Nala membuka matanya perlahan, dan wajah imut seorang anak kecil yang pertama kali terlihat di matanya.
"Kak? Udah bangun?" Arsenio menatapnya khawatir."Senio? Kamu nggak apa-apa?" gadis itu langsung teringat apa yang telah terjadi.Arsenio menggelengkan kepalanya."Nggak, kakak kan udah selamatkan Nio," bocah kecil itu tersenyum."Nio? Jadi nama panggilan kamu Nio? Kalo gitu kakak juga akan manggil kamu Nio." Tangan Nala bergerak untuk menyentuh pipi halus Arsenio, namun tiba-tiba ia merasakan bahunya sakit saat digerakkan."Akh," rintihnya."Jangan bergerak dulu, bahu mu terkena pukulan keras. Walaupun tidak patah, tapi lebamnya cukup parah," suara seorang laki-laki menegur dari sebelah kirinya.Nala terkesiap dan langsung menoleh, ternyata ada Arshaka juga di dekatnya. Tatapan manik hitam gelap itu tampak mencemaskannya.Nala memalingkan kembali wajahnya, ia masih marah dengan sikap kejam Arshaka padanya."Terimakasih, sudah menjaga Arsenio dengan baik.""Nala nggak ngelakuinnya buat siapa-siapa. Jadi nggak usah berterimakasih," ketusnya."Kalau kamu sudah baik-baik saja, aku akan kembali ke kantor."Nala tak menjawab. Terserah laki-laki itu ingin pergi ke mana. Ia sama sekali tak berharap di temani laki-laki tak berperasaan seperti Arshaka."Tidak boleh begitu," Suara Oma Erni tiba-tiba terdengar dari arah pintu.Wanita sepuh itu baru datang bersama Laksmi, ibunya Nala."Sebagai suami, kamu harus menjaga Nala sampai sembuh.""Tapi Oma di kantor masih banyak pekerjaan. Tak mungkin ditinggalkan begitu saja," bantah Arshaka sambil menatap jam di tangannya. "Ini saja sudah telat. Mas udah ninggalin pekerjaan selama satu jam lebih."Nala meringis sendiri mendengar penolakan Arshaka. Sebegitu berharga pekerjaan bagi laki-laki itu, sehingga satu jam saja ditinggalkan, sudah merasa begitu merugi.Dan Nala juga baru tahu, kalau Arshaka menyebut dirinya 'mas' di dalam keluarga. Yang berarti laki-laki memiliki adik."Lebih penting istrimu daripada pekerjaan," tegas Oma Erni.Arshaka menggaruk tengkuknya. Kalau sang nenek telah bersikap tegas, ia tak akan pernah membantah."Baiklah. Mas akan jaga. Tapi setelah mengurus beberapa pekerjaan yang tak bisa ditinggal begitu saja.""Ya, Bu. Biar kita yang jaga dulu sampai Arshaka menyelesaikan pekerjaan hari ini," bela Laksmi. Bagaimana pun juga ia tak ingin Arshaka semakin sulit untuk menerima Nala jika terus dipaksa-paksa.Arshaka langsung mengangguk. "Ya, cuma sampai sore ini."Namun Oma Erni malah menggeleng. "Tidak perlu, masih banyak orang yang memiliki otak dan bisa berpikir di perusahaan mu itu. Biar mereka yang mengerjakannya."Akhirnya, jadilah Arshaka yang menjaga Nala. Sementara Arsenio kemudian dibawa pulang oleh Oma Erni dan ibunya Nala.Oma Erni bahkan melarang perawat membantu Nala. "Lakukan saja tugas kesehatan kalian, yang lain biar suaminya yang urus," pesan wanita sepuh itu sebelum pulang.Di samping tempat tidur Nala, Arshaka duduk memantau. Ia tak membiarkan Nala bergerak sedikitpun, meski hanya menggaruk."Jangan kebanyakan garuk-garuk," larangnya."Lah, abis gatal. Gimana, dong?""Jangan pakai tangan yang bahunya sakit. Aku tidak mau meninggalkan pekerjaan terlalu lama karena kamu terlalu lama sembuh. "Nala menghela napas mendengarnya. Ia terpaksa menggigit lengan kirinya yang gatal.Begitu juga saat minum, Nala juga harus minum dengan tangan kiri. Hingga tak sengaja menumpahkan air di bajunya."Yaah, gimana nih? Baju Nala jadi basah." Nala menyapu bajunya yang kebasahan. "Mau bagaimana lagi. Kamu minumnya kayak anak kecil."Arshaka bangkit mencari baju ganti pasien untuk Nala. Lalu kembali menghampiri gadis itu.Tangannya kemudian bergerak ke arah dada Nala."Eh? Om mau ngapain?" Nala refleks beringsut mundur."Mau buka bajumu yang basah," jawab Arshaka datar."Nggak usah, biar Nala buka sendiri.""Buka kancingnya saja. Setelah itu biar aku."Nala menggeleng kuat. "Nggak mau, ntar nampak lagi."Arshaka menaikkan sebelah alisnya."Memangnya kenapa? Bukannya semalam kamu sendiri yang bilang kita sudah sah karena sudah nikah?""Itu ... Nala lagi salah ngomong."Arshaka menahan senyumnya, ternyata gadis itu tak tahu penyebab dirinya menjadi aneh semalam. Timbul niatnya untuk menggoda."Salah ngomong? Kamu juga menyentuh dan memelukku. Setelah itu kamu mengendus-endus di ....""Itu Nala nggak sengaja," potong Nala cepat. Wajah polos tanpa make-up itu tampak memerah. "Nala cuma penasaran sama bau parfum Om.""Oh, seperti itukah? Tapi kamu tetap berdosa karena telah menyentuhku.""Nggak lah, kita kan udah nikah.""Nah, kalo gitu aku juga bisa melihatmu sekarang. Cepat buka kancingnya.""Aih?" seru Nala saat sadar telah terjebak. Meski sambil mendumel, akhirnya Nala membuka kancingnya juga. "Om bukain sambil tutup mata, ya?" pintanya kemudian."Aku bukan orang buta, yang bisa melakukan apa saja tanpa melihat," bantah Arshaka.Tangan kokoh itu kemudian menepis tangan Nala yang masih berusaha menutup bajunya, dengan tak sabar.Wajah Nala seketika memerah saat dalamannya akhirnya terlihat. Ia segera memalingkan muka.Arshaka membuka baju gadis itu dengan hati-hati. Berusaha sebaik mungkin agar bahu Nala yang sakit tidak banyak bergerak."Apa bisa dilihat? Tidak ada apa-apa di sini," ujarnya.Wajah Nala semakin memanas mendengar perkataan laki-laki itu. Apa maksudnya dengan tidak ada apa-apa? Ia yakin ukuran dadanya tidak terlalu kecil dibandingkan dada gadis lain yang seusianya.Selesai mengganti baju Nala, Arshaka kembali duduk di samping ranjang. Dan mulai detik itu penjagaannya menjadi semakin ketat. Manik hitam gelapnya tak lepas sedikitpun dari gadis itu.Membuat Nala semakin menderita. Ingin rasanya ia memencet bel agar perawat datang untuk membantunya."Kalo Nala kebelet pipis, gimana?" tanyanya kesal."Aku akan membantumu," jawab Arshaka datar.Seketika itu juga, Nala ingin menangisi nasibnya. Mulai sekarang, ia tak akan minum meskipun haus. Tapi bagaimana dengan cairan infus?Nala mendongak pada kantung infus dengan tatapan pedih. Cairan itu akan membuatnya sering kebelet pipis.Setelah kejadian di roof top Rumah Sakit, ibu tiri Arsenio di tahan atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyiksaan terhadap anak sambungnya itu selama bertahun-tahun. Dan otomatis, hak asuh Arsenio kini jatuh ke tangan keluarga Arshaka. "Oma berterimakasih padamu, Lunala. Berkat bantuanmu, Arsenio sekarang bisa bersama kita," ucap Oma Erni. "Sebenarnya ini bukan murni karena bantuan Nala, Oma. Tapi Allah memang mentakdirkan Arsenio lepas dari ibu tirinya yang jahat itu, melalui kelengahan Nala, hehehe," gadis itu terkekeh sendiri mengingatnya. Oma Erni tertawa melihat gadis yang selalu bersikap apa adanya itu. Gadis yang masih sangat muda tapi cukup dewasa dalam berpikir dan bertanggungjawab. Lunala seperti ayahnya. Sopir taksi hebat yang berani mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa orang lain. "Sebentar lagi suamimu akan pulang. Kamu masuk ke kamar mu saja. Biar Arsenio Oma yang temani," ujar Oma Erni kemudian. Nala mengangguk patuh. Ia melangkah masuk ke kamar luas yang
Nala tersentak kaget, ketika Arshaka tiba-tiba menaiki ranjang tepat di atasnya. Apalagi melihat wajah laki-laki itu berubah merah dan semakin dingin dari biasanya. "Om? Mau ngapain?""Mau tidur. Ini ranjangku." "I-iya, tapi biar Nala turun dulu. Tadi Nala cuma bercanda," panik Nala."Tidak bisa lagi! Aku sudah memperingatkan mu tadi!" "Te-terus?" "Aku akan melakukan apa saja yang aku sukai di ranjangku." Arshaka menyeringai, lalu mulai mendekatkan wajahnya."Om, Nala jadi takut, nih. Nala bakal teriak kalo penampakannya Om serem kayak gini." Nala langsung membentengi wajahnya dengan kedua tangan. "Teriak? Tidak akan ada berani masuk ke kamarku. Lagipula, ini memang yang mereka inginkan." "Mak-maksudnya?""Jangan banyak bertanya. Kenapa mulut mu ini banyak sekali bicara?""Bukan gitu, Om."Nala mulai berkeringat. Ia tak bisa bernapas dengan jarak yang terlalu dekat dengan Arshaka, harum tubuh laki-laki itu yang maskulin tercium jelas di hidungnya, membuat jantungnya berdebar cepa
"Kamu hamil, Nala?" Nala terkejut setengah mati mendengar pertanyaan itu. Laksmi menatap putrinya lekat. Gelagat Nala yang menatap perut dengan panik jelas membuatnya perhatian."Nggak kok, Mi. Hahaha, mana mungkin," kilah Nala sambil tertawa gugup. "Kenapa nggak mungkin? Kamu kan udah punya suami.""Iya, tapi Nala masih 18 tahun, Mi.""Udah 19.""Belum, masih satu minggu lagi," bantah Nala. Laksmi tersenyum pada Ratna yang menahan senyum mendengar bantahan Nala. Lalu mengelus pundak putrinya. "Kamu nggak usah takut. Kan ada Mami di sini. Mami akan menjaga kamu apapun yang terjadi."Nala terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Khawatir, cemas, dan kalut bercampur menjadi satu rasa takut. Bagaimana kalau ia benar-benar hamil? Sementara ia telah menerima perjanjian dengan Arshaka untuk segera mengakhiri pernikahan?"Tapi Nala takut, Mi," lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca. Laksmi langsung merengkuhnya ke dalam pelukan. Mengusap kepala putrinya dengan lembut."Itu wajar. Tapi
Tiba di depan salon, Arshaka langsung menelepon. "Halo?" Suara imut Nala menjawab. "Halo. Cepat keluar sekarang. Atau kau akan pulang dengan taksi.""Ini belum selesai. Nala pulang naik taksi aja sama Mbak Ratna," jawab gadis itu datar.Arshaka mendesis dengan raut frustasi. Tentu saja ia tak bisa membiarkan Nala pulang dengan taksi. Mau tak mau ia terpaksa menunggu."Ya sudah, cepat selesaikan dan keluar. Aku akan menunggu sampai sepuluh menit."Nyatanya, nyaris setengah jam Arshaka harus menunggu. Dengan raut tak sabar laki-laki itu turun dari mobilnya untuk menyusul. Ratna langsung menyambut dengan wajah bersalah. "Maaf Den, perawatannya baru selesai. Non Nala sedang mengganti pakaiannya di kamar ganti."Arshaka menghembuskan napas kasar sambil menatap jam yang melingkar elegan di lengannya. "Membuang-buang waktu saja!" gerutunya. Klik. Pintu kamar ganti terbuka. Nala keluar dengan blouse baby pink dan kerudung berwarna senada. Wajah kusamnya telah berganti cerah dan bersi
Bab 11Arshaka mengusap wajahnya kasar. "Kita harus mencari cara untuk mencegahnya!" "Maksudnya?" Nala mengernyit bingung."Kita tidak bisa membiarkan pembuahan itu terjadi! Aku tidak siap untuk memiliki anak, dan tak akan membuang waktuku untuk hal seperti itu!"Nala terperangah. Ia juga belum siap untuk menjadi orang tua, tapi menolak kehadiran seorang anak dengan alasan tak ingin membuang waktu, tentu sangat kejam. "Om mau membunuh anak Om sendiri?" "Tidak ada anak! Pembuahannya saja belum terjadi. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mencegahnya."Tok tokKetukan di pintu memotong perdebatan sengit mereka. Arshaka kembali mengusap wajahnya dan menghela napas panjang sebelum membukakan pintu. Sementara Nala masih mematung di tempat duduknya. Mbok Ijah yang datang. "Maaf Den, Oma minta saya antarkan ini untuk Non Nala," wanita bersanggul itu menyerahkan segelas jamu di dalam nampan. Arshaka mengernyit curiga. "Jamu? Jamu apa lagi ini, Mbok?" tanyanya kesal. Apa Oma ingin di
Bab 12"Hai!" Alex mengulurkan tangan pada Nala.Saat itu Nala sedang duduk di ruang tengah menunggu seseorang. Seseorang yang ingin ia ajak bicara, yang tak lain adalah Arshaka. "Namaku Alexander Georaldi, panggil saja Alex," ucapnya dengan senyuman penuh, senyuman yang enak dipandang. Alex memang memiliki bentuk bibir yang bagus dan mempesona saat tersenyum. "Hai juga, Alex!" Nala menerima uluran tangan itu."Lagi nunggu siapa?" Tepat disaat Alex bertanya, yang ditunggu Nala pun lewat dengan bergegas. Laki-laki itu pasti terburu-buru hendak ke kantor, karena jam kerjanya telah banyak tersita untuk menjemput keluarganya di bandara. Nala menghela napas kecewa. Bagaimana ia bisa berharap mendapatkan waktu untuk berbicara? "Lagi nunggu Arsenio dimandiin susternya," alasan gadis itu."Aku mau ngajak jalan-jalan Arsenio, mau ikut? Aku tidak seberapa tau kota kita karena jarang pulang. Jadi butuh teman yang tau sedikit banyak." Laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celan
Bab 13Menatap pil yang diberikan Arshaka, Nala menghela napas panjang. Rasanya begitu pahit, tapi bukan pilnya, melainkan keputusan Arshaka."Nala?" Suara Oma Erni memanggil dari balik pintu. Sementara Arshaka telah keluar tanpa bicara setelah memberikan pil itu. "Ya, Oma?" Nala meletakkan pilnya di atas nakas dan beranjak membuka pintu kamar. Raut khawatir tampak membias di wajah keriput Oma Erni. "Kamu baik-baik saja, Nala?""Baik. Kenapa Oma?""Tidak kenapa-napa. Oma liat kamu tidak bersemangat sejak pagi."Nala menggaruk tengkuknya. "Semangat kok, Oma.""Alhamdulillah kalau baik-baik saja. Ada yang ingin Oma bicarakan dengan mu. Tapi sebelumnya, kamu harus minum dulu, wajah mu pucat sekali. Oma akan minta Mbok Ijah buatkan teh hijau untuk mu." "Nggak usah, Oma. Biar Nala yang minta sendiri ke dapur," cegah Nala cepat. "Oma tunggu di dalam aja.""Ya sudah kalau begitu." Oma Erni masuk ke dalam kamar cucunya dengan bantuan tongkat. Matanya mengedar ke sekeliling kamar. Tak ada
Tiba di teras rumah yang ditopang pilar-pilar besar itu, Leoni tiba-tiba menghadang langkah Nala. "Stop sampai di sini," gadis berambut coklat itu menatap kakak iparnya tajam. Nala mengerutkan keningnya. "Maksudnya?""You can't come in!" pungkas Leoni."Kenapa? Mama yang mengajakku kemari, dan Mama ingin memperkenalkan aku ....""Kamu berpikir Mama benar-benar ingin mengajakmu?" Leoni tersenyum mengejek."Asal kamu tau, Mama terpaksa mengajak karena paksaan nenek tua di rumahnya!"Nala mengerutkan kening mendengar sebutan kasar Leoni untuk Oma Erni. Namun Leoni sama sekali tak merasa bersalah. "Mama ke sini untuk urusan penting, yaitu mencari menantu yang layak," gadis yang masih berusia 17 tahun itu kembali tersenyum merendahkan. "Menantu?" "Ya, istri untuk Mas Arshaka. Dan aku tak akan membiarkanmu mengacaukannya.""Aku ini istrinya! Aku rasa kamu mendengar Oma Erni memperkenalkan aku sebagai istri kakakmu." "Mas Arshaka akan segera menceraikan mu. Aku mendengar Mama mengataka