Tiba di KUA, Pak kuaked alias penghulu menatap curiga pada Nala dan KTP di tangannya.
"Saya udah 18 tahun kok, Pak, lima bulan yang lalu. Berarti saya udah masuk dalam kategori delapan belas plus-plus," Nala langsung menginterupsi sebelum sang penghulu mengatakannya tidak cukup umur."Saya malah curiga usia di KTP dimudain. Baiklah kalau begitu, kita lanjutkan prosesnya," senyum sang penghulu.Ingin rasanya Nala menutup muka mendengar jawaban Pak Penghulu. Gara-gara makeup yang dipakaikan maminya, ia jadi kelihatan lebih tua.Gadis itu melirik pria tampan di sampingnya dengan pipi yang memerah. Untung saja laki-laki itu tak mendengar, atau memang tak peduli. Rautnya tampak datar dan kaku seperti biasa.Setelah diberikan wejangan dan nasihat, pernikahan pun dilaksanakan. Semua persiapan dan kelengkapan data telah diurus oleh asisten Arshaka. Bahkan wali hakim untuk Nala."Saya terima nikahnya Lunala binti Bahuddin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Mendengar ijab kabul yang diucapkan seorang lelaki dengan menyebut namanya, membuat sebuah rasa berdesir di dalam dada Nala. Sebuah rasa yang sulit diungkapkan.Tak pernah terpikirkan sama sekali, ia akan menikah di usia muda dengan orang yang baru saja dikenalnya.*Malam pertama.Dinda merasakan pelukan ibunya yang mendekap lama."Terimakasih, Sayang. Kamu menyelamatkan kita," ucap Laksmi dengan mata yang berkaca-kaca. "Maaf Mami terpaksa membuat kamu tak punya pilihan hidup.""Ya udah, Mi. Yang penting sekarang Mami nggak perlu kerja lagi."Laksmi membelai kepala putrinya, lalu menoleh pada Oma Erni yang sedang duduk di sofa dan tersenyum penuh arti.Oma Erni bangkit dan menghampiri Nala dengan bantuan tongkatnya."Ayo, Oma temani kamu masuk ke dalam kamar."Nala hanya menurut dan mengikuti langkah pelan wanita sepuh itu.Namun mata cemerlang gadis itu seketika membulat saat Oma Erni membuka pintu sebuah kamar yang sangat luas. Dimana Arshaka sedang duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuannya."Oma, ini kamarnya Pak Arshaka, lho," bisiknya. Takut Arshaka mengetahui kedatangan mereka.Oma Erni tersenyum mendengarnya."Iya. Ini juga sudah menjadi kamarmu sekarang.""Eh? Nggak ah, Oma. Nanti Pak Arshaka marah. Nala tidur di kamar lain aja. Sama Mami juga boleh.""Mana boleh begitu. Kamu ini sekarang sudah menjadi istrinya Arshaka. Tidak boleh lagi tidur dengan ibumu."Melihat kedatangan neneknya, Arshaka turun dari ranjang dan berjalan menghampiri. Manik hitam gelapnya melirik Nala sekilas."Ada apa, Oma?""Ini, Oma antarkan istrimu. Dia tidak berani masuk sendiri. Perlakukan dia dengan sangat baik, kamu mengerti?"Arshaka tak menjawabnya. Namun beberapa saat kemudian, ia menganggukkan kepala.Dinda meneguk salivanya melihat anggukan kaku itu. Terbayang sudah bagaimana dinginnya suasana kamar itu nanti."Ya sudah kalau begitu, Oma tinggal dulu." Oma Erni tersenyum lembut dan mendorong pelan Nala ke dalam, sebelum kemudian menutupkan kembali pintu kamar.Sepeninggalnya Oma Erni, Nala benar-benar merasakan apa yang dikhawatirkannya.Sunyi, senyap, dan sepi.Ketiga kata yang sama maknanya itu bahkan tak cukup mengumpamakan dinginnya suasana yang dirasakan Nala.Arshaka sama sekali tak menerima kehadirannya. Membuat Nala hanya bisa berdiri canggung, tak berani melakukan apapun.Sementara Arshaka kembali ke ranjang dan fokus dengan laptopnya.Tok tok.Bunyi ketukan di pintu membuat tatapan keduanya saling bertabrakan sejenak.Nala menunjuk ragu ke arah pintu, sebagai kode menawarkan diri untuk membuka pintunya.Arshaka mengangguk sekilas dan kembali fokus pada pekerjaannya.Bagaikan musafir yang sedang terdampar di gurun yang kering, Dinda langsung menghembuskan napas lega melihat ibunya yang datang."Alhamdulillah, Mami. Nala benar-benar nggak bisa napas di kamar ini. Nala tidur sama Mami aja, ya?"Laksmi langsung mendelik. "Hush! Ngomong apaan sih, kamu? Mami cuma mau bawain minuman ini.""Oh, pas banget. Leher Nala kayak habis dicekek, nih." Nala menenggak segelas minuman yang dibawa ibunya sampai tandas."Ini minuman apa? Kok kayak rasa jamu?""Ini memang jamu. Oma Erni yang ajari Mami buatkan ini, biar kalian rileks.""Oh, ini memang yang Nala butuhin sekarang."Nala langsung menyambar gelas satunya lagi dan meminumnya."Ya ampun, Nala! Kok diminum dua-duanya? Itu satu untuk suami kamu!" marah Laksmi."Ah, si Bapak songong itu mana sempat minum, Mi. Waktunya sangat berharga."Laksmi menghela napas sambil mengibaskan tangannya. "Entahlah, Mami pusing sama sikap asal kamu itu. Pokoknya jangan lupa jaga sikap dan jangan malu-maluin!" wanti-wantinya.Nala menunjukkan jempolnya dan menutup kembali pintu setelah ibunya pergi.Beberapa saat setelah berdiri bingung sendirian, entah kenapa Nala merasa tubuhnya panas. Ia benar-benar gerah, padahal kamar luas itu sebenarnya sejuk."Saya ... pinjam kamar mandinya, ya?" tanyanya canggung.Namun Arshaka tak merespon. Seolah tenggelam dalam pekerjaannya.Tanpa menunggu lagi, Nala langsung mencari pintu toilet. Lalu bergegas ke pojok kiri kamar.Kamar mandi yang mewah dan super bersih itu membuatnya terperangah sesaat. Namun kemudian ia cepat-cepat menuju wastafel.Nala menepuk-nepuk air ke wajahnya pelan. Ia tak ingin riasan ibunya luntur. Sebagimana pesan sang ibu, "jangan sampai wajah kusam kamu keliatan sama Den Arshaka.""Hufh, sejuknya ...," napasnya lega.Semangatnya serasa bangkit kembali. Aliran darahnya terasa lancar bahkan memanas."Wah, efek jamu buatan Mami emang dahsyat. Mami bisa jualan jamu, nih," celetuknya sendiri.Setelah merasa cukup mendinginkan dirinya, Nala beranjak keluar.Ia melihat Arshaka masih di posisi yang sama. Matanya yang tajam menatap serius layar laptop. Hidungnya mancung, bentuk bibirnya begitu menawan, rahang kokoh, dan alis bak sayap elang.Benar-benar tampilan yang macho.Ditambah dengan bahunya yang lebar dan dada yang bidang.Nala meneguk salivanya.Entah kenapa, tatapannya tak bisa beralih. Sosok Arshaka tiba-tiba membuatnya terhipnotis. Menghadirkan desiran aneh di dalam aliran darahnya."Waduh? Ternyata si bapak songong ganteng juga?" gumamnya.Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati. Semakin dekat, ketampanan Arshaka semakin jelas dengan kulitnya yang bersih.Apalagi saat aroma maskulin dari laki-laki itu tercium, membuat Nala kembali meneguk salivanya dengan dada yang berdebar.Menyadari keberadaan Nala, Arshaka mengangkat wajahnya. Alis rapinya mengernyit."Ada apa?""Ehm, saya ... mau tidur," jawab Nala gugup.Arshaka tampak tertegun sejenak. Lalu menelan saliva sehingga jakunnya yang menonjol terlihat naik turun.Melihat leher yang kokoh itu, Nala semakin kepanasan. Hasratnya semakin timbul untuk menyentuh."Ini ranjangku. Kau bisa tidur di sofa," jawab Arshaka kemudian sambil melihat ke arah lain."Tapi kita udah nikah. Emang boleh tidur pisah?""Apa kau lupa dengan perjanjian yang sudah kau tandatangani?""Nggak. Di sana tertulis, bahwa saya nggak boleh mengganggu waktunya Bapak dan ....""Stop memanggilku Bapak!" potong Arshaka dingin. "Aku bukan ayahmu!""Terus saya harus manggil apa?"Arshaka terdiam, tak tahu harus menjawab apa."Entahlah. Bikin tambah pusing saja. Yang penting jangan bapak!" tegasnya kemudian sambil memijat kening.Nala menggigit bibirnya. Desiran di dalam darahnya semakin memanas. Menatap Arshaka dengan penuh harapan untuk bisa menyentuhnya."Om aja kalo gitu, ya? Om pusing? Biar Nala pijitin," tanyanya manja.Gadis belia itu benar-benar kehilangan kewarasannya. Tangannya terulur untuk menyentuh rambut lebat Arshaka.Baru saja tangan Nala akan menyentuh rambutnya, Arshaka langsung menepis. Matanya menatap tajam pada gadis yang mulai lancang itu. "Jangan berani menyentuhku!" kecamnya."Tapi ... Om udah nikahi Nala. Berarti kita udah sah untuk ....""Sepertinya aku salah telah menikahi mu!" potong Arshaka sambil menutup laptopnya dan bangkit dari duduknya. Nala sedih mendengar ucapan laki-laki itu. Tapi entah kenapa, kesedihan itu semakin membuat darahnya memanas dan meningkatkan hasrat yang ia rasakan. "Kenapa? Apa Nala nggak pantas menyentuh Om? Apa karena Nala berasal dari kalangan bawah?" "Aku tak pernah mempermasalahkan statusmu!"Kini Nala tersenyum mendengarnya. Pipinya semakin memerah. Gadis itu membuka lebar lengannya dan memeluk Arshaka.Pengusaha sukses berhati dingin itu tersentak kaget. Mendapati tubuhnya yang tak pernah ia biarkan tersentuh sembarangan orang tiba-tiba dipeluk gadis menor di hadapannya. "Hei! Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Nala menggeleng kuat dan mengeratka
Ruangan Arsenio telah kosong! Anak kecil itu tak ada lagi di ranjangnya. Begitu juga dengan si ibu sambung. Wajah Nala seketika pucat pasi. Kemana Arsenio? Ia berbalik keluar kembali. Memeriksa ke kanan dan kiri lorong. Namun tak ada yang terlihat menggendong Arsenio. Cepat sekali menghilangnya wanita itu. Dengan tangan yang gemetar Nala menelepon Arshaka kembali. "Om! Arsenio nggak ada!" teriaknya panik."Wanita itu sudah membawanya pergi. Aku sudah meminta pihak Rumah Sakit untuk menutup jalan keluar." "A-apa yang harus Nala lakukan sekarang?" Nala mengusap wajahnya panik.Tut tut.Bunyi telepon yang diputus terdengar. Nala langsung menatap layar ponselnya. Ternyata Arshaka mematikan teleponnya. "Oh, ya Allah! Apa yang harus hamba lakukan? Harusnya hamba tak meninggalkan Arsenio sendirian," keluhnya dengan raut pias. Tungkai kakinya tiba-tiba terasa lemah. Tapi ia tak bisa berdiam diri. Ia harus mencari Arsenio sampai ketemu.Semua pintu keluar sudah ditutup. Berarti wanita
Nala membuka matanya perlahan, dan wajah imut seorang anak kecil yang pertama kali terlihat di matanya. "Kak? Udah bangun?" Arsenio menatapnya khawatir."Senio? Kamu nggak apa-apa?" gadis itu langsung teringat apa yang telah terjadi. Arsenio menggelengkan kepalanya. "Nggak, kakak kan udah selamatkan Nio," bocah kecil itu tersenyum. "Nio? Jadi nama panggilan kamu Nio? Kalo gitu kakak juga akan manggil kamu Nio." Tangan Nala bergerak untuk menyentuh pipi halus Arsenio, namun tiba-tiba ia merasakan bahunya sakit saat digerakkan. "Akh," rintihnya. "Jangan bergerak dulu, bahu mu terkena pukulan keras. Walaupun tidak patah, tapi lebamnya cukup parah," suara seorang laki-laki menegur dari sebelah kirinya. Nala terkesiap dan langsung menoleh, ternyata ada Arshaka juga di dekatnya. Tatapan manik hitam gelap itu tampak mencemaskannya. Nala memalingkan kembali wajahnya, ia masih marah dengan sikap kejam Arshaka padanya. "Terimakasih, sudah menjaga Arsenio dengan baik." "Nala nggak ngel
Setelah kejadian di roof top Rumah Sakit, ibu tiri Arsenio di tahan atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyiksaan terhadap anak sambungnya itu selama bertahun-tahun. Dan otomatis, hak asuh Arsenio kini jatuh ke tangan keluarga Arshaka. "Oma berterimakasih padamu, Lunala. Berkat bantuanmu, Arsenio sekarang bisa bersama kita," ucap Oma Erni. "Sebenarnya ini bukan murni karena bantuan Nala, Oma. Tapi Allah memang mentakdirkan Arsenio lepas dari ibu tirinya yang jahat itu, melalui kelengahan Nala, hehehe," gadis itu terkekeh sendiri mengingatnya. Oma Erni tertawa melihat gadis yang selalu bersikap apa adanya itu. Gadis yang masih sangat muda tapi cukup dewasa dalam berpikir dan bertanggungjawab. Lunala seperti ayahnya. Sopir taksi hebat yang berani mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa orang lain. "Sebentar lagi suamimu akan pulang. Kamu masuk ke kamar mu saja. Biar Arsenio Oma yang temani," ujar Oma Erni kemudian. Nala mengangguk patuh. Ia melangkah masuk ke kamar luas yang
Nala tersentak kaget, ketika Arshaka tiba-tiba menaiki ranjang tepat di atasnya. Apalagi melihat wajah laki-laki itu berubah merah dan semakin dingin dari biasanya. "Om? Mau ngapain?""Mau tidur. Ini ranjangku." "I-iya, tapi biar Nala turun dulu. Tadi Nala cuma bercanda," panik Nala."Tidak bisa lagi! Aku sudah memperingatkan mu tadi!" "Te-terus?" "Aku akan melakukan apa saja yang aku sukai di ranjangku." Arshaka menyeringai, lalu mulai mendekatkan wajahnya."Om, Nala jadi takut, nih. Nala bakal teriak kalo penampakannya Om serem kayak gini." Nala langsung membentengi wajahnya dengan kedua tangan. "Teriak? Tidak akan ada berani masuk ke kamarku. Lagipula, ini memang yang mereka inginkan." "Mak-maksudnya?""Jangan banyak bertanya. Kenapa mulut mu ini banyak sekali bicara?""Bukan gitu, Om."Nala mulai berkeringat. Ia tak bisa bernapas dengan jarak yang terlalu dekat dengan Arshaka, harum tubuh laki-laki itu yang maskulin tercium jelas di hidungnya, membuat jantungnya berdebar cepa
"Kamu hamil, Nala?" Nala terkejut setengah mati mendengar pertanyaan itu. Laksmi menatap putrinya lekat. Gelagat Nala yang menatap perut dengan panik jelas membuatnya perhatian."Nggak kok, Mi. Hahaha, mana mungkin," kilah Nala sambil tertawa gugup. "Kenapa nggak mungkin? Kamu kan udah punya suami.""Iya, tapi Nala masih 18 tahun, Mi.""Udah 19.""Belum, masih satu minggu lagi," bantah Nala. Laksmi tersenyum pada Ratna yang menahan senyum mendengar bantahan Nala. Lalu mengelus pundak putrinya. "Kamu nggak usah takut. Kan ada Mami di sini. Mami akan menjaga kamu apapun yang terjadi."Nala terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Khawatir, cemas, dan kalut bercampur menjadi satu rasa takut. Bagaimana kalau ia benar-benar hamil? Sementara ia telah menerima perjanjian dengan Arshaka untuk segera mengakhiri pernikahan?"Tapi Nala takut, Mi," lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca. Laksmi langsung merengkuhnya ke dalam pelukan. Mengusap kepala putrinya dengan lembut."Itu wajar. Tapi
Tiba di depan salon, Arshaka langsung menelepon. "Halo?" Suara imut Nala menjawab. "Halo. Cepat keluar sekarang. Atau kau akan pulang dengan taksi.""Ini belum selesai. Nala pulang naik taksi aja sama Mbak Ratna," jawab gadis itu datar.Arshaka mendesis dengan raut frustasi. Tentu saja ia tak bisa membiarkan Nala pulang dengan taksi. Mau tak mau ia terpaksa menunggu."Ya sudah, cepat selesaikan dan keluar. Aku akan menunggu sampai sepuluh menit."Nyatanya, nyaris setengah jam Arshaka harus menunggu. Dengan raut tak sabar laki-laki itu turun dari mobilnya untuk menyusul. Ratna langsung menyambut dengan wajah bersalah. "Maaf Den, perawatannya baru selesai. Non Nala sedang mengganti pakaiannya di kamar ganti."Arshaka menghembuskan napas kasar sambil menatap jam yang melingkar elegan di lengannya. "Membuang-buang waktu saja!" gerutunya. Klik. Pintu kamar ganti terbuka. Nala keluar dengan blouse baby pink dan kerudung berwarna senada. Wajah kusamnya telah berganti cerah dan bersi
Bab 11Arshaka mengusap wajahnya kasar. "Kita harus mencari cara untuk mencegahnya!" "Maksudnya?" Nala mengernyit bingung."Kita tidak bisa membiarkan pembuahan itu terjadi! Aku tidak siap untuk memiliki anak, dan tak akan membuang waktuku untuk hal seperti itu!"Nala terperangah. Ia juga belum siap untuk menjadi orang tua, tapi menolak kehadiran seorang anak dengan alasan tak ingin membuang waktu, tentu sangat kejam. "Om mau membunuh anak Om sendiri?" "Tidak ada anak! Pembuahannya saja belum terjadi. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mencegahnya."Tok tokKetukan di pintu memotong perdebatan sengit mereka. Arshaka kembali mengusap wajahnya dan menghela napas panjang sebelum membukakan pintu. Sementara Nala masih mematung di tempat duduknya. Mbok Ijah yang datang. "Maaf Den, Oma minta saya antarkan ini untuk Non Nala," wanita bersanggul itu menyerahkan segelas jamu di dalam nampan. Arshaka mengernyit curiga. "Jamu? Jamu apa lagi ini, Mbok?" tanyanya kesal. Apa Oma ingin di