Jakarta, 26 Maret 2013
Brakk
Tidak sengaja Sofia menabrak dua orang yang sedang berciuman. Gadis itu terjatuh, lalu mendongak melihat siapa yang ditabraknya.
Matanya membulat, ketika melihat pria dan wanita berpakaian minim yang masih terus berciuman. Seolah tidak merasa terganggu karena kehadirannya.“Dev!” pekik Sofia.
Mendengar suara teriakan yang cukup keras, membuat kedua orang itu menghentikan kegiatan panas mereka.
“Dasar brengsek!” Sofia berdiri dengan tertatih. Kepalanya masih terasa pusing, tetapi dia tidak peduli akan hal itu.
“Siapa dia Ar?” tanya wanita berpakaian minim yang merasa terganggu karena kehadiran Sofia.
Arnold mengendikan bahu. “Sepertinya dia mabuk parah,” ejeknya dengan tertawa. “Putus cinta.”
“Dev, jadi ini wanita pilihanmu. Bahkan dia lebih rendah dariku.” Sofia menatap wanita di hadapannya dengan tatapan sinis.
Wanita itu meradang, mendengar ejekan dari Sofia. Dia merasa sangat terhina dengan perkataan sinis yang dilontarkan oleh Sofia.
“Hei anak kecil! Beraninya kau!” Wanita itu berjalan mendekati Sofia, tetapi terlambat. Sofia lebih dulu menerjang hingga membuat dia jatuh tersungkur.
Arnold membulatkan mata, dengan mulut sedikit terbuka. Tidak percaya ada gadis barbar seperti yang ada di hadapannya sekarang.
“Dev, kau hanya milikku!” Sofia menarik tengkuk pria asing itu. Lalu menyesap bibir yang terasa manis dengan tidak beraturan. Ini ciuman pertama baginya.
“Dasar pria brengsek! Beraninya kau mengkhianatiku, hanya karena wanita seperti ini!” pekik Sofia, matanya tampak sudah berkaca-kaca. Dia kembali teringat akan kejadian sore tadi.
“Ayo Ar! Tinggalkan saja gadis gila ini!” Wanita itu menarik tangan Arnold, tetapi Sofia lebih dulu menghempaskan tangannya. Dia masih menganggap pria asing itu adalah Dev, kekasihnya.
Tidak terima karena pria yang dianggap Dev itu hanya diam saja. Sofia kembali menarik tengkuk pria itu. Menciptakan ciuman panas, yang membangkitkan hasrat sang pria.
Arnold tentu tidak tinggal diam. Tangannya meraih tengkuk gadis yang sudah berani membangkitkan jiwa petualang, yang sudah bersemayam di dalam diri pria itu. Dia semakin memperdalam ciuman mereka. Kali ini Arnold lah yang memimpin ciuman panas yang sangat menggairahkan itu.
Bibir gadis kecil itu terasa sangat manis, berbeda dari bibir para wanita yang pernah dirasakannya.
Sofia memukul dada Arnold, setelah merasa kehabisan napas.
“Bodoh! Kau mau membuatku mati!” teriak Sofia. Napasnya tersengal-sengal.
“Kau yang memancingku!” seringai Arnold. Tangannya mengusap bibir yang sudah basah akibat ulahnya.
Dia kembali menarik tengkuk gadis kecil itu. Bibir tebal yang terasa candu bagi Arnold. Tak hanya menyesap, kini lidah keduanya sudah saling bertautan.
“Ar!” panggil wanita yang sedari tadi memperhatikan kegiatan itu.
Arnold mengangkat tangan, meminta wanita itu untuk segera pergi. Dia sudah menemukan kesenangan tersendiri dari gadis asing yang berada di hadapannya sekarang.
Wanita itu mengentakkan kaki, kesal. Ini pertama kalinya, Arnold tertarik dan mau menghabiskan malam bersama. Namun, kehadiran gadis itu menggagalkan segala rencananya.
***
Sofia Maheswari, gadis berusia 21 tahun yang terkenal dengan sifatnya yang manja dan terkesan barbar. Devan, pria yang telah menjadi kekasihnya selama 2 tahun terakhir, tega berkhianat dengan seorang wanita yang lebih dewasa dari dia.
Sore tadi, Sofia melihat sendiri sang kekasih sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita berpakaian minim, di sebuah kafe. Tentu saja dia merasakan sakit hati yang luar biasa, akibat melihat kejadian itu.
Sampai Sofia memutuskan datang ke tempat ini. Sebuah kelab malam terbesar di kota metropolitan itu. Tempat yang selama ini dia hindari. Gadis itu banyak mendengar, bahwa alkohol bisa membuatnya melupakan segala masalah. Tanpa pikir panjang, Sofia memutuskan untuk meminum benda terlarang yang selama ini dia hindari.
***
Pria bernetra abu itu masih menyesap bibir gadis kecil yang sudah berani mengganggu kesenangannya tadi. Tangan kanannya mulai turun dan menyelinap di balik pakaian milik gadis itu.
Sementara Sofia, gadis itu terlihat pasrah menikmati setiap sentuhan yang baru pertama kali dirasakan. Sensasi aneh yang baru kali ini dia rasakan, tetapi anehnya semua ini terasa menyenangkan bagi Sofia. Tubuhnya merespons setiap sentuhan yang diberikan oleh Arnold. Sentuhan yang membuat darahnya berdesir hebat.
Arnold melepas pagutannya. Napasnya memburu, netra abu itu sudah memancarkan hasrat yang kian menggebu.
“Ikut aku!” Arnold menarik tangan Sofia, menuntunnya masuk ke dalam mobil.
“Dev! Kau mau membawaku ke mana?” Sofia merasa sakit ketika Arnold menariknya dengan sedikit kasar.
“Aku bukan Devmu. Dan aku akan membuatmu bertanggung jawab, karena sudah membangunkan milikku.”
Pria itu lantas mendudukkan Sofia di dalam mobil. Selanjutnya melajukan mobil sport berwarna putih itu dengan kecepatan tinggi menuju hotel yang telah dipesan sebelumnya.
Entah tertidur, atau pingsan. Selama perjalanan Sofia hanya menutup mata rapat-rapat. Perutnya seolah diaduk-aduk, menciptakan rasa mual yang luar biasa. Bahkan gadis itu sudah memuntahkan isi perutnya, di dalam kelab malam tadi.Dia merasa tubuhnya sangat lemas. Tidak berdaya. Apa lagi sentuhan yang baru pertama kali dirasakannya tadi, membuatnya seperti terbang ke nirwana.
. . . . . Arnold melirik gadis yang masih tertidur pulas di sampingnya. Merasa tidak tega untuk membangunkan, pria itu mengangkat Sofia dan membawanya untuk masuk ke dalam kamar yang biasa dia pakai.Diletakannya Sofia dengan hati-hati, di ranjang berukuran king size. Dia sudah sering menggunakan kamar ini untuk menghabiskan malam bersama para wanita pilihan yang berganti-ganti, kapan pun dia mau.
Arnold Danique, seorang CEO muda berusia 26 tahun, yang dikenal sebagai petualangan wanita yang terkenal hebat di atas ranjang. Wanita mana yang mampu menolak pesona seorang Arnold. Mereka bahkan dengan suka rela melempar tubuh kepada pria itu, hanya untuk menikmati ciptaan Tuhan yang sangat indah. Sejatinya, wanita dan kelab malam sudah menjadi bagian dari hidup pria berdarah Belanda itu.
Netra abu itu terus memandang wajah yang sedang terlelap dan terlihat damai di matanya. Mata bulat, hidung mancung serta pipi yang sedikit berisi. Rambut hitam panjang. Entah apa yang dimiliki gadis itu, tetapi Arnold sudah tertarik dengannya saat pertama kali bertemu.
***
Mengamati setiap inci tubuh Sofia, membuat seorang Arnold tidak dapat lagi menahan hasrat yang kian menggebu di dalam diri. Tubuh mungil itu sama sekali tidak terlihat seksi, seperti tubuh para wanita yang melemparkan diri kepadanya. Akan tetapi, ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menarik dirinya untuk bisa menghabiskan malam bersama. Menikmati surga bersama dengan gadis yang terlihat sangat berbeda di matanya.
Merasakan bagian inti miliknya yang kian sesak. Pria itu sudah tidak dapat membiarkan tubuhnya tersiksa lebih lama lagi.
Arnold mulai mendekati wajah Sofia secara perlahan. Melihat gadis itu tertidur dengan damai, membuat pria itu tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Sedangkan Sofia tampak bersusah-payah membuka kedua matanya, yang terasa sangat berat.
Dia terkejut ketika merasakan sebuah benda kenyal yang menyentuh bibirnya. Pria di atasnya tampak menyeringai. Tanpa menunggu persetujuan gadis yang kini berada di bawah kungkungannya, pria itu kembali melanjutkan ciuman yang sempat terjeda.
Sofia merasa terbuai, dengan ciuman yang terasa lembut nan memabukkan itu. Sedangkan Arnold tersenyum, ketika menyadari bahwa Sofia mulai mengikuti permainan yang dia ciptakan.
Setelah puas menyentuh bibir ranum milik Sofia, Arnold menurunkan sentuhannya. Mengecup, menelusuri leher jenjang nan menggoda milik Sofia. Memberi tanda-tanda kepemilikannya di sana.
“Eughh.”
Sofia melenguh, dia merasakan sensasi berbeda yang belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Tubuhnya meremang setiap kali merasakan sentuhan yang terasa sangat lembut itu. Sofia merasa dirinya dipuja dan sangat disayangi oleh Dev. Sampai detik ini Sofia masih menganggap bahwa pria di atas tubuhnya itu adalah kekasihnya, Dev.
Arnold merasakan hasrat yang kian membuncah mendengar suara yang terdengar seksi dan menggairahkan di telinganya. Dengan buas, pria itu kembali melanjutkan kegiatannya. Melepas satu persatu kain penutup yang melekat di tubuh Sofia. Tidak peduli gadis di bawahnya itu semakin bergerak liar tidak karuan, akibat sentuhannya yang tidak kalah liar. Matanya membulat, ketika mendapati dia gundukan yang terlihat padat, seperti belum pernah terjamah tangan mana pun.
“Ahh.”
Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Sofia. Gila, dia merasa gila ketika Arnold mulai menyentuh aset berharga miliknya. Sentuhan liar itu justru terasa sangat memabukkan.
Sementara Arnold, pria itu tampak menggila setelah mendengar suara yang lolos begitu saja dari bibir Sofia. Tangannya semakin bergerak liar. Menyentuh, meremat area sensitif milik gadis itu. Sofia semakin tidak karuan, tubuhnya menggeliat ke sana kemari. Suara-suara erotis terus saja keluar dari bibirnya, memenuhi keheningan di dalam gelapnya kamar itu.
Napas keduanya sama-sama memburu. Menginginkan sesuatu yang lebih gila lagi dari hanya sekadar saling menyentuh.
“Panggil aku sayang, Honey!” perintah Arnold. Pria itu tidak dapat lagi menahan sesuatu yang mendesak di bawah sana.
Tanpa memikirkan keadaan Sofia, Arnold mengarahkan senjata miliknya dengan kuat ke bagian inti milik Sofia.
“Aww!” pekik Sofia. Dia mencengkeram kuat punggung kekar pria di atas tubuhnya itu. Menancapkan kuku-kuku panjangnya, ketika merasakan rasa sakit luar biasa yang menjalar di bagian inti tubuh gadis itu.
Arnold menghentikan kegiatannya secara tiba-tiba. Dia terkejut ketika mendapati gadis itu masih perawan. Ini semua benar-benar di luar dugaan pria itu.
“Kau masih perawan?” tanya Arnold. Ada rasa bersalah yang hinggap di benak pria itu. Tidak pernah sekalipun Arnold memerawani seorang gadis dalam hidupnya. Dia selalu bermain dengan para wanita yang sudah tidak perawan, dan hanya bercinta untuk sekali saja.
“Sa-sakit.” Tanpa terasa air mata Sofia jatuh. Dia membuka mata yang sedari tadi terpejam.
Dalam kegelapan kamar, pandangan mereka bertemu. Netra berbeda warna itu saling memandang dalam diam, dengan waktu cukup lama. Tatapan pria bernetra abu-abu itu, terus saja menatap Sofia dengan tatapan penuh rasa bersalah. Namun ada satu sisi dalam dirinya yang menginginkan gadis itu lebih.“Boleh aku lanjutkan?” tanya Arnold ketika mereka terdiam cukup lama.
Sofia mengangguk, setelah tersadar bahwa pria di atas tubuhnya bukanlah Dev, sang kekasih. Dia tahu dari netra berwarna abu-abu itu. Entah apa yang dipikirkan Sofia, sehingga dia mengizinkan pria asing itu untuk melanjutkan kegiatan panas mereka.
Arnold mencium dahi gadis itu cukup lama. Lalu turun mencium kelopak mata yang sudah basah. Setelah itu kembali mencium bibir Sofia dengan lembut, penuh kasih sayang.
“Aku tidak akan meninggalkanmu,” bisik berdarah Belanda itu sebelum melanjutkan kegiatan mereka.
***
Pria bernetra abu itu menjatuhkan diri di atas tubuh mungil Sofia. Napas keduanya tersengal-sengal akibat pergumulan panas yang baru saja mereka lakukan.
Entah apa yang ada dalam pikiran Arnold. Kali ini pria itu bermain tanpa alat pengaman, dan mengeluarkan benih miliknya di dalam rahim Sofia.
Arnold menjatuhkan dirinya tepat di samping Sofia. Lalu menarik gadis kecil itu, ke dalam dekapannya. Menghirup aroma vanila yang menguar dari tubuh mungil itu. Aroma yang akan pria itu ingat dalam memori ingatannya.
“Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau masih perawan.” Dia masih merasa bersalah dengan kejadian tadi.
Sofia mengangguk pelan, gadis itu perlahan menyelusupkan wajahnya ke dalam dada bidang milik Arnold. Menghirup aroma musk, yang keluar dari tubuh pria asing itu. Aroma yang terasa menenangkan bagi Sofia. Aroma yang memberi kedamaian di hati Sofia.
Walau ada rasa penyesalan di benak Sofia, tetapi entah kenapa gadis itu merasa nyaman berada dalam dekapan pria asing yang tidak dikenalnya sama sekali.
“Tidurlah! Ini sudah larut.”
Tanpa menjawab, Sofia langsung memejamkan matanya. Dia terlelap, dan masuk ke dalam mimpinya.
Arnold mencium dahi gadis itu berkali-kali sebelum memeluknya dengan sangat erat.
“Aku akan selalu membawamu bersamaku!” Tanpa pria itu sadari, sedari tadi Sofia merekam jelas ucapannya, dan membawanya masuk ke alam mimpi.5 tahun kemudian.... Milan, 27 Januari 2018 Milan merupakan kota metropolitan dan pusat bisnis di Italia. Milan juga merupakan salah satu kota tersibuk di Italia. Kota ini juga dikenal akan industri fashion, baik dalam bidang seni maupun desain. Milan juga dikenal sebagai salah satu kota mode setelah Paris dan New York. Di tengah tumpukan salju, tampak seorang wanita sedikit berlari setelah turun dari bus. Wanita berambut sebahu berwarna cokelat tua itu, tampak sedang terengah. Selain karena cuaca yang dingin, dia juga mengkhawatirkan putra semata wayangnya. Tidak peduli dengan dada yang terasa sesak, akibat cuaca dingin. Hari ini dia pulang terlambat sampai larut malam, akibat badai salju yang melanda kota Milan dari pukul 2 sore tadi. Sofia, melangkahkan kakinya untuk segera masuk ke dalam lift menuju unit miliknya. Beruntung letak apartemennya tidak terlalu jauh dari tempat dia bekerja. Mendapati lift yang kos
Nicholas Luciano, merupakan pria berdarah Italia-Indonesia. Nicholas lahir dan besar di Italia. Nicholas merupakan anak dari pasangan Tuan Luciano dan Nyonya Elina. Ibunya merupakan wanita asli Indonesia. Walau kedua orang tuanya memilih tinggal di Indonesia sejak 15 tahun terakhir, dia tetap tidak mau mengikuti kedua orang tuanya di sana. Nicholas lebih memilih tinggal di tanah kelahirannya. Dia hanya berkunjung sesekali ke Indonesia, untuk menemui kedua orang tua dan juga urusan pekerjaan. Nicholas Luciano, pria berusia 30 tahun itu merupakan seorang Ceo dari salah satu perusahaan milik ayahnya yang berada di Milan. Perusahaan yang bergerak di bidang desain itu telah berkembang pesat di tangannya. Perusahaan yang dulunya kecil, kini telah menjadi perusahaan yang mulai diperhitungkan di kota Milan. Tentang Sofia, Nicholas bertemu dengan gadis itu kurang lebih 5 tahun lalu. Pertemuan yang membuat Sofia ikut bersamanya, dan tinggal di salah sat
“Pekerjaan apa yang kau butuhkah?” tanya Nicholas, setelah mempertimbangkan beberapa hal. “Apa pun, aku bisa melakukan segalanya,” jawab Sofia penuh semangat. “Apakah kau punya surat kelulusan atau semacamnya yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan?” Sofia tampak termenung. Dia tidak membawa apa pun dari rumah, hanya pakaian yang melekat ditubuh serta tas kecil yang berisi identitas miliknya. Gadis itu menggeleng lemah, matanya menatap Nicholas dengan tatapan penuh permohonan. Sofia yakin, pria asing itu adalah orang baik. Nicholas tampak memikirkan pekerjaan apa yang akan dia berikan. Sementara dia, akan kembali ke Milan hari ini juga. Lagi-lagi ada satu sisi dari hatinya, yang mengatakan bahwa dia harus menolong gadis malang itu. “Tuan, aku bisa melakukan pekerjaan rumah tangga sekalipun.” ‘Walau aku tidak pernah melakukannya dan tidak tahu bagaimana caranya aku akan tetap berusaha melakukannya,’ batin Sof
Milan, 03 Desember 2013 Kini kehamilan Sofia sudah memasuki masa untuk melahirkan. Mungkin dalam hitungan hari dia akan melahirkan. Selama hamil, Nicholas menjaganya dengan baik. Bahkan pria itu melarangnya mengerjakan pekerjaan yang berat. Sofia tinggal di apartemen bersama dengan Nicholas. Dia masih bekerja sebagai asisten di apartemen pria itu. “Sofia, ho portato questo per te (Sofia, aku bawakan ini untukmu).” Nicholas datang dengan membawa kotak pizza, yang beberapa bulan terakhir menjadi makanan favorit Sofia. “Grazie (Terima kasih).” Sofia menerima kotak yang diberikan Nicholas lalu membukanya. Dia menyantap dengan lahap pizza yang sangat lezat itu. Sofia sudah mahir dalam berbahasa Italia. Dia memang gadis yang cerdas, maka dari itu dalam waktu singkat, Sofia sudah berhasil menguasai bahasa tempat dia tinggal. “Delizioso (Enak).” Sofia mengacungkan dua ibu jarinya ke hadapan Nicholas dengan mulut penuh. Terlihat sangat menggemas
Sofia bangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Dengan cepat, wanita itu mendudukkan diri di tepi tempat tidur. Berusaha mengembalikan kesadarannya. Semalam, setelah meninggalkan Nicholas begitu saja, Sofia langsung terlelap. Mungkin karena kelelahan, membuat ibu muda itu terlelap dengan sangat cepat. “Mom, El boleh masuk?” tanya suara kecil dari balik pintu. Sofia tersenyum, ketika mendengar suara anaknya. Ya, El selalu meminta izin untuk melakukan segala hal, termasuk untuk dapat masuk ke dalam kamar ibunya sendiri. Sofia segera berdiri, bergegas membuka pintu. Dia tersenyum mendapati wajah tampan milik El, yang masih berdiri di depan pintu menunggu dirinya. “Mom lama sekali.” El tampak kesal karena harus menunggu lama. Sofia langsung menyejajarkan tubuhnya, dengan tubuh anaknya, lalu mencubit gemas, pipi gembul itu. “Mom!” El menatap tajam ibunya. “Sorry Baby.” Sofia menangkup kedua pipi El, lalu menciumnya secara
Di belahan bumi lain. Pria berkulit eksotis itu tampak mendesah berkali-kali. Bukan desah kenikmatan seperti yang dia rasakan dulu, melainkan karena keputusasaan. “Harus ke mana lagi aku mencarimu?” Tatapannya kembali menerawang ke masa lalu. Sementara tangannya menggenggam erat, sebuah kalung bertuliskan nama gadis itu ‘Sofia’. Gadis yang berhasil mengubah hidupnya 180 derajat. Arnold masih ingat benar, netra cokelat yang berhasil membiusnya malam itu. Wajah bulat serta bibir tebal yang masih terus menari dalam ingatannya. “Kenapa? Kenapa Sofia?” Lagi-lagi Arnold mendesah berat. Hingga suara ketukan pintu membuatnya tersadar. Arnold kembali menyimpan kalung itu di laci meja kerjanya, lantas netra abu itu memastikan siapa yang masuk ke dalam ruangannya. “Honey!” seru wanita cantik dari balik pintu. Wanita dengan tinggi tubuh 175 cm itu, jalan berlenggak-lenggok menghampiri Arnold. Mini dress berwarna merah hati tampak menonjolk
Sofia merapikan kembali pakaian kerjanya. Lalu mengambil mantel tebal yang menggantung, dan mengenakannya. Jam pulang telah tiba. Setelah berpamitan kepada teman-teman kerjanya, Sofia segera keluar dari dalam toko pakaian tempat dia bekerja. Wanita itu sedikit berlari ketika mendapati Nicholas melambai dengan tersenyum hangat kepadanya. Pria berkulit putih itu ternyat sudah menunggu di parkiran toko. “Sudah pulang?” Sofia mengangguk. Dia segera mengambil sarung tangan dari dalam tas, lalu mengenakannya. Sebenarnya Sofia alergi udara dingin seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, tuntutan hidup membuatnya harus terus bertahan. “Cepat masuk! Di luar sangat dingin.” Nicholas segera membuka pintu mobil sport berwarna silver itu. Setelah memastikan Sofia masuk, Nicholas segera menyusul. . . . . . “Apa kau ingin segelas hot cokelat, atau hot cappucino?” tanya Nicholas di dalam perjalanan. “Boleh.” Sofi
Sofia menatap putranya yang sedang menikmati segelas susu hangat di pagi hari. Setelah kejadian malam tadi, Nicholas memutuskan untuk kembali ke apartemen pribadi miliknya. Merasa tidak enak karena sudah melakukan tindakan di luar batas. Sofia menggeleng pelan, kala mengingat kegilaan yang terjadi bersama Nicholas. Sungguh memalukan. Sofia merasa tidak memiliki wajah lagi, walau hanya sekadar untuk bertemu dengan pria itu. “Mom!” panggil El. “Ya.” Sofia menoleh. Lalu mengusap rambut hitam legam miliki putranya itu. “Mom tidak bekerja?” tanya El, sebab dia melihat ibunya masih mengenakan pakaian rumahan. Sofia menggeleng. “Toko ditutup untuk sementara. Badai salju yang terjadi tadi malam, masih menyisakan tumpukan salju di jalanan.” Setelah kepulangan Nicholas dan Kenzo, badai salju kembali menerpa kota Milan. Kali ini lebih besar. Hal itu mengakibatkan banyak tumpukan salju yang memenuhi jalanan. Pemerintah sudah mengerahkan seluruh pe
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering