Tok tok. Suara ketukan terdengar di pintu. Arshaka berbalik, menatap daun pintu dengan penuh harapan. Nala kembali? Kakinya yang panjang melangkah lebar kesana. Ia harus memperbaiki semuanya. Klik. Pintu terbuka, namun yang berdiri di baliknya ternyata adalah Ratih. "Ma?" lirihnya kecewa."Ya. Mama mau kasih baju yang tidak jadi kamu coba tadi. Tapi Mama yakin, ukurannya pas. Cepat bersiap, kita berangkat untuk lamaran sebentar lagi," titah Ratih. Arshaka menggeleng. "Tidak, Ma. Aku tidak bisa. Aku sudah menikah," tolaknya. Mata Ratih langsung melotot. "Apa Mama tidak salah dengar? Arsha, pernikahan itu adalah keinginan nenekmu! Mama tau kamu tidak menginginkannya. Mama juga tau kamu menyukai Serena.""Iya, tapi aku harus bertanggung jawab atas perempuan yang aku nikahi, Ma. Ini juga tidak adil untuk Serena. Dia harus tau kalau aku sudah menikah.""Pernikahan itu hanya di atas kertas. Mama akan mengurus perceraian dan menghilangkan jejaknya. Kamu hanya perlu bersiap untuk per
Nala dan Alex melangkah keluar, tepat di saat Arshaka masuk ke dalam. Mata pria itu langsung menatap tajam. "Mas kenapa?" risau Alex begitu melihat wajah lebam Arshaka. "Tidak kenapa-napa," jawabnya dingin. "Kalian mau kemana?""Mau mesan cake pengantin buat resepsi nanti," jawab Alex. Netra hitam pekat Arshaka beralih pada Nala. "Kamu tidak boleh pergi!" tegasnya. "Aku perlu bantuanmu untuk mengobati ku."Nala ingin membantah, namun ia tak mungkin pergi begitu saja disaat laki-laki yang telah menjadi suaminya itu pulang dalam keadaan babak belur. Menoleh pada Alex, gadis itu tersenyum. "Kita pergi besok aja, ya."Alex mengangguk. Ia juga ingin tahu kenapa Arshaka tampak seperti orang yang baru saja berkelahi. Arshaka melangkah pergi ke kamarnya, diikuti Nala di belakang dengan wajah pasrah"Besok pergi denganku," ujar laki-laki itu begitu tiba di dalam kamar."Nala tak menjawab. Ia meletakkan tasnya di atas nakas dan keluar lagi dari kamar. Arshaka menatap kepergian gadis itu,
Seorang gadis berpenampilan menor mencoba tersenyum pada laki-laki yang duduk di hadapannya. Mata cemerlangnya menatap ramah, meski laki-laki itu tampak tak bersahabat."Hobi Anda apa?" tanyanya.Laki-laki bersetelan jas itu menaikkan sebelah alis, menunjukkan bahwa pertanyaan itu aneh menurutnya.Si gadis tak peduli, ini kesempatannya untuk mengenal dan memperkenalkan dirinya. "Kalau saya sukanya ....""Aku tidak menikah untuk mengurus hobi seorang wanita!" potong laki-laki itu dingin. Lunala, gadis bermata cemerlang itu tersentak mendengarnya. Alisnya yang rapi tampak bertaut. "Maksudnya?""Aku menikah hanya untuk mendapatkan hak asuh keponakanku."Nala menelan saliva mendengarnya. Meski hanya sebuah perjodohan, ia sempat berharap pernikahan dadakannya ini nanti akan baik-baik saja. Tapi laki-laki itu jelas hanya ingin memanfaatkannya. "Dengan syarat, kau tak boleh mengganggu waktuku," sambung laki-laki itu. Arshaka Gibran, laki-laki berusia 32 tahun yang merupakan seorang pengu
Nala menatap bayangan wajahnya melalui cermin mungil di tangan. Ibunya kembali mendempul wajah belianya yang kusam terbakar matahari, dengan cream murah begitu tebal. Lipstik yang merah menyala dan cat alis yang sehitam arang. Selendang kuning yang biasa dipakai ibunya ke kondangan, dililit sedemikian rupa menjadi kerudung. Menunggu di halte di tengah teriknya matahari siang membuat riasannya semakin berantakan. Nala berusaha mengipasi wajahnya dengan tangan. Ia tak boleh berkeringat sebelum bertemu Arshaka Gibran. Laki-laki itu cuma mau meluangkan waktu sebentar. Itupun setelah ia meminta dengan sangat. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya. Wajah tampan Arshaka muncul setelah jendelanya turun. Laki-laki itu tak menoleh sama sekali."Benar-benar songong!" gerutu Nala pelan. Tapi ia harus bisa menahan diri demi kelangsungan hidup bersama ibunya. Gadis itu langsung bangkit, diiringi tatapan heran orang-orang di halte. Menilai penampilan si gadis yang tak
Tiba di KUA, Pak kuaked alias penghulu menatap curiga pada Nala dan KTP di tangannya. "Saya udah 18 tahun kok, Pak, lima bulan yang lalu. Berarti saya udah masuk dalam kategori delapan belas plus-plus," Nala langsung menginterupsi sebelum sang penghulu mengatakannya tidak cukup umur. "Saya malah curiga usia di KTP dimudain. Baiklah kalau begitu, kita lanjutkan prosesnya," senyum sang penghulu.Ingin rasanya Nala menutup muka mendengar jawaban Pak Penghulu. Gara-gara makeup yang dipakaikan maminya, ia jadi kelihatan lebih tua.Gadis itu melirik pria tampan di sampingnya dengan pipi yang memerah. Untung saja laki-laki itu tak mendengar, atau memang tak peduli. Rautnya tampak datar dan kaku seperti biasa. Setelah diberikan wejangan dan nasihat, pernikahan pun dilaksanakan. Semua persiapan dan kelengkapan data telah diurus oleh asisten Arshaka. Bahkan wali hakim untuk Nala."Saya terima nikahnya Lunala binti Bahuddin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Mendengar ijab kabul yang
Baru saja tangan Nala akan menyentuh rambutnya, Arshaka langsung menepis. Matanya menatap tajam pada gadis yang mulai lancang itu. "Jangan berani menyentuhku!" kecamnya."Tapi ... Om udah nikahi Nala. Berarti kita udah sah untuk ....""Sepertinya aku salah telah menikahi mu!" potong Arshaka sambil menutup laptopnya dan bangkit dari duduknya. Nala sedih mendengar ucapan laki-laki itu. Tapi entah kenapa, kesedihan itu semakin membuat darahnya memanas dan meningkatkan hasrat yang ia rasakan. "Kenapa? Apa Nala nggak pantas menyentuh Om? Apa karena Nala berasal dari kalangan bawah?" "Aku tak pernah mempermasalahkan statusmu!"Kini Nala tersenyum mendengarnya. Pipinya semakin memerah. Gadis itu membuka lebar lengannya dan memeluk Arshaka.Pengusaha sukses berhati dingin itu tersentak kaget. Mendapati tubuhnya yang tak pernah ia biarkan tersentuh sembarangan orang tiba-tiba dipeluk gadis menor di hadapannya. "Hei! Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Nala menggeleng kuat dan mengeratka
Ruangan Arsenio telah kosong! Anak kecil itu tak ada lagi di ranjangnya. Begitu juga dengan si ibu sambung. Wajah Nala seketika pucat pasi. Kemana Arsenio? Ia berbalik keluar kembali. Memeriksa ke kanan dan kiri lorong. Namun tak ada yang terlihat menggendong Arsenio. Cepat sekali menghilangnya wanita itu. Dengan tangan yang gemetar Nala menelepon Arshaka kembali. "Om! Arsenio nggak ada!" teriaknya panik."Wanita itu sudah membawanya pergi. Aku sudah meminta pihak Rumah Sakit untuk menutup jalan keluar." "A-apa yang harus Nala lakukan sekarang?" Nala mengusap wajahnya panik.Tut tut.Bunyi telepon yang diputus terdengar. Nala langsung menatap layar ponselnya. Ternyata Arshaka mematikan teleponnya. "Oh, ya Allah! Apa yang harus hamba lakukan? Harusnya hamba tak meninggalkan Arsenio sendirian," keluhnya dengan raut pias. Tungkai kakinya tiba-tiba terasa lemah. Tapi ia tak bisa berdiam diri. Ia harus mencari Arsenio sampai ketemu.Semua pintu keluar sudah ditutup. Berarti wanita
Nala membuka matanya perlahan, dan wajah imut seorang anak kecil yang pertama kali terlihat di matanya. "Kak? Udah bangun?" Arsenio menatapnya khawatir."Senio? Kamu nggak apa-apa?" gadis itu langsung teringat apa yang telah terjadi. Arsenio menggelengkan kepalanya. "Nggak, kakak kan udah selamatkan Nio," bocah kecil itu tersenyum. "Nio? Jadi nama panggilan kamu Nio? Kalo gitu kakak juga akan manggil kamu Nio." Tangan Nala bergerak untuk menyentuh pipi halus Arsenio, namun tiba-tiba ia merasakan bahunya sakit saat digerakkan. "Akh," rintihnya. "Jangan bergerak dulu, bahu mu terkena pukulan keras. Walaupun tidak patah, tapi lebamnya cukup parah," suara seorang laki-laki menegur dari sebelah kirinya. Nala terkesiap dan langsung menoleh, ternyata ada Arshaka juga di dekatnya. Tatapan manik hitam gelap itu tampak mencemaskannya. Nala memalingkan kembali wajahnya, ia masih marah dengan sikap kejam Arshaka padanya. "Terimakasih, sudah menjaga Arsenio dengan baik." "Nala nggak ngel