«warning»
***
24 Februari 2019
"Menurut saya, urusan dengan diri Pak Biru ini harus segera diselesaikan agar lingkaran yang sama nggak terulang lagi dikehidupan keluarga Pak Biru yang baru. Sebentar lagi, Bapak juga akan menikah, kan?"
Biru diam cukup lama.
Biru bisa membayangkan dengan jelas bagaimana kehidupan keluarga barunya nanti setelah menikah. Akan hancur—perceraian tahun depan atau Biru akan ditinggalkan karena tidak bisa berperan sebagai seorang suami.
Namun, Biru masih takut. Masih belum berani maju menghadapi masalah yang selama ini membelenggunya dari lingkungan, masa depan, dan kenyataan. Biru merasa belum mampu untuk mengatasi masalah yang ada.
Biru ingin kabur, maka dari itu, dia melirik ke arah jam dinding yang ada di dalam ruangan. Waktu konselingnya telah habis dan malah terlewat sepuluh menit.
"Waktunya sudah habis," Biru berdeham sebentar sembari menunjuk jam dinding. "Saya ... saya juga ada janji. Maaf, mungkin lain kali aja."
Ersa menatap Biru setelah melihat jam dinding. Ersa menganggukkan kepala pelan walau dari gerak-gerik tubuh, ekspresi, dan nada bicara, dia tahu kalau Biru sengaja menghindar. Sangat sengaja.
"Kalau gitu, terima kasih karena hari ini Pak Biru mau meluangkan waktunya. Saya ingin memberi apresiasi karena Bapak sudah berani mengutarakan hal-hal yang menyakitkan. Me-recall memori itu sama sekali nggak mudah apalagi memori yang menyakitkan," Ersa menjabat tangan Biru. Mengulas senyum seolah tidak menyadari bahwa Biru ingin segera pergi. "Terima kasih, Pak."
"Sama-sama."
Biru membungkukkan sedikit badannya sebelum melangkah keluar dari ruangan. Biru menarik napas panjang, dadanya terasa berat karena hampir menghadapi suatu hal yang tidak dia inginkan.
Biru langsung pulang ke rumah karena hari ini memang hari Minggu. Di sana, Biru mendapati mobil tak asing yang terparkir di depan rumah. Jantung Biru berdetak kencang, amarahnya memuncak, dia enggan masuk ke rumah apabila Ayah tidak memanggil.
"Ayo, masuk. Kasih salam ke saudaramu yang baru balik dari Jerman."
Biru tidak bisa bernapas saat melihat sosok lelaki yang duduk di sofa, mengobrol dengan Bunda dan memangku Vivi yang tampak bersahabat. Mata Biru memanas. 'Brengsek, lo ngapain di sini? Lo ngapain?'
"Eh, Biru, ayo sapa sepupu kamu."
Lelaki yang paling Biru benci itu menoleh, menatap Biru tanpa rasa bersalah dan langsung mengulurkan tangannya.
"Gue dengar lo mau nikah. Gimana cewek lo?"
'Mati aja lo, bangsat.'
Detik itu, Biru dipaksa menghadapi ketakutan terbesarnya dan memutuskan untuk tidak kembali lagi ke rumah sakit untuk menemui Ersa. Biru tidak berani menceritakan apapun pada Ersa mengenai hal ini.
"Bukan urusan lo."
"Kok gitu? Masih ngambek lo? Gitu aja ngambek. Baperan lo."
Tangan Biru terkepal kuat. Ingin memukuli lelaki itu sampai terkapar tak berdaya atau bahkan mati.
***
18 September 2019
06.05
Saat bangun tidur, lengan kiri Biru terasa pegal bukan main karena semalam Runalla memaksa untuk dipeluk sampai pagi. Biru jelas menurut karena tidak ingin perasaan bersalahnya kian menjadi. Runalla langsung tidur tanpa mencuci wajah atau menggosok gigi. Lelap sekali.
Herannya, sekarang Runalla tengah menindih dan merebahkan kepalanya pada dada bidang Biru. 'Berat ... ' Biru menatap langit-langit kamar sembari berusaha mengatur napas. Dia menepuk-nepuk bahu Runalla, meminta perempuan itu untuk segera menyingkir agar bisa memulai aktivitas.
"Runa, udah pagi. Aku mau mandi."
"Hngg." Runalla bergumam ogah-ogahan. Runalla meregang jarak guna bisa melihat wajah Biru. Dia cemberut. Ekspresinya persis seperti orang yang sedang mabuk sampai Biru harus menyentuh kening istrinya itu untuk memastikan apakah dia sakit atau tidak.
"Kamu nggak demam. Ayo minggir."
"Mas, nggak suka ya?"
Biru mengernyit kebingungan. Tidak mengerti maksud dari pertanyaan Runalla. "Apanya?"
"Kalau aku nempel gini. Mas nggak ereksi?" tanyanya penasaran tanpa melepas kontak mata. Runalla kembali mengikis jarak, membiarkan hidung nyaris bersentuhan kala napas mereka saling bersahutan. "Aku nggak pake bra, jadi harusnya terasa di dadanya Mas.."
Detik itu juga, Biru baru menyadari kalau ada suatu benda keras yang menempel para dadanya—puting Runalla menegak. Pakaian mereka tipis sehingga Biru benar-benar bisa merasakan bagian tubuh Runalla yang selama ini belum pernah ia sentuh.
Wajah serta tubuh Biru memanas. Jantung lelaki itu berdetak kencang saat Runalla mengusap pelipis dan rambutnya penuh sayang. Runalla seakan tengah mengusap rambut bayi yang baru berusia beberapa bulan saja. Tatapannya juga lembut dan hangat sampai pupil mata Biru bergerak tak menentu.
"Mas, aku boleh cium?" kini Runalla mempertemukan hidung mereka. "Kan, yang semalam gagal,"
Biru tak bisa bernapas saat merasakan kalau Runalla sengaja membuat area di bawah sana bergesekan. Walau sekilas tapi efeknya begitu besar sampai Biru terjingkat akibat terkejut. Biru tidak pernah melakukan hal seperti ini dengan perempuan mana pun sebelumnya.
"Mas nggak mau pegang-pegang aku?"
Biru ingin mengalihkan pandang tapi ada sesuatu yang menahannya. Biru menelan ludah susah payah ketika udara terasa panas. Dia tahu jelas, kalau ereksi yang dialami pagi ini bukanlah morning wood seperti biasa, melainkan ereksi karena terangsang.
Meskipun tidak berani membuka celana dan menunjukkan alat kelamin pada siapapun, Biru tetaplah lelaki normal yang memiliki nafsu walau nafsu itu sering ditekan agar tidak tersalurkan—Biru sangat jarang melakukan onani.
"Maaf, Mas, sebentar lagi aku bakal datang bulan jadi nafsunya tinggi," Runalla meregang sedikit jarak kemudian meraih tangan Biru, yang akan diarahkan untuk menyentuh dadanya. "Mas beneran nggak ereksi, ya? Tapi di bawah sini keras banget.."
'Gue kayak ditindih setan,' Biru menjerit dalam hati.
"Runa."
Runalla menggigit bibir bawah bagian dalam ketika tangan Biru sudah mendarat pada dada kirinya. "Apa, Mas?"
Runalla berniat mempertemukan bibir mereka, tapi hal itu gagal ketika Biru memalingkan wajah dan menarik tangannya dari dada Runalla. 'Panas,' wajah Biru memerah layaknya kepiting rebus saat mengatakan satu kalimat dengan alis yang bertaut seperti orang tak suka.
"Mulut kamu bau jigong."
Percayalah, Biru tak benar-benar ingin menyampaikan itu. Biru hanya ingin Runalla menjauh dan tidak melakukan perbuatan tak senonoh ini.
"Hah?!"
Runalla menjaga jarak, menatap Biru dengan ekspresi tak percaya, sebal, dan juga malu. Wajahnya tak kalah merah karena gengsi luar biasa. Runalla menutup mulut menggunakan satu tangan dan buru-buru beranjak dari tubuh suaminya.
Runalla berjalan mendekati pintu kamar dan ingin keluar. Sebelum itu terjadi, Runalla membalikkan badan dan melihat Biru yang masih tampak terkejut.
"Mas Biru pekok!" teriaknya jengkel. "Awas aja kalau besok-besok tititnya Mas berdiri! Aku nggak mau layanin! Kocok sendiri aja sana sampe loyo!"
Blam!
Biru menarik napas dalam-dalam—sebanyak mungkin, sebisa mungkin—jantungnya berdetak begitu brutal dan dadanya bergerak tak keruan karena napasnya terputus-putus. Biru memandang langit-langit kamar, sorotnya menerawang jauh karena masih tidak menyangka kalau Runalla akan segitu agresifnya.
'Tadi gue megang apaan..?' lelaki itu menelan ludah susah payah saat adiknya tak kunjung mau tidur.
Biru berlari ke kamar mandi, mencuci tangannya berulang kali sebelum memutuskan untuk membasuh tubuh di bawah guyuran air shower. Kejadian pagi ini merupakan sesuatu yang sangat baru untuk Biru. Rasanya asing. Biru tidak pernah menempel sedekat itu dengan perempuan apalagi kalau sampai gesek-menggesek.
'Mulut kamu bau jigong.'
Biru tersedak saat mengingat kata-kata yang ia lontarkan pada Runalla tadi.
***
18.04
Runalla memang sengaja agresif karena kemarin malam melihat adanya celah untuk membuat kemajuan dalam hubungannya. Sungguh, kemarin Biru juga tidak menolak waktu bibir mereka hampir bersentuhan. Tapi kenapa?! Kenapa harus mengatakan hal yang memalukan disaat Runalla sudah mempertaruhkan harga dirinya?!
Seharian ini, Runalla menyibukkan diri merawat Mutia yang terbaring lemah di atas ranjang. Runalla berusaha keras melupakan bayang-bayang tadi pagi—masih sangat gengsi dan kesal pada Biru, yang dengan teganya mengatakan hal seperti itu pada Runalla.
'Mulut gue ga bau-bau amat, ya!' Runalla jadi kesal sendiri. 'Mas Biru pekok!'
Bahkan sekarang saat sudah pulang, Biru tak bicara padanya. Biru sengaja menghindar. Kalau tidak sengaja bertemu, Biru akan gelagapan diiringi wajah yang memerah bukan main—salah tingkahnya sungguh menggemaskan namun Runalla tidak menyadari itu.
Runalla malah berpikir kalau Biru marah.
"Mas," nadanya terdengar sungguh tegas ketika menghalangi langkah Biru. Runalla merentangkan kedua tangan seolah bersiap menangkap suaminya itu apabila berusaha kabur. Runalla melanjutkan, "Aku mau bicara soal tadi pagi!"
"Nggak ada yang perlu dibahas," balas lelaki itu ogah-ogahan. Menghindari kontak mata? Jelas. Kemudian, Biru sengaja mengalihkan pembicaraan. "Kak Mutia gimana? Luka lebamnya sudah dioles pakai salep atau belum? Terus Vivi sudah kamu kasih makan? Aku—"
"Ssttt!"
Runalla mengacungkan satu jari telunjuk tepat di depan bibir Biru. Kedua alis Biru bertaut kebingungan sekaligus sebal kala memandang Runalla. Biru tidak ingin mengingat kejadian tadi pagi.
"Mas, lusa kita datang ke acara keluargaku. Harus kelihatan mesra, makannya uji coba cihuy-cihuy dulu sama aku dong!"
Biru mendelik. "Apa hubungannya?"
"Senggama itu bisa mempererat hubungan suami-istri tahu!" Tak sampai di sana, Runalla pun menimpali, "Kemarin kita hampir sukses ciuman. Masa nggak mau dilanjut ke tahap berikutnya? Kamu juga pakai ngomong mulutku bau jigong. Jahat!"
"Ngambek."
"Ya emang!"
Biru berniat pergi meninggalkan Runalla di kamar namun ditahan. Runalla cemberut, merajuk layaknya anak kecil. Tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Biru.
"Mas, kemarin aku baik loh udah nggak marah. Kalau perempuan lain pasti marahnya sampai setahun," rengeknya dengan mata berkaca-kaca. Hampir menangis kalau menggabungkan memori kemarin serta pagi tadi. "Cium, Mas. Mau cium. Sekali aja."
"Nggak."
"Jahat."
"Udah, ah, aku mau nemuin Kak Muthia."
Celah itu kembali tertutup, tapi Runalla bukanlah orang yang mudah menyerah. Kalau tertutup, maka harus dibuka lagi. Runalla mengerucutkan bibir.
"Mau lihat hapenya Mas."
"Buat?"
Biru mendadak gelagapan, karena dari awal kenal hingga sekarang tak pernah mengganti nama Runalla di kontaknya. Biru menggelengkan kepala kuat, menarik tangan dari genggaman Runalla.
"Udahlah, Runa, kamu kenapa sih selalu ganggu aku? Aku mau nemuin Kak Mutia. Nanti aja lihatnya."
"Sekarang. Maunya sekarang," rengeknya sembari memeluk erat tangan Biru seakan tidak mau melepaskannya. Runalla juga meletakkan pipi tepat di bahu sang suami. "Kalau nggak, bayarnya pakai cium sama cihuy-cihuy sampai pagi."
Kedua alis Biru bertaut. Lelaki itu bersiap mengambil ponsel dari saku celana namun mengurungkan niat. Dia lebih dulu mengatakan, "Awas aja sampai nangis."
"Iya, nggak bakal nangis."
Biru menatap Runalla agak lama sebelum menyerahkan ponsel pada Runalla. Berhati-hati, dia mengalihkan pandang dan menggaruk tengkuknya pasrah. Ini kayaknya bakal lanjut marah sampai minggu depan..
"KOK NAMANYA TELKOMSEL?!"
"Ya, kan kamu pakai kartu itu.."
"JAHAT!" Runalla melayangkan pukulan pelan pada lengan Biru tanpa melepas pelukannya. "Ganti ah!"
"Mau diganti jadi apa, Runa? Kamu itu aneh-aneh aja," Biru mengambil alih ponselnya dari Runalla. "Kamu lepasin tanganku biar aku gampang ngetiknya. Yang benar aja kamu."
Runalla mengeratkan dekapan pada lengan berotot Biru. Perempuan itu tersenyum penuh arti, penuh pengharapan, dan penuh sayang saat mengucapkan permintaannya pada Biru.
"Ganti jadi 'sayang'."
Biru langsung menatap Runalla dengan sorot menghakimi dan penuh tanya. Biru menggelengkan kepala, menolak keinginan Runalla yang terdengar super menggelikan itu. Tapi, Runalla semakin mengikis jarak dan menatap Biru lekat-lekat.
"Mas."
"Runa—"
"Masss," Runalla kembali merengek. "Ayo diganti. Aku nggak mau lepasin kalau namaku di kontaknya Mas belum jadi 'sayang'. Kan, aku kesayangannya Mas."
"Dih."
Biru menghela napas panjang sebelum menekan tombol 'edit' dan mengganti nama Runalla di kontaknya. Biru mengetik huruf satu per satu—tertekan karena Runalla sejak tadi terus mengamati kelewat intens.
"Ayo, Mas, kurang dua huruf aja." celetuk Runalla jahil. Biru mendengus. "Iya, sebentar. Nggak sabaran banget sih."
Setelah nama Runalla selesai diedit dan Runalla melihat sendiri hasilnya, Runalla memekik bahagia. "Ih, Mas Biru baik banget! Sayang aku, kan?"
"B aja."
"Yaudah, lusa datang ke acara keluarganya harus mesra. Mulai hari ini, latihan manggil 'sayang'!"
a/n: runa's pov. *** 26 April 2019 Aku selalu menginginkan calon suami yang mirip dengan sosok Papa. Tinggi, berwibawa, lembut, menyayangi pasangan, suka anak kecil, dan murah hati. Papa memang bukan sosok yang romantis, tapi sisi jenakanya itu selalu berhasil menghibur keluarga. "Iya kali nyamuk ga terbang. Kalo ga terbang, bisa-bisa populasinya musnah gegara gampang ditepokin." Aku juga masih ingat saat dulu berada di semester akhir. Aku menangis tersedu-sedu karena revisi skripsi yang tak kunjung selesai padahal sudah mendekati waktu sidang. Tapi, herannya Papa malah berceletuk dengan begitu santai saat melihatku menangis.
I ask myself again,"Am I a bad person orAm I just in pain?"- Unknown. *** Sejak awal, Biru mengatakan pada Runalla untuk tidak memberitahu pada publik kalau mereka menikah. Selain keluarga dan sahabat terdekat, tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berstatus sebagai suami-istri. Runalla setuju dan benar-benar menjaga rahasia itu dari publik. Semua orang beranggapan kalau Runalla masih single. Runalla tak masalah dengan itu. Dia justru mengatakan, "Tinggal nunggu diciduk doseparch kaya idol-idol Korea terus nanti pada heboh soalnya kita nikah." Biru juga memblokir nanogram Runalla agar perempuan itu tidak dapat memantau atau mengikuti akunnya. Biru pemalu, tidak ingin istrinya melihat apa yang dia unggah. Runalla tah
"sometimes your heart needs more time to accept what your mind already knows."- ourmindfullife. *** 16 Mei 2019 Runalla tampak sangat mempesona dalam balutan gaun putih yang tak terlalu terbuka. Rambutnya diurai, ada mahkota bunga yang membuatnya kelihatan makin cantik. Senyum gugup, bahagia, bercampur penuh haru menghiasi bibir ketika bertukar pandang dengan Biru yang sejak tadi menunggu di altar. Biru tak berkedip barang sedetik. Lelaki itu sibuk mengagumi betapa cantiknya manusia yang tengah berdiri di hadapannya—yang akan menjadi sosok istri dalam hidup Biru. Kemudian, resepsi pernikahan itu di mulai. Biru mengucapkan sumpah, yang sukses membuat beberapa orang di sana menitikkan air mata. Mengingat s
trigger warning: abuse. *** 9 Oktober 2019 Hari ini, Runalla jatuh sakit tanpa sebab yang jelas. Mendadak demam tinggi dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Biru menghela napas berulang kali ketika mendudukkan diri di sisi ranjang. 'Ternyata dia gini, ya, kalau sakit?' "Mas, jangan kerja. Mau ditemenin," Runalla merengek kesal sembari menahan air mata. Runalla juga menarik-narik ujung kemeja Biru sampai kelihatan kusut. "Mau peluk, mau disuapin, mau dikelonin, mau digendong, mau disayang juga. Mas, jangan kerjaa." 'Semuanya aja kamu sebutin. Manja. Untung lucu.' "Nggak bisa gitu, Runa. A
trigger warning:suicidal ideation and abuse. *** 16.57 Biru pulang ke rumah sesudah menjalani sesi konselingnya. Wajah lelaki itu tampak bengkak, karena sepanjang sesi dia berusaha sekuat menahan tangis saat menceritakan sebagian kejadian yang menyakitinya hingga ke tulang. Di ruang tamu, Biru mendapati Issy, Ida, Mutia, dan Runalla yang tengah bermain ular tangga. Pandang mereka langsung tertuju pada Biru yang berjalan mendekat. Biru menyentuh pundak Mutia, mengajak Kakaknya untuk bicara di kamar tamu. Lelaki itu mengabaikan panggilan Runalla yang nadanya dipenuhi oleh kekhawatiran. "Mas Biru, kenapa—" Blam.
12 Oktober 2019 Semalam keadaannya cukup kacau. Untuk pertama kali Mas Biru tidur dalam pelukanku setelah makan nasi goreng buatanku yang entah sehancur apa rasanya. Kalau sarapan, biasanya aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai cokelat atau stroberi. Nasi goreng? Bukan levelku, karena cara memasakku juga acak-acakan. Pagi ini, Mas Biru sudah tampak rapi dalam balutan kemeja berwarna biru dongker beserta celana kain hitam. Wajahnya tampak lebih baik dibandingkan kemarin walau sedikit lesu. Di kamar, aku melihat pantulan wajahnya melalui cermin. "Mas?" panggilku kala berjalan mendekat lalu memeluknya dari belakang. Mas Biru tidak menolak dan balik memandangku melalui pantulan cermin.
warning: abuse. *** 15 Oktober 2019 15.15 "MAS BIRU APA?!" Runalla bertanya penuh penekanan ketika sedang berbicara dengan sepupunya melalui telepon. Siapa lagi kalau bukan Echan alias Elang Chandra Purnama. Echan sedang ada di kantin, menunggu kelas Estetika dan Tinjauan Desain yang akan dimulai setengah jam lagi. Makan bakso seorang diri, Echan menyahut ogah-ogahan. ["Lo istrinya tapi masa gatau kalau suami lo punya nanogram?"]
15 Oktober 2019 Ternyata dunia memang sesempit ini, ya? Biru sudah meminta pada Mutia untuk mengajak Issy masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Mereka berdiri di dekat tempat parkir. Langit tampak muram; sedikit tidak bersahabat. Hal itu seolah mendukung kecanggungan di antara mereka berdua. Ini adalah kali pertama Biru dan Ersa bertemu di luar rumah sakit. Posisi mereka bukan sebagai 'psikolog-klien', melainkan sebagai dua individu yang bisa memutuskan untuk berteman kapan saja. "Itu ... itu Kakak saya dan anaknya," Biru mengawali pembicaraan dengan suara seraknya. Dia bersuara tanpa menatap Ersa yang tampak cemas bukan main. Kakinya bergerak tak menentu. "Bulan depan Kak Mutia bakal cerai. Hak asuh akan jatuh ke tangannya."