Milan, 03 Desember 2013
Kini kehamilan Sofia sudah memasuki masa untuk melahirkan. Mungkin dalam hitungan hari dia akan melahirkan. Selama hamil, Nicholas menjaganya dengan baik. Bahkan pria itu melarangnya mengerjakan pekerjaan yang berat. Sofia tinggal di apartemen bersama dengan Nicholas. Dia masih bekerja sebagai asisten di apartemen pria itu.
“Sofia, ho portato questo per te (Sofia, aku bawakan ini untukmu).” Nicholas datang dengan membawa kotak pizza, yang beberapa bulan terakhir menjadi makanan favorit Sofia.
“Grazie (Terima kasih).” Sofia menerima kotak yang diberikan Nicholas lalu membukanya. Dia menyantap dengan lahap pizza yang sangat lezat itu. Sofia sudah mahir dalam berbahasa Italia. Dia memang gadis yang cerdas, maka dari itu dalam waktu singkat, Sofia sudah berhasil menguasai bahasa tempat dia tinggal.
“Delizioso (Enak).” Sofia mengacungkan dua ibu jarinya ke hadapan Nicholas dengan mulut penuh. Terlihat sangat menggemaskan di mata pria berdarah Italia itu.
“Pelan-pelan, aku tidak akan memintanya darimu.” Nicholas mengacak rambut Sofia gemas.
“Tuan.”
“Sudah kubilang jangan panggil aku Tuan.”
Beberapa kali Nicholas meminta Sofia agar tidak memanggilnya dengan panggilan Tuan. Hal itu terdengar menggelikan di telinga Nicholas.
‘Tuan? Seperti majikan saja,’ batin Nicholas.
Nyatanya status mereka memanglah seorang majikan dan pelayan.
“Tapi aku merasa tidak enak jika harus memanggilmu hanya dengan nama saja.”
“Tidak perlu merasa tidak enak. Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri.” Nicholas tersenyum hangat ke arah Sofia.
‘Sial, kenapa hatiku tidak rela hanya menganggapnya sebagai adik,’ batin Nicholas kesal.
“Setelah selesai, segera istirahat. Aku akan kembali ke kamar.” Nicholas bangun dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Sofia. Dia tidak mau semakin kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Sofia menatap kepergian Nicholas dengan tersenyum kecut. Sebenarnya, dia ingin ditemani makan oleh pria itu, akan tetapi Sofia merasa sungkan jika harus merepotkan Nicholas lagi.
“Hei anak Mommy, jangan terus menyusahkan Tuan Nic. Dia sudah terlalu baik kepada kita.” Sofia mengelus perut buncitnya.
Setelah selesai memakan makanannya. Gadis itu segera membersihkan kotak pizza dan sisa-sisa di atas meja, lalu beranjak menuju kamar untuk segera istirahat.
Semakin besar perutnya, semakin dia merasa mudah lelah. Beruntung Nicholas mengerti semua itu.
Tepat pukul 2 dini hari Sofia terbangun dari tidurnya. Dia merasa perutnya sedikit kram, bahkan dia juga merasakan mulas seperti ingin buang air.
“Anak Mommy kenapa? Ini masih malam loh.” Sofia mengelus perutnya dengan lembut, berharap hal itu akan mengurangi rasa kramnya. Benar saja, perlahan rasa itu menghilang. Membuat Sofia kembali melanjutkan tidurnya.
Tak lama setelah itu, Sofia kembali merasakan kram dan juga nyeri di perut bagian bawah. Dia meringis menahan rasa sakit yang dirasakan.
“Anak Mommy sudah tidak sabar ingin keluar ya?” Sofia kembali mengelus perutnya.
.
.
.
.
.
Tepat pukul 4 dini hari, Sofia tidak bisa tertidur sama sekali. Dia masih merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Sofia yakin bahwa kini dia sedang mengalami kontraksi. Sofia sudah belajar itu semua dari buku yang dibacanya.
Dahi gadis itu tampak berkeringat, kontraksi yang dirasakannya sudah mulai terasa sering terjadi. Dia berjalan keluar kamar, menuju kamar Nicholas. Hanya pria itu harapannya kini.
Sofia mengetuk pintu kamar Nicholas.
“Tuan!” panggil Sofia di depan pintu kamar Nicholas.
Sofia menarik napas lalu mengeluarkannya secara perlahan, hal itu dilakukannya untuk mengurangi rasa sakit.
“Tuan!” panggil Sofia lagi.
Nicholas mengerjapkan matanya, ketika mendengar suara seseorang yang memanggil. Dilihatnya jam di atas nakas, masih menunjukkan pukul 4 dini hari. Dengan terpaksa pria itu terbangun dengan mata yang masih terasa berat.
Nicholas terkejut mendapati wajah pucat Sofia di depan pintu kamarnya. Terlihat keringat mengalir deras di dahi gadis itu.
“Fia kau kenapa?” Nicholas menyentuh lengan gadis itu.
Sofia meremas lengan kekar Nicholas dengan kuat, ketika serangan kontraksi itu datang lagi.
“Sa-sakit,” lirih Sofia yang masih terdengar di telinga Nicholas.
Nicholas sedikit meringis, ketika Sofia meremas lengannya, tetapi dia tidak memedulikan hal itu. Kondisi Sofia jauh membuatnya sangat panik.
Baik Nicholas maupun Sofia, ini adalah pengalaman pertama mereka. Nicholas sebelumnya tidak tahu seperti apa wanita yang akan melahirkan. Sedangkan Sofia, gadis itu hanya bisa meringis kesakitan.
“Fia, apa kau akan melahirkan?” tanya Nicholas panik. Dia tidak tega melihat gadis itu merasa kesakitan.
Sofia mengangguk. Lagi-lagi tangannya meremas lengan kekar Nicholas dengan kuat. Kontraksi yang dia rasakan semakin sering datang dan semakin terasa sangat menyakitkan.
“Lalu aku harus apa?” Nicholas membawa Sofia ke ruang tamu. Lalu mendudukkan gadis itu, di atas sofa. Pria itu tidak bisa berpikir sama sekali.
“Bawa aku ke rumah sakit!” teriak Sofia sedikit kesal. Bukannya membawa dia ke rumah sakit, Nicholas terlihat sibuk berjalan ke sana kemari kebingungan.
“Ah ya ampun. Maaf Fia.”
Tanpa berpikir panjang, Nicholas mengangkat tubuh mungil itu. Lalu membawanya ke rumah sakit.
“Sabar ... sebentar lagi kita sampai,” ucap Nicholas ketika sudah dalam perjalanan.
Sofia tidak menghiraukan perkataan pria di sampingnya. Rasa sakit luar biasa yang dirasakannya, membuat tubuhnya basah karena keringat.
.
.
.
.
.
Setelah menunggu hampir 2 jam. Akhirnya bayi yang telah membuat seorang Nicholas gugup dan panik, lahir ke dunia.
Selama 2 jam itu juga Nicholas mendampingi Sofia. Bahkan ketika Sofia memintanya untuk keluar, Nicholas sama sekali tidak beranjak.
Dia merasa khawatir melihat Sofia yang terus merasa kesakitan. Entah kenapa, dia merasa tidak tega melihatnya. Sehingga pria itu memutuskan untuk menemani Sofia melahirkan.
Bahkan cakaran dan penyiksaan lainnya yang diterima dari Sofia, tidak menyurutkan keinginannya.
“Guarda! Questo bambino e` cosi bello (Lihatlah! Bayi ini sangat tampan).” Nicholas menyentuh pipi lembut bayi itu.
Sementara Sofia, gadis itu menangis haru. Masih tidak menduga bahwa sekarang dia telah menjadi seorang ibu, di usia muda.
“Aku keluar sebentar,” pamit Nicholas. Dia membiarkan para dokter di sana untuk membersihkan Sofia serta bayinya.
Sofia mengangguk. Dia melihat wajah bayi, yang berada di dadanya itu. Terlihat sangat lucu dan menggemaskan.
.
.
.
.
.
Setelah selesai dibersihkan, kini Sofia sudah di pindahkan ke ruang perawatan VIP.
“Grazie (Terima kasih),” ucap Sofia ketika melihat Nicholas masuk. Pria itu tersenyum lalu duduk di kursi yang berada di samping tempat tidur Sofia.
“Apa masih sakit?” Kekhawatiran yang dirasakan oleh Nicholas nyatanya belum sepenuhnya hilang.
Sofia menggeleng. “Maaf tadi aku menyakitimu.” Sofia melihat tangan pria itu yang memerah akibat cakarannya. Belum lagi pakaian, dan rambut pria itu terlihat sangat berantakan.
“Lihatlah! Aku bahkan belum menikah, tapi sudah pernah menemani seorang wanita melahirkan.” Nicholas terkekeh, mengingat dirinya yang sempat berteriak saat Sofia mencakarnya.
Sofia tertawa kecil. “Padahal aku sudah menyuruh Tuan untuk keluar.” Sofia malu sendiri, mengingat dirinya yang menyiksa pria itu dengan ganas.
“Jangan panggil aku Tuan lagi.” Nicholas mengacak rambut gadis yang telah menjadi seorang ibu itu.
“Kakak?” tanya Sofia.
Nicholas menggeleng. “Panggil Nic saja!” imbuhnya.
“Baiklah terima kasih Nic.”
“Gadis pintar,” puji Nicholas.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, seorang perawat datang membawa bayi Sofia.
“Nona, ini sudah waktunya untuk menyusui bayi Anda. “
“Tapi asiku belum keluar.” Sofia memandang ke arah Nicholas, seolah meminta pria itu untuk segera keluar dari ruangan itu.
“Aku keluar sebentar,” pamit Nicholas yang paham dengan tatapan Sofia.
“Tidak apa Nona. Nanti seiring dengan Nona sering menyusuinya, maka asinya akan keluar dengan sendiri.”
“Baiklah. Berikan bayiku, aku akan menyusuinya.”
Perawat itu pun memberikan bayi mungil itu kepada Sofia. Sofia menerima bayinya dengan penuh kehati-hatian. Lagi-lagi wanita itu menangis haru, melihat makhluk kecil yang berada dalam dekapannya.
.
.
.
.
.
Setelah lebih dari 1 jam Nicholas meninggalkan Sofia, akhirnya pria itu memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruang rawat inap Sofia.
Dia melihat Sofia yang sudah selesai memberikan asinya kepada bayi mungil yang ada di dalam dekapannya.
“Dia sangat tampan,” puji Nicholas lagi. Tak dipungkiri, wajah bayi itu sangat tampan. Rambutnya yang hitam legam, serta kulit yang putih bersih, tak lupa netra berwarna abu-abu itu, membuat Nicholas merasa yakin bahwa ayah sang bayi merupakan orang asing.
“Posso darti un nome (Boleh aku yang beri nama)?” tanya Nicholas. Netra pria itu masih terus memandang bayi mungil dalam pangkuan Sofia.
Sofia mengangguk, “Certo (Tentu).”
Nicholas tersenyum mendengarnya. Dia meminta bayi itu untuk digendongnya. Sofia memberikan bayinya dengan hati-hati, serta mengajarkan Nicholas bagaimana cara menggendong dengan benar.
“Ciao figlio! Ascolta, ora ti chiami Xavielle Marcello (Hai nak! Dengar, namamu sekarang Xavielle Marcello).” Nicholas mencium pipi gembul milik bayi dalam pangkuannya.
“Terima kasih Nic.”
.
.
.
.
.
Sejak saat itu Nicholas sangat menyayangi El, seperti anaknya sendiri. Pria itu bahkan membantu Sofia untuk merawat El.
Bahkan di saat El sudah berusia 2 tahun, Sofia memaksa untuk mencari kerja dan tinggal terpisah darinya, Nicholas melarang keras keinginan Sofia.
Bagi Nic, saat itu El masih terlalu kecil jika harus ditinggal bekerja. Nicholas memaksa Sofia untuk tetap tinggal bersamanya. Selain karena usia El, ada perasaan berbeda jika dia harus hidup terpisah dari kedua orang itu.
Sampai pada akhirnya Sofia memutuskan untuk bekerja, di saat El menginjak usia 3 tahun. Dia merasa sungkan jika harus menyusahkan Nicholas terus menerus.
Tanpa bekal surat kelulusan apa pun, akhirnya Sofia diterima bekerja di toko pakaian brand ternama. Itu semua tidak lepas dari bantuan Nicholas.
Sofia bersyukur, walau hanya menjadi pegawai toko dengan gaji yang tidak seberapa. Setidaknya dia tidak akan menyusahkan Nicholas lagi.
Sofia bangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Dengan cepat, wanita itu mendudukkan diri di tepi tempat tidur. Berusaha mengembalikan kesadarannya. Semalam, setelah meninggalkan Nicholas begitu saja, Sofia langsung terlelap. Mungkin karena kelelahan, membuat ibu muda itu terlelap dengan sangat cepat. “Mom, El boleh masuk?” tanya suara kecil dari balik pintu. Sofia tersenyum, ketika mendengar suara anaknya. Ya, El selalu meminta izin untuk melakukan segala hal, termasuk untuk dapat masuk ke dalam kamar ibunya sendiri. Sofia segera berdiri, bergegas membuka pintu. Dia tersenyum mendapati wajah tampan milik El, yang masih berdiri di depan pintu menunggu dirinya. “Mom lama sekali.” El tampak kesal karena harus menunggu lama. Sofia langsung menyejajarkan tubuhnya, dengan tubuh anaknya, lalu mencubit gemas, pipi gembul itu. “Mom!” El menatap tajam ibunya. “Sorry Baby.” Sofia menangkup kedua pipi El, lalu menciumnya secara
Di belahan bumi lain. Pria berkulit eksotis itu tampak mendesah berkali-kali. Bukan desah kenikmatan seperti yang dia rasakan dulu, melainkan karena keputusasaan. “Harus ke mana lagi aku mencarimu?” Tatapannya kembali menerawang ke masa lalu. Sementara tangannya menggenggam erat, sebuah kalung bertuliskan nama gadis itu ‘Sofia’. Gadis yang berhasil mengubah hidupnya 180 derajat. Arnold masih ingat benar, netra cokelat yang berhasil membiusnya malam itu. Wajah bulat serta bibir tebal yang masih terus menari dalam ingatannya. “Kenapa? Kenapa Sofia?” Lagi-lagi Arnold mendesah berat. Hingga suara ketukan pintu membuatnya tersadar. Arnold kembali menyimpan kalung itu di laci meja kerjanya, lantas netra abu itu memastikan siapa yang masuk ke dalam ruangannya. “Honey!” seru wanita cantik dari balik pintu. Wanita dengan tinggi tubuh 175 cm itu, jalan berlenggak-lenggok menghampiri Arnold. Mini dress berwarna merah hati tampak menonjolk
Sofia merapikan kembali pakaian kerjanya. Lalu mengambil mantel tebal yang menggantung, dan mengenakannya. Jam pulang telah tiba. Setelah berpamitan kepada teman-teman kerjanya, Sofia segera keluar dari dalam toko pakaian tempat dia bekerja. Wanita itu sedikit berlari ketika mendapati Nicholas melambai dengan tersenyum hangat kepadanya. Pria berkulit putih itu ternyat sudah menunggu di parkiran toko. “Sudah pulang?” Sofia mengangguk. Dia segera mengambil sarung tangan dari dalam tas, lalu mengenakannya. Sebenarnya Sofia alergi udara dingin seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, tuntutan hidup membuatnya harus terus bertahan. “Cepat masuk! Di luar sangat dingin.” Nicholas segera membuka pintu mobil sport berwarna silver itu. Setelah memastikan Sofia masuk, Nicholas segera menyusul. . . . . . “Apa kau ingin segelas hot cokelat, atau hot cappucino?” tanya Nicholas di dalam perjalanan. “Boleh.” Sofi
Sofia menatap putranya yang sedang menikmati segelas susu hangat di pagi hari. Setelah kejadian malam tadi, Nicholas memutuskan untuk kembali ke apartemen pribadi miliknya. Merasa tidak enak karena sudah melakukan tindakan di luar batas. Sofia menggeleng pelan, kala mengingat kegilaan yang terjadi bersama Nicholas. Sungguh memalukan. Sofia merasa tidak memiliki wajah lagi, walau hanya sekadar untuk bertemu dengan pria itu. “Mom!” panggil El. “Ya.” Sofia menoleh. Lalu mengusap rambut hitam legam miliki putranya itu. “Mom tidak bekerja?” tanya El, sebab dia melihat ibunya masih mengenakan pakaian rumahan. Sofia menggeleng. “Toko ditutup untuk sementara. Badai salju yang terjadi tadi malam, masih menyisakan tumpukan salju di jalanan.” Setelah kepulangan Nicholas dan Kenzo, badai salju kembali menerpa kota Milan. Kali ini lebih besar. Hal itu mengakibatkan banyak tumpukan salju yang memenuhi jalanan. Pemerintah sudah mengerahkan seluruh pe
Jakarta, 23 Februari 2013 Di ruang tamu sebuah rumah mewah tampak seorang pemuda berusia 26 tahun sedang duduk dengan koran di tangannya. Bersantai di hari libur adalah hal langka dalam hidupnya. Ditemani secangkir kopi panas, pemuda itu tampak serius memperhatikan setiap berita yang tercetak di kertas koran. “Kakak!” teriak seorang gadis kecil yang hampir memecahkan gendang telinganya. “Fia kecilkan suaramu yang sangat mengganggu itu!” teriaknya. Sofia terkekeh. Gadis kecil itu adalah Sofia. Di usianya yang sudah menginjak 21 tahun tak membuat Sofia menghilangkan sifat kekanakannya. Dia semakin manja terlebih kepada kakak laki-laki kesayangannya. Ettan Askara pemuda 26 tahun itu adalah kakak Sofia satu-satunya. Putra sulung di keluarga Askara. Mendengar suara merdu sang adik sudah menjadi rutinitas di hari libur seperti ini. “Kakakku yang sangat tampan.” Sofia duduk tepat di sebelah Ettan. Senyum manis tersunggi
Jakarta, 25 Februari 2013 Sinar sang surya kembali menyapa para makhluk di bumi. Memberikan kehangatan serta semangat di pagi hari, tetapi berbeda dengan gadis yang masih bermalas-malasan, bergelung di bawah selimut tebalnya. Hawa dingin masih menyelimuti tubuhnya. Tak ayal hal itu semakin membuat jiwa malas yang ada di dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Mendengar suara ketukan pintu. Ah tidak, lebih tepatnya suara gedoran yang mungkin bisa membuat pintu kamarnya jebol saat itu juga. Dengan enggan Sofia melangkahkan kakinya, turun dari tempat ternyamannya dan menuju pintu. “Hei tuan putri!” seru Ettan dari balik pintu dengan seringai khasnya. Sofia menatap jengah sang kakak. Kesal bukan main karena mimpi indahnya terganggu begitu saja karena kehadiran sang kakak. “Tumben Kakak ada di rumah,” gerutu Sofia dari balik pintu. Bukan tanpa alasan Sofia mengatakan hal demikian. Ini adalah hari Senin dan Sofia tahu bahwa kakaknya itu p
Milan, 02 Maret 2018 Detik demi detik berlalu begitu cepat. Tak terasa waktu keberangkatan Nicholas ke Indonesia semakin dekat. Sebelumnya Nicholas sempat menunda keberangkatannya sampai beberapa minggu. Musim dingin telah berganti. Suasana hangat mulai menyelimuti kota Milan. Dedaunan dan bunga-bunga mulai bersemi lagi. Aroma khas ini kembali menyapa para makhluk bumi di Milan Sofia membantu El untuk membereskan tas sekolahnya. Hari ini setelah libur musim dingin, putranya itu akan kembali masuk sekolah. Sofia tidak perlu merasa khawatir lagi meninggalkan El, sebab di sekolah akan lebih aman. “Nanti Mom jemput … ingat jika ada orang yang tidak dikenal menjemput, jangan pergi bersamanya!” pesan Sofia. El mengangguki perkataan ibunya. “Jangan menerima apa pun dari orang asing ….” Sofia mengusap lembut kepala El. “Jangan ….” Ucapan Sofia terhenti ketika El memotongnya. “Jangan berbicara dengan orang asing. El ingat
Milan, 04 Maret 2018 Pada dasarnya setiap pertemuan pasti akan menimbulkan perpisahan. Terima atau tidak hal itu pasti akan terjadi. Dipisahkan oleh jarak dan waktu, bagi mereka yang sudah biasa hidup bersama tentu meninggalkan rasa kehilangan yang cukup mendalam Mau bagaimana lagi? Memaksa Sofia untuk tetap ikut juga tidak mungkin dilakukan Nicholas. Berusaha untuk tetap tinggal juga tidak mungkin, karena ada orang tua yang sudah sepuh menunggu kepulangannya. Meski sang putra, El menangis meminta dirinya untuk tetap tinggal tetapi Nicholas tidak dapat melakukan itu. “Dad jangan pergi. El tidak akan memiliki daddy lagi,” ucap anak berusia 4 tahun itu dengan berderai air mata. Nicholas berjongkok, memeluk erat tubuh putranya. Meski El bukan darah dagingnya, tetapi El tetap putranya sampai kapan pun. Sofia mendongakkan wajahnya, mencoba menahan air mata yang sedari tadi memaksa untuk keluar. Menggigit kuat bibir bawahnya agar tang
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering