10 September 2019
Biru menghela napas super panjang ketika melangkah masuk ke dalam rumah. Sudah lebih dari empat hari tumpukan paket dari kurir menganggur di samping rak sepatu. Ditambah lagi, seminggu terakhir ini, Vivi tak menyambutnya ketika pulang ke rumah. Padahal biasanya kalau mendengar suara mobil Biru, Vivi sudah menggonggong serta melompat-lompat kegirangan.
Kemudian, sebuah teriakan seorang lelaki serta suara sepeda motor yang mesinnya dimatikan terdengar jelas dari luar rumah.
"PAKEETTT!"
Tidak sampai sedetik, Runalla dan Vivi langsung berlari keluar dari kamar dengan begitu antusias. Wajah Runalla dipenuhi oleh sumringah kebahagiaan serta gonggongan semangat dari Vivi.
Menyambut paket barang dari kurir.
Bukan menyambut Biru.
"Mas, paketku, ya?" tanya Runalla girang. Layaknya anak kecil yang baru saja diberi permen.
"Nggak tahu." Biru menyahut jutek. "Vivi sudah kamu ajak--"
"Mas, bisa tolong ambilin paketku, nggak?" Runalla bertanya lagi, meminta tolong, sembari menggaet manja lengan Biru. Runalla menyandarkan sebentar pipinya pada bahu Biru.
"Ya, Mas? Ambilin, ya?"
'Bodo amat,' Biru menggerutu. "Vivi sudah kamu ajak jalan-jalan, belum?"
"Ih, Mas, tolong ambilin paketku."
"Vi--"
"Mas."
Debat dengan Runalla sama sekali tidak ada matinya. Biru melirik ke arah Vivi yang menjulurkan lidah, ekornya mengibas ke sana-kemari, dan kaki-kakinya bergemeretak sampai menimbulkan bunyi 'tek tek tek' di lantai.
"Kenapa nggak kamu ambil sendiri, sih? Orang paketmu." omelnya dengan wajah ketus yang samar. Ingin melepaskan lengan dari dekapan Runalla, tapi istrinya itu malah mendekapnya kian erat. Kini, Runalla meletakkan dagu tepat pada bahu lebar Biru sembari menjawab, "Soalnya aku nggak pake beha."
Guk! Guk!
Biru melirik Vivi yang seolah memintanya untuk menolong Runalla. Biru menghela napas lagi.
"Emang kenapa kalau nggak pake?"
"Ya, nanti kalau putingku nyeplak, gimana?" tanggap Runalla frontal tanpa saringan sembari menatap Biru sok melas.
'Urgh, sumpah
inicewek!' Biru memutar kedua bola matanya dongkol sampai hanya terlihat bagian putihnya saja. Kalau di-pause dalam film, mungkin Biru akan terlihat seperti orang yang mendadak kesurupan."Yaudah, yaudah!" Biru mendengus sebal. Menarik tangannya dari dekapan Runalla. "Aku ambilin paketnya."
"Hehe, makasih Mas Biruku sayang."
Entah sudah kali ke berapa Biru menghela napas. Biru menggaruk tenguknya sebelum melangkah keluar dari rumah dan Vivi langsung berlari ke arah pagar sampai membuat sang kurir tersentak kaget. Ketakutan. Biru meringis.
"Maaf, ya, Pak." ujarnya sembari menahan tawa ketika Vivi menjulurkan satu kaki ke depan, mengais udara guna mencapai kaki sang kurir. Kurir itu tersenyum kaku. "Iya, Mas, nggak papa."
Biru menerima paket itu melalui bagian atas pagar yang tidak terhalangi apapun. Sedangkan tanda terima serta pulpen, ia terima melalui celah pagar. Biru memberi tanda tangan lalu mengucapkan, "terima kasih." pada lelaki itu.
Vivi menggonggong tidak keruan saat si kurir mau pergi. Kalau anjingnya seperti ini, siapa yang tidak takut, coba?
Biru tertawa, berjalan menjauhi pagar sambil memanggil Vivi berulang kali agar peliharaan kesayangannya itu mau ikut masuk ke rumah. Vivi diam sebentar di pagar, masih mengais-ngais udara, sebelum akhirnya menyerah dan berlari mengekori Biru.
"Makasih Mas sayang!" Runalla berucap kegirangan kala menyambut Biru yang membawa satu bingkisan paket di tangannya. Runalla mengambil paket itu kemudian meletakkannya di atas tumpukan paket yang menganggur di dekat rak sepatu.
"Mas, mau makan apa? Biar aku masakin."
Biru mengernyit. "Memang bisa masak? Kemarin goreng telur ceplok aja gosong."
Runalla tidak mengerti kenapa Biru sangat baik pada Vivi tapi jahat padanya? Kalimat Biru cukup menusuk di dada. Runalla berkacak pinggang, berpura-pura tidak memasukkan kalimat itu dalam hati, sembari menyahut galak.
"Soalnya aku pintarnya di ranjang, bukan di dapur. Cobain, dong. Kalo di ranjang pasti enak. Nggak bakal gosong."
Biru menyentuh kening Runalla menggunakan jari telunjuknya. Mereka saling menatap cukup lama. Gurat wajah Biru sangat sulit diartikan.
'Omaigat, omaigat, apakah aku bakal disentuh?!' Runalla bersorak penuh kemenangan sembari mengulum senyum. Runalla berniat mengikis jarak namun tidak bisa akibat jari telunjuk Biru yang menahannya.
Biru memikirkan apa yang sebaiknya ia makan malam ini. Setidaknya, yang bisa Runalla masak tanpa adanya kekacauan di dapur. Setelah selesai berpikir, Biru membuat jarak.
"Aku mau makan bubur," Biru menganggukkan kepalanya. "Nggak sesusah masak telur. Kamu bikin aja sebisanya."
Biru menyudahi pembicaraan secara sepihak sembari berjalan ke arah kamar mandi. Biru melepas kancing kemejanya. Tapi, Runalla yang tidak terima langsung berlari mengejar sang suami.
"Loh, Mas!" pekiknya. "Nggak jadi senggama?"
"Siapa juga yang mau berhubungan badan sama kamu? Aku aja nggak minta."
Suara pintu kamar mandi yang tertutup benar-benar mengakhiri pembicaraan mereka detik itu juga. Runalla memandang ke arah Vivi dengan sorot sedih. Karena Biru, Runalla jadi lupa kalau gumpalan kapas ini sejak tadi berjalan mengikutinya dari belakang tanpa suara.
Runalla cemberut.
"Vi, ayo ikut ke dapur. Masak buat Ayah kamu itu."
'Berasa ngajak anak sendiri', Runalla pergi ke dapur guna memasak bubur sesuai keinginan Biru. Sembari menyiapkan peralatan masak, Runalla membuka youtube dan mencari panduan cara memasak makanan itu-karena Runalla memang tidak bisa memasak.
Sebelum memasak, Runalla menuangkan dog food kering pada mangkuk makanan Vivi. Mengingat biasanya jam lima Vivi selalu makan. Alhasil, ada yang menemaninya memasak, walau yang menemani itu juga tidak bisa bicara dan hanya makan.
"Udah jadi buburnya?"
Suara Biru yang mendadak menginterupsi dari arah belakang, sukses membuat Runalla terkesiap kaget. Runalla menoleh dan langsung berharapan dengan dagu Biru, karena suaminya itu memang lebih tinggi.
"Ya, belum, Mas. Kamu kira aku ibu peri? Sekali sulap langsung jadi?" tanggap Runalla sedikit ketus. Masih kesal akibat kalimat Biru yang terakhir kali cukup menusuk. "Lagian ngapain di sini? Kenapa belum mandi? Aku udah ditemenin sama anak kamu, Mas, nggak usah sok-sokan mau nemenin gitu."
Biru melirik ke arah Vivi yang masih menyantap makanannya di mangkuk. "Kan, anak kamu juga."
Runalla tahu, sudah hampir enam bulan menikah, tapi Biru selalu bersikap aneh. Kadang baik, kadang jahat, kadang menyebalkan. Tadi jahat, kenapa sekarang baik?
Runalla berdeham sejenak sebelum kembali berfokus mengaduk-aduk bubur yang baru separuh matang. Berlagak tidak peduli pada Biru yang sepertinya tahu ia marah tapi terlalu gengsi untuk minta maaf. Sedetik kemudian, celetukan dari Runalla menyebabkan Biru menghela napas lagi.
"Bukan, tuh, aku maunya anak yang tercipta karena sperma Mas membuahi sel telurku. Gimana, dong?"
"Bodo amat." balas Biru. Singkat, padat, nyelekit.
Runalla ingin punya anak bukan hanya didasari oleh nafsu biologis semata. Runalla punya berbagai macam alasan, yang mungkin, kalau dijabarkan satu-satu tidak akan selesai sampai minggu depan. Dari sekian alasan itu, keluarga besar lah yang menjadi salah satu alasan utama. Semua saudara sepupunya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Ada pula Tante Widia yang super cerewet, membandingkan Runalla dengan anak-anaknya, entah itu dalam hal prestasi maupun pekerjaan.
Keluarga besarnya dan Biru punya sebuah persepsi menyebalkan dalam memandang pernikahan.
'Kalau nggak hamil, itu salah pihak perempuan. Bukan laki-laki. Perempuan bertugas di rumah, seharusnya bisa hamil kalau nggak kebanyakan tingkah.'
Biru juga jelas tahu itu. Runalla pernah mengomel, tapi ujungnya Biru hanya mengatakan, "Yaudah, lah, Runa. Nggak perlu dipikirin. Toh, jarang ketemu mereka. Kamu juga nggak gabung grup chat Whats Upp keluarga besar."
Matamu, Mas.
"Yaudah."
Respon super singkat dan dingin dari Runalla membuat Biru bergeming. Biru melirik ke arah Vivi yang baru saja selesai makan. Vivi berjalan mendekat kemudian duduk tepat di samping kaki Biru. Anjing peliharaannya itu memandang Biru dengan tatapan memelas sembari mengais-ngais kaki Biru yang masih terbalut celana panjang.
Biru menarik napas dalam sebelum mempersempit jarak dengan Runalla. "Kamu marah?"
"Meneketehe," sahut Runalla jutek tanpa berhenti mengaduk-aduk bubur di panci. 'Aduh, ngambek', Biru menggaruk tenguknya kikuk. "Yah, jangan marah, dong."
Biru terkejut setengah mati ketika tiba-tiba Runalla membalikkan badan lalu mendekap Biru erat-erat. Biru nyaris jatuh terhuyung ke belakang apabila tidak menjaga keseimbangan tubuhnya. Sesekali, ia melirik ke arah Runalla yang membenamkan kepala pada dada bidangnya.
Tapi sayang, Biru lebih peduli pada bubur yang takutnya nanti akan gosong.
"Mas."
Dari jarak yang tak terlalu dekat, Biru bersusah payah mengaduk bubur sembari menepuk-nepuk pundak Runalla agar menyudahi dramanya.
"Apa?"
"Mas nggak sayang sama aku?" pertanyaan Runalla yang terdengar samar itu, sempat mengakibatkan Biru mengerjap beberapa kali karena kebingungan harus menjawab apa. Ingin menjawab 'tidak', tapi nanti istrinya itu akan menangis. Alhasil, Biru menjawab dengan penuh keraguan.
"B aja," balasnya. "Memang kenapa?"
"Berarti ada sayangnya sama aku?" Runalla perlahan mengangkat kepala namun tak melepaskan dekapan eratnya dari Biru. "Kalau gitu, cium dong, Mas. Pengen dicium. Kalau cium, nanti aku maafin."
Biru nyaris tersedak, sedangkan Vivi menggonggong sekali menyaksikan pasutri baru itu melakukan adegan romantis.
"Ayo, Mas. Udah disorakin Vivi juga."
Sepertinya, kalau ada kejuaraan menghela napas, Biru akan menjadi pemenangnya.
Dan bukannya mendaratkan ciuman manis pada pipi Runalla, Biru justru menusuk pipi tembam istrinya itu menggunakan jari telunjuk sembari mematikan kompor. Pelukan Runalla otomatis melonggar ketika tiba-tiba Biru mengatakan, "Yaudah, besok simulasi punya anak dulu aja kalau gitu."
"Serius, Mas? Simulasi kayak gimana?!"
Telinga Biru akan berdarah kalau Runalla terus memekik. Biru melangkah menjauh, meletakkan panci berisikan bubur baru matang itu di atas meja. "Ya, pokoknya simulasi. Tunggu aja besok."
Senyum Runalla kian mengembang sampai ia terlihat begitu menggemaskan. Runalla buru-buru berlari mendekati Vivi, berjongkok, lalu mendekapnya seerat mungkin guna membagi perasaan senangnya.
Biru kelewat terkejut melihat adegan itu. Apalagi, ketika Vivi langsung menurut begitu Runalla memanggilnya untuk ikut pergi dari dapur.
"Runa, mau ke mana?" tanya Biru kebingungan kala bersiap duduk di kursi. Runalla menoleh dengan senyum selebar jalan raya. "Mau ngajak Vivi jalan, Mas."
"Kamu nggak nemenin aku makan?"
"Memang pengen ditemenin? Biasanya nggak suka kalau aku lihatin pas Mas lagi makan."
Biru tertegun selama beberapa detik sampai wajahnya memerah karena gengsi. Biru mengalihkan pandang lalu menyahut, "Yaudah, kalo gitu jangan dilihatin pas lagi makan dong, Runa."
"Abisnya suamiku ganteng." Runalla terkekeh gemas sembari melangkah mendekati meja makan. Pun juga, mengajak Vivi untuk duduk di samping kursi. Runalla mengusap lembut puncak kepala Vivi yang selembut kapas tanpa mengalihkan pandang dari Biru yang bersiap menyantap bubur buatannya.
"Nggak usah gombal gitu," tegur Biru. Jengah. "Aku nggak suka digombalin."
"Tapi aku suka gombalin Mas. Gimana?"
Vivi menggonggong lagi.
Biru selalu pergi pagi lalu pulang sore karena harus bekerja-dan ia jadi kurang menyadari kalau istrinya itu sudah sedekat itu dengan Vivi. Padahal baru lima bulan lebih berlalu. Biru jadi takut.
"Kamu udah nggak ngambek?" tanya Biru gengsi sembari mengaduk-aduk buburnya. Enggan menatap Runalla. Runalla, perempuan yang sedari tadi tak berhenti mengembangkan senyum itu, mengangguk. "Iya, udah nggak ngambek ke Mas."
"Hmm, yaudah."
***
11 September 2019
["Ru, maaf banget, Kakak jadi ngerepotin kamu.."]
"Nggak masalah, aku nggak keberatan bantuin Kakak. Aku tutup dulu teleponnya, ya?"
Setelah mengakhiri sambungan telepon, Biru melirik ke arah Issy, keponakannya, yang setengah jam lalu ia jemput dari tempat penitipan anak. Nama aslinya Clarissa-hanya saja sering dipanggil begitu oleh keluarga.
"Issy, nanti main di rumah sama istrinya Om, mau, nggak?" tanyanya lembut dan selambat mungkin. Setidaknya, agar Issy mau bicara padanya. "Istrinya Om namanya Tante Runa. Baik, suka sama Issy juga."
Issy menoleh, menatap Biru agak lama dengan sorot kebingungan seolah tidak mencerna satu pun kalimat yang diajukan oleh sang paman. Biru mengulangi pertanyaannya lagi.
Semenit kemudian, Issy, perempuan mungil berusia tujuh tahun yang mengenakan seragam sekolah berwarna biru itu, mengangguk pelan tanpa ekspresi. Biru tersenyum sembari mengusap kepala keponakannya itu.
[ 17.33
BiruRuna, bentar lagi aku sampai rumahSiap-siap, yaWelcomesel
Aku perlu siap-siap apa, Mas?Kondom?Biru
Gausah, buat apa?Welcomesel
IH MAS KAYA SERIGALA DEHGANAS BANGETKAYANYA ABISGINI AKU LANGSUNG TEKDUNG DEH MAS :(Biru
Mikirin apaan sih kamu -_________,- ]Sesampainya di rumah, Biru menggendong Issy turun dari mobil lalu masuk ke rumah. Di dalam, Runalla sudah berdiri ceria dan Vivi juga menggonggong semangat seperti biasa. Issy meringkuk pada bahu Biru, terganggu oleh gonggongan Vivi.
Senyum Runalla mendadak memudar, tapi tetap, ia berusaha bertahan untuk tak terlihat kecewa.
"Anak siapa, Mas?" tanya Runalla pelan. "Kita nggak jadi--"
"Anaknya Kakakku." Biru memotong cepat tanpa ekspresi. Selain itu, ia juga langsung meminta Vivi untuk diam. "Mulai hari ini, Issy nginap di sini sampai minggu depan. Paling lambat, pertengahan November dia baru bisa balik."
"Issy, mau main sama anjingnya Om?"
Iris Runalla mengekor ke arah Issy, yang kini turun dan berjalan menghampiri Vivi. Vivi otomatis menjilat wajahnya berulang kali namun Issy justru tertawa ceria. Dia melangkah masuk, tanpa mengucapkan salam apapun pada Runalla.
Biru jelas melihat ekspresi terkejut, kecewa, dan juga kesal pada wajah Runalla. Kening Runalla berkerut dalam, ia menatap Biru lekat seolah menginginkan penjelasan. Biru pikir, Runalla akan langsung mengomel panjang lebar. Namun ia salah besar. Runalla malah bertanya, "Mas, Mbak Mutia punya anak?"
Biru menganggukkan kepala pelan sembari melirik ke arah Issy yang kini duduk di atas sofa bersama Vivi. Memainkan bulu putihnya yang lebat dan empuk.
"Iya, namanya Issy--"
"Kok aku nggak tahu? Pas nikahan kita, Mbak Mutia sama Mas Rey nggak bawa Issy? Maaf aku banyak tanya, Mas, aku agak kesal soalnya kamu nggak cerita apapun ke aku."
"Bukannya nggak mau ngasih tahu, Runalla. Kakakku emang baru bilang kemarin malam ke aku dan Kak Rey memang nggak mau Issy ketemu orang-orang."
Runalla melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa nggak mau? Kan anaknya? Harusnya bangga, dong? Issy juga gemesin."
Raut wajah Biru mendadak berubah. Runalla langsung bungkam, memikirkan apakah barusan ia mengatakan hal yang salah. Biru kemudian mengatakan sesuatu yang membuat kedua kakinya lemas.
"Runa."
"Apa, Mas?"
"Kamu jangan marah-marah ke Issy, ya," Biru memberi jeda sejenak. Menatap Runalla penuh harap. "Issy punya ADHD inatensi, nggak bisa kamu kerasin. Issy juga gagap kalau ngomong sama orang ... itu alasan Kak Rey nggak mau Issy ketemu orang-orang. Dia malu, punya anak dengan gangguan psikologis, yang hampir masuk ke sekolah luar biasa."
Runalla tidak masalah apabila diharuskan merawat Issy, karena ia juga tidak tega pada perempuan sekecil itu, yang sudah mendapatkan perilaku tidak pantas dari seorang ayah. Runalla hanya menerka-nerka; apakah Biru akan kecewa apabila ia melahirkan anak dengan kondisi kurang normal, sampai-sampai ia menunjukkan pada Runalla bagaimana sulitnya mengurus anak? Sampai bercerita kenapa Rey malu?
"Kalau gitu, aku mandi dulu."
Runalla tidak bisa bergerak ketika menatap punggung lebar Biru yang kian menjauh.
Runalla harus berhenti bagaimana pun caranya.
--
Menurut DSM V, ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder) dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Inatensi, ada 10 gejala untuk memenuhi:
- memiliki 6 atau lebih gejala dan terjadi sekurang-kurangnya 6 bulan- bukan disebabkan oleh perilaku menyimpang atau disengaja- untuk dewasa, didiagnosis dengan 5 ciri sedangkan anak 6 ciri, yaitu:A. Sering gagal untuk fokus, ceroboh, gagal dalam satu hal, sulit fokus, hanya mau melakukan aktivitas yang diinginkan, sering ditemui saat aktivitas di sekolah (Ini merupakan salah satu ciri yang paling penting).B. Kesulitan mengikuti aturan dan diskusi bahkan dalam permainanC. Sering terlihat tidak mendengarkan saat melakukan komunikasi verbalD. Sering gagal mengikuti tugas-tugas sekolah, misalkan: tidak mengerjakan PRE. Sangat disorganized, tidak tersusunF. Menghindari tugas-tugas yang menggunakan usaha mental, misalkan: membuat makalahG. Sering lupa atau menghilangkan benda-benda penting untuk tugas atau tugasH. Sering frustrasi pada stimulus-stimulus dari luarI. Sering lupa dalam kehidupan sehari-hari.2. Hyperactive dan Impulsive (8 gejala ini muncul di bawah umur 2 tahun dan muncul di 2 setting tempat: rumah dan sekolah)
A. Gelisah, susah diam di tempat umum yang tidak tepatB. Sering berlari dan memanjat di situasi yang tidak tepat (Ini salah satu ciri paling penting)C. Tidak bisa bermain atau menikmati permainan di situasi yang tenangD. Tidak bisa diamE. Sering bicara berlebihanF. Sering sulit untuk antri dan menunggu giliranG. Sering menginterupsi dan memotong pembicaraan orang lainH. Susah antri atau menunggu gilirannya*sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan akademik
*bukan disebabkan oleh kecemasan, skizofrenia, dsb*bila 1 dan 2 memenuhi, bisa jadi merupakan ADHD combine*kalau yang dominan hanya 1 A, berarti dia ADHD inatensi*kalau hyperactive-impulsive berarti no 2 B yang dominanEtiologinya:
1. Faktor genetisAnomali genetika yang berpengaruh pada perkembangan otak2. Peran masa kehamilan, kelahiran, dan perkembangan di masa awal anak-anak
Ibu yang merokok dan minum selama masa kehamilan atau proses kelahirannya sulit3. Faktor neurobiologis
Abnormalitas di bagian lobus frontal pada otak4. Faktor keluarga
Marital problem, disfungsional keluargaUntuk memastikan ADHD ini, biasanya anak yang sudah kelihatan gejalanya di usia 2-5 tahun dibawa ke psikolog anak. Psikolog anak akan melakukan observasi, wawancara pada orang tua (ditanya riwayat kesehatan selama mengandung, kesehatan anak, dan sebagainya). Nanti orang tua juga bakal diminta untuk isi kuesioner sebagai penguat data. Kemudian nanti bisa diintervensi. ADHD ini tidak bisa disembuhkan, hanya bisa diredakan saja dengan terapi-terapi yang sudah ditentukan serta mengkonsumsi obat-obatan.
17 Februari 2019 Biru melangkahkan kakinya masuk ke sebuah ruangan yang tampak begitu asing. Setelah tiga puluh tahun hidup, baru pertama kali ia mengetahui bagaimana rasanya ketika akan menemui seorang psikolog di rumah sakit. Biru sudah mengisi data diri serta pembayaran yang cukup mahal. Tak apa, demi kesembuhannya. "Pak Biru?" "Iya." Biru menggenggam sabuk yang melingkar kelewat erat sampai pinggangnya terasa sakit. Biru duduk, tidak bisa menatap seorang lelaki yang tampak ramah dan siap mendengarkan. Biru beruntung, menemukan seorang psikolog humanistik yang bisa menerima klien apa adanya. "Salam kenal, s
24 Februari 2019 Pertemuan minggu lalu yang berlangsung satu jam, kembali dilanjutkan minggu ini. Ersa masih belum mengupas tuntas permasalahan dalam diri Biru. Belum juga mengetahui akar permasalahan, karena minggu lalu Biru begitu meledak-ledak ketika membicarakan pernikahannya mendatang. "Pak, boleh ceritakan masa kecilnya?" tanyanya kala mereka kembali duduk berhadapan. "Masa kecil saya nggak terlalu menyenangkan.." Biru melipat kedua tangan di depan dada. Kepalanya mendongak ke atas. Dia memandang langit-langit dengan pandangan kosong—berusaha menerima semua rasa sakit dari masa lalu ketika mengingatnya. Menggali kembali luka lama adalah sesuatu yang tidak
24 Februari 2019 "Kalau boleh tahu, apa yang Pak Biru rasain setelah cutting? Dan kenapa cutting-nya di bagian dada?" Biru tampak ragu-ragu untuk memberikan jawaban sebab takut dihakimi. Orang tuanya saja selalu menghakimi, apalagi orang lain, kan? Biru menunduk, memperhatikan kuku ibu jarinya yang kini tengah menggoreskan luka pada pergelangan tangan kiri berulang kali hingga berdarah. Menyadari itu, Ersa pun mengatakan, "Nggak papa, Pak. Saya nggak akan menghakimi." Biru gemetar ketika perlahan dia memberanikan diri mengangkat kepala. "Nggak banyak pria seumuran saya datang kemari. Saya malu," ujarnya tidak percaya diri. "Masalah saya juga masalah sepele, tapi saya lebay.."
trigger warning: harsh words+abuse *** 6 Februari 2019 "Kamu nikah aja sama anak temannya Ayah. Kamu sampai kapan mau melajang? Nunggu Ayah dan Bunda meninggal dulu baru mau nikah?" Suara orang tuanya menggema mengitari kepala. Kemarin malam, ia dicerca tanpa ampun oleh Ayah dan Bunda perihal pernikahan. Biru tidak ingin menikah—lebih baik hidup sendirian. Hidup sendirian lebih bahagia; tidak akan ada yang menghina, mencela, menghakimi, atau mengomentari segala tindakannya.
24 Februari 2019 "Jujur, saya kurang tahu gimana masa lalu Ayah. Ayah orangnya tertutup dan ke Bunda pun juga jarang ngobrol. Mereka dipaksa menikah disaat Bunda juga masih berusia sembilan belas tahun, sedangkan Ayah dua puluh dua tahun," Biru tampak berusaha mengingat kembali agar menjawab pertanyaan dari Ersa dengan benar. "Saya tahu ini dari saudara Ayah. Ayah itu tiga bersaudara, anak sulung, adik-adiknya perempuan semua. Nenek dan Kakek orang yang keras. Saya ... saya sempat dengar, Ayah dulu pernah diusir dari rumah karena nggak mau sekolah." "Diusir sama Kakek-Nenek?" "Iya," jawabnya sambil menganggukkan kepala. Dada Biru terasa sesak membayangkan kejadian di mana Ayahnya diperlakukan buruk. "Saya s
«warning» *** 24 Februari 2019 "Menurut saya, urusan dengan diri Pak Biru ini harus segera diselesaikan agar lingkaran yang sama nggak terulang lagi dikehidupan keluarga Pak Biru yang baru. Sebentar lagi, Bapak juga akan menikah, kan?" Biru diam cukup lama. Biru bisa membayangkan dengan jelas bagaimana kehidupan keluarga barunya nanti setelah menikah. Akan hancur—perceraian tahun depan atau Biru akan ditinggalkan karena tidak bisa berperan sebagai seorang suami. Namun, Biru masih takut. Masih belum berani maju menghad
a/n: runa's pov. *** 26 April 2019 Aku selalu menginginkan calon suami yang mirip dengan sosok Papa. Tinggi, berwibawa, lembut, menyayangi pasangan, suka anak kecil, dan murah hati. Papa memang bukan sosok yang romantis, tapi sisi jenakanya itu selalu berhasil menghibur keluarga. "Iya kali nyamuk ga terbang. Kalo ga terbang, bisa-bisa populasinya musnah gegara gampang ditepokin." Aku juga masih ingat saat dulu berada di semester akhir. Aku menangis tersedu-sedu karena revisi skripsi yang tak kunjung selesai padahal sudah mendekati waktu sidang. Tapi, herannya Papa malah berceletuk dengan begitu santai saat melihatku menangis.
I ask myself again,"Am I a bad person orAm I just in pain?"- Unknown. *** Sejak awal, Biru mengatakan pada Runalla untuk tidak memberitahu pada publik kalau mereka menikah. Selain keluarga dan sahabat terdekat, tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berstatus sebagai suami-istri. Runalla setuju dan benar-benar menjaga rahasia itu dari publik. Semua orang beranggapan kalau Runalla masih single. Runalla tak masalah dengan itu. Dia justru mengatakan, "Tinggal nunggu diciduk doseparch kaya idol-idol Korea terus nanti pada heboh soalnya kita nikah." Biru juga memblokir nanogram Runalla agar perempuan itu tidak dapat memantau atau mengikuti akunnya. Biru pemalu, tidak ingin istrinya melihat apa yang dia unggah. Runalla tah