Nala menatap bayangan wajahnya melalui cermin mungil di tangan. Ibunya kembali mendempul wajah belianya yang kusam terbakar matahari, dengan cream murah begitu tebal. Lipstik yang merah menyala dan cat alis yang sehitam arang. Selendang kuning yang biasa dipakai ibunya ke kondangan, dililit sedemikian rupa menjadi kerudung.
Menunggu di halte di tengah teriknya matahari siang membuat riasannya semakin berantakan. Nala berusaha mengipasi wajahnya dengan tangan. Ia tak boleh berkeringat sebelum bertemu Arshaka Gibran.Laki-laki itu cuma mau meluangkan waktu sebentar. Itupun setelah ia meminta dengan sangat.Beberapa saat kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di hadapannya. Wajah tampan Arshaka muncul setelah jendelanya turun. Laki-laki itu tak menoleh sama sekali."Benar-benar songong!" gerutu Nala pelan. Tapi ia harus bisa menahan diri demi kelangsungan hidup bersama ibunya.Gadis itu langsung bangkit, diiringi tatapan heran orang-orang di halte. Menilai penampilan si gadis yang tak cocok sama sekali dengan mobil jemputannya."Aku hanya punya waktu sebelum sampai di tempat janji temuku dengan klien," tegas laki-laki berhidung mancung itu sambil mengemudi..Nala menarik napas sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya pelan. Mengumpulkan kesabaran menghadapi orang seperti Arshaka. Lalu berusaha tersenyum semanis mungkin."Oke, begini Pak Arshaka, saya ingin mengatakan bahwa saya menerima perjodohan ini!" Nala langsung menyatakan tujuannya sambil melirik laki-laki tanpa ekspresi di sampingnya."Sudah terlambat," jawab laki-laki itu datar.Nala terkesiap. Jawaban Arshaka membuat rencananya gagal dalam waktu singkat."Tapi Nenek Erni masih menunggu jawaban saya.""Aku adalah cucunya. Jawabanku lebih penting baginya. Dan aku sudah memutuskan untuk menolak perjodohan ini."Nala meremas jemarinya dengan raut gelisah. Bagaimana kalau ia gagal dan maminya akan ....Tidak, ia tak boleh menyerah."Nenek Erni sudah menyetujui ...."Tring.Ucapan Nala tiba-tiba terpotong karena dering ponsel laki-laki itu."Halo," jawab Arshaka sambil memasang earphone di telinga. Mengabaikan gadis berpenampilan menor di sampingnya."Kau yakin Arsenio benar-benar mendapatkan kekerasan?" tanya laki-laki itu setelah beberapa saat. Ekspresinya yang datar tampak berubah dingin.Nala menoleh penasaran, namun ia merasa itu sama sekali bukan urusannya."Aku akan ke sana sekarang!" geram Arshaka. Tangan kokohnya tiba-tiba memutar setir. Lalu mengemudikan mobilnya dengan kekuatan penuh.Kali ini Nala tak bisa tinggal diam. Nyawanya bisa saja melayang dibawa mengebut seperti ini."Saya mau dibawa kemana ini? Jangan ngebut, dong. Nyawa ini cuma satu!" Nala kalang kabut mengencangkan sitbelt-nya.Namun Arshaka seperti tidak mendengarnya sama sekali."Denger nggak, sih? Kalo punya urusan mendadak, Anda bisa turunkan saya di sini!" gadis itu meninggikan suaranya."Aku tidak punya waktu untuk itu!" jawab Arshaka singkat dengan tatapan fokus ke depan.Nala mengepalkan tangannya lalu mendecih kesal. Apa sebegitu singkatnya waktu yang dimiliki laki-laki itu?Ia hanya bisa memejamkan mata dengan bibir komat-kamit membaca doa. Berharap polantas melihat aksi kebut-kebutan mobil yang ditumpanginya.Hingga akhirnya, mereka tiba di hadapan sebuah rumah minimalis dimana seorang anak laki-laki sedang berdiri di tengah panasnya matahari dengan wajah pucat.Arshaka bergegas turun, lalu berlari ke arah si anak dan memeluknya.Nala mengernyit. Siapa anak itu?*Menuju ke rumah sakit, Nala melihat betapa khawatir Arshaka terhadap anak kecil yang ditidurkan di kursi belakang.Nala mengambil kesimpulan bahwa anak itu adalah keponakan Arshaka. Yang disebut Arsenio oleh laki-laki itu saat menelepon tadi.Anak sekecil ini mendapatkan kekerasan? Dari siapa?"Mama ...," lirih Arsenio mengigau.Nala menatap iba. melepaskan sitbelt-nya, lalu melangkah ke belakang. Tak peduli rok kembangnya berkibar dan mengganggu penglihatan Arshaka.Gadis itu duduk memangku kepala anak kecil yang malang itu penuh kasih."Mama," lirih bocah berusia enam tahun itu lagi. Tangan kecilnya bergerak memeluk lengan Nala.Hingga tiba di rumah sakit, Arsenio tak mau melepaskan pelukannya. Seakan mencari perlindungan di dalam dekapan Nala.Tanpa meminta persetujuan Arshaka, Nala menggendong Arsenio dan membawanya masuk.Arsenio kemudian dimasukkan ke UGD dan Arshaka kembali menelepon asistennya."Urus ke pengadilan secepatnya! Hak asuh Arsenio harus jatuh padaku," titahnya."Itu tidak mudah, Tuan. Ibu tirinya Arsenio memiliki surat wasiat dari ayah kandung Arsenio langsung. Sedangkan dalam keluarga Anda tak ada yang sudah berumahtangga dan layak menjadi orang tua asuh. Kecuali, jika kedua orangtua Anda pulang dan mau mengasuh cucu mereka.""Mereka tidak akan pernah menerima Arsenio! Kita harus mendapatkan hak asuh itu apapun yang terjadi!" Arshaka mematikan teleponnya dengan tangan terkepal.Wajah dinginnya tampak tegang."Ehm," Nala berdeham dan menghampiri laki-laki bertubuh jangkung itu pelan."Saya udah setuju untuk menikah. Kenapa Anda nggak setuju aja biar hak asuhnya bisa cepat diurus?"Arshaka menatapnya sinis."Aku bisa mendapatkan istri tanpa perjodohan ini.""Tapi yang mau menerima pernikahan sesuai yang Anda inginkan cuma saya. Seperti yang Anda lihat, saya berasal dari kalangan bawah. Saya cuma butuh nafkah." Nala berusaha meyakinkan dengan hati penuh harap.Arshaka menatap gadis menor itu sejenak. Lalu kembali berpaling dan terdiam dengan raut berpikir keras."Oke! Aku akan membuat kesepakatan."Senyuman lega seketika mengembang di bibir mungil Nala."Siap, Pak! Saya siap mendengarkan kesepakatannya," sambutnya penuh semangat.Arshaka langsung menoleh tajam saat dipanggil Pak. Namun ekspresi polos Nala membuatnya urung mempermasalahkan."Dengarkan kesepakatan ini baik-baik," titahnya."Eh, tapi bukannya kesepakatan itu datangnya dari dua belah pihak, ya?"Kali ini tatapan Arshaka benar-benar menghujam, seolah ingin meremas bibir merah merona yang terus berbicara seenaknya itu."Aku akan membuat sebuah perjanjian yang harus kau patuhi," ralat Arshaka tanpa mengubah maksud ucapannya, bahwa yang bisa berbicara hanya dirinya."Pernikahan akan selesai setelah aku mendapatkan hak asuh keponakanku."Nala terdiam. Kalau perjanjiannya seperti itu, berarti hidupnya dengan ibunya terjamin hanya sebentar saja. Bagaimana lagi kalau nanti Arshaka meminta haknya sebagai suami? Ia akan menjadi kembang yang dijandakan setelah diambil madunya."Saya menolak. Itu merugikan saya," tegasnya kemudian."Aku tidak akan menyentuhmu. Dan setelah pernikahan selesai aku akan memberimu uang sebanyak 1 miliar."Mata Nala seketika membola. Satu miliar? Itu jumlah uang yang bisa membuatnya dan ibunya kaya raya mendadak. Tanpa merugi apapun ia akan mendapatkan uang sebanyak itu."Oke! Saya setuju!" terimanya cepat."Dengan syarat," tambah Arshaka. "Tak boleh ada cinta dan tak boleh mengganggu wa....""Waktu Anda," potong Nala."Bagus kalau kau sudah mengerti. Aku akan membuat surat perjanjiannya. Kau harus menandatanganinya nanti. Dan setelah dari rumah sakit, kita akan langsung ke KUA."Tiba di KUA, Pak kuaked alias penghulu menatap curiga pada Nala dan KTP di tangannya. "Saya udah 18 tahun kok, Pak, lima bulan yang lalu. Berarti saya udah masuk dalam kategori delapan belas plus-plus," Nala langsung menginterupsi sebelum sang penghulu mengatakannya tidak cukup umur. "Saya malah curiga usia di KTP dimudain. Baiklah kalau begitu, kita lanjutkan prosesnya," senyum sang penghulu.Ingin rasanya Nala menutup muka mendengar jawaban Pak Penghulu. Gara-gara makeup yang dipakaikan maminya, ia jadi kelihatan lebih tua.Gadis itu melirik pria tampan di sampingnya dengan pipi yang memerah. Untung saja laki-laki itu tak mendengar, atau memang tak peduli. Rautnya tampak datar dan kaku seperti biasa. Setelah diberikan wejangan dan nasihat, pernikahan pun dilaksanakan. Semua persiapan dan kelengkapan data telah diurus oleh asisten Arshaka. Bahkan wali hakim untuk Nala."Saya terima nikahnya Lunala binti Bahuddin dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."Mendengar ijab kabul yang
Baru saja tangan Nala akan menyentuh rambutnya, Arshaka langsung menepis. Matanya menatap tajam pada gadis yang mulai lancang itu. "Jangan berani menyentuhku!" kecamnya."Tapi ... Om udah nikahi Nala. Berarti kita udah sah untuk ....""Sepertinya aku salah telah menikahi mu!" potong Arshaka sambil menutup laptopnya dan bangkit dari duduknya. Nala sedih mendengar ucapan laki-laki itu. Tapi entah kenapa, kesedihan itu semakin membuat darahnya memanas dan meningkatkan hasrat yang ia rasakan. "Kenapa? Apa Nala nggak pantas menyentuh Om? Apa karena Nala berasal dari kalangan bawah?" "Aku tak pernah mempermasalahkan statusmu!"Kini Nala tersenyum mendengarnya. Pipinya semakin memerah. Gadis itu membuka lebar lengannya dan memeluk Arshaka.Pengusaha sukses berhati dingin itu tersentak kaget. Mendapati tubuhnya yang tak pernah ia biarkan tersentuh sembarangan orang tiba-tiba dipeluk gadis menor di hadapannya. "Hei! Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Nala menggeleng kuat dan mengeratka
Ruangan Arsenio telah kosong! Anak kecil itu tak ada lagi di ranjangnya. Begitu juga dengan si ibu sambung. Wajah Nala seketika pucat pasi. Kemana Arsenio? Ia berbalik keluar kembali. Memeriksa ke kanan dan kiri lorong. Namun tak ada yang terlihat menggendong Arsenio. Cepat sekali menghilangnya wanita itu. Dengan tangan yang gemetar Nala menelepon Arshaka kembali. "Om! Arsenio nggak ada!" teriaknya panik."Wanita itu sudah membawanya pergi. Aku sudah meminta pihak Rumah Sakit untuk menutup jalan keluar." "A-apa yang harus Nala lakukan sekarang?" Nala mengusap wajahnya panik.Tut tut.Bunyi telepon yang diputus terdengar. Nala langsung menatap layar ponselnya. Ternyata Arshaka mematikan teleponnya. "Oh, ya Allah! Apa yang harus hamba lakukan? Harusnya hamba tak meninggalkan Arsenio sendirian," keluhnya dengan raut pias. Tungkai kakinya tiba-tiba terasa lemah. Tapi ia tak bisa berdiam diri. Ia harus mencari Arsenio sampai ketemu.Semua pintu keluar sudah ditutup. Berarti wanita
Nala membuka matanya perlahan, dan wajah imut seorang anak kecil yang pertama kali terlihat di matanya. "Kak? Udah bangun?" Arsenio menatapnya khawatir."Senio? Kamu nggak apa-apa?" gadis itu langsung teringat apa yang telah terjadi. Arsenio menggelengkan kepalanya. "Nggak, kakak kan udah selamatkan Nio," bocah kecil itu tersenyum. "Nio? Jadi nama panggilan kamu Nio? Kalo gitu kakak juga akan manggil kamu Nio." Tangan Nala bergerak untuk menyentuh pipi halus Arsenio, namun tiba-tiba ia merasakan bahunya sakit saat digerakkan. "Akh," rintihnya. "Jangan bergerak dulu, bahu mu terkena pukulan keras. Walaupun tidak patah, tapi lebamnya cukup parah," suara seorang laki-laki menegur dari sebelah kirinya. Nala terkesiap dan langsung menoleh, ternyata ada Arshaka juga di dekatnya. Tatapan manik hitam gelap itu tampak mencemaskannya. Nala memalingkan kembali wajahnya, ia masih marah dengan sikap kejam Arshaka padanya. "Terimakasih, sudah menjaga Arsenio dengan baik." "Nala nggak ngel
Setelah kejadian di roof top Rumah Sakit, ibu tiri Arsenio di tahan atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyiksaan terhadap anak sambungnya itu selama bertahun-tahun. Dan otomatis, hak asuh Arsenio kini jatuh ke tangan keluarga Arshaka. "Oma berterimakasih padamu, Lunala. Berkat bantuanmu, Arsenio sekarang bisa bersama kita," ucap Oma Erni. "Sebenarnya ini bukan murni karena bantuan Nala, Oma. Tapi Allah memang mentakdirkan Arsenio lepas dari ibu tirinya yang jahat itu, melalui kelengahan Nala, hehehe," gadis itu terkekeh sendiri mengingatnya. Oma Erni tertawa melihat gadis yang selalu bersikap apa adanya itu. Gadis yang masih sangat muda tapi cukup dewasa dalam berpikir dan bertanggungjawab. Lunala seperti ayahnya. Sopir taksi hebat yang berani mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa orang lain. "Sebentar lagi suamimu akan pulang. Kamu masuk ke kamar mu saja. Biar Arsenio Oma yang temani," ujar Oma Erni kemudian. Nala mengangguk patuh. Ia melangkah masuk ke kamar luas yang
Nala tersentak kaget, ketika Arshaka tiba-tiba menaiki ranjang tepat di atasnya. Apalagi melihat wajah laki-laki itu berubah merah dan semakin dingin dari biasanya. "Om? Mau ngapain?""Mau tidur. Ini ranjangku." "I-iya, tapi biar Nala turun dulu. Tadi Nala cuma bercanda," panik Nala."Tidak bisa lagi! Aku sudah memperingatkan mu tadi!" "Te-terus?" "Aku akan melakukan apa saja yang aku sukai di ranjangku." Arshaka menyeringai, lalu mulai mendekatkan wajahnya."Om, Nala jadi takut, nih. Nala bakal teriak kalo penampakannya Om serem kayak gini." Nala langsung membentengi wajahnya dengan kedua tangan. "Teriak? Tidak akan ada berani masuk ke kamarku. Lagipula, ini memang yang mereka inginkan." "Mak-maksudnya?""Jangan banyak bertanya. Kenapa mulut mu ini banyak sekali bicara?""Bukan gitu, Om."Nala mulai berkeringat. Ia tak bisa bernapas dengan jarak yang terlalu dekat dengan Arshaka, harum tubuh laki-laki itu yang maskulin tercium jelas di hidungnya, membuat jantungnya berdebar cepa
"Kamu hamil, Nala?" Nala terkejut setengah mati mendengar pertanyaan itu. Laksmi menatap putrinya lekat. Gelagat Nala yang menatap perut dengan panik jelas membuatnya perhatian."Nggak kok, Mi. Hahaha, mana mungkin," kilah Nala sambil tertawa gugup. "Kenapa nggak mungkin? Kamu kan udah punya suami.""Iya, tapi Nala masih 18 tahun, Mi.""Udah 19.""Belum, masih satu minggu lagi," bantah Nala. Laksmi tersenyum pada Ratna yang menahan senyum mendengar bantahan Nala. Lalu mengelus pundak putrinya. "Kamu nggak usah takut. Kan ada Mami di sini. Mami akan menjaga kamu apapun yang terjadi."Nala terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Khawatir, cemas, dan kalut bercampur menjadi satu rasa takut. Bagaimana kalau ia benar-benar hamil? Sementara ia telah menerima perjanjian dengan Arshaka untuk segera mengakhiri pernikahan?"Tapi Nala takut, Mi," lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca. Laksmi langsung merengkuhnya ke dalam pelukan. Mengusap kepala putrinya dengan lembut."Itu wajar. Tapi
Tiba di depan salon, Arshaka langsung menelepon. "Halo?" Suara imut Nala menjawab. "Halo. Cepat keluar sekarang. Atau kau akan pulang dengan taksi.""Ini belum selesai. Nala pulang naik taksi aja sama Mbak Ratna," jawab gadis itu datar.Arshaka mendesis dengan raut frustasi. Tentu saja ia tak bisa membiarkan Nala pulang dengan taksi. Mau tak mau ia terpaksa menunggu."Ya sudah, cepat selesaikan dan keluar. Aku akan menunggu sampai sepuluh menit."Nyatanya, nyaris setengah jam Arshaka harus menunggu. Dengan raut tak sabar laki-laki itu turun dari mobilnya untuk menyusul. Ratna langsung menyambut dengan wajah bersalah. "Maaf Den, perawatannya baru selesai. Non Nala sedang mengganti pakaiannya di kamar ganti."Arshaka menghembuskan napas kasar sambil menatap jam yang melingkar elegan di lengannya. "Membuang-buang waktu saja!" gerutunya. Klik. Pintu kamar ganti terbuka. Nala keluar dengan blouse baby pink dan kerudung berwarna senada. Wajah kusamnya telah berganti cerah dan bersi