Baru saja tangan Nala akan menyentuh rambutnya, Arshaka langsung menepis. Matanya menatap tajam pada gadis yang mulai lancang itu.
"Jangan berani menyentuhku!" kecamnya."Tapi ... Om udah nikahi Nala. Berarti kita udah sah untuk ....""Sepertinya aku salah telah menikahi mu!" potong Arshaka sambil menutup laptopnya dan bangkit dari duduknya.Nala sedih mendengar ucapan laki-laki itu. Tapi entah kenapa, kesedihan itu semakin membuat darahnya memanas dan meningkatkan hasrat yang ia rasakan."Kenapa? Apa Nala nggak pantas menyentuh Om? Apa karena Nala berasal dari kalangan bawah?""Aku tak pernah mempermasalahkan statusmu!"Kini Nala tersenyum mendengarnya. Pipinya semakin memerah. Gadis itu membuka lebar lengannya dan memeluk Arshaka.Pengusaha sukses berhati dingin itu tersentak kaget. Mendapati tubuhnya yang tak pernah ia biarkan tersentuh sembarangan orang tiba-tiba dipeluk gadis menor di hadapannya."Hei! Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!"Nala menggeleng kuat dan mengeratkan pelukannya pada tubuh tegap itu.Arshaka meradang. Rahangnya mengeras. "Lepaskan sekarang!" bentaknya."Nggak mau! Nala suka wanginya Om." Nala mengendus-endus dada bidang yang terbungkus kaos putih itu. "Hmm, wanginya ...," desahnya.Arshaka benar-benar merinding melihat sikap gadis belia itu. Tangannya bergerak untuk mendorong."Ternyata kau sama saja dengan ibumu! Wanita ja lang yang kotor dan suka menjerat laki-laki!" desisnya setelah terlepas dari pelukan Nala.Nala yang terdorong mundur tampak terpaku. Kata-kata Arshaka menusuk kedalam hatinya. Ia tak menyangka akan mendengar kata-kata sepahit itu.Selama ini ia hanya pernah dicibir tetangga, karena memakai kerudung dan berpakaian sopan sementara ibunya seorang tukang pijat plus-plus. Tapi belum pernah ada menghina seburuk itu.Sementara Arshaka tampak mengerutkan keningnya memikirkan sesuatu. Ia baru sadar kalau tubuh Nala panas. Wajah gadis itu pun tampak memerah dengan tatapan sayu.Arshaka curiga, ada yang tak beres dengan kondisi gadis itu."Siapa yang datang tadi ke kamar?" selidiknya.Nala tak menjawab. Matanya memerah dan mulai berkaca-kaca."Apa Oma yang datang kembali membawakan minuman? Oma membawa jamu?"Bibir bawah Nala mulai menyembul, persis seperti bayi yang bersiap menangis."Memangnya kenapa? Om mau marahin Nala karena menghabiskan jamu jatah Om? Om mau bilang Nala serakah?" isaknya.Arshaka menghela napas. "Hh, pantas saja."Laki-laki itu kemudian meraih lengan Nala dan menghelanya ke arah kamar mandi."Ayo," tariknya.Namun Nala menarik kembali tangannya."Nala mau dibawa kemana?""Kamar mandi.""Nggak! Nala udah nggak minat! Hati Nala terlanjur sakit," Nala memukul-mukul dadanya sambil menangis.Tak hanya hasrat, emosinya pun meninggi. Gadis itu jadi bersikap berlebihan dan tak bisa mengendalikan diri."Ck!"Arshaka berdecak kesal. "Ayo, cepat!" tariknya kembali.Meski memberontak, akhirnya langkah Nala terseret juga ke kamar mandi.Arshaka mendudukkannya di tepi bathub dan menyirami gadis itu dari ujung kepalanya dengan air hangat dari shower."Apaan, sih? Kok malah dimandiin? Om nganggap Nala kotor? Nggak usah dipegang kalo gitu, Nala bisa mandi sendiri!"Nala berusaha merebut shower dari tangan Arshaka."Jangan rewel!" sentak laki-laki itu kesal. Membuat Nala terdiam dan berhenti memberontak.Dengan bibir mengerucut, gadis itu akhirnya duduk diam seperti patung. Sementara tangan kokoh Arshaka mengarahkan shower ke wajahnya."Pejam mata dan gosok mukamu sampai bersih!" titahnya.Nala menurut, menutup mata dan menggosok wajahnya sampai bersih. Sehingga tampaklah wajah Nala yang sebenarnya. Ayu dan imut.Arshaka tampak terpaku menatap wajah cantik yang sedang disiramnya itu. Ternyata ia benar-benar menikahi gadis yang jauh lebih muda darinya. Gadis belia yang tertutup penampilan menor.Sebuah rasa penasaran berkelebat di benaknya. Seperti apa penampakan gadis itu tanpa selendang kuning noraknya?Tangan Arshaka bergerak untuk menarik selendang itu. Membuat rambut hitam Nala yang lembut membingkai wajahnya yang basah.Arshaka menatapnya lekat. Jakunnya seketika naik turun tanpa ia sadari."Sudah. Mandi sampai sepuluh menit lagi baru boleh keluar!" tirahnya dengan suara serak. Lalu bergegas keluar meninggalkan Nala.*Esok paginya.Nala melangkah turun dari mobil mewah Arshaka dengan wajah cemberut. Meraih tangan kokoh laki-laki itu dan menyalaminya tanpa kata-kata."Aku akan mampir siang nanti," ujar Arshaka. "Tolong jangan biarkan Arsenio sendiri walaupun sebentar."Nala hanya mengangguk, lalu berbalik meninggalkan mobil itu.Gadis itu memasuki rumah sakit dengan hati yang masih menyimpan amarah. Kata-kata Arshaka malam tadi benar-benar membuatnya sakit hati.Hingga setelah mandi dan mengganti pakaiannya semalam, Nala sama sekali tak mau menatap laki-laki itu dan kemudian dengan sukarela ia tidur di sofa."Hufh," Nala menghela napas sambil memijat keningnya. Mandi di tengah malam membuatnya pagi ini sedikit masuk angin.Ruangan Arsenio ada di lantai ke-dua rumah sakit. Anak kecil itu sejak semalam ditemani oleh pembantu kepercayaan Oma Erni."Arsenio tidur?" tanyanya pada sang asisten rumah tangga begitu tiba."Iya, Non. Masih belum bangun sejak semalam.""Oke, kalo begitu sekarang biar saya yang ganti jaga. Mbok bisa pulang istirahat."Wanita itu mengangguk lelah dan berterimakasih. Lalu meninggalkan cucu majikannya bersama Nala.Nala mendekati ranjang rawat Arsenio dan membelai kepala anak itu lembut."Kasihan sekali kamu, Senio. Aku manggilnya Senio aja, ya? Kalo dibolehin, aku ingin menjagamu dan memberikanmu kasih sayang," lirihnya."Ah, iya. Aku punya gelang kebahagiaan. Aku kasih buat kamu, ya? Ini bisa dirubah ukurannya." Nala melepaskan tali gelang yang bergemerincing dari lengannya. Lalu memasangnya di lengan Arsenio yang kecil.Tok tok.Terdengar suara ketukan di pintu yang telah ditutup si Mbok. Lalu tanpa menunggu jawaban dari dalam, pintu itu terbuka dari luar.Nala mengira yang datang adalah perawat. Namun ternyata seorang wanita yang tak dikenalnya."Permisi," ucap wanita berusia sekitar 40 tahunan itu."Cari siapa, Bu?" Nala menghampiri.Wanita bersanggul itu tak menjawab. Matanya yang berkaca-kaca beralih pada ranjang Arsenio."Arsenio!" serunya sambil berlari masuk dan melewati Nala. Lalu memeluk Arsenio sambil menangis. "Kamu baik-baik saja, Nak?"Nala mengernyit. Gadis itu berbalik dengan raut bingung. Siapa wanita ini?"Maafkan Mama, Nak. Mama terlalu tegas padamu.""Mama? Anda siapa?" tanya Nala."Saya ibunya Arsenio.""Ibunya Arsenio udah meninggal.""Ya, aku ini ibu sambungnya. Tapi aku sudah menganggap Arsenio seperti anakku sendiri."Nala langsung paham siapa wanita itu. Berarti wanita itu lah yang telah menyiksa Arsenio. Tapi kenapa menangis sehisteris itu?"Ibu yang membuat Arsenio jadi seperti ini," Nala mengingatkan dengan raut tak suka."Ya, tapi aku tak pernah berniat untuk membuat Arsenio jadi sakit. Aku hanya ingin mengajarinya kedisiplinan. Aku tak ingi Arsenio menjadi anak yang manja karena merasa sebagai keturunan orang kaya."Nala menelisik wajah tua yang telah basah oleh air mata itu. Penampilan wanita paruh baya itu sangat keibuan dan sederhana. Hanya memakai blouse dan rok panjang. Wajahnya yang cerah tidak dipoles makeup sedikitpun.Mungkin memang benar wanita itu hanya ingin mendidik Arsenio dengan caranya yang tegas, agar menjadi anak yang sederhana dan mandiri.Tring.Dering ponsel terdengar dari tas kecil Nala. Gadis itu merogoh tasnya dan melihat siapa yang menelepon.Pak Tua, nama yang ia sematkan untuk Arshaka tertulis di layar ponselnya."Angkat saja dulu, Nak. Biar ibu yang jaga Arsenio," ujar wanita yang mengaku sebagai ibu sambungnya Arsenio.Nala menatap ragu. Namun kemudian ia mengangguk."Ya udah, Bu. Saya titip Arsenio, ya?""Iya. Ibu akan menemani Arsenio sampai kamu kembali."Nala menghela napas berat melihat raut sedih wanita itu. Lalu melangkah keluar dari ruangan itu."Halo, assalamualaikum?" gadis itu menjawab telepon Arshaka sambil menutup kembali pintunya."Apa Arsenio baik-baik saja?" tanya laki-laki itu langsung."Iya, dia masih tidur." Nala melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang begitu bersih."Kau bersama Mbok Ijah?""Nggak, Mbok Ijah udah pulang tadi. Tapi ...," Nala ragu untuk memberitahu kedatangan ibu sambungnya Arsenio."Tapi kenapa?""Ada ibu tirinya Arsenio di sini.""Apa?!""Iya, dia tadi datang sambil menangis dan ....""Dimana dia sekarang?!" potong Arshaka dengan nada yang meninggi."Di kamar, jagain Arsenio.""Sial! Cepat masuk dan periksa Arsenio sekarang!"Mata Nala seketika membulat. Tanpa mematikan teleponnya ia berlari kembali ke ruang Arsenio.Ruangan Arsenio telah kosong! Anak kecil itu tak ada lagi di ranjangnya. Begitu juga dengan si ibu sambung. Wajah Nala seketika pucat pasi. Kemana Arsenio? Ia berbalik keluar kembali. Memeriksa ke kanan dan kiri lorong. Namun tak ada yang terlihat menggendong Arsenio. Cepat sekali menghilangnya wanita itu. Dengan tangan yang gemetar Nala menelepon Arshaka kembali. "Om! Arsenio nggak ada!" teriaknya panik."Wanita itu sudah membawanya pergi. Aku sudah meminta pihak Rumah Sakit untuk menutup jalan keluar." "A-apa yang harus Nala lakukan sekarang?" Nala mengusap wajahnya panik.Tut tut.Bunyi telepon yang diputus terdengar. Nala langsung menatap layar ponselnya. Ternyata Arshaka mematikan teleponnya. "Oh, ya Allah! Apa yang harus hamba lakukan? Harusnya hamba tak meninggalkan Arsenio sendirian," keluhnya dengan raut pias. Tungkai kakinya tiba-tiba terasa lemah. Tapi ia tak bisa berdiam diri. Ia harus mencari Arsenio sampai ketemu.Semua pintu keluar sudah ditutup. Berarti wanita
Nala membuka matanya perlahan, dan wajah imut seorang anak kecil yang pertama kali terlihat di matanya. "Kak? Udah bangun?" Arsenio menatapnya khawatir."Senio? Kamu nggak apa-apa?" gadis itu langsung teringat apa yang telah terjadi. Arsenio menggelengkan kepalanya. "Nggak, kakak kan udah selamatkan Nio," bocah kecil itu tersenyum. "Nio? Jadi nama panggilan kamu Nio? Kalo gitu kakak juga akan manggil kamu Nio." Tangan Nala bergerak untuk menyentuh pipi halus Arsenio, namun tiba-tiba ia merasakan bahunya sakit saat digerakkan. "Akh," rintihnya. "Jangan bergerak dulu, bahu mu terkena pukulan keras. Walaupun tidak patah, tapi lebamnya cukup parah," suara seorang laki-laki menegur dari sebelah kirinya. Nala terkesiap dan langsung menoleh, ternyata ada Arshaka juga di dekatnya. Tatapan manik hitam gelap itu tampak mencemaskannya. Nala memalingkan kembali wajahnya, ia masih marah dengan sikap kejam Arshaka padanya. "Terimakasih, sudah menjaga Arsenio dengan baik." "Nala nggak ngel
Setelah kejadian di roof top Rumah Sakit, ibu tiri Arsenio di tahan atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyiksaan terhadap anak sambungnya itu selama bertahun-tahun. Dan otomatis, hak asuh Arsenio kini jatuh ke tangan keluarga Arshaka. "Oma berterimakasih padamu, Lunala. Berkat bantuanmu, Arsenio sekarang bisa bersama kita," ucap Oma Erni. "Sebenarnya ini bukan murni karena bantuan Nala, Oma. Tapi Allah memang mentakdirkan Arsenio lepas dari ibu tirinya yang jahat itu, melalui kelengahan Nala, hehehe," gadis itu terkekeh sendiri mengingatnya. Oma Erni tertawa melihat gadis yang selalu bersikap apa adanya itu. Gadis yang masih sangat muda tapi cukup dewasa dalam berpikir dan bertanggungjawab. Lunala seperti ayahnya. Sopir taksi hebat yang berani mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa orang lain. "Sebentar lagi suamimu akan pulang. Kamu masuk ke kamar mu saja. Biar Arsenio Oma yang temani," ujar Oma Erni kemudian. Nala mengangguk patuh. Ia melangkah masuk ke kamar luas yang
Nala tersentak kaget, ketika Arshaka tiba-tiba menaiki ranjang tepat di atasnya. Apalagi melihat wajah laki-laki itu berubah merah dan semakin dingin dari biasanya. "Om? Mau ngapain?""Mau tidur. Ini ranjangku." "I-iya, tapi biar Nala turun dulu. Tadi Nala cuma bercanda," panik Nala."Tidak bisa lagi! Aku sudah memperingatkan mu tadi!" "Te-terus?" "Aku akan melakukan apa saja yang aku sukai di ranjangku." Arshaka menyeringai, lalu mulai mendekatkan wajahnya."Om, Nala jadi takut, nih. Nala bakal teriak kalo penampakannya Om serem kayak gini." Nala langsung membentengi wajahnya dengan kedua tangan. "Teriak? Tidak akan ada berani masuk ke kamarku. Lagipula, ini memang yang mereka inginkan." "Mak-maksudnya?""Jangan banyak bertanya. Kenapa mulut mu ini banyak sekali bicara?""Bukan gitu, Om."Nala mulai berkeringat. Ia tak bisa bernapas dengan jarak yang terlalu dekat dengan Arshaka, harum tubuh laki-laki itu yang maskulin tercium jelas di hidungnya, membuat jantungnya berdebar cepa
"Kamu hamil, Nala?" Nala terkejut setengah mati mendengar pertanyaan itu. Laksmi menatap putrinya lekat. Gelagat Nala yang menatap perut dengan panik jelas membuatnya perhatian."Nggak kok, Mi. Hahaha, mana mungkin," kilah Nala sambil tertawa gugup. "Kenapa nggak mungkin? Kamu kan udah punya suami.""Iya, tapi Nala masih 18 tahun, Mi.""Udah 19.""Belum, masih satu minggu lagi," bantah Nala. Laksmi tersenyum pada Ratna yang menahan senyum mendengar bantahan Nala. Lalu mengelus pundak putrinya. "Kamu nggak usah takut. Kan ada Mami di sini. Mami akan menjaga kamu apapun yang terjadi."Nala terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Khawatir, cemas, dan kalut bercampur menjadi satu rasa takut. Bagaimana kalau ia benar-benar hamil? Sementara ia telah menerima perjanjian dengan Arshaka untuk segera mengakhiri pernikahan?"Tapi Nala takut, Mi," lirihnya dengan mata yang berkaca-kaca. Laksmi langsung merengkuhnya ke dalam pelukan. Mengusap kepala putrinya dengan lembut."Itu wajar. Tapi
Tiba di depan salon, Arshaka langsung menelepon. "Halo?" Suara imut Nala menjawab. "Halo. Cepat keluar sekarang. Atau kau akan pulang dengan taksi.""Ini belum selesai. Nala pulang naik taksi aja sama Mbak Ratna," jawab gadis itu datar.Arshaka mendesis dengan raut frustasi. Tentu saja ia tak bisa membiarkan Nala pulang dengan taksi. Mau tak mau ia terpaksa menunggu."Ya sudah, cepat selesaikan dan keluar. Aku akan menunggu sampai sepuluh menit."Nyatanya, nyaris setengah jam Arshaka harus menunggu. Dengan raut tak sabar laki-laki itu turun dari mobilnya untuk menyusul. Ratna langsung menyambut dengan wajah bersalah. "Maaf Den, perawatannya baru selesai. Non Nala sedang mengganti pakaiannya di kamar ganti."Arshaka menghembuskan napas kasar sambil menatap jam yang melingkar elegan di lengannya. "Membuang-buang waktu saja!" gerutunya. Klik. Pintu kamar ganti terbuka. Nala keluar dengan blouse baby pink dan kerudung berwarna senada. Wajah kusamnya telah berganti cerah dan bersi
Bab 11Arshaka mengusap wajahnya kasar. "Kita harus mencari cara untuk mencegahnya!" "Maksudnya?" Nala mengernyit bingung."Kita tidak bisa membiarkan pembuahan itu terjadi! Aku tidak siap untuk memiliki anak, dan tak akan membuang waktuku untuk hal seperti itu!"Nala terperangah. Ia juga belum siap untuk menjadi orang tua, tapi menolak kehadiran seorang anak dengan alasan tak ingin membuang waktu, tentu sangat kejam. "Om mau membunuh anak Om sendiri?" "Tidak ada anak! Pembuahannya saja belum terjadi. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mencegahnya."Tok tokKetukan di pintu memotong perdebatan sengit mereka. Arshaka kembali mengusap wajahnya dan menghela napas panjang sebelum membukakan pintu. Sementara Nala masih mematung di tempat duduknya. Mbok Ijah yang datang. "Maaf Den, Oma minta saya antarkan ini untuk Non Nala," wanita bersanggul itu menyerahkan segelas jamu di dalam nampan. Arshaka mengernyit curiga. "Jamu? Jamu apa lagi ini, Mbok?" tanyanya kesal. Apa Oma ingin di
Bab 12"Hai!" Alex mengulurkan tangan pada Nala.Saat itu Nala sedang duduk di ruang tengah menunggu seseorang. Seseorang yang ingin ia ajak bicara, yang tak lain adalah Arshaka. "Namaku Alexander Georaldi, panggil saja Alex," ucapnya dengan senyuman penuh, senyuman yang enak dipandang. Alex memang memiliki bentuk bibir yang bagus dan mempesona saat tersenyum. "Hai juga, Alex!" Nala menerima uluran tangan itu."Lagi nunggu siapa?" Tepat disaat Alex bertanya, yang ditunggu Nala pun lewat dengan bergegas. Laki-laki itu pasti terburu-buru hendak ke kantor, karena jam kerjanya telah banyak tersita untuk menjemput keluarganya di bandara. Nala menghela napas kecewa. Bagaimana ia bisa berharap mendapatkan waktu untuk berbicara? "Lagi nunggu Arsenio dimandiin susternya," alasan gadis itu."Aku mau ngajak jalan-jalan Arsenio, mau ikut? Aku tidak seberapa tau kota kita karena jarang pulang. Jadi butuh teman yang tau sedikit banyak." Laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celan