Di belahan bumi lain. Pria berkulit eksotis itu tampak mendesah berkali-kali. Bukan desah kenikmatan seperti yang dia rasakan dulu, melainkan karena keputusasaan.
“Harus ke mana lagi aku mencarimu?”
Tatapannya kembali menerawang ke masa lalu. Sementara tangannya menggenggam erat, sebuah kalung bertuliskan nama gadis itu ‘Sofia’.
Gadis yang berhasil mengubah hidupnya 180 derajat. Arnold masih ingat benar, netra cokelat yang berhasil membiusnya malam itu. Wajah bulat serta bibir tebal yang masih terus menari dalam ingatannya.
“Kenapa? Kenapa Sofia?” Lagi-lagi Arnold mendesah berat.
Hingga suara ketukan pintu membuatnya tersadar. Arnold kembali menyimpan kalung itu di laci meja kerjanya, lantas netra abu itu memastikan siapa yang masuk ke dalam ruangannya.
“Honey!” seru wanita cantik dari balik pintu.
Wanita dengan tinggi tubuh 175 cm itu, jalan berlenggak-lenggok menghampiri Arnold. Mini dress berwarna merah hati tampak menonjolkan seluruh lekuk tubuhnya.
Siapa yang tidak mengenalnya? Wanita cantik yang dianugerahi keseksian yang membuat siapa pun merasa iri hanya dengan melihatnya. Grace Naomi atau orang lebih sering mengenalnya Grace.
Wanita berusia 29 tahun itu berprofesi sebagai model. Bakatnya dalam dunia modeling tak perlu diragukan lagi. Semua terbukti dari prestasi-prestasi yang diraihnya.
“Ada apa kau datang kemari?” tanya Arnold dingin.
“Aku merindukanmu, Honey.” Wanita duduk di pangkuan Arnold tanpa permisi.
Hal itu membuat Arnold tersenyum sinis. Dia menatap tajam wanita di pangkuannya itu. Membuat Grace merinding, karena tatapan itu seolah akan membunuhnya.
“Oh ayolah Ar!” Grace berdiri dari pangkuan Arnold. Setelah itu, duduk di sofa yang letaknya tidak jauh dari keberadaan pria berdarah Belanda itu
“Kau sudah sangat berbeda,” cebik Grace. “Menyebalkan!” imbuhnya lagi.
“Aku masih sama. Tidak ada yang berubah dari diriku.” Arnold kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi.
“Tidak berubah? Kau sekarang jadi lebih dingin Ar. Come on Honey kita habiskan waktu untuk bersenang-senang kembali seperti dulu.”
“Pintu keluar masih di sana!” Arnold menunjuk pintu melalui sorot mata tajam miliknya.
Grace mengentakkan kaki dengan perasaan kesal. Jika pria itu sudah berkata hal demikian, tandanya dia sudah meminta Grace untuk segera pergi.
“Kita bertemu lagi besok!” Grace berdiri dari duduknya, dan segera berjalan menuju pintu keluar dari ruangan milik Arnold.
Setelah Grace keluar, Arnold kembali menyandarkan tubuhnya ke belakang. Memijit pangkal hidung, karena rasa pening yang kembali melanda pria berusia 31 tahun itu.
Bersenang-senang yang dimaksud Grace bukanlah seperti yang orang lain pikirkan. Melainkan bersenang-senang di atas ranjang dengan peluh yang bercucuran membasahi tubuh mereka berdua.
Arnold menghela napas pelan. Memang benar adanya. Dirinya sudah berubah 180 derajat sejak malam itu. Tidak ada lagi hasrat yang menggebu setiap kali melihat tubuh wanita.
Sofia, gadis itu sukses memorak-porandakan kehidupan Arnold.
Tak lama setelah itu Arnold mendengar suara pintu yang terbuka, menampilkan sosok sahabatnya.
“Ar!” seru pria bertubuh tinggi itu.
“Apa kau datang membawa kabar?” tanya Arnold.
Pria itu menggeleng lemah.
Arzan Ravindra, adalah sosok sahabat sekaligus asisten yang mendampingi Arnold. Banyak orang yang memanggil mereka dengan sebutan ‘Duo Ar’. Selain karena memiliki wajah yang sama-sama tampan, mereka juga memiliki kesamaan sikap.
Hanya saja Arzan terkenal dingin sejak dulu. Tidak seperti Arnold, yang berubah dingin sejak bertemu dengan Sofia.
Sudah berbagai macam cara dilakukan Arnold, dalam mencari Sofia. 5 tahun sudah dia mengerahkan segala kemampuan dan kekuasaan yang dia punya.
Nihil. Sofia tetap tidak ditemukan. Gadis itu hilang tanpa jejak, bagai ditelan bumi. Terlebih lagi Arnold hanya mengetahui nama gadis itu saja. Sementara asal-usul gadis itu, sampai sekarang Arnold tidak dapat mengetahuinya.
“Sudahlah lupakan saja gadis itu!” Arzan menepuk pelan bahu sahabatnya. “Diantara kalian hanya terjadi cinta 1 malam saja. Tidak ada yang istimewa,” imbuh pria itu lagi.
Arnold memicingkan netra abunya. Tangannya kembali memijit dahinya, yang terasa pening. Jika saja malam itu dia memakai pengaman, mungkin dia tidak akan seperti sekarang.
Bagaimana jika gadis itu hamil? Bagaimana jika gadis itu kesusahan karena dirinya?
Pria itu merutuki dirinya sendiri.
Bodoh.
Kenapa malam itu dia pergi tanpa meninggalkan jejak apa pun.
***
Di Milan, waktu masih menunjukkan pukul 4 dini hari. Milan dan Jakarta memiliki perbedaan waktu kurang lebih 5 jam.
Sofia masih meringkuk di bawah selimut tebal miliknya. Kemarin pagi setelah dia menangis di depan Nicholas, dia memutuskan untuk pergi bekerja dan kembali larut malam.
El.
Tentu saja putranya itu menghabiskan waktu seharian bersama dengan Nicholas. Pria itu selalu seperti itu, melupakan segalanya jika sudah bersama dengan El.
.
.
.
.
.
Pukul 6 pagi Sofia terbangun, sebab alarm di sampingnya itu terus saja mengeluarkan suara nyaring.
“Apa Nic sudah pulang?”
Wanita itu duduk di tepi tempat tidur. Berusaha mengembalikan kesadaran, yang belum sepenuhnya kembali.
Dia ingat, malam tadi Nicholas tidak kembali ke apartemen miliknya. Pria itu memaksa tinggal bersama, sampai dia akan kembali ke Indonesia.
“Keras kepala,” gumam Sofia.
Wanita itu tidak sadar bahwa dia lebih keras kepala. Tidak ada yang bisa menggoyahkan pemikirannya, baik Nicholas maupun El.
Sofia segera beranjak keluar kamar. Dapur adalah tujuannya, coklat panas di pagi hari sepertinya cocok, dengan cuaca yang dingin seperti ini.
“Buongiorno, caro (Selamat pagi, Sayang),” sapa Nicholas.
Pria itu keluar secara bersamaan dengan Sofia dari kamar El.
“Nic del mattino (Pagi Nic),” sahut Sofia.
Sofia bergegas menuju dapur, diikuti Nicholas di belakangnya.
Pria itu tampak sudah sangat tampan. Walau hanya dengan balutan celana pendek dan juga kaus kerah berwarna hitam yang melekat jelas di tubuh kekarnya itu.
Siapa yang tidak akan tergoda melihatnya seperti itu. Pria dengan tinggi tubuh 193 cm yang memiliki tubuh yang atletis. Netra berwarna biru dengan rambut berwarna cokelat. Garis wajah yang tegas membuat Nicholas terlihat sangat tampan. Bahkan terkesan sempurna seperti dewa Yunani.
“Cioccolata (Cokelat panas)?” tawar Nicholas. Pria itu berjalan menuju dapur untuk membuat cokelat panas.
Sofia mengangguk. Wanita itu lantas duduk di meja makan, sembari menunggu cokelat panas yang sedang dibuat Nicholas.
Tak lama setelah itu Nicholas datang menghampiri Sofia, dengan dua gelas berisi cokelat panas di tangannya.
“Grazie. Sei il miglior Nic (Terima kasih. Kau memang yang terbaik Nic)!” puji Sofia. Tangannya meraih gelas berisi cokelat panas itu. “Apa El belum bangun?” tanyanya lagi, sembari meniup gelas yang ada dalam genggamannya.
“Non ancora (Belum).” Nicholas duduk di samping Sofia, lalu meniup cokelat panas miliknya. Dengan sesekali melirik gadis yang ada di sampingnya.
“Kau tidak ke kantor?” tanya Sofia, memecah keheningan diantara mereka berdua.
Nicholas menggeleng. “Siang nanti baru aku akan ke kantor. Ada beberapa berkas yang harus aku tandatangani sebelum aku pergi.”
Sofia terdiam.
“Non Sei al lovoro, Fia (Kau tidak masuk kerja, Fia)?” tanya Nicholas ketika melihat Sofia belum membersihkan diri.
“Non (Tidak).”
Mereka kembali terdiam. Masih ada kecanggungan yang terjadi setelah kejadian tempo hari.
Sofia merapikan kembali pakaian kerjanya. Lalu mengambil mantel tebal yang menggantung, dan mengenakannya. Jam pulang telah tiba. Setelah berpamitan kepada teman-teman kerjanya, Sofia segera keluar dari dalam toko pakaian tempat dia bekerja. Wanita itu sedikit berlari ketika mendapati Nicholas melambai dengan tersenyum hangat kepadanya. Pria berkulit putih itu ternyat sudah menunggu di parkiran toko. “Sudah pulang?” Sofia mengangguk. Dia segera mengambil sarung tangan dari dalam tas, lalu mengenakannya. Sebenarnya Sofia alergi udara dingin seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, tuntutan hidup membuatnya harus terus bertahan. “Cepat masuk! Di luar sangat dingin.” Nicholas segera membuka pintu mobil sport berwarna silver itu. Setelah memastikan Sofia masuk, Nicholas segera menyusul. . . . . . “Apa kau ingin segelas hot cokelat, atau hot cappucino?” tanya Nicholas di dalam perjalanan. “Boleh.” Sofi
Sofia menatap putranya yang sedang menikmati segelas susu hangat di pagi hari. Setelah kejadian malam tadi, Nicholas memutuskan untuk kembali ke apartemen pribadi miliknya. Merasa tidak enak karena sudah melakukan tindakan di luar batas. Sofia menggeleng pelan, kala mengingat kegilaan yang terjadi bersama Nicholas. Sungguh memalukan. Sofia merasa tidak memiliki wajah lagi, walau hanya sekadar untuk bertemu dengan pria itu. “Mom!” panggil El. “Ya.” Sofia menoleh. Lalu mengusap rambut hitam legam miliki putranya itu. “Mom tidak bekerja?” tanya El, sebab dia melihat ibunya masih mengenakan pakaian rumahan. Sofia menggeleng. “Toko ditutup untuk sementara. Badai salju yang terjadi tadi malam, masih menyisakan tumpukan salju di jalanan.” Setelah kepulangan Nicholas dan Kenzo, badai salju kembali menerpa kota Milan. Kali ini lebih besar. Hal itu mengakibatkan banyak tumpukan salju yang memenuhi jalanan. Pemerintah sudah mengerahkan seluruh pe
Jakarta, 23 Februari 2013 Di ruang tamu sebuah rumah mewah tampak seorang pemuda berusia 26 tahun sedang duduk dengan koran di tangannya. Bersantai di hari libur adalah hal langka dalam hidupnya. Ditemani secangkir kopi panas, pemuda itu tampak serius memperhatikan setiap berita yang tercetak di kertas koran. “Kakak!” teriak seorang gadis kecil yang hampir memecahkan gendang telinganya. “Fia kecilkan suaramu yang sangat mengganggu itu!” teriaknya. Sofia terkekeh. Gadis kecil itu adalah Sofia. Di usianya yang sudah menginjak 21 tahun tak membuat Sofia menghilangkan sifat kekanakannya. Dia semakin manja terlebih kepada kakak laki-laki kesayangannya. Ettan Askara pemuda 26 tahun itu adalah kakak Sofia satu-satunya. Putra sulung di keluarga Askara. Mendengar suara merdu sang adik sudah menjadi rutinitas di hari libur seperti ini. “Kakakku yang sangat tampan.” Sofia duduk tepat di sebelah Ettan. Senyum manis tersunggi
Jakarta, 25 Februari 2013 Sinar sang surya kembali menyapa para makhluk di bumi. Memberikan kehangatan serta semangat di pagi hari, tetapi berbeda dengan gadis yang masih bermalas-malasan, bergelung di bawah selimut tebalnya. Hawa dingin masih menyelimuti tubuhnya. Tak ayal hal itu semakin membuat jiwa malas yang ada di dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Mendengar suara ketukan pintu. Ah tidak, lebih tepatnya suara gedoran yang mungkin bisa membuat pintu kamarnya jebol saat itu juga. Dengan enggan Sofia melangkahkan kakinya, turun dari tempat ternyamannya dan menuju pintu. “Hei tuan putri!” seru Ettan dari balik pintu dengan seringai khasnya. Sofia menatap jengah sang kakak. Kesal bukan main karena mimpi indahnya terganggu begitu saja karena kehadiran sang kakak. “Tumben Kakak ada di rumah,” gerutu Sofia dari balik pintu. Bukan tanpa alasan Sofia mengatakan hal demikian. Ini adalah hari Senin dan Sofia tahu bahwa kakaknya itu p
Milan, 02 Maret 2018 Detik demi detik berlalu begitu cepat. Tak terasa waktu keberangkatan Nicholas ke Indonesia semakin dekat. Sebelumnya Nicholas sempat menunda keberangkatannya sampai beberapa minggu. Musim dingin telah berganti. Suasana hangat mulai menyelimuti kota Milan. Dedaunan dan bunga-bunga mulai bersemi lagi. Aroma khas ini kembali menyapa para makhluk bumi di Milan Sofia membantu El untuk membereskan tas sekolahnya. Hari ini setelah libur musim dingin, putranya itu akan kembali masuk sekolah. Sofia tidak perlu merasa khawatir lagi meninggalkan El, sebab di sekolah akan lebih aman. “Nanti Mom jemput … ingat jika ada orang yang tidak dikenal menjemput, jangan pergi bersamanya!” pesan Sofia. El mengangguki perkataan ibunya. “Jangan menerima apa pun dari orang asing ….” Sofia mengusap lembut kepala El. “Jangan ….” Ucapan Sofia terhenti ketika El memotongnya. “Jangan berbicara dengan orang asing. El ingat
Milan, 04 Maret 2018 Pada dasarnya setiap pertemuan pasti akan menimbulkan perpisahan. Terima atau tidak hal itu pasti akan terjadi. Dipisahkan oleh jarak dan waktu, bagi mereka yang sudah biasa hidup bersama tentu meninggalkan rasa kehilangan yang cukup mendalam Mau bagaimana lagi? Memaksa Sofia untuk tetap ikut juga tidak mungkin dilakukan Nicholas. Berusaha untuk tetap tinggal juga tidak mungkin, karena ada orang tua yang sudah sepuh menunggu kepulangannya. Meski sang putra, El menangis meminta dirinya untuk tetap tinggal tetapi Nicholas tidak dapat melakukan itu. “Dad jangan pergi. El tidak akan memiliki daddy lagi,” ucap anak berusia 4 tahun itu dengan berderai air mata. Nicholas berjongkok, memeluk erat tubuh putranya. Meski El bukan darah dagingnya, tetapi El tetap putranya sampai kapan pun. Sofia mendongakkan wajahnya, mencoba menahan air mata yang sedari tadi memaksa untuk keluar. Menggigit kuat bibir bawahnya agar tang
Rintik hujan kembali membasahi permukaan bumi. Aroma khas dari dinginnya air hujan, membuat hati siapa pun terasa nyaman. Tak terkecuali Sofia. Wanita itu tampak berjalan di balik payung, di bawah rintik hujan. Ingin rasanya dia berada lebih lama di bawah air hujan, yang memberikan kenyamanan di dalam diri. “Aroma ini, aku sangat menyukainya.” Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman yang terlihat sangat manis. Langkah kecilnya terus melangkah menuju sekolah putranya. Dia sengaja berjalan kaki guna bisa menikmati cuaca sore ini. “Mom!” seru anak kecil di depan gerbang sekolah. Sofia tersenyum. Kakinya segera melangkah menghampiri sang putra. “Bagaimana dengan harimu, Sayang?” tanya Sofia. Tangannya mengusap rambut hitam legam itu, lalu berjongkok menyamakan tinggi tubuh mereka. “Sangat baik Mom,” jawab El antusias. “Kalau begitu mari kita pulang!” ajak Sofia dengan nada bersemangat ***
Hati ibu mana yang tidak terluka melihat sang anak terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Peluh yang bercucuran serta rasa lelah tak lagi dihiraukan oleh Sofia. Rasa panik yang menyerangnya jauh mengalahkan semua itu. Apalagi setelah melihat anaknya mengalami kejang-kejang dalam waktu yang cukup lama. Beruntung ada salah satu tetangga apartemen yang mau membantunya tadi. Wanita itu tampak duduk di samping tempat tidur El. Di mana di sana anaknya tergolek lemah dengan selang infus di punggung tangan. Suhu tubuhnya masih tinggi, hanya saja kini dia sudah tidak mengalami kejang-kejang lagi. Kata-kata ‘daddy’ selalu terucap di bibir mungil itu. Waktu terus berputar, jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Yang mana artinya di Indonesia sudah pukul 9 pagi. Kenzo, pria itu sama sekali tidak mengangkat atau menghubungi Sofia kembali. Mungkin sibuk, itulah yang ada di pikiran Sofia. Lagi pula mereka tidak memiliki hubungan apa-apa, di mana Sofia
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering