trigger warning: abuse.
***
9 Oktober 2019
Hari ini, Runalla jatuh sakit tanpa sebab yang jelas. Mendadak demam tinggi dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Biru menghela napas berulang kali ketika mendudukkan diri di sisi ranjang.
'Ternyata dia gini, ya, kalau sakit?'
"Mas, jangan kerja. Mau ditemenin," Runalla merengek kesal sembari menahan air mata. Runalla juga menarik-narik ujung kemeja Biru sampai kelihatan kusut. "Mau peluk, mau disuapin, mau dikelonin, mau digendong, mau disayang juga. Mas, jangan kerjaa."
'Semuanya aja kamu sebutin. Manja. Untung lucu.'
"Nggak bisa gitu, Runa. A
Setelah kalian baca part ini, aku berharap kalian bisa lebih memahami situasinya Biru. Aku mau mengapresiasi dulu yang sejak awal ada di tim netral dan tidak menghujat Biru 👏🏻. Kalau ada yang punya ingatan buruk atau merasa terlalu berat, its okay untuk nggak lanjut ya. Salam sayang, sy.
trigger warning:suicidal ideation and abuse. *** 16.57 Biru pulang ke rumah sesudah menjalani sesi konselingnya. Wajah lelaki itu tampak bengkak, karena sepanjang sesi dia berusaha sekuat menahan tangis saat menceritakan sebagian kejadian yang menyakitinya hingga ke tulang. Di ruang tamu, Biru mendapati Issy, Ida, Mutia, dan Runalla yang tengah bermain ular tangga. Pandang mereka langsung tertuju pada Biru yang berjalan mendekat. Biru menyentuh pundak Mutia, mengajak Kakaknya untuk bicara di kamar tamu. Lelaki itu mengabaikan panggilan Runalla yang nadanya dipenuhi oleh kekhawatiran. "Mas Biru, kenapa—" Blam.
12 Oktober 2019 Semalam keadaannya cukup kacau. Untuk pertama kali Mas Biru tidur dalam pelukanku setelah makan nasi goreng buatanku yang entah sehancur apa rasanya. Kalau sarapan, biasanya aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai cokelat atau stroberi. Nasi goreng? Bukan levelku, karena cara memasakku juga acak-acakan. Pagi ini, Mas Biru sudah tampak rapi dalam balutan kemeja berwarna biru dongker beserta celana kain hitam. Wajahnya tampak lebih baik dibandingkan kemarin walau sedikit lesu. Di kamar, aku melihat pantulan wajahnya melalui cermin. "Mas?" panggilku kala berjalan mendekat lalu memeluknya dari belakang. Mas Biru tidak menolak dan balik memandangku melalui pantulan cermin.
warning: abuse. *** 15 Oktober 2019 15.15 "MAS BIRU APA?!" Runalla bertanya penuh penekanan ketika sedang berbicara dengan sepupunya melalui telepon. Siapa lagi kalau bukan Echan alias Elang Chandra Purnama. Echan sedang ada di kantin, menunggu kelas Estetika dan Tinjauan Desain yang akan dimulai setengah jam lagi. Makan bakso seorang diri, Echan menyahut ogah-ogahan. ["Lo istrinya tapi masa gatau kalau suami lo punya nanogram?"]
15 Oktober 2019 Ternyata dunia memang sesempit ini, ya? Biru sudah meminta pada Mutia untuk mengajak Issy masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Mereka berdiri di dekat tempat parkir. Langit tampak muram; sedikit tidak bersahabat. Hal itu seolah mendukung kecanggungan di antara mereka berdua. Ini adalah kali pertama Biru dan Ersa bertemu di luar rumah sakit. Posisi mereka bukan sebagai 'psikolog-klien', melainkan sebagai dua individu yang bisa memutuskan untuk berteman kapan saja. "Itu ... itu Kakak saya dan anaknya," Biru mengawali pembicaraan dengan suara seraknya. Dia bersuara tanpa menatap Ersa yang tampak cemas bukan main. Kakinya bergerak tak menentu. "Bulan depan Kak Mutia bakal cerai. Hak asuh akan jatuh ke tangannya."
24 Oktober 2019 15.46 "Sa, gue masih merasa bersalah ke Runalla. Sampai sekarang aja kita masih di-block. Mungkin juga, dia masih marah ke suaminya. Sekarang mereka gimana, ya? Gue takut rumah tangga mereka kenapa-kenapa ... " Noela memandang langit-langit apartemen dengan sorot menerawang. Ada kepahitan yang tersirat dari sana. Overthinking-nya kambuh. "Gue memang sama sekali nggak pandai bikin kejutan. Gue padahal cuma mau dia semakin senang, karena hari itu merupakan empat bulanan sama Kak Biru." Angkasa membiarkan keheningan mengambil alih selama beberapa detik. Menciptakan sebuah jarak yang nyaris menyebabkan Noela memaki. ["Bukan salah lo. Jangan terlalu dipikirin. Lagi
25 Oktober 201915.17Aku ingin menghabiskan seluruh waktuku bersama suami, karena ini hari Minggu—hari libur paling ditunggu oleh semua orang di dunia. Mbak Mutia dan Issy juga sedang pergi ke taman bermain, sengaja melarang kami ikut dan mengatakan, "Kalian habiskan waktu aja berduaan. Aku nggak mau ganggu."Aku sudah berencana mengajak Mas Biru untuk nonton bioskop atau sekadar di rumah—cuddle atau ciuman sepanjang hari; mengingat kemarin merupakan hari bersejarah yang akan kuingat seumur hidup. Herannya, ketika tadi kutawari untuk cium, Mas Biru malah salah tingkah sendiri.Mas Biru itu pemalu. Wajahnya sangat merah dan dia menghindari kontak mata. Dia sebisa mungkin menjaga j
20.25 Biru pergi ke salah satu mini market yang jauh dari rumah. Sengaja agar bisa menghabiskan waktu, karena dirinya enggan kembali ke rumah dan bertemu Runalla. Setelah sekian lama, untuk pertama kali Runalla menyakiti sedemikian hebat sampai Biru tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Tias. Biru membeli sebungkus rokok serta pematik. Mini market itu menyediakan beberapa meja di luar gedung. Biru merokok di saja, berharap amarahnya ikut pergi bersama asap yang mengepul namun harapannya jelas percuma. Dia begitu marah; pada Runalla, pada Tias, pada semua orang, dan dirinya sendiri yang terlalu kacau sejak awal. 'Kenapa sih gue lahir?' Pikirannya mulai kumat dan suasana hatinya jelas ikut terpuruk. Biru menghisap rokok itu sedalam mungkin sampai tenggorokannya terasa kelewat gatal dan perih. Kepercayaan dirinya luntur. 'Seandainya gue nggak lahir, gue nggak akan menikah sama Runa, nggak baka
2 November 2002 Sewaktu menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih bersama Bintang, Biru mengenal baik kakak lelakinya. Satra. Jauh lebih tua sebelas tahun dari mereka. Mereka dekat sekali, karena seumur hidup dirinya selalu mengharapkan sebuah kehangatan yang tidak mampu diberikan oleh keluarga. Biru selalu memberi apa yang dimau, tapi tidak mendapat balasan yang setimpal. Dia selalu kesepian. Tak pernah merasakan kebahagiaan. Ada momen-momen tertentu yang memang membuatnya senang, seperti memenangkan lomba mewakili sekolah. Tapi itu dianggap angin lalu—tak berhasil membuatnya merasa puas. Sejujurnya, Biru bernapas hingga sekarang karena dirinya masih hidup. Biru tak pernah bisa mengharapkan apapun. Tiap hari, sejak kejadian memilukan sewaktu SMP, tak ada yang bisa meremukkan hatinya seperti sang sepupu. Hampir setiap hari mengharapkan ajal yang tak kunjung datang. Biru mulai memikirkan ide bunuh diri