Nicholas Luciano, merupakan pria berdarah Italia-Indonesia. Nicholas lahir dan besar di Italia. Nicholas merupakan anak dari pasangan Tuan Luciano dan Nyonya Elina. Ibunya merupakan wanita asli Indonesia.
Walau kedua orang tuanya memilih tinggal di Indonesia sejak 15 tahun terakhir, dia tetap tidak mau mengikuti kedua orang tuanya di sana.
Nicholas lebih memilih tinggal di tanah kelahirannya. Dia hanya berkunjung sesekali ke Indonesia, untuk menemui kedua orang tua dan juga urusan pekerjaan.
Nicholas Luciano, pria berusia 30 tahun itu merupakan seorang Ceo dari salah satu perusahaan milik ayahnya yang berada di Milan. Perusahaan yang bergerak di bidang desain itu telah berkembang pesat di tangannya.
Perusahaan yang dulunya kecil, kini telah menjadi perusahaan yang mulai diperhitungkan di kota Milan.
Tentang Sofia, Nicholas bertemu dengan gadis itu kurang lebih 5 tahun lalu. Pertemuan yang membuat Sofia ikut bersamanya, dan tinggal di salah satu kota di Italia itu.
***
Jakarta, 26 April 2013
Nicholas tiba di bandara setelah diminta pulang, dengan dalih bahwa ibunya itu merindukan putra sulung mereka.
Pria itu dijemput oleh sopir pribadi ibunya. Ketika sedang dalam perjalanan, mobil yang dinaiki Nicholas tidak sengaja menabrak seseorang di depan sana.
“Pak apa itu?” tanya Nicholas ketika mobilnya berhenti tiba-tiba. Dia juga mendengar suara yang cukup keras, seperti menghantam sesuatu.
“Sepertinya saya menabrak seseorang Tuan.” Wajah Pak Supri tampak pucat pasi.
Nicholas segera membuka pintu mobil, lantas berjalan ke depan dengan sedikit tergesa. Dia terkejut ketika mendapati seorang gadis kecil yang tertabrak mobilnya.
Dilihatnya gadis berambut hitam panjang dengan wajahnya tampak pucat pasi serta pakaian yang sedikit lembab.
“Pak ayo cepat, bawa gadis ini ke rumah sakit!” Entah kenapa dia merasa khawatir melihat wajah itu.
“Baik Tuan.” Pak Supri segera membuka pintu belakang mobil, membantu tuan mudanya untuk menolong gadis itu.
Nicholas memang fasih dalam berbahasa Indonesia, meskipun dia tinggal di luar negeri, ibunya selalu mengajarinya sedari kecil.
.
.
.
.
.
“Bagaimana Dok?” tanya Nicholas ketika dokter yang menangani gadis yang sudah tertabrak oleh mobilnya tad, keluar dari ruang gawat darurat.
“Apa Tuan suaminya?” tanya dokter itu.
Nicholas menggeleng, otaknya berpikir keras kenapa dokter justru bertanya tentang suami dari gadis kecil itu? Lagi pula Nicholas yakin, bahwa gadis tadi pasti belum menikah. Terlihat jelas bahwa usianya masih sangat muda. Mungkin seusia adik perempuannya.
“Nona tadi hamil … janinnya berusia sekitar 5-6 minggu. Untuk lebih pastinya, mungkin bisa diperiksakan di bagian obgyn.”
Nicholas terpaku mendengar penuturan dokter di depannya. Pikirannya berkelana entah ke mana.
Apa gadis itu sengaja menabrakkan diri ke depan mobilnya? Apa gadis itu tahu bahwa dia sedang hamil? Apa gadis itu hamil di luar nikah? Kemudian ditinggal kekasihnya sehingga memutuskan bunuh diri.
“Boleh saya menemuinya Dok?”
“Silakan. Dia belum sadarkan diri, mungkin sebentar lagi dia akan sadarkan diri.”
Dokter itu pamit meninggalkan Nicholas.
Nicholas membuka pintu dengan perlahan. Dia melihat gadis itu telah sadarkan diri. Pandangannya terlihat kosong, ada senyum getir di bibirnya.
Nicholas berjalan mendekati gadis itu, tujuannya bertanya tentang alamat dan mengantarkannya kembali kepada keluarganya. Bagaimanapun, Nicholas harus bertanggung jawab karena sudah membuatnya celaka.
“Nona!” panggil Nicholas.
Gadis itu menoleh, lalu mendudukkan dirinya. Dia tersenyum ramah ke arah Nicholas.
“Terima kasih, karena Tuan sudah menolong saya.”
Nicholas mengangguk. Jika memang benar gadis ini berniat bunuh diri, tidak mungkin sekarang dia tersenyum ramah kepadanya bukan?
‘Mungkin dia menikah muda,’ batin Nicholas.
***
Nicholas menarik kursi, yang berada di dekatnya. Lalu duduk tepat di samping, tempat tidur gadis itu.
“Nona boleh saya tahu alamat, atau nomor keluarga Anda yang bisa dihubungi? Saya harus menghubungi mereka, karena saya sedang ada pekerjaan penting. Jadi maaf, saya tidak bisa mengantar Anda. Tapi saya akan membayar seluruh biaya rumah sakit, dan yang lain-lain,” tanya Nicholas hati-hati. Dia takut, gadis kecil itu akan menuduhnya lari dari tanggung jawab.
Gadis itu terkekeh mendengar perkataan Nicholas. Tak lama setelah itu Nicholas melihat air mata yang jatuh dari sudut matanya.
“Terima kasih Tuan, karena Anda sudah mau menolong saya. Saya bisa pulang sendiri setelah ini.” Tangannya menyusut air mata yang mengalir begitu saja.
“Anda yakin?” tanya Nicholas memastikan.
Gadis itu mengangguk. Nicholas memberikan kartu namanya, dia harus pergi sesegera mungkin. Sebab sang ibu telah meneror dengan banyak panggilan masuk.
“Jika ada cedera parah, Anda bisa hubungi saya lagi,” ucap Nicholas sebelum pergi.
Gadis itu menerima kartu nama yang diberikan Nicholas lalu mengangguk mengerti.
Kemudian Nicholas berlalu keluar dari ruangan itu. Seluruh administrasi telah dibereskan oleh pak Supri. Setidaknya Nicholas merasa tenang meninggalkan gadis itu, karena dia sudah bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpanya.
.
.
.
.
.
Jakarta, 03 Mei 2013
Beberapa hari setelah kejadian itu, Nicholas memutuskan untuk kembali ke Milan. Karena banyak pekerjaan yang sudah menanti, setelah beberapa hari ditinggal.
“Mom, Dad. Nic pamit!” Nicholas berjalan menghampiri sang ibu kemudian mendaratkan ciuman penuh kasih sayang di dahi wanita paru baya itu. Kemudian beralih kepada sang ayah dan memeluknya erat.
“Alicia belajar yang rajin ok.” Nicholas mengacak rambut adik perempuannya.
Alicia mengangguk, mendengar nasihat kakak sulungnya. Walau mereka jarang bertemu, tetapi Alicia tahu bahwa kakaknya itu sangat menyayangi dirinya.
“Hati-hati! Setelah sampai jangan lupa kabari Mom!” pesan wanita paru baya itu. Nicholas mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke bandara.
Dalam perjalanan, Nicholas asyik dengan ponsel yang ada di tangan. Dia sedang menanyakan kondisi perusahaan yang ditinggal, kepada sang asisten.
Setelah selesai dengan ponselnya, Nicholas mengalihkan pandangannya ke luar kaca mobil. Kota ini tampak padat, serta macet di mana-mana. Sampai pandangannya menangkap seseorang yang dikenalnya.
“Bukankah itu gadis yang kemarin?” Nicholas menajamkan pandangannya, memastikan bahwa matanya tidak salah melihat orang.
“Pak berhenti di sana!” Nicholas menunjuk keberadaan gadis yang ditabraknya beberapa hari lalu. Gadis itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti beberapa hari lalu. Hanya saja, pakaiannya kali ini terlihat lebih lusuh.
“Nona!” sapa Nicholas setelah turun dari dalam mobil.
Gadis itu mendongakkan kepalanya. Tampak raut keterkejutan dari wajahnya, tetapi dengan cepat gadis itu tersenyum memandang Nicholas.
“Apa yang Anda lakukan di sini?”
Gadis itu hanya menggeleng. “Hanya melihat orang lewat saja.”
Nicholas tampak mengerutkan dahinya, jawabannya terdengar aneh di telinga.
“Nicholas.” Nicholas mengulurkan tangan, bermaksud mengajaknya untuk berkenalan.
“Sofia.” Gadis itu menyambut uluran tangan Nicholas.
“Nama yang indah.” Nicholas menganggukkan kepalanya berkali-kali.
“Nona mari saya antar pulang. Di sini tidak aman untuk wanita hamil seperti Anda,” tawarnya lagi.
Sofia menggeleng. “Tidak. Terima kasih.”
“Tapi ….”
“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa akan hal ini.”
Nicholas merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu. Namun Nicholas sadar, dia tidak memiliki tak untuk bertanya lebih jauh lagi. Pria itu bangun untuk kembali melanjutkan perjalanannya menuju bandara. Sebelum dia berlalu, Sofia memanggilnya kembali.
“Tuan, bisa beri aku pekerjaan?”
Nicholas menoleh memandang Sofia dengan tatapan penuh tanda tanya. Beberapa pertanyaan terlintas dalam benaknya, tetapi dia enggan untuk menanyakan.
Ada rasa iba dalam hatinya. Hanya saja Nicholas merasa ragu akan asal-usul gadis itu. Nicholas terdiam, tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.
Netra cokelat itu seolah membius Nicholas. Dia merasakan sesuatu yang aneh, dalam dirinya.
“Pekerjaan apa yang kau butuhkah?” tanya Nicholas, setelah mempertimbangkan beberapa hal. “Apa pun, aku bisa melakukan segalanya,” jawab Sofia penuh semangat. “Apakah kau punya surat kelulusan atau semacamnya yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan?” Sofia tampak termenung. Dia tidak membawa apa pun dari rumah, hanya pakaian yang melekat ditubuh serta tas kecil yang berisi identitas miliknya. Gadis itu menggeleng lemah, matanya menatap Nicholas dengan tatapan penuh permohonan. Sofia yakin, pria asing itu adalah orang baik. Nicholas tampak memikirkan pekerjaan apa yang akan dia berikan. Sementara dia, akan kembali ke Milan hari ini juga. Lagi-lagi ada satu sisi dari hatinya, yang mengatakan bahwa dia harus menolong gadis malang itu. “Tuan, aku bisa melakukan pekerjaan rumah tangga sekalipun.” ‘Walau aku tidak pernah melakukannya dan tidak tahu bagaimana caranya aku akan tetap berusaha melakukannya,’ batin Sof
Milan, 03 Desember 2013 Kini kehamilan Sofia sudah memasuki masa untuk melahirkan. Mungkin dalam hitungan hari dia akan melahirkan. Selama hamil, Nicholas menjaganya dengan baik. Bahkan pria itu melarangnya mengerjakan pekerjaan yang berat. Sofia tinggal di apartemen bersama dengan Nicholas. Dia masih bekerja sebagai asisten di apartemen pria itu. “Sofia, ho portato questo per te (Sofia, aku bawakan ini untukmu).” Nicholas datang dengan membawa kotak pizza, yang beberapa bulan terakhir menjadi makanan favorit Sofia. “Grazie (Terima kasih).” Sofia menerima kotak yang diberikan Nicholas lalu membukanya. Dia menyantap dengan lahap pizza yang sangat lezat itu. Sofia sudah mahir dalam berbahasa Italia. Dia memang gadis yang cerdas, maka dari itu dalam waktu singkat, Sofia sudah berhasil menguasai bahasa tempat dia tinggal. “Delizioso (Enak).” Sofia mengacungkan dua ibu jarinya ke hadapan Nicholas dengan mulut penuh. Terlihat sangat menggemas
Sofia bangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Dengan cepat, wanita itu mendudukkan diri di tepi tempat tidur. Berusaha mengembalikan kesadarannya. Semalam, setelah meninggalkan Nicholas begitu saja, Sofia langsung terlelap. Mungkin karena kelelahan, membuat ibu muda itu terlelap dengan sangat cepat. “Mom, El boleh masuk?” tanya suara kecil dari balik pintu. Sofia tersenyum, ketika mendengar suara anaknya. Ya, El selalu meminta izin untuk melakukan segala hal, termasuk untuk dapat masuk ke dalam kamar ibunya sendiri. Sofia segera berdiri, bergegas membuka pintu. Dia tersenyum mendapati wajah tampan milik El, yang masih berdiri di depan pintu menunggu dirinya. “Mom lama sekali.” El tampak kesal karena harus menunggu lama. Sofia langsung menyejajarkan tubuhnya, dengan tubuh anaknya, lalu mencubit gemas, pipi gembul itu. “Mom!” El menatap tajam ibunya. “Sorry Baby.” Sofia menangkup kedua pipi El, lalu menciumnya secara
Di belahan bumi lain. Pria berkulit eksotis itu tampak mendesah berkali-kali. Bukan desah kenikmatan seperti yang dia rasakan dulu, melainkan karena keputusasaan. “Harus ke mana lagi aku mencarimu?” Tatapannya kembali menerawang ke masa lalu. Sementara tangannya menggenggam erat, sebuah kalung bertuliskan nama gadis itu ‘Sofia’. Gadis yang berhasil mengubah hidupnya 180 derajat. Arnold masih ingat benar, netra cokelat yang berhasil membiusnya malam itu. Wajah bulat serta bibir tebal yang masih terus menari dalam ingatannya. “Kenapa? Kenapa Sofia?” Lagi-lagi Arnold mendesah berat. Hingga suara ketukan pintu membuatnya tersadar. Arnold kembali menyimpan kalung itu di laci meja kerjanya, lantas netra abu itu memastikan siapa yang masuk ke dalam ruangannya. “Honey!” seru wanita cantik dari balik pintu. Wanita dengan tinggi tubuh 175 cm itu, jalan berlenggak-lenggok menghampiri Arnold. Mini dress berwarna merah hati tampak menonjolk
Sofia merapikan kembali pakaian kerjanya. Lalu mengambil mantel tebal yang menggantung, dan mengenakannya. Jam pulang telah tiba. Setelah berpamitan kepada teman-teman kerjanya, Sofia segera keluar dari dalam toko pakaian tempat dia bekerja. Wanita itu sedikit berlari ketika mendapati Nicholas melambai dengan tersenyum hangat kepadanya. Pria berkulit putih itu ternyat sudah menunggu di parkiran toko. “Sudah pulang?” Sofia mengangguk. Dia segera mengambil sarung tangan dari dalam tas, lalu mengenakannya. Sebenarnya Sofia alergi udara dingin seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, tuntutan hidup membuatnya harus terus bertahan. “Cepat masuk! Di luar sangat dingin.” Nicholas segera membuka pintu mobil sport berwarna silver itu. Setelah memastikan Sofia masuk, Nicholas segera menyusul. . . . . . “Apa kau ingin segelas hot cokelat, atau hot cappucino?” tanya Nicholas di dalam perjalanan. “Boleh.” Sofi
Sofia menatap putranya yang sedang menikmati segelas susu hangat di pagi hari. Setelah kejadian malam tadi, Nicholas memutuskan untuk kembali ke apartemen pribadi miliknya. Merasa tidak enak karena sudah melakukan tindakan di luar batas. Sofia menggeleng pelan, kala mengingat kegilaan yang terjadi bersama Nicholas. Sungguh memalukan. Sofia merasa tidak memiliki wajah lagi, walau hanya sekadar untuk bertemu dengan pria itu. “Mom!” panggil El. “Ya.” Sofia menoleh. Lalu mengusap rambut hitam legam miliki putranya itu. “Mom tidak bekerja?” tanya El, sebab dia melihat ibunya masih mengenakan pakaian rumahan. Sofia menggeleng. “Toko ditutup untuk sementara. Badai salju yang terjadi tadi malam, masih menyisakan tumpukan salju di jalanan.” Setelah kepulangan Nicholas dan Kenzo, badai salju kembali menerpa kota Milan. Kali ini lebih besar. Hal itu mengakibatkan banyak tumpukan salju yang memenuhi jalanan. Pemerintah sudah mengerahkan seluruh pe
Jakarta, 23 Februari 2013 Di ruang tamu sebuah rumah mewah tampak seorang pemuda berusia 26 tahun sedang duduk dengan koran di tangannya. Bersantai di hari libur adalah hal langka dalam hidupnya. Ditemani secangkir kopi panas, pemuda itu tampak serius memperhatikan setiap berita yang tercetak di kertas koran. “Kakak!” teriak seorang gadis kecil yang hampir memecahkan gendang telinganya. “Fia kecilkan suaramu yang sangat mengganggu itu!” teriaknya. Sofia terkekeh. Gadis kecil itu adalah Sofia. Di usianya yang sudah menginjak 21 tahun tak membuat Sofia menghilangkan sifat kekanakannya. Dia semakin manja terlebih kepada kakak laki-laki kesayangannya. Ettan Askara pemuda 26 tahun itu adalah kakak Sofia satu-satunya. Putra sulung di keluarga Askara. Mendengar suara merdu sang adik sudah menjadi rutinitas di hari libur seperti ini. “Kakakku yang sangat tampan.” Sofia duduk tepat di sebelah Ettan. Senyum manis tersunggi
Jakarta, 25 Februari 2013 Sinar sang surya kembali menyapa para makhluk di bumi. Memberikan kehangatan serta semangat di pagi hari, tetapi berbeda dengan gadis yang masih bermalas-malasan, bergelung di bawah selimut tebalnya. Hawa dingin masih menyelimuti tubuhnya. Tak ayal hal itu semakin membuat jiwa malas yang ada di dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Mendengar suara ketukan pintu. Ah tidak, lebih tepatnya suara gedoran yang mungkin bisa membuat pintu kamarnya jebol saat itu juga. Dengan enggan Sofia melangkahkan kakinya, turun dari tempat ternyamannya dan menuju pintu. “Hei tuan putri!” seru Ettan dari balik pintu dengan seringai khasnya. Sofia menatap jengah sang kakak. Kesal bukan main karena mimpi indahnya terganggu begitu saja karena kehadiran sang kakak. “Tumben Kakak ada di rumah,” gerutu Sofia dari balik pintu. Bukan tanpa alasan Sofia mengatakan hal demikian. Ini adalah hari Senin dan Sofia tahu bahwa kakaknya itu p
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering