Beranda / Romansa / Home / 5. Tamu yang Tak diundang

Share

5. Tamu yang Tak diundang

Penulis: sy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-15 13:06:47

trigger warning: harsh words+abuse

***

6 Februari 2019

"Kamu nikah aja sama anak temannya Ayah. Kamu sampai kapan mau melajang? Nunggu Ayah dan Bunda meninggal dulu baru mau nikah?"

Suara orang tuanya menggema mengitari kepala. Kemarin malam, ia dicerca tanpa ampun oleh Ayah dan Bunda perihal pernikahan. Biru tidak ingin menikah—lebih baik hidup sendirian. Hidup sendirian lebih bahagia; tidak akan ada yang menghina, mencela, menghakimi, atau mengomentari segala tindakannya.

"Kakak kamu sudah dari lama nikah dan bahkan sekarang punya anak. Ya, walaupun anaknya nggak normal."

Biru tidak berani melawan ucapan menyakitkan dari Bunda. Biru bersyukur, Mutiara tak berada di sana kemarin dan mendengar komentar itu.

"Anak temannya Ayah ini cantik dan baik. Kamu nggak akan menyesal nikah sama dia. Ayah juga kenal teman ini dari SMA, ya, walau dia nggak lulus ujian militer dan akhirnya jadi pekerja kantoran."

Biru ingin meminta kedua orang tuanya untuk berhenti merendahkan serta meremehkan orang lain. Kenapa mereka begitu suka melakukan itu? Karena perasaan senang atau bangga karena merasa lebih keren? Biru tidak mengerti. Dirinya menciut—ikut tidak percaya diri karena sering diremehkan juga.

Ayahnya seorang tentara, sedangkan ibunya bekerja di salah satu perusahaan negeri. Mereka sama-sama orang yang keras, karena hidup di pola asuh yang tidak menyenangkan juga. Semua sifat mereka menurun dari orang tua. Cara Kakek dan Nenek memperlakukan Biru pun tak jauh berbeda.

"Udah, pokoknya besok kamu ketemu sama dia. Namanya Runalla. Ayah nggak menerima penolakan. Kamu nolak? Jangan harap jadi anaknya Ayah lagi."

Akhirnya, sekarang Biru duduk di sebuah resto yang cukup terkenal untuk menemui perempuan bernama Runalla. Agak ramai sampai Biru merasa kurang nyaman. Berulang kali dia melirik jam dan bertanya-tanya mengapa perempuan itu tak kunjung datang.

"Mas Biru?"

Biru mengalihkan pandang dari jam tangannya saat mendengar namanya dipanggil. Dia menemukan sosok Runalla yang tampak begitu cantik. Senyumnya lebar, tampak begitu ceria dan tulus, banyak energi positif yang bisa Biru rasakan dari sosoknya.

"Maaf ya aku telat. Mas di sini sudah dari tadi?" Runalla duduk di hadapan Biru lalu mengulurkan tangan. "Aku Runalla. Salam kenal, Mas."

"Iya," Biru menjabat tangan Runalla. Ekspresinya kaku sekali. "Biru."

Biru menggenggam sabuk yang melingkar begitu erat pada pinggangnya. Pinggangnya terasa sakit. Tak apa, Biru justru merasa lebih lega karena hal itu digunakan sebagai pengalihan dari rasa tidak percaya dirinya yang membeludak.

"Mas, aku dengar Ayah kita sudah berteman dari SMA, ya? Hehe gemes banget. Terus sekarang kita dijodohin," Runalla asik bicara guna mencairkan suasana. Dia menyadari kalau Biru tampak tak nyaman. "Aku nggak terpaksa, aku memang mau dijodohin sama kamu soalnya kata Ayah pekerjaan kamu dosen. Keren banget, tau?! Dosen itu otaknya kayak broogle. Gimana cara kamu bisa menghapal teori segitu banyaknya dan mengajar di beberapa kelas yang berbeda?"

"Mas, mau makan apa? Aku ngikut kamu aja."

Biru itu sangat pasif kalau bertemu orang baru. Biru tidak percaya diri, mulai memikirkan hal yang tidak-tidak mengenai pertemuan ini. Gimana pendapatnya tentang gue? Kalau dia nggak suka, gue bakal dihajar sama Ayah. Gue nggak tahu harus gimana. Dia ilfeel sama gue, nggak, ya?

"Mas, nikah yuk."

Ucapan dari Runalla sukses mengakibatkan Biru tersedak ketika tengah makan. Biru menutupi mulut menggunakan kepalan tangannya kala menunjukkan sorot tak percaya, terkejut, bingung dan juga penuh tanya.

"Iya?" tanya Biru memastikan.

"Nikah sama aku," Runalla mengudarakan tawa kecil saat memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Kemudian, tanpa mengalihkan pandang dari Biru, dia mengatakan, "Sebenarnya aku bukan tipe orang yang mau pacaran setelah nikah. Tapi firasatku bilang, kamu itu orang yang baik. Aku yakin, aku bisa jadi perempuan yang bahagia kalau nikah sama kamu. Orang cuek sama pendiam kayak Mas itu biasanya nyimpan banyak kejutan."

"Runalla."

Perempuan itu menunjukkan senyum jenakanya. "Nggak papa kalau kamu memang masih belum nyaman sama aku. Kan, baru pertama ketemu. Mas ganteng, cocok sama yang cantik kayak aku. Hehe,"

"Terus aku yakin, kita bisa membahagiakan satu sama lain."

Setelah pertemuan itu berakhir, Biru mengantarkan Runalla pulang ke rumah karena tidak tega membuatnya menunggu sendirian. Runalla itu talk-active—suka sekali bicara. Dia melambaikan tangan saat turun dari mobil Biru.

"Mas, nanti chat aku, ya? Eh, jangan deh. Nanti aku telepon."

Biru takut menyakitinya.

***

17 September 2019

13.33

["Kamu di mana? Kenapa dari kemarin nggak angkat teleponku?!"] Mutia menunduk dalam setelah mendengar bentakan Rey melalui sambungan telepon. Jantung Mutia berdetak begitu kencang akibat rasa takut serta firasat tak enak yang menghampiri. ["Sengaja? Iya? Kamu sengaja kabur supaya setiap hari orang tua kamu telepon aku? Setan!"]

["Kamu di mana? Cepat jawab! Aku mau bicara!"]

"Aku nggak bisa nemuin kamu," cicit Mutia pelan dengan nada bergetar. Dia sungguh ketakutan. "Aku nggak bisa kalau sekarang. Masih ada hal yang harus kuurus.."

"Kamu mau ngurus apa? Kematian kamu? Yaudah, mati aja sana sekalian sama anak kamu."

Mutia ingin marah tapi tidak bisa. Kalau marah, kata-katanya akan tercekat di tenggorokan dan tidak ada satu pun yang terucap. Sebagai ganti, air matanya yang turun berjatuhan—hal seperti ini terjadi akibat Ayah yang selalu mendominasi, menyalahkan—semua hal selalu salah di mata Ayah, selalu memberi komentar, mencaci maki, tidak pernah memberi pujian.

Biru dan Mutia, mereka masih belum pernah bisa lepas dari jeratan rasa sakit akibat sosok Ayah yang melakukan abuse secara verbal.

["Kenapa diam aja? Beneran mau mati?"]

Mutia sekuat tenaga menahan air mata saat emosinya meledak-ledak. Perasaan campur aduk itu kian membeludak. 'Ini rumah orang, ada Issy juga. Jangan nangis!' Mutia meneriakkan itu pada dirinya sendiri karena tidak mau Issy melihat keadannya.

Sedetik kemudian, Ida—asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Runalla, kembali ke rumah sembari membawa beberapa kantung belanja berisikan bahan dapur.

"Loh, Non Tiara datang ke sini?" tanya Ida sembari menepuk-nepuk lembut punggung Mutia. "Non kenapa? Kok nangis?"

"Ng-nggak, Mbok. Saya—"

"Mbok, abis dari mana? Aku kira tadi Mbok sudah pulang." Runalla muncul dari belakang, menggandeng Issy yang tidak mau ditinggal sendirian. "Abis beli bahan dapur, Non. Tadi saya lihat kulkasnya udah mau kosong. Besok saya masakin bali telor."

'Please, please, berhenti ngomong. Nanti Rey tahu kalau aku di sini..' Mutia memeluk ponselnya, menahan air mata dan memalingkan wajah. Tapi sialnya, Ida malah mengadu pada Runalla.

"Non, ini Non Mutia kenapa? Kok nangis?"

Runalla mendelik ketika mendengar Rey memaki begitu kasar melalui sambungan telepon. Runalla menyambar telepon milik Mutia—dia tahu itu tidak sopan tapi dia kesal. Mutia berusaha mencegah namun gagal. Dan ujungnya, Runalla balik memarahi Rey yang sejak tadi tidak bisa menjaga ucapannya.

"Jangan ganggu Mbak Mutia!"

["Dia lagi di rumah lo?"]

"Bukan urusannya Mas Rey!"

'Ini kalau handphone-nya punya gue, udah gue banting sampai hancur!' Runalla merangkkul Mutia dari samping seusai mematikan ponsel.

"Mbak, ayo balik. Makan lagi bareng aku. Ditungguin Issy juga. Nanti Mbak sakit kalau nggak makan."

Issy masih mencoba mencerna keadaan itu—mengamati tiga perempuan dewasa yang memasang ekspresi sedih membuat Issy memeluk erat kaki sang mama. Issy tidak suka melihat mamanya menangis apalagi kalau sesegukan akibat dimaki dan dipukul oleh Rey.

Singkatnya, setelah selesai makan, Issy tidur siang disaat Runalla dan Mutia mengobrol mengenai banyak hal. Ida berkutat di dapur, mencuci piring serta menata bahan masakan di kulkas. Runalla duduk di samping Mutia dan memangku Vivi yang sejak tadi enggan bangun.

"Ini masalah keluargaku, aku takut bebanin kamu."

"Enggak papa," Runalla menyandarkan kepala pada bahu milik Mutia kemudian mendekapnya dari samping. "Mbak itu Kakaknya Suamiku. Kita saudara ipar. Mbak nggak perlu takut ngebebanin aku."

Mutia menarik napas panjang sekali diiringi air matanya yang mulai meleleh begitu saja. Runalla mengeratkan dekapannya. "Nggak papa, Mbak. Aku dengerin kok."

"Aku sama Rey itu dijodohin dan kami dari awal menikah sudah nggak harmonis. Awalnya dia nggak pernah kasar baik melalui perkataan maupun perbuatan. Tapi, semenjak Issy ketahuan punya ADHD inatensi, dia berubah total," Mutia sesegukan. Bicaranya terputus-putus. "Aku selalu nyembunyiin dari orang tua, dari Biru, dari teman-teman kalau keluargaku nggak harmonis. Rey itu malu kalau Issy ketemu sama teman-temannya. Rey nggak bisa terima Issy dan nyalahin aku. Oke, aku nggak masalah kalau disalahkan tapi aku nggak bisa terima kalau Issy dapat kekerasan,"

"Issy itu tambah sakit gara-gara Rey. Dia takut ketemu orang, nggak mau lepas dari aku, jadi sangat bergantung ke orang lain. Issy nggak pantas dapat perlakuan seperti itu. Aku nggak suka.."

"Ayah-Bunda juga nggak mau menerima Issy, aku sekarang juga ngekos sambil cari kerja karena dari dulu Rey sukanya aku di rumah aja ... "

Runalla dari awal sudah menyangka kalau masalahnya memang seberat ini. Mutia dan Biru sama-sama tertutup, menyembunyikan diri dari dunia luar karena takut menyakiti dan disakiti—mereka tidak berani mengambil langkah untuk maju karena lingkungan juga tidak mendukung.

Runalla tidak tahu harus mengatakan apa, karena dia juga merasa tidak pantas untuk memberi kalimat penguat ataupun masukan. Runalla lahir di keluarga baik-baik, tidak melalui apa yang dirasakan oleh Mutia.

"Maaf, ya, ceritaku jadi ngalur ngidul ke mana-mana sampai cerita Rey yang nagih-nagih uang buat ganti biaya sekolahnya Issy.."

"Nggak papa, Mbak. Ceritain aja."

Pukul empat sore, bel rumah berbunyi—pertanda ada seseorang yang datang. Runalla mengusap punggung Mutia sembari mengatakan, "Mbak, bentar, aku bukain pintu buat Mas Biru."

Tapi, Ida buru-buru mengambil alih tugas Runalla. "Non, biar Mbok yang bukakan. Non duduk aja."

"Oh, iya, makasih Mbok."

Tak lama kemudian, Bibi muncul sembari membawa seorang tamu masuk ke rumah. Ada senyum mengerikan di bibir lelaki itu. Runalla gemetar, begitu pun dengan Mutia yang sekarang bersembunyi di belakangnya.

"Non, ini ada Mas Rey. Katanya cari Non Mutia.."

Kedua alis Runalla bertaut. "Bi, tolong antar Mas Rey keluar."

Firasat Vivi itu kuat seperti pemiliknya. Dia menggonggong tanpa henti. Kemudian, Rey mengatakan, "Udah aku bilang, jangan kirim tagihan uang sekolahnya anak kamu yang cacat itu ke aku," dan kekerasan terjadi begitu saja.

***

16.20

Biru pulang ke rumah dengan cukup terburu-buru karena perasaannya sudah tidak enak sejak tadi. Bahkan, kelas yang Biru ajar bisa selesai tiga puluh menit lebih awal karena dia juga tidak bisa fokus.

Biru memiliki kunci rumah cadangan. Dia membiarkan mobilnya terparkir di depan, membuka pagar, dan berlari masuk ke rumah ketika jantungnya berdetak begitu kencang. Kemudian, apa yang Biru takutkan sungguh terjadi.

"Anak lo itu cacat kayak lo tahu, nggak?! Nggak berguna sama sekali!"

"Mas Rey! Berhenti!"

Dadanya sesak, napasnya tak beraturan—perasaan marah memuncak ketika melihat Rey yang tengah menarik rambut Mutia disaat perempuan itu sudah menjerit kesakitan dan jatuh tak berdaya di atas lantai. Banyak luka lebam bewarna keunguan di wajah Kakaknya. Selain itu, Runalla juga tengah mencegah Rey tapi berujung ditampar. Ida? Wanita paruh baya itu menjerit-jerit "Astagfirullah! Istigfar! Tobat! Udah, Mas Rey!" kala memeluk Vivi yang tampak kesakitan karena tadi juga sempat ditendang di bagian perut.

"LO BANGSAT!"

Biru berlari ke arah Rey, menarik bajunya lalu mendorong kakak iparnya itu sampai jatuh tersungkur ke lantai. Biru langsung mengunci lelaki itu, mendaratkan pukulan-pukulan tepat pada wajahnya.

"LO BANGSAT!" teriak Biru lagi dengan penuh penekanan tanpa menghentikan pukulan pada wajah Rey. "LO NGGAK PANTAS HIDUP TAU, NGGAK?! KAKAK GUE ADA SALAH APA SAMA LO SAMPAI LO BERANI MUKULIN KAK MUTIA?!"

"ANAK LO ITU SAKIT GARA-GARA LO! LO PIKIR, SEMUA ANAK MAU HADIR DI DUNIA INI? NGGAK! KALAU LO NGGAK MENGHAMILI KAKAK GUE, ISSY NGGAK AKAN ADA. LO JUGA BERTANGGUNG JAWAB ATAS ISSY, BEGO! LO ITU AYAH SEKALIGUS SUAMI TAPI LO NGGAK PANTAS DAPAT ISTRI DAN ANAK SEBAIK MEREKA!"

Mata Biru memanas, dia kelewat marah. Dia tak pernah semarah ini, kecuali pada sosok Ayah. Biru sangat menyayangi Mutia, melebihi apapun, karena mereka hanya memiliki satu sama lain di saat dunia memusuhi.

"KAKAK GUE CUMA MENJALANKAN KEWAJIBAN SEBAGAI SEORANG ISTRI DARI COWOK BRENGSEK KAYAK LO, BANGSAT!"

Mutia menangis sesegukan, air matanya tidak terbendung lagi akibat rasa sakit di sekujur tubuh serta melihat Biru yang seperti itu. Runalla buru-buru menahan tangan Biru agar berhenti—Rey sudah babak belur. Air matanya tak kalah deras dari Mutia yang kini gemetar ketakutan.

"Mas, sudah!"

"Lepasin!"

Ujung siku Biru tak sengaja menghantam wajah Runalla hingga hidung perempuan itu berdarah. Keadaan benar-benar kacau. Runalla tidak langsung berhenti. Dia masih mencoba menahan Biru, memeluk suaminya dari belakang.

Runalla yakin, Biru akan memukuli Rey sampai lelaki itu mati kalau tidak dihentikan.

"Mas, udah," pinta Runalla pelan dengan mata terpejam erat. Dia masih memeluk Biru, membenamkan wajah pada punggung lebar sang suami. "Berhenti, Mas. Ini bukan kamu."

Detik itu, pipi Biru dibasahi oleh air mata saat melihat keadaan Mutia yang sungguh berantakan. Biru tak mempedulikan Rey yang sudah terkapar lemah di atas lantai dengan bercak darah di mana-mana. Biru melepas paksa pelukan dari Runalla, berlari mendekati Mutia.

"Kak," Biru duduk tepat di hadapan Mutia. Ikut menangis kala mengguncang kuat bahu kakaknya. "Kenapa nggak pernah cerita kalau dia mukulin Kakak? Kak, Kakak punya aku. Kalau Ayah-Bunda nggak ada, aku ada!"

Runalla jatuh terduduk di atas lantai. Tubuhnya masih gemetar saat mengamati betapa kacau dan hancurnya keadaan saat ini. Dipenuhi oleh suara tangis serta air mata pilu. Hatinya hancur saat melihat Biru yang memeluk erat Mutia.

"Kak, Kakak harusnya cerita ke aku. Ada aku yang bisa jagain Kakak!"

Runalla menangis dalam diam. Runalla memang tahu keadaannya sekarang, bukan hanya dia yang terluka. Kondisi Mutia lebih mengkhawatirkan. Tapi, mengingat Biru yang langsung melepas pelukannya tanpa mempedulikan dirinya yang terluka—menoleh pun tidak.

Runalla sadar, dia sama sekali tidak diutamakan oleh Biru.

Bab terkait

  • Home   6. Maaf tanpa Bicara

    24 Februari 2019 "Jujur, saya kurang tahu gimana masa lalu Ayah. Ayah orangnya tertutup dan ke Bunda pun juga jarang ngobrol. Mereka dipaksa menikah disaat Bunda juga masih berusia sembilan belas tahun, sedangkan Ayah dua puluh dua tahun," Biru tampak berusaha mengingat kembali agar menjawab pertanyaan dari Ersa dengan benar. "Saya tahu ini dari saudara Ayah. Ayah itu tiga bersaudara, anak sulung, adik-adiknya perempuan semua. Nenek dan Kakek orang yang keras. Saya ... saya sempat dengar, Ayah dulu pernah diusir dari rumah karena nggak mau sekolah." "Diusir sama Kakek-Nenek?" "Iya," jawabnya sambil menganggukkan kepala. Dada Biru terasa sesak membayangkan kejadian di mana Ayahnya diperlakukan buruk. "Saya s

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-15
  • Home   7. Menghindar

    «warning» *** 24 Februari 2019 "Menurut saya, urusan dengan diri Pak Biru ini harus segera diselesaikan agar lingkaran yang sama nggak terulang lagi dikehidupan keluarga Pak Biru yang baru. Sebentar lagi, Bapak juga akan menikah, kan?" Biru diam cukup lama. Biru bisa membayangkan dengan jelas bagaimana kehidupan keluarga barunya nanti setelah menikah. Akan hancur—perceraian tahun depan atau Biru akan ditinggalkan karena tidak bisa berperan sebagai seorang suami. Namun, Biru masih takut. Masih belum berani maju menghad

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-17
  • Home   8. Runalla: Sesak

    a/n: runa's pov. *** 26 April 2019 Aku selalu menginginkan calon suami yang mirip dengan sosok Papa. Tinggi, berwibawa, lembut, menyayangi pasangan, suka anak kecil, dan murah hati. Papa memang bukan sosok yang romantis, tapi sisi jenakanya itu selalu berhasil menghibur keluarga. "Iya kali nyamuk ga terbang. Kalo ga terbang, bisa-bisa populasinya musnah gegara gampang ditepokin." Aku juga masih ingat saat dulu berada di semester akhir. Aku menangis tersedu-sedu karena revisi skripsi yang tak kunjung selesai padahal sudah mendekati waktu sidang. Tapi, herannya Papa malah berceletuk dengan begitu santai saat melihatku menangis.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-17
  • Home   9. Awal dari Kehidupan Baru

    I ask myself again,"Am I a bad person orAm I just in pain?"- Unknown. *** Sejak awal, Biru mengatakan pada Runalla untuk tidak memberitahu pada publik kalau mereka menikah. Selain keluarga dan sahabat terdekat, tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berstatus sebagai suami-istri. Runalla setuju dan benar-benar menjaga rahasia itu dari publik. Semua orang beranggapan kalau Runalla masih single. Runalla tak masalah dengan itu. Dia justru mengatakan, "Tinggal nunggu diciduk doseparch kaya idol-idol Korea terus nanti pada heboh soalnya kita nikah." Biru juga memblokir nanogram Runalla agar perempuan itu tidak dapat memantau atau mengikuti akunnya. Biru pemalu, tidak ingin istrinya melihat apa yang dia unggah. Runalla tah

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-20
  • Home   10. Menerima Apa Adanya

    "sometimes your heart needs more time to accept what your mind already knows."- ourmindfullife. *** 16 Mei 2019 Runalla tampak sangat mempesona dalam balutan gaun putih yang tak terlalu terbuka. Rambutnya diurai, ada mahkota bunga yang membuatnya kelihatan makin cantik. Senyum gugup, bahagia, bercampur penuh haru menghiasi bibir ketika bertukar pandang dengan Biru yang sejak tadi menunggu di altar. Biru tak berkedip barang sedetik. Lelaki itu sibuk mengagumi betapa cantiknya manusia yang tengah berdiri di hadapannya—yang akan menjadi sosok istri dalam hidup Biru. Kemudian, resepsi pernikahan itu di mulai. Biru mengucapkan sumpah, yang sukses membuat beberapa orang di sana menitikkan air mata. Mengingat s

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-20
  • Home   11. Orang Sakit Butuh diperhatikan

    trigger warning: abuse. *** 9 Oktober 2019 Hari ini, Runalla jatuh sakit tanpa sebab yang jelas. Mendadak demam tinggi dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Biru menghela napas berulang kali ketika mendudukkan diri di sisi ranjang. 'Ternyata dia gini, ya, kalau sakit?' "Mas, jangan kerja. Mau ditemenin," Runalla merengek kesal sembari menahan air mata. Runalla juga menarik-narik ujung kemeja Biru sampai kelihatan kusut. "Mau peluk, mau disuapin, mau dikelonin, mau digendong, mau disayang juga. Mas, jangan kerjaa." 'Semuanya aja kamu sebutin. Manja. Untung lucu.' "Nggak bisa gitu, Runa. A

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-20
  • Home   12. Biru: Kepahitan dalam Hidup

    trigger warning:suicidal ideation and abuse. *** 16.57 Biru pulang ke rumah sesudah menjalani sesi konselingnya. Wajah lelaki itu tampak bengkak, karena sepanjang sesi dia berusaha sekuat menahan tangis saat menceritakan sebagian kejadian yang menyakitinya hingga ke tulang. Di ruang tamu, Biru mendapati Issy, Ida, Mutia, dan Runalla yang tengah bermain ular tangga. Pandang mereka langsung tertuju pada Biru yang berjalan mendekat. Biru menyentuh pundak Mutia, mengajak Kakaknya untuk bicara di kamar tamu. Lelaki itu mengabaikan panggilan Runalla yang nadanya dipenuhi oleh kekhawatiran. "Mas Biru, kenapa—" Blam.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-22
  • Home   13.

    12 Oktober 2019 Semalam keadaannya cukup kacau. Untuk pertama kali Mas Biru tidur dalam pelukanku setelah makan nasi goreng buatanku yang entah sehancur apa rasanya. Kalau sarapan, biasanya aku hanya menyiapkan roti panggang dengan selai cokelat atau stroberi. Nasi goreng? Bukan levelku, karena cara memasakku juga acak-acakan. Pagi ini, Mas Biru sudah tampak rapi dalam balutan kemeja berwarna biru dongker beserta celana kain hitam. Wajahnya tampak lebih baik dibandingkan kemarin walau sedikit lesu. Di kamar, aku melihat pantulan wajahnya melalui cermin. "Mas?" panggilku kala berjalan mendekat lalu memeluknya dari belakang. Mas Biru tidak menolak dan balik memandangku melalui pantulan cermin.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-22

Bab terbaru

  • Home   Bonus: Salam Sayang

    a/n: Anyelir's pov. *** Patah hati pertamaku sudah berlalu dan Mama tidak memperbolehkanku menemui Satya lagi. Aku, Anyelir Pramudita, sekarang lebih dijaga oleh Mama yang mengatakan bahwa tidak mau melihatku menangisi lelaki brengsek. Satya sempat datang ke rumah--Mama tidak memperbolehkanku bicara dan sebagai gantinya Mama yang mengomeli Satya sampai Papa terpaksa menarik Mama masuk ke dalam. Hari ini, Mama baru pulang dari Surabaya setelah mengunjungi satu sahabat baiknya, Tante Noela. Sepengetahuanku, mereka sudah bersahabat sejak Mama duduk di bangku kuliah dan sempat ada konflik walau aku tidak tahu masalah apa yang mereka hadapi. Mama pulang kemudian langsung disambut oleh Papa dengan pelukan hangat. "Runa, capek?" Papaku tersenyum kelewat lebar ketika kembali melihat wajah Mama, setelah tiga hari ditinggal pergi ke Surabaya. Mama menyahut, "Biasa aja, sih. Kamu sama Anye sudah makan? Mau dimasakin apa?" "Terserah, pokoknya bisa dimakan

  • Home   Bonus: Biru dan Anyelir

    6 Januari 2021 Biru mengalami masa-masa sulit setelah kepergian Vivi, anjing kesayangannya. Biru tahu betul bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, tapi dia tidak pernah mempersiapkan diri untuk berpisah dari hewan peliharaan yang setiap hari menemaninya dalam suka maupun duka. Tahu, tidak, alasan mengapa berpisah dari hewan peliharaan bisa 'sedalam' itu? Menurut penelitian, itu disebabkan oleh adanya ikatan yang begitu dekat dengan mereka. Individu yang sudah menyayangi sepenuh hati dan rela memberikan apapun, merasakan kehilangan mendalam akibat setiap hari--secara tidak langsung--berperan sebagai orang tua; yang mengayomi, menghidupi, membahagiakan, dan memberikan afeksi fisik maupun emosi. Apalagi Vivi sudah menemani Biru selama bertahun-tahun lamanya. Vivi baru pergi meninggalkannya di bulan Desember dan Biru masih belum bisa merelakan. Hari-hari Biru semakin berat, karena dia harus bekerja di tengah pandemi dan memastikan keadaan Runal

  • Home   Bonus: Rahasia Semesta

    11 April 2026Biru terkejut bukan main, karena tiba-tiba mendapatkan pesan dari wali kelas Anyelir. Anyelir membuat masalah dan memukul temannya hingga mimisan, katanya. Runalla tidak bisa datang, karena perempuan itu juga sedang diopname di rumah sakit--tipes empat hari lalu."Makanya anaknya tuh dididik yang bener," cecar ibu dari Gio--Riri--anak yang dipukul oleh Anyelir. Riri menatap sinis ke arah Biru yang duduk di samping Anyelir. "Orang tuanya cerai, anaknya jadi berandalan deh. Makanya, jangan cerai."Ruang kepala sekolah memiliki dua sofa hitam panjang saling berhadapan yang ditengahi oleh meja. Ruangan itu kecil. Meja kepala sekolah sejajar lurus dengan meja yang menengahi sofa. Di sana ada kepala sekolah serta guru yang biasanya mengajar di TK.

  • Home   Bonus: Selamat

    21 Desember 2025Sudah hampir seminggu lamanya Anyelir menginap di rumah Biru. Anak perempuannya itu terkadang menanyakan, "Oma sama Opa di mana, Papa? Anye mau ketemu." dan Biru jelas tidak bisa memberi jawaban secara rinci mengenai kepergian orang tuanya. Hubungan mereka sempat membaik walau tak sepenuhnya. Sebelum keluarga ideal yang Biru idamkan menjadi nyata, Tuhan sudah lebih dulu merenggut nyawa Yasa dan Astrid melalui sebuah kecelakaan tabrak lari pada tahun 2022 silam.Biru dan Mutia sama sekali tidak bisa menangis ketika pemakaman diadakan. Mereka menerima ucapan bela sungkawa dari orang terdekat, tapi tahu bahwa mereka pasti juga dibicarakan di belakang. Entah, Biru enggan membahas hal tersebut dan akan membalas, "Oma sama Opa sudah tenang di surga, Anye."D

  • Home   Bonus: The Unseen

    «warning»Btw ini scene yang seharusnya ku publish untuk part 31: Di Luar Ekspektasi, tapi nggak jadi pas itu.***23 Desember 2019Dalam keminiman cahaya ruangan, Runalla tetap bisa melihat wajah suaminya yang tampak begitu tampan. Mata tajam, hidung mancung, pipi yang sedikit berisi, bibir tipis ... ah, suhu mendadak meningkat saat dia mengamati bibir itu lekat. Keheningan menguasai sampai detak jantung mereka bisa saja terdengar layaknya suara jarum jam."Mas, pengen cium." bisiknya penuh pengharapan ketika Biru menyibak rambutnya hati-hati. Penuh sayang, Biru mempersempit jarak sebelum menjemput

  • Home   Epilog

    recommended song: Another by Francis Karrel***7 Oktober 2025"Papa!"Anyelir kecil berlari menghampiri Biru yang sejak tadi sudah menunggu di depan taman kanak-kanak. Anak perempuannya yang kini menginjak lima tahun tampak menggemaskan di balik balutan seragam sekolah berwarna biru laut dan rambut pendeknya juga diurai. Jangan lupakan pipi bulat yang merona akibat cuaca panas di siang hari.Suara hiruk-piruk area sekolah memenuhi telinga. Banyak orang tua berdatangan ke sekolah untuk menjemput buah hati, tapi ada para ibu yang rela menunggu anak dan bercengkrama di kantin taman kanak-kanak. Biru terkadang merasa bahwa para ibu menatapnya ganas seolah bersiap menerkam. Sejujurnya, Anyelir sempat bilang b

  • Home   53. Darimu, Untukku

    "How lucky I am to have something that makes saying goodbye so hard." -A. A. Milne.***7 Oktober 2020Suamiku benar-benar datang menemani dari awal sampai akhir.Sehari sebelum melahirkan, Kak Tias memintaku untuk menginap di rumah sakit agar tidak ada hambatan. Kak Tias juga membantuku menyiapkan tas berisi perlengkapan yang sekiranya nanti kubutuhkan. Bertolak belakang dengan Mama--beliau melarangku menginap dan tetap di rumah saja; mengingat kondisi pandemi masih berlangsung dan takut kalau itu akan membahayakan."Ya terus nanti kalo brojolnya tiba-tiba gimana, Ma?" Kak Tias sempat protes ketika membawa tasku. "Nanti kalau jalanan macet? Belum lagi kalo tiba-tiba ban bocor atau mobilnya mogok di tengah jalan? Masa iya jalan kaki? Mau manggil

  • Home   52. Dariku, Untukmu (3)

    4 Oktober 2020"Runalla, mau Mama temani tidur di kamar?"Aku tidak menolak, karena beberapa minggu belakangan aku sulit sekali terlelap meski sudah minum susu hangat atau makan hingga kenyang. Malam ini Mama tidur di sampingku. Rasanya seperti kembali ke masa kecil, di mana aku masih belum punya kamar sendiri dan masih tidur dalam pelukan Mama."Badannya pegel semua?" tanya Mama lembut saat hampir saja menyentuh kakiku untuk memijatnya. Aku buru-buru mendudukkan diri susah payah sembari menyentuh punggung bawahku. "Ma, nggak perlu dipijat. Aku nggak papa. Badanku nggak papa."Sebelumnya aku telah menerka alasan dari kesulitan tidurku. Mungkin, karena bulan lalu aku baru selesai melakukan sidang cerai ke dua dan sekar

  • Home   51. Dariku, Untukmu (2)

    7 Juli 202017.45Aku menata peralatan kosmetik sesuai tempatnya setelah mematikan kamera. Banyak sekali hal baru yang kucoba--menciptakan konten makeup di luar zona nyaman. Permintaan Mas Biru agar aku tidak menggugurkan kandungan mengakibatkan aku selalu ingin melakukan kesibukan. Apalagi, Mas Biru juga telah memberitahukan pada Papa-Mama sampai aku dimarahi habis-habisan hingga malam menjelang.Kak Tias juga datang ke rumah. Menyempatkan waktu untuk menengok dan melindungiku dari Papa yang hampir memukul kakiku menggunakan sapu lidi."Pa, sudah. Runalla ini lagi hamil," Kak Tias menyembunyikanku di balik punggungnya ketika aku terisak-isak waktu itu. "Nanti kalau terjadi sesuatu yang buruk

DMCA.com Protection Status