17 Februari 2019
Biru melangkahkan kakinya masuk ke sebuah ruangan yang tampak begitu asing. Setelah tiga puluh tahun hidup, baru pertama kali ia mengetahui bagaimana rasanya ketika akan menemui seorang psikolog di rumah sakit. Biru sudah mengisi data diri serta pembayaran yang cukup mahal.
Tak apa, demi kesembuhannya.
"Pak Biru?"
"Iya."
Biru menggenggam sabuk yang melingkar kelewat erat sampai pinggangnya terasa sakit. Biru duduk, tidak bisa menatap seorang lelaki yang tampak ramah dan siap mendengarkan. Biru beruntung, menemukan seorang psikolog humanistik yang bisa menerima klien apa adanya.
"Salam kenal, saya Ersa." Ersa mengulurkan tangan dan Biru menyambutnya penuh keraguan. Tidak percaya diri dan dipenuhi tekanan, begitu yang Ersa tangkap ketika melihat gurat wajah serta gerik tubuh Biru.
"Iya."
"Saya sudah baca keluhan yang Bapak alami selama.."
Kedua alis Ersa terangkat saat Biru memotong dengan sedikit gelagapan. Biru tidak bisa menatap tepat di mata, ada ledakan emosi yang tidak bisa disampaikan, dan irisnya mulai berkaca-kaca.
"Sebentar lagi saya akan menikah tapi saya punya masalah dengan diri saya sendiri. Saya ... saya takut."
"'Takut'? 'Takut' karena urusan dengan diri sendiri?"
Biru mengepalkan kedua tangan kuat, ingin mengungkapkan tapi ada sesuatu yang menahan. Ingin bercerita tapi takut dicerca sebagaimana keluarga memperlakukannya. Biru akhirnya hanya bisa menjawab, "Saya takut nggak bisa."
"'Nggak bisa' gimana?"
"Nggak bisa membahagiakan dia dan jadi suami yang baik.." Biru menarik napas panjang dan menguatkan genggaman pada sabuknya. Tidak ingin benda itu hilang. "Saya bukan lelaki yang sehat secara fisik maupun mental,"
Ersa diam, membiarkan Biru melanjutkan.
"Dia cantik," suaranya mengecil dan nadanya mulai tak stabil. Biru berdeham, mencoba bergelut dengan emosinya yang berusaha ia pendam. Kemudian, lelaki itu mendongakkan kepala perlahan dan memberanikan diri menatap Ersa.
"Dia cantik sekali. Calon istri saya cantik dan baik-saya bisa merasakan itu walau kami baru bertemu sekali, minggu lalu, dan kami dijodohkan. Tiga bulan lagi kami akan menikah," Biru memberi jeda sejenak guna mengais udara sebanyak mungkin. "Saya takut itu memudar karena saya. Saya nggak tega kalau perempuan secantik itu terperangkap sama orang seperti saya. Saya juga yakin dia nggak akan menerima saya."
Kini Ersa bersuara setelah mengamati dan mendengarkan Biru yang sepertinya kesulitan untuk melanjutkan. "Memangnya apa yang membuat Pak Biru sampai merasa segininya? Saya boleh tahu?"
"Saya ... saya nggak bisa menunjukkan alat kelamin saya. Bagaimana saya bisa melakukan hubungan intim kalau membuka celana saja sulitnya setengah mati? Saya takut dituntut untuk berperan menjadi seorang suami," Biru kembali berdeham beberapa kali guna menstabilkan nada bicaranya. "Semakin saya dituntut, semakin saya tertekan dan menjauh. Saya takut dia menuntut berlebihan dan saya akan menjadi seseorang yang jahat. Saya takut."
***
14 September 2019
"Runa, kamu dari kemarin kenapa diemin aku?"
Biru mengusap tenguk ketika mengamati Runalla yang sok sibuk menata barang-barang di dapur. Padahal sudah rapi karena ada asisten rumah tangga yang datang dan pulang setiap hari. Canggung. Biru bisa merasakan kalau Runalla tengah memusuhinya.
"Runalla,"
Perempuan itu menoleh dan menatap dengan sorot yang sangat sulit diartikan oleh Biru. Biru menangkap adanya amarah serta kekecewaan yang berusaha dipendam. Penuh keraguan, Biru menyentuh pundak Runalla.
"Kamu marah?" Biru menebak dengan nada hati-hati. Runalla otomatis menoleh. Perempuan itu menatap Biru dengan kedua alis yang bertaut jelas.
"Kenapa? Gak boleh?"
Runalla hanya galak padanya. Itu yang membuat Biru bingung. Runalla sangat suka pada Issy, mengajak anak kakaknya itu mengobrol, tapi saat Biru datang, ia langsung kabur. Runalla juga masih baik pada Vivi-ya, hanya dirinya yang dimusuhi.
"Ya, nggak boleh," Biru menyahut pelan, nyaris seperti bisikan, karena berusaha menekan gengsi. "Aku nggak tahu kenapa kamu marah. Kenapa, sih?"
"Aku nggak sukanya gara-gara kamu, Mas."
"Hah?"
Runalla langsung marah-marah detik itu. Nadanya ditahan agar Issy yang tengah bermain di ruang tamu tak mendengar.
"Kamu nggak pernah cerita ke aku kalau Kakak kamu sudah punya anak. Aku baru tahu sekarang," Runalla memberi jeda sejenak guna mengais udara. "Kamu kenapa tertutup banget? Aku kesulitan, Mas. Nggak bisa kalau setiap saat cuma komunikasi satu arah. Kamu pikir pernikahan itu cuma sebatas interview?"
"Runalla."
"Kamu sengaja ya bikin aku kayak gini? Biar aku ngejauh dari kamu, karena kamu risih pas aku dekat-dekat?" jantung Runalla nyaris meledak karena menahan agar volume suaranya tetap kecil. Wajahnya kian memerah seiring berjalannya waktu.
Biru menggeleng. Ekspresi kalut serta putus asa tampak pada wajahnya. "Enggak gitu, Runa. Kamu dengarkan aku dulu."
"Kamu takut aku melahirkan anak yang nggak normal? Kamu pengen aku tahu rasanya sulit ngurus anak, jadi kamu nggak perlu repot menolak lagi pas aku ngajakin, kan, Mas?"
Air mata Runalla meleleh dengan begitu deras. Perempuan itu berusaha agar tidak terisak saat masih ingin melanjutkan semua protesnya.
"Memang kenapa kalau misalnya Tuhan ngasih karunia anak yang kekurangan? Aku nggak masalah kalau kesulitan. Kamu sampai cerita kalau Kak Rey malu segala. Jahat tahu, nggak?!" tak sampai di sana, Runalla melanjutkan, "Kamu takut aku melahirkan anak yang kekurangan? Makannya kamu sengaja bersikap kayak gini ke aku? Kekurangan atau enggak, semua anak itu sama berharganya. Mas, kamu ... kamu jahat banget."
Biru jelas merasa tertampar.
Lelaki itu tidak menyangka kalau Runalla akan salah paham sampai segininya. Ada sebuah perasaan yang membuat dada Biru sesak. Dia menelan ludah susah payah.
Kemudian, untuk pertama kalinya Biru menarik Runalla mendekat.
"Maksudku nggak gitu," Biru menyahut pelan ketika Runalla ada dalam pelukannya. Dia menepuk punggung Runalla berulang kali. "Nanti aku jelasin. Jangan nangis, nanti Issy dengar. Udah, ya."
Runalla balik memeluk Biru erat-erat. Perempuan itu menyedot ingus berulang kali saat menyembunyikan wajah pada bahu lebar sang suami. Kemudian, di tengah keadaan seperti ini, Runalla tiba-tiba berceletuk.
"Enak banget dipeluk sama kamu, Mas."
Biru menghela napas panjang. "Sempet-sempetnya ngomong gitu."
Runalla kian mengeratkan pelukannya. Mengambil kesempatan sebanyak mungkin untuk menghirup aroma tubuh, menikmati hangatnya bahu serta dada bidang itu, serta berjarak sedekat ini dengan suaminya.
"Mas."
"Hmm?"
"Janji nanti jelasin yang jujur."
Biru menganggukkan kepala pelan tanpa bersuara. Tapi, adegan romantis itu terpaksa berhenti akibat suara gonggongan Vivi yang duduk di dekat kaki Biru.
Mereka meregang jarak.
Sedetik kemudian, Biru hampir melompat dari tempatnya ketika melihat Issy berdiri tak jauh dari mereka. Issy menggenggam boneka barbie favoritnya sambil menatap pasutri itu lekat sekali.
Issy sudah berdiri di sana cukup lama. Hampir sepuluh menit-dari awal Biru dan Runalla saling mendekap satu sama lain.
"Issy, kok di sini? Mau di temenin main?" Biru menawarkan sembari mendorong tubuh Runalla yang menempel layaknya lem perekat. "Ayo, Om temenin main."
Runalla cemberut. "Aku juga mau ditemenin main."
"Kamu bukan anak kecil."
Timbul sebuah perasaan yang meledak-ledak dalam diri perempuan mungil berusia tujuh tahun itu. Issy mengeratkan genggaman pada mainannya tanpa mengalihkan pandang barang sedetik.
Issy tidak pernah melihat orang tuanya seperti itu. Berbeda sekali. Kalaupun Issy muncul, pasti langsung dimaki-maki dengan begitu kasarnya oleh Rey. Issy bingung. Kok ndak bertengkar? Issy mempertanyakan itu. Kok aku ndak dimarahin?
"Besok Kak Mutia ke sini. Tapi kalau misalnya tiba-tiba batal, kamu bisa tolong antar Issy ke rumah sakit? Nanti Kak Mutia nyusul ke sana."
"Eh?"
"Buat kontrol ke psikolog anak."
Pembicaraan itu telah selesai. Biru menggendong Issy dan mengajak anak kakaknya itu bermain.
Runa sendirian. Dia berjongkok, mengelus Vivi yang bulunya terasa begitu halus-gumpalan kapas berjalan itu tampak menggemaskan.
"Mau jalan nggak?"
Gonggongan dari Vivi jelas menjadi pertanda bahwa jawabannya adalah 'ya'.
***
21.05
Biru mengusap kepala Issy. Bocah mungil yang rambutnya diikat dua itu tampak mengantuk kala duduk di sofa. Menonton tayangan televisi yang menampilkan acara perdebatan. Issy menggenggam jari telunjuk Biru erat.
"Issy, ngantuk? Mau tidur?" tanya Biru pelan-pelan sambil menatap Issy tepat di mata. Issy terdiam agak lama sebelum akhirnya mengangguk. "M-mau ditemenin." jawabnya terputus-putus.
"Mau ditemenin tidur?"
Dijawab lagi menggunakan anggukan. Biru meng-iyakan, menemani anak Kakaknya itu masuk ke dalam kamar. Biru menarik selimut ketika Issy berbaring di atas ranjang dan menatap langit-langit dengan sorotnya yang kosong.
"Issy b-bingung," Issy tiba-tiba bersuara. "Issy sakit."
Biru jelas tidak menangkap maksud Issy. Lelaki itu mengangkat kedua alisnya, mengusap rambut Issy lagi.
"Sakit di bagian mana?"
Bukannya memberi penjelasan, Issy justru memutar posisi tubuh sehingga memunggungi Biru. Biru jelas penasaran serta kebinguntan karena digantung. Ingin bertanya tapi takut mengganggu. Akhirnya, Biru yanya memandangi punggung Issy lama-menunggunya tidur.
Issy sebenarnya ingin menyampaikan kalau air matanya tidak bisa keluar seperti biasanya. Issy masih kecil, masih bergelut dengan kekurangannya-pertempuran yang sengit. Issy kesulitan karena sejak dulu Rey selalu memarahinya tanpa alasan yang jelas.
Issy terbiasa menyembunyikan perasaannya. Ada tembok besar yang membendung semua emosi negatif itu. Ditambah lagi, Issy tidak terbiasa menyampaikan keinginannya karena takut dipukul dan dimaki. Issy kesulitan menghadapi lingkungan sekitarnya.
Issy bahkan masih bingung, karena tadi tidak dimarahi oleh Biru atau Runalla. Tidak dimaki tapi justru disayang. Issy merasa jika ada sesuatu yang salah karena tidak mendapatkan perlakuan yang kasar, sebagaimana Rey memperlakukannya.
Cklek.
"Mas, Issy bobok?" tanya Runalla dari ambang pintu. Nadanya kecil, hampir tidak terdengar. Biru memastikan sebentar sebelum menggeleng. "Belum."
"Oh, oke."
Biru yakin kalau Runalla pasti sudah tidak sabar mendengar penjelasan darinya. Biru mengusap punggung Issy berulang kali sampai Issy tertidur. Agak lama. Biru berdiri, mematikan lampu, dan berjalan keluar dari kamar.
Di ruang tamu, Runalla duduk memangku Vivi yang tengah tertidur. Terdengar dengkuran halus dari anjing-gumpalan awan itu.
"Aku lama?" Biru mendudukkan diri di samping Runalla lalu mengganti saluran televisi. Menampilkan acara debat yang begitu intens.
"Enggak, kok," jawab Runalla. Perempuan itu memeluk tangan Biru serta menyandarkan kepala pada pundaknya. "Mas, kamu bakal jadi Ayah yang baik--"
"Kamu mau dengar penjelasan dari aku, kan?" potongnya. Sengaja mengalihkan pembicaraan sehingga Runalla cemberut.
"Kak Rey itu malu kalau Issy ketemu orang-orang, seperti yang aku jelaskan sebelumnya. Dia nggak bisa menerima kondisi anaknya, menyalahkan Kakakku karena melahirkan Issy. Setiap pulang kerjanya marah, maki-maki, sama neriakin anak dan istri. Kamu bisa bayangin sendiri, dicekokin sama kalimat nyakitin setiap hari itu nggak baik buat kondisinya seseorang,"
"Issy awalnya nggak gagap, jadi gagap karena ada tekanan psikologis sehingga akhirnya dia punya stuttering itu sendiri. Issy nutup diri, nggak bisa menyampaikan apa yang dia mau karena takut dimarahin sebagaimana Rey memperlakukan dia," Biru melanjutkan, "Sekarang Kak Rey dan Kakakku sedang dalam proses mau cerai, selain itu, demi kesembuhannya Issy, psikolog nyaranin dia untuk tinggal di tempat yang lebih aman,"
Hening cukup lama.
Hanya ada suara perdebatan dari televisi yang memenuhi ruang tamu. Ada pula suara dengkuran halus dari Vivi.
Runalla mengeratkan pelukan pada lengan Biru. Ada rasa sesak karena bisa membayangkan betapa beratnya situasi Issy dan Mutia. Ada juga sesak karena rasa bersalah yang mulai muncul-menuduh Biru dengan segala pikiran jahatnya.
"Issy tinggal di sini dan aku cerita Kak Rey malu itu bukan karena aku ingin kamu merasakan susahnya punya anak kekurangan. Aku juga nggak masalah, kok, Runa. Semua anak itu sama berharganya, seperti yang kamu bilang," Biru bersuara lagi. Lelaki itu mengganti saluran televisi yang menayangkan film action. "Aku juga bukan ngelakuin ini supaya kamu menjauh, bukan juga karena aku risih. Aku ngelakuin ini pure buat bantuin Kakakku. Jangan salah paham lagi."
"Iya, aku nggak bakal salah paham lagi.." Runalla menganggukkan kepala pelan. Dia memandang layar televisi dengan tatapan menerawang. "Berarti kalau aku selalu dekat-dekat kayak gini, Mas nggak masalah?"
Biru menghela napas panjang, menyebabkan Runalla terkekeh pelan dengan iris yang berkaca-kaca.
"Hmm." Biru hanya bergumam pelan sebagai jawaban. Ambigu. Runalla kian mempersempit jarak. "Aku sayang sama Mas Biru. Mas sayang sama aku, nggak?"
"B aja."
Lagi-lagi Biru hanya menjawab dengan gumaman. Tanpa Runalla sadari, telinga suaminya itu sedikit memerah. Biru tidak terbiasa menerima afeksi seperti ini sejak kecil, bahkan dari orang tuanya pun tidak.
Biru mulai takut.
"Mas, aku boleh tanya?"
"Tanya aja."
"Mas Biru sendiri kenapa tertutup?" tanyanya hati-hati sembari mendongak. Menatap Biru dari samping sungguh merupakan pemandangan yang sempurna. Runalla mengamati bagaimana ekspresi Biru yang perlahan menggelap namun berusaha disembunyikan.
"Mas.."
"Aku memang gini, bukan tertutup," dustanya sembari menarik tangannya dari pelukan Runalla. "Kamu nggak perlu penasaran atau apa, karena aku memang gini."
Runalla jelas tahu kalau Biru berbohong. Hal itu bisa dilihat dari matanya. Runalla ingin mempercayai kalimat Biru tapi sulit. Akhirnya, malam itu berlalu seperti biasa. Mereka tidur di ranjang yang sama namun Biru memunggunginya.
'Kamu juga nggak bakal bisa terima kalaupun aku kasih tahu..'
Catatan: Ersa adalah lelaki.
24 Februari 2019 Pertemuan minggu lalu yang berlangsung satu jam, kembali dilanjutkan minggu ini. Ersa masih belum mengupas tuntas permasalahan dalam diri Biru. Belum juga mengetahui akar permasalahan, karena minggu lalu Biru begitu meledak-ledak ketika membicarakan pernikahannya mendatang. "Pak, boleh ceritakan masa kecilnya?" tanyanya kala mereka kembali duduk berhadapan. "Masa kecil saya nggak terlalu menyenangkan.." Biru melipat kedua tangan di depan dada. Kepalanya mendongak ke atas. Dia memandang langit-langit dengan pandangan kosong—berusaha menerima semua rasa sakit dari masa lalu ketika mengingatnya. Menggali kembali luka lama adalah sesuatu yang tidak
24 Februari 2019 "Kalau boleh tahu, apa yang Pak Biru rasain setelah cutting? Dan kenapa cutting-nya di bagian dada?" Biru tampak ragu-ragu untuk memberikan jawaban sebab takut dihakimi. Orang tuanya saja selalu menghakimi, apalagi orang lain, kan? Biru menunduk, memperhatikan kuku ibu jarinya yang kini tengah menggoreskan luka pada pergelangan tangan kiri berulang kali hingga berdarah. Menyadari itu, Ersa pun mengatakan, "Nggak papa, Pak. Saya nggak akan menghakimi." Biru gemetar ketika perlahan dia memberanikan diri mengangkat kepala. "Nggak banyak pria seumuran saya datang kemari. Saya malu," ujarnya tidak percaya diri. "Masalah saya juga masalah sepele, tapi saya lebay.."
trigger warning: harsh words+abuse *** 6 Februari 2019 "Kamu nikah aja sama anak temannya Ayah. Kamu sampai kapan mau melajang? Nunggu Ayah dan Bunda meninggal dulu baru mau nikah?" Suara orang tuanya menggema mengitari kepala. Kemarin malam, ia dicerca tanpa ampun oleh Ayah dan Bunda perihal pernikahan. Biru tidak ingin menikah—lebih baik hidup sendirian. Hidup sendirian lebih bahagia; tidak akan ada yang menghina, mencela, menghakimi, atau mengomentari segala tindakannya.
24 Februari 2019 "Jujur, saya kurang tahu gimana masa lalu Ayah. Ayah orangnya tertutup dan ke Bunda pun juga jarang ngobrol. Mereka dipaksa menikah disaat Bunda juga masih berusia sembilan belas tahun, sedangkan Ayah dua puluh dua tahun," Biru tampak berusaha mengingat kembali agar menjawab pertanyaan dari Ersa dengan benar. "Saya tahu ini dari saudara Ayah. Ayah itu tiga bersaudara, anak sulung, adik-adiknya perempuan semua. Nenek dan Kakek orang yang keras. Saya ... saya sempat dengar, Ayah dulu pernah diusir dari rumah karena nggak mau sekolah." "Diusir sama Kakek-Nenek?" "Iya," jawabnya sambil menganggukkan kepala. Dada Biru terasa sesak membayangkan kejadian di mana Ayahnya diperlakukan buruk. "Saya s
«warning» *** 24 Februari 2019 "Menurut saya, urusan dengan diri Pak Biru ini harus segera diselesaikan agar lingkaran yang sama nggak terulang lagi dikehidupan keluarga Pak Biru yang baru. Sebentar lagi, Bapak juga akan menikah, kan?" Biru diam cukup lama. Biru bisa membayangkan dengan jelas bagaimana kehidupan keluarga barunya nanti setelah menikah. Akan hancur—perceraian tahun depan atau Biru akan ditinggalkan karena tidak bisa berperan sebagai seorang suami. Namun, Biru masih takut. Masih belum berani maju menghad
a/n: runa's pov. *** 26 April 2019 Aku selalu menginginkan calon suami yang mirip dengan sosok Papa. Tinggi, berwibawa, lembut, menyayangi pasangan, suka anak kecil, dan murah hati. Papa memang bukan sosok yang romantis, tapi sisi jenakanya itu selalu berhasil menghibur keluarga. "Iya kali nyamuk ga terbang. Kalo ga terbang, bisa-bisa populasinya musnah gegara gampang ditepokin." Aku juga masih ingat saat dulu berada di semester akhir. Aku menangis tersedu-sedu karena revisi skripsi yang tak kunjung selesai padahal sudah mendekati waktu sidang. Tapi, herannya Papa malah berceletuk dengan begitu santai saat melihatku menangis.
I ask myself again,"Am I a bad person orAm I just in pain?"- Unknown. *** Sejak awal, Biru mengatakan pada Runalla untuk tidak memberitahu pada publik kalau mereka menikah. Selain keluarga dan sahabat terdekat, tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berstatus sebagai suami-istri. Runalla setuju dan benar-benar menjaga rahasia itu dari publik. Semua orang beranggapan kalau Runalla masih single. Runalla tak masalah dengan itu. Dia justru mengatakan, "Tinggal nunggu diciduk doseparch kaya idol-idol Korea terus nanti pada heboh soalnya kita nikah." Biru juga memblokir nanogram Runalla agar perempuan itu tidak dapat memantau atau mengikuti akunnya. Biru pemalu, tidak ingin istrinya melihat apa yang dia unggah. Runalla tah
"sometimes your heart needs more time to accept what your mind already knows."- ourmindfullife. *** 16 Mei 2019 Runalla tampak sangat mempesona dalam balutan gaun putih yang tak terlalu terbuka. Rambutnya diurai, ada mahkota bunga yang membuatnya kelihatan makin cantik. Senyum gugup, bahagia, bercampur penuh haru menghiasi bibir ketika bertukar pandang dengan Biru yang sejak tadi menunggu di altar. Biru tak berkedip barang sedetik. Lelaki itu sibuk mengagumi betapa cantiknya manusia yang tengah berdiri di hadapannya—yang akan menjadi sosok istri dalam hidup Biru. Kemudian, resepsi pernikahan itu di mulai. Biru mengucapkan sumpah, yang sukses membuat beberapa orang di sana menitikkan air mata. Mengingat s