana, menyadari perubahan ekspresi Felicia.“Kenapa, Fel?” tanya Diana.Felicia tak langsung menjawab. Ia merasa dadanya sesak mengingat kata-kata Theo. Namun, ada juga perasaan bersalah yang kuat menyeruak di dalam dirinya.Felicia memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, cuma agak capek.”“Kalau capek, bisa pulang aja, Fel. Mungkin kamu perlu istirahat,” kata Fani.Felicia menggeleng. “Nggak kok. Masih ingin nongkrong sama kalian.”Felicia mendengarkan obrolan Fani dan Diana. Namun, pikirannya berkecamuk. Gara-gara apa lagi kalau bukan Theo?Felicia masih memikirkan kata-kata Theo tadi, dan perasaannya sendiri. Apakah ia benar-benar ingin kehilangan Theo? Apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap ber
Felicia mempercepat langkah kakinya, berusaha untuk tidak kehilangan jejak Theo yang berbelok ke lorong sepi. Hatinya berdebar kencang, memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Theo tiba-tiba berhenti melangkah dan mengeluarkan ponselnya. Felicia bersembunyi di balik pilar, mendengarkan percakapan Theo yang sepertinya baru saja ditelepon oleh kenalannya.“Halo, Evan,” sapa Theo, menempelkan ponsel ke telinga.Felicia tidak tahu mereka membicarakan apa? Tapi, tiba-tiba Theo berseru dengan nada kaget.“Apa? Cari cewek cantik di club malam?!” pekik Theo.Felicia melotot mendengarnya. Ia masih bersembunyi sambil menguping pembicaraan Theo.“Nanti malam atau kapan?” Theo masih asyik berbincang di telepon tanpa menyadari kehadiran Felicia.Sedangkan Felicia mendadak gelisah di tempat. Apa Theo benar-benar sudah move on darinya dan hendak mencari cewek lain, bahkan ke club malam?!Felicia ha
Ciuman tadi cukup ganas, membuat pipi Felicia memanas.“Kamu pakai baju apa ini, hm?” bisik Theo dengan sensual, lantas menggigit telinga Felicia.Pakaian yang Felicia kenakan terlihat seksi di mata Theo.Felicia terkesiap. Tiba-tiba Theo menghimpit tubuhnya ke tembok. Ibu jari Theo mengelus bibir Felicia, kemudian turun ke bawah, mengelus tubuh Felicia dan menatap tajam apa yang Felicia kenakan.Dan, Felicia pun menyadari kalau tatapan Theo berubah, tampak seperti ada bara api di mata Theo yang membuat tubuh Felicia memanas karena ditatap seperti itu.Theo masih mengelus tubuh Felicia. “Kamu nggak boleh pakai baju begini lagi kalau keluar, apalagi dilihat cowok lain.”Felicia menggigit bibir, tak menjawab. Sebab, elusan tangan Theo terasa begitu sensual, dan lelaki itu juga masih berbisik di telinganya seperti sengaja menggodanya.Tak mendapati respon dari Felicia, tangan Theo yang hinggap di pinggul Felicia m
Theo masih memeluk Felicia dari belakang, kini kedua kakinya mengapit tubuh Felicia, menguncinya agar tak bergerak menjauh.Namun, itu justru membuat Felicia tak nyaman. Ia semakin bisa merasakan ereksi dari burung tempur Theo.“The, uhm … agak geser menjauh bisa nggak?” tanya Felicia, terdengar gugup. Ini karena burung tempur Theo terus menusuk pantatnya!“Nggak bisa,” tolak Theo, beralasan, “Sofanya sempit.”“A-aku nggak nyaman …” ungkap Felicia, jujur.Theo yang sedang asyik menciumi leher belakang Felicia langsung menghentikan aksinya.“Kenapa?” tanya Theo.“Kamu terlalu dekat,” jawab Felicia.“Kalau mau aku nggak terlalu dekat, kita pindah ke kasur yang lebih luas. Tapi, kamu menginap di sini, ya?” pinta Theo.“Oke,” angguk Felicia agar cepat.Setelah ini Felicia perlu memikirkan alasan tidak tidur di
Di saat Felicia masih salah tingkah, Theo malah semakin menjadi. Ia kembali menggoda Felicia, kali ini dengan mengecup bibir Felicia.Cup!Wajah Felicia semakin memerah akibat kecupan itu, wajahnya terasa panas. Ia pun memukul dada Theo.“Iseng banget kamu!” seru Felicia, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.Theo terkekeh. “Kita pernah melakukan yang lebih dari itu loh.”“Nggak usah diingatkan!”Felicia masih malu. Tapi, Theo sepertinya tak punya malu, malah sejak tadi lebih banyak tertawa senang seolah terhibur dengan tingkah Felicia.“Nggak usah malu-malu begitu, aku jadi gemas tahu!” kata Theo.Felicia terbelalak. “Ka-kamu gemas sama aku? Aku nggak menggemaskan sama sekali! Kamu yang menggemaskan!”“Aku?” tunjuk Theo ke dirinya sendiri. “Nggak tuh. Aku nggak menggemaskan, tapi kamu.”Mereka nyaris berdebat hanya gara-gara itu,
Tahun pertama memimpin perusahaan tidaklah mudah. Tapi, Theo merasa beruntung karena didampingi oleh orang-orang yang baik yang mau membantunya. Untungnya, tak ada yang seperti Martin dalam memperlakukannya.Saat laporan keuangan kuartalan dirilis, laba bersih perusahaan yang mulai dipimpin oleh Theo turun sampai lebih dari sembilan persen, dan itu sempat membuat Theo tertekan. Meskipun bawahannya banyak yang menenangkannya, tapi Theo tetap kepikiran.“Nggak masalah, Pak Theo. Turun sembilan persen juga nggak terlalu besar untuk Pak Theo yang baru pertama kali menjabat,” ucap Brandon—sekretaris Theo.Theo menatap sekretarisnya yang sekarang itu, si Brandon. Dia direkomendasikan oleh sekretaris Martin, masih muda, dan merupakan adik dari sekretaris Martin. Sedangkan sekretaris Martin sudah ditempatkan di posisi lain yang tak kalah penting.“Tapi ini berdampak ke harga saham yang langsung anjlok,” sahut Theo. Saat ini dia sedang menatap grafik saham perusahaannya yang berada di fase down
Setelah mendengar cerita sekretaris Martin, Theo langsung mengusir pria itu. Theo takut lepas kendali dan emosi lalu menghajar sekretaris Martin, jadi lebih baik dia suruh pria itu pergi secepatnya.Selepas kepergian sekretaris Martin, Theo melemas, dia jatuh terduduk di sofa. Menunduk, dia mengusap wajahnya sambil menahan tangis.Felicia turut duduk di sebelah Theo, dia meraih tubuh Theo ke dalam pelukan, diusapnya lembut punggung Theo.“A-aku nggak nyangka, Mama …” Theo mulai terisak. Dia sedih membayangkan Mama kandungnya mengalami banyak penderitaan, bahkan meninggal karena diracun oleh Regina.Felicia tak sanggup berkata-kata, dia pun turut merasakan sedihnya. Sebagai istri Theo, dia hanya bisa terus mendekap Theo dan membiarkan Theo menumpahkan tangisnya.Namun, di saat kebenaran terungkap seperti ini, sayang sekali sang pelaku telah tiada. Regina bisa saja dipenjara atas perbuatannya kepada Mama kandung Theo, tetapi Regina telah meninggal.“Mama pasti menderita selama ini,” cic
“A-apa? Jangan bercanda!” seru Theo.Suara keras Theo mengejutkan semua orang, termasuk para tamu. Felicia juga merasa kaget, dia pun mengajak Theo untuk pergi dari keramaian bersama dengan sekretaris Martin yang mengikuti.“A-apa maksud ucapan anda tadi?” tanya Theo masih dengan raut kagetnya.Di sebelahnya, Felicia menggenggam tangan Theo, menguatkan Theo.“Saya nggak bercanda, Papa anda dan Mama tiri anda telah meninggal dunia,” jawab sekretaris Martin dengan raut sedih dan lelah yang tercetak jelas di wajahnya.Theo memang membenci Papanya, sangat. Tapi, kabar mendadak seperti ini tentu saja mengejutkannya.Sekretaris Martin lantas menjelaskan bahwa Martin telah mengetahui kabar pernikahan Felicia dan Theo. Martin berniat mencegatnya. Dan Regina pun mengikuti, berada dalam satu mobil yang sama dengan Martin.Namun, nahas, karena terlalu mengebut dan terburu-buru kemari, Martin dan Regina pun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat.“Saat ini jenazah Pak Martin dan Bu Regina m
Sulit bagi orang tua Felicia untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka butuh waktu untuk mencerna dan menenangkan diri, begitu juga dengan William yang sejak tadi lebih banyak marah.Sekarang tinggallah Theo dan Felicia berdua di ruang tamu. Semua orang meninggalkan mereka usai terkejut.“The, apa ini akan baik-baik aja?” tanya Felicia dengan gurat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.Theo mengangguk dengan senyum menenangkannya, ia meraih tangan Felicia, menggenggamnya, kemudian mengecup punggung tangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir,” jawab Theo.Felicia membalas genggaman tangan Theo.“Soal Papamu … gimana?”Senyum Theo luntur seketika. “Papa pasti sedang sibuk mencariku di luar negeri. Nggak lama lagi pasti ketahuan kalau aku ada di sini. Karena itulah aku ingin menikahimu secepatnya, sebelum Papa muncul.”Felicia mengangguk.Tak lama, Marcell kembali ke dalam. Felicia langsung tersenyum kepada Marcell.“Marcell, makasih udah turut bicara d
"Aku …”Felicia masih tampak ragu.“Please,” mohon Theo.Felicia mendongak, menatap wajah Theo yang terlihat semakin dewasa. Namun, sorot mata Theo tak berubah, sorot mata itu yang selalu meluluhkannya setiap kali Theo membujuknya.“Tapi, kamu tahu kan? Aku udah tunangan sama Marcell, udah mau nikah,” ucap Felicia.“Kalau kamu setuju, ayo kita bicara bareng ke Pak Marcell dan keluargamu. Ganti pengantin prianya jadi aku, aku siap menikahi kamu,” tegas Theo.Felicia nyaris melongo. Apa Theo serius? Sekarang ini Theo seperti sedang melamarnya saja.Felicia hendak bicara, tapi teringat kalau ia harus berangkat kerja, dan tak lama lagi adiknya serta orang tuanya akan keluar rumah.“Kita bicarakan lagi nanti malam,” kata Felicia.Theo mengangguk, terpaksa ia melepaskan tangan Felicia.*Malam harinya, Theo kembali mendatangi rumah Felicia, berdiri di depan gerbang. Ketika Felicia muncul, tiba-tiba Felicia menarik Theo berjalan pergi agak jauh dari rumahnya.Saat berhenti melangkah, tiba-ti
Felicia meremas nampan di tangannya. Ia menahan diri untuk tidak menangis melihat sosok Theo yang sudah lama tidak ditemuinya, dan menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berlari menghambur ke dalam pelukan Theo.Pikir Felicia, Theo sudah melupakannya. Tak pernah sekalipun Theo memberi kabar, dan ia dibuat khawatir selama bertahun-tahun. Tapi, ternyata Theo masih baik-baik saja.“Kenapa kamu diam aja di situ? Kamu nggak lihat kalau di rumah saya sedang ada acara? Kamu bisa pergi sekarang,” usir Felicia sambil menatap tajam Theo.Theo membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia amat terkejut sampai lututnya terasa lemas. Susah payah ia berjuang untuk kabur, mengumpulkan uang, untuk menemui Felicia, tapi respon Felicia malah begini.Marcell yang tak menyangka respon Felicia akan begitu pun merasa kasihan kepada Theo.“Feli, jangan begitu, Theo juga tamu,” kata Marcell sambil tersenyum untuk mencairkan suasana. “Biarkan Theo masuk dan duduk di dalam.”Felicia tak merespon, ia memalingkan p
Flashback, sebelum kedatangan Theo.Setelah usaha Felicia tak membuahkan hasil untuk menemukan Theo, Felicia tak menyerah sampai di situ.Setiap hari, tak terlewat satu hari pun, Felicia akan mencoba menghubungi nomor Theo. Tapi, hasilnya nihil, seolah nomor Theo tak aktif lagi atau mungkin Theo sudah ganti nomor.Dan, setiap ada kesempatan, Felicia akan menemui Martin untuk meminta diberitahu lokasi Theo. Namun, Martin masih tutup mulut.Ketika satu tahun berlalu dan ia masih saja menemui Martin, tampaknya Martin emosi dan langsung mengusirnya begitu ia muncul di depan pintu ruangan CEO.Rasanya … Felicia seperti akan gila. Ia begitu putus asa, tak tahu lagi di mana keberadaan Theo, seperti apa kondisi Theo, dan hanya bisa menerka-nerka selama satu tahun.Felicia mulai berubah, menjadi lebih pendiam, dan tak lagi fokus pada pekerjaannya. Dan, satu-satunya yang memahami kemungkinan penyebab Felicia menjadi seperti itu adalah Marcell.“Feli, kamu butuh bantuan?” tanya Marcell.Felicia m
2 tahun kemudian.Perkiraan Theo meleset.Theo mengharapkan bisa lulus hanya dengan menghabiskan waktu satu semester alias enam bulan. Namun, ternyata ia tak bisa. Akhirnya, ia baru lulus setelah satu tahun meneruskan kuliah di Inggris.Dan, rencana Theo untuk kabur belum matang.Theo merasa tidak bisa menemui Felicia hanya berbekal ijazah, ia ingin menjadi pria keren yang sudah berpengalaman dan nantinya bisa langsung mencari kerja saat di Indonesia. Jadi, Theo menyempatkan untuk bekerja di Inggris selama satu tahun.Setelah mendapatkan pengalaman kerja sekaligus mengumpulkan uang, Theo sudah siap untuk kembali ke Indonesia. Ia akan langsung mengajak Felicia menikah, entah bagaimanapun caranya.Meskipun sudah dua tahun tak saling bertukar kabar dan tak bertemu, Theo yakin perasaan Felicia masih sama untuknya. Dan, ia yakin Felicia pasti masih setia menunggunya.“Pak Martin baru saja menghubungi, beliau berkata akan berkunjung besok,” beri tahu salah satu bodyguard.Theo hanya mengang
Felicia masih mematung di tempat usai mendengar perkataan Sophia, rasanya dunia di sekelilingnya seperti berhenti berputar.Harus ke mana ia mencari Theo?Sophia memperhatikan Felicia sekilas.Sophia masih menaruh rasa tak suka pada Felicia karena merasa Theo direbut oleh Felicia, padahal ia yang lebih dulu menyukai Theo. Namun, sekarang, melihat Felicia tampak syok sampai terdiam lama seperti itu jadi membuat Sophia sedikit iba.Ya, hanya sedikit, ia tidak ingin peduli pada orang seperti Felicia yang sempat dibencinya.Maka, tanpa bicara apa pun lagi, Sophia berjalan pergi dari hadapan Felicia.“Theo …” gumam Felicia dengan suara bergetar menahan tangis.Felicia rasanya sulit untuk melangkah sekarang, jadi ia memutuskan untuk duduk sejenak. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini, apa Theo benar-benar pergi meninggalkannya tanpa kabar? Tapi, kenapa? Alasannya apa?Tunggu, Martin!Felicia terbelalak ketika menyadari soal Papa Theo. Bisa saja ini ulah Martin yang ingin memisahkannya de