20 Juni 2019
Kenapa, ya, kalau di film romantis, kisah perjodohan antara dua orang asing tampak dan terasa begitu mendebarkan? Yang awalnya tidak saling mengenal, justru menjadi sedekat nadi yang tidak bisa terpisahkan sampai maut menjemput.
Tapi, kenapa di versi kehidupan nyata milik Runalla Edrea, kisahnya begitu tragis nan menyedihkan? Sama sekali tidak ada interaksi berarti, tidur bersama pun dibatasi oleh guling, dan suaminya itu sama sekali tidak peka-bahkan, Runalla sempat mengira kalau ia terikat dengan lelaki impoten atau memiliki gangguan seksual.
"Mas, kamu yang benar aja," pagi-pagi sekali, Runalla sudah merengek meraung-raung karena ulah lelaki yang memiliki wajah sedatar jalan tol. "Mas, aku mau punya anak!"
"Ngebet banget, sih?"
'Biar kamu bisa perhatian, lah, Mas.'
"Mas, kita sudah nikah tiga bulan dan kamu belum nyentuh aku sama sekali. Kamu seharusnya beruntung, karena dapetin perempuan secantik dan sebaik aku. Banyak cowok di luar sana yang mau diagresifin sama istrinya tapi nggak kesampaian. Mas, pokoknya aku pengen punya anak! Malam ini cihuy-cihuy sama aku, ya?"
Hal paling menyebalkan dalam hidup Runalla adalah terjebak dalam pernikahan dengan seorang lelaki bernama Biru Ayres Pancarona. Biasanya dipanggil Biru. Sangat suka anjing, lebih dari apapun. Makannya, sifatnya sebelas-dua belas dengan anjingnya.
Namanya warna-warni bagai es krim, tapi hari-harinya sama sekali tidak berwarna.
"Pakai bahasa yang benar, Runa. Nggak lulus sekolah dasar?" pertanyaan Biru sukses membuat Runalla tertohok. Cemberut, Runalla mengamati suaminya itu dengan kedua alis bertaut geram. "Yaudah, senggama sama aku nanti malam."
Biru memutar kedua bola matanya sembari menghela napas lelah. Biru mengambil tas ransel yang sejak tadi menganggur, bersiap berangkat ke kampus guna mengajar kelas pertama yang satu jam lagi akan dimulai.
Runalla tahu betul apa yang akan Biru sampaikan.
"Jangan lupa kasih makan Vivi." tuh, kan.
"Senggamanya gimana?"
"Susunya Vivi udah mau abis. Nanti kamu bisa ke pet shop, ya, uang bakal aku transfer." Biru sama sekali tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang Runalla sampaikan. Biru malah asik menggendong dan mendekap hewan yang tampak seperti gumpalan kapas besar yang begitu lembut ketika disentuh. Untuk pertama kalinya, Runalla begitu iri pada seekor hewan hanya karena mendapatkan ciuman bertubi-tubi dari Biru.
"Ayah berangkat," Biru berdialog dengan Vivi-yang padahal hanya bisa menyahut menggunakan tatapan mata, juluran lidah, serta napas tak beraturan. "Jaga rumah, ya."
"Mas," Runalla menarik ujung kemeja Biru. Memasang ekspresi super duper melas sembari menunjuk kening lebarnya. "Keningku nggak dicium? Biasanya suami cium kening istri sebelum berangkat kerja. Lah, ini malah cium anjing."
Biru berdecak. "Udah, nggak usah aneh-aneh. Jangan lupa kasih makan Vivi terus ajak dia jalan-jalan pas sore. Aku berangkat."
Sesudah Runalla mengantar Biru keluar dan suaminya itu berangkat menggunakan mobil seperti biasa, Runalla menoleh ke arah Vivi yang duduk manis di teras dengan ekor yang mengibas semangat berulang kali. Lidahnya menjulur keluar seakan mengejek Runalla, padahal nyatanya tidak.
Tak lama, ponsel perempuan itu berdering--menandakan ada pesan masuk dari salah satu aplikasi. Runalla menggigit bibir bawah sebelum memberanikan diri membaca. Runalla kesepian; tak ada yang mau mengerti posisinya sebagai seorang istri yang tiap kali bertemu keluarga selalu ditanya mengenai: "Kapan hamil?", "Udah keisi belum?", "Udah agak lama loh nikahnya. Masa belum hamil?", "Kamu rajin ngasih suamimu jatah, nggak?"
Selalu Runalla yang ditanya. Biru? Jangan harap suaminya itu mau membantu.
Runalla sebenarnya juga tahu bahwa dia salah ... tapi, mau bagaimana lagi?
Dan sayang, dia belum mengerti apa yang sudah dilalui Biru hingga menjadi seperti ini.
--
10 September 2019 Biru menghela napas super panjang ketika melangkah masuk ke dalam rumah. Sudah lebih dari empat hari tumpukan paket dari kurir menganggur di samping rak sepatu. Ditambah lagi, seminggu terakhir ini, Vivi tak menyambutnya ketika pulang ke rumah. Padahal biasanya kalau mendengar suara mobil Biru, Vivi sudah menggonggong serta melompat-lompat kegirangan. Kemudian, sebuah teriakan seorang lelaki serta suara sepeda motor yang mesinnya dimatikan terdengar jelas dari luar rumah. "PAKEETTT!" Tidak sampai sedetik, Runalla dan Vivi langsung berlari keluar dari kamar dengan begitu antusias. Wajah Runalla dipenuhi oleh sumringah kebahagiaan serta gonggongan semangat dari Vivi.
17 Februari 2019 Biru melangkahkan kakinya masuk ke sebuah ruangan yang tampak begitu asing. Setelah tiga puluh tahun hidup, baru pertama kali ia mengetahui bagaimana rasanya ketika akan menemui seorang psikolog di rumah sakit. Biru sudah mengisi data diri serta pembayaran yang cukup mahal. Tak apa, demi kesembuhannya. "Pak Biru?" "Iya." Biru menggenggam sabuk yang melingkar kelewat erat sampai pinggangnya terasa sakit. Biru duduk, tidak bisa menatap seorang lelaki yang tampak ramah dan siap mendengarkan. Biru beruntung, menemukan seorang psikolog humanistik yang bisa menerima klien apa adanya. "Salam kenal, s
24 Februari 2019 Pertemuan minggu lalu yang berlangsung satu jam, kembali dilanjutkan minggu ini. Ersa masih belum mengupas tuntas permasalahan dalam diri Biru. Belum juga mengetahui akar permasalahan, karena minggu lalu Biru begitu meledak-ledak ketika membicarakan pernikahannya mendatang. "Pak, boleh ceritakan masa kecilnya?" tanyanya kala mereka kembali duduk berhadapan. "Masa kecil saya nggak terlalu menyenangkan.." Biru melipat kedua tangan di depan dada. Kepalanya mendongak ke atas. Dia memandang langit-langit dengan pandangan kosong—berusaha menerima semua rasa sakit dari masa lalu ketika mengingatnya. Menggali kembali luka lama adalah sesuatu yang tidak
24 Februari 2019 "Kalau boleh tahu, apa yang Pak Biru rasain setelah cutting? Dan kenapa cutting-nya di bagian dada?" Biru tampak ragu-ragu untuk memberikan jawaban sebab takut dihakimi. Orang tuanya saja selalu menghakimi, apalagi orang lain, kan? Biru menunduk, memperhatikan kuku ibu jarinya yang kini tengah menggoreskan luka pada pergelangan tangan kiri berulang kali hingga berdarah. Menyadari itu, Ersa pun mengatakan, "Nggak papa, Pak. Saya nggak akan menghakimi." Biru gemetar ketika perlahan dia memberanikan diri mengangkat kepala. "Nggak banyak pria seumuran saya datang kemari. Saya malu," ujarnya tidak percaya diri. "Masalah saya juga masalah sepele, tapi saya lebay.."
trigger warning: harsh words+abuse *** 6 Februari 2019 "Kamu nikah aja sama anak temannya Ayah. Kamu sampai kapan mau melajang? Nunggu Ayah dan Bunda meninggal dulu baru mau nikah?" Suara orang tuanya menggema mengitari kepala. Kemarin malam, ia dicerca tanpa ampun oleh Ayah dan Bunda perihal pernikahan. Biru tidak ingin menikah—lebih baik hidup sendirian. Hidup sendirian lebih bahagia; tidak akan ada yang menghina, mencela, menghakimi, atau mengomentari segala tindakannya.
24 Februari 2019 "Jujur, saya kurang tahu gimana masa lalu Ayah. Ayah orangnya tertutup dan ke Bunda pun juga jarang ngobrol. Mereka dipaksa menikah disaat Bunda juga masih berusia sembilan belas tahun, sedangkan Ayah dua puluh dua tahun," Biru tampak berusaha mengingat kembali agar menjawab pertanyaan dari Ersa dengan benar. "Saya tahu ini dari saudara Ayah. Ayah itu tiga bersaudara, anak sulung, adik-adiknya perempuan semua. Nenek dan Kakek orang yang keras. Saya ... saya sempat dengar, Ayah dulu pernah diusir dari rumah karena nggak mau sekolah." "Diusir sama Kakek-Nenek?" "Iya," jawabnya sambil menganggukkan kepala. Dada Biru terasa sesak membayangkan kejadian di mana Ayahnya diperlakukan buruk. "Saya s
«warning» *** 24 Februari 2019 "Menurut saya, urusan dengan diri Pak Biru ini harus segera diselesaikan agar lingkaran yang sama nggak terulang lagi dikehidupan keluarga Pak Biru yang baru. Sebentar lagi, Bapak juga akan menikah, kan?" Biru diam cukup lama. Biru bisa membayangkan dengan jelas bagaimana kehidupan keluarga barunya nanti setelah menikah. Akan hancur—perceraian tahun depan atau Biru akan ditinggalkan karena tidak bisa berperan sebagai seorang suami. Namun, Biru masih takut. Masih belum berani maju menghad
a/n: runa's pov. *** 26 April 2019 Aku selalu menginginkan calon suami yang mirip dengan sosok Papa. Tinggi, berwibawa, lembut, menyayangi pasangan, suka anak kecil, dan murah hati. Papa memang bukan sosok yang romantis, tapi sisi jenakanya itu selalu berhasil menghibur keluarga. "Iya kali nyamuk ga terbang. Kalo ga terbang, bisa-bisa populasinya musnah gegara gampang ditepokin." Aku juga masih ingat saat dulu berada di semester akhir. Aku menangis tersedu-sedu karena revisi skripsi yang tak kunjung selesai padahal sudah mendekati waktu sidang. Tapi, herannya Papa malah berceletuk dengan begitu santai saat melihatku menangis.