Saat mereka tertawa menghina. Aku masih bersabar untuk diam. Biar mereka puas dulu dan nanti akan kutampar dengan tiba-tiba punya uang banyak. Uang yang lebih dari dua puluh juta rupiah adalah nominal yang seumur hidup tak pernah kupegang. Dan ini seperti mimpi aku bisa memilikinya. Dan itu nominal akan cair, belum yang pending.
"Hey! Mantu terkaya, kepalanya nggak terbentur kan? Atau perlu kubawa ke rumah sakit jiwa?"
"Ha ha ha, Ibu nih. Emang mantu terkaya ibu rada iniii?" Stela memiringkan telunjuknya di kening memberi isyarat jika aku menantu gil*.
"Aduh, Stela, jangan gitu dong, gimana pun juga Rina tetap kakak iparmu, kalau yang yang kamu ucapin jadi kenyataan gimana? Ha ha ha." Mbak Inur pun ikut bersuara. Bukan membela justru ia ikut menanggapi lelucon menghinaku.
"Tunggu dulu, Bu Ida. Maaf, bukan ingin ikut campur. Sepertinya aku salah waktu menagih hutang." Mbak Leha seperti merasa bersalah melihat raut wajahku, saat menatap mereka sedang menghina. Menantu gil* sebutan untukku.
'Silahkan kalian tertawa,' bathinku. Dan mungkin ini tak akan bisa dimaafkan karena luka hati ini semakin dalam. Ya Tuhan, maaf dengan hati ini ingin membalas.
"Leha, kamu tu mikir nggak sih? Udah jelas Bayu keadaanya seperti ini. Mantu terkayaku dapat duit dari mana buat ganti uangmu? Jika kamu tuntut aku, ya tidak bisa dong. Lah hasil warungku saja tak seberapa, belum lagi menanggung makan satu keluarga. Seharusnya mereka yang beri aku uang, ini malah kebalik. Sialnya aku punya anak yang tak bisa bantu di hari tuaku."
"Jangan ngomong gitu, Bu. Kata-kata itu do'a loh."
"Ini bukan do'a tapi kenyataan kok." Ibu mertua masih kukuh dengan ucapannya.
Mas Bayu menunduk. Terlihat ia sedih. Dan mungkin luka hatinya lebih dalam dariku. Ini ibu kandungnya yang bicara menghina.
"Bu, Mas Bayu tetap putra Ibu. Apa Ibu tak ingat jasa Mas Bayu saat kerja dulu?" Kuberanikan menjawab.
"Hey!" Pundak kananku didorong hingga aku terduduk di kursi. Untung di belakangku kursi, jika lantai bisa ikutan jatuh bersama Raka yang sedang menyusu.
"Ibu." Mas Bayu berusaha menolongku. Gerakan sulit karena ia berjalan dengan bantuan tongkat.
"Apa? Kamu menyalahkan Ibu? Kurang apa lagi Ibumu ini. Bahkan aku yang mencari uang untuk biaya makan anak dan istrimu! Untung ada Jaka yang bantu, kalau tidak bisa mati aku cari uang sendirian."
Mas Bayu terdiam lagi. Aku tahu ia ingin menjawab. Tapi kondisinya belum bisa cari uang. Terpaksa diam menahan saat kami dihina.
"Seharusnya kamu sadar diri, Bay. Sudah untung tak repot kerja. Kalau dikumpulkan uang pengeluaran untuk biaya makan kalian, mungkin kami sudah bisa beli mobil." Mas Jaka pun tak tinggal diam membela ibunya.
"Aneh ya, udah nggak mampu berlagak pula," gumam mbak Inur menatap kami sinis.
"Maaf, ya. Aku permisi dulu. Oh ya, Rin, dua hari lagi aku ke sini, jangan janji aja ya, itu uang dapurku. Kamu tau sendiri lah suamiku cuma kerja di toko kain."
"Iya, Mbak. Insya Allah pasti kuganti dan dilebihkan," jawabku lagi, lalu berusaha bangkit berdiri.
"Rin, kamu dapat uang dari mana? Bahkan di sakuku aja hanya ada uang tiga ribu rupiah," ucap mas Bayu pelan. Aku tahu ia khawatir.
"Tuh tukang menghayal belum juga sadar." Stela ikutan menyindir.
"Mas, Insya Allah pasti ada jalan. Aku akan kerja, Mas," jawabku. Dalam hati berucap, 'kerja menulis, Mas.'
"Tapi di mana-mana kerja dulu baru digaji. Lah kamu kerja apa, Rin?"
"Aduuuh! Kok malah ada drama segala. Sebenarnya kamu mau kerja apa, Rin? Mustahil langsung dapat uang. Jual d*r*?"
"Astagfirullah'alaziim, Ibu!" Mas Bayu tak terima aku dihina. Seketika ia melotot.
"Kenapa? Berani melototi Ibu sekarang?"
"Sudahlah, Bu. Aku lapar nih, jika ini kita perpanjang kapan Rina masak?" Mas Jaka menarik tangan ibu menjauhi kami.
"D*s*r *n*k d*rh*ka! Sudah c*c*t masih juga mel*w*n," cerocos ibu sambil menjauhi kami.
"Dasar kalian ya, seharusnya berterima kasih ke Ibu." Stela pun berlalu setelah meninggalkan kata-kata.
"Maaf ya, Rin. Seharusnya aku tak kasih tahu mertuamu."
"Nggak apa-apa, Mbak Leha. Mbak meminjamkan uang berarti percaya jika aku pasti menggantinya. Insya Allah dalam waktu dua atau tiga hari ini. Jika aku tak bisa bayar, cincin nikahku jaminannya."
Mas Bayu langsung menatapku.
"Sebaiknya jual aja cincin nikah itu sekarang, bayar hutang kalian dan tambah biaya dapur, beres kan?" tukas mbak Inur enteng, yang duduk tak jauh dari kami.
"Itu urusanku, Mbak!" jawabku tak tahan terus diam.
"Oooh, urusanmu, oh aku lupa, kamu kan mantu terkaya, ha ha ha."
"Aamiin," jawabku meng-Aminkan katanya karena kata-kata itu bagiku semacam do'a.
"Uh! Dasar aneh." Lalu ia berlalu.
"Sabar ya, Rin. Semoga ada jalan kamu bisa hidup mandiri. Sunghuh, aku merasa tak enak kamu diperlakukan seperti ini. Maaf ya."
"Aamiin. Nggak apa-apa, Mbak. Kami udah biasa kok." Bibirku pun berusaha tersenyum.
"Aku pamit dulu."
Setelah mbak Leha pergi, mas Bayu langsung merogoh saku.
"Rin, aku hanya punya ini." Uang lembaran dua ribu dan koin seribu, disodorkan padaku.
"Iya, Mas." Kuterima uang itu.
Ini nafkah tiga ribu rupiah dari suamiku. Meskipun sedikit tapi entah kenapa aku merasa ia suami yang masih berusaha bertanggung jawab. Keadaan kakinya bukan keinginan kami, tapi ini Tuhan berkehendak. Dosa bagiku menyalahkan takdir.
"Hey Mantu terkaya! Cepat sana ke dapur, kami sudah lamar nih." Teriakkan ibu mengatakan aku 'menantu terkaya' kuanggap do'a meskipun mereka mencemooh.
"Ya, Bu," sahutku belum bisa membantah.
"Raka tidur, Mas. Tolong jagain dulu di kamar."
"Iya, ayok."
Kubaringkan Raka di ranjang. Ia terlelap dan Alhamdulillah sehat, meskipun kondisi kami sangat kekurangan.
"Rin, maafkan keluargaku. Seandainya aku mampu pasti kubawa pergi dari sini." Mata mas Bayu berkaca. Ia di tengah keluarga kandung tapi tersisih. Kejadian seperti ini kuanggap hanya sebuah tontonan di sinetron, tapi kenyataanya kami yang mengalami. Sesak sekali dada ini ....
"Mas, yang penting kita tak berhenti berusaha dan berdo'a. Aku masak dulu."
Lalu aku berlalu ke luar kamar. Tak ingin membahas itu berlama-lama karena aku tak ingin menangis. Sekarang yang kubutuhkan kuat menghadapinya.
***
Masakan kuhidangkan di meja makan. Ada ayam goreng, sup bakso dan asam padeh ikan. Mereka lahap menyantapnya. Aku tahu karena masakanku enak. Tentu saja karena pernah kerja di rumah makan padang. Dari pengalaman dapat ilmu karena aku sadar tak berpendidikan tinggi.
"Rin, besok pagi buatkan aku asam padeh ikan ini lagi. Mau kubawa ke kantor," pinta mas Jaka, saat aku meletakkan sepiring prekedel tahu.
"Iya, Mas," jawabku.
"Nanti bilang itu masakanku ya, Mas. Biar teman-temanmu memujiku," timpal mbak Inur.
"Lah kamu aja nggak bisa masak seenak ini. Barati aku bohong dong."
"Alaah, itu aja dipermasalahkan. Nanti Inur bisa belajar masak enak dari Rina. Toh sekarang ini Inur tak perlu repot masak, lah ada Rina kok. Bilang ajalah biar Inur ikut disanjung." Ibu seide dengan menantu kesayangannya.
'Silahkan bela menantu kesayanganmu, sebentar lagi aku akan lihat reaksimu jika tiba-tiba aku punya uang.'
Aku masuk ke kamar. Mas Bayu sibuk dengan ponselnya. Aku tahu ia sedang buka situs lowongan kerja seperti biasa. Tapi apa ada lowongan kerja untuk orang cacat?
"Kamu udah makan?" Ponsel diletakkan di kasur.
"Belum, mereka masih makan, Mas," jawabku.
Ya, kami makan setelah mereka makan. Ini sudah biasa. Bahkan tak jarang kami hanya disisakan satu potong ikan saja, dan akhirnya kami berbagi. Namun kami tetap bersyukur. Masih ada nasi dan kuah sayur serta sambal. Buktinya Alhamdulillah tubuh kurusku masih sehat, ASI juga banyak.
Setiap malam setelah semua orang terlelap tidur, dua jam kugunakan mengetik satu bab cerbung. Karena ini kisah hidupku, tak perlu repot memikirkan alur. Karena aku sendiri yang mengalaminya.
***
Setelah mandi dan salat subuh, kumandikan Raka. Yang lain masih tertidur lelap ditambah pagi ini bumi diguyur hujan. Segera ke dapur memasak ikan asam padeh yang diminta mas Jaka. Sambil masak pun cucian kurendam. Tak ada mesin cuci, kata ibu sayang buang uang membelinya, karena ada tanganku yang akan mengerjakan.
"Mas, Raka mana?" tanyaku mendapati mas Bayu masuk dapur.
"Ada di kamar lagi main. Sayur untuk Raka mana, Rin?" tanya mas Bayu sambil mengambil nasi.
"Di meja makan, Mas."
Setiap pagi mas Bayu yang menyuapi Raka makan. Hanya dengan sayur bayam dan tempe. Jika kedapatan memasukan ikan atau ayam ke sup anakku, ibu pasti marah. Katanya masih balita cukup gizinya dari ASI saja. Sebuah pemikiran yang tak sesuai denganku. Meskipun hanya tamat SMP, aku tahu mana gizi yang bagus untuk balita. Tempe atau tahu pengganti protein jika tak mampu beli ikan dan daging. Jika ada uang, beli telur di warung ibu. Kadang satu butir telur pun aku harus berpikir membelinya. Untung tempe dan tahu tak dilarang di dapur ini.
***
Nasi goreng sudah terhidang. Mereka sarapan bersama kecuali aku dan suamiku. Mas Bayu sedang membersihkan warung. Meskipun berdiri dengan satu kaki yang dibantu tongkat, tak jadi penghalang jika sekedar menyapu. Tentu tak selincah aku menyapu. Intinya kami kerja dulu baru bisa makan. Dan yang dimakan pun tunggu mereka selesai makan. Jika seperti ini terlihat di adegan sinetron, mungkin hidupku sama dengan adegan itu. Sinetron di kehidupan nyata.
"Mas, nanti aku ijin ke rumah teman, ada yang ngajak bisnis jual baju."
"Trus Zilan ma siapa?"
"Ada Rina yang jagain."
Aku sedang mengepel lantai. Hanya bisa melirik mbak Inur dan mas Jaka bicara di ruang tamu ini tanpa aku ikut menanggapi.
Sudah tiga kali dalam minggu ini mbak Inur ke luar rumah. Bahkan aku tempat penitipan bayinya. Kadang aku diberi uang dua puluh ribu dan kadang hanya lima ribu saja. Alasannya biar bayinya juga bisa kususui.
"Aduh, Nur. Kasihan Zilan jika ditinggal terus, kamu tau kan kalau kita sudah lama mengharapkan anak. Lima tahun bersabar dan akhirnya kamu hamil juga. Apa nggak sayang jika ditinggal terus." Terdengar mas Jaka keberatan.
Drrrt drrrt.
Ponselku bergetar. Dirogoh ponsel dari saku daster yang kupakai. Lalu melihat layarnya.
'Masya Allah ... Alhamdulillah ....' Berucap syukur dan tak hentinya aku mengucap di hati. Seketika lututku bergetar, bukan karena takut atau sakit, tapi karena masih shock jika uang dari hasil menulis masuk ke rekeningku, dengan pemberitahuan via sms banking.
Nominal yang kuterima masih enam belas juta rupiah lebih. Sementara sekitar tujuh juta lagi belum diterima karena beda aplikasi. Jadi untuk pembayaran pun beda tanggalnya.
"Rina! Jagain anakku. Ntar kukasih uang lima belas ribu deh. Lumayan kan dari pada kerja di lampu merah," racau mbak Inur yang masih duduk bersama suaminya.
"Apa?" tanyaku masih memegang ponsel.
"Jagain Zilan karena aku ada acara di luar. Masak itu aja nggak dengar. Ntar kuupah lima belas ribu, lumayan kan dari pada kamu ngamen di lampu merah dan suamimu minta sedekah." Ia mengulangi ucapannya. Dan bahkan lebih tajam.
"Tidak bisa, aku juga punya urusan," tolakku tegas seketika. Mbak Inur dan mas Jaka langsung membelalak menatapku.
Bersambung ....
Kali ini aku membantah karena sudah punya kekuatan berdiri sendiri. Meskipun belum seberapa bagi sebagian orang, tapi bagiku bisa menyelamatkan hidup dari hinaan. Akan kucari kontrakkan sambil buka warung nasi Padang. Belum rumah makan Padang karena uangku belum cukup untuk mengontrak ruko.Alhamdulillah ... Alhamdulillah, tak henti-hentinya mengucap syukur atas rezeki ini. Usaha yang menghasilkan. Hinaan mereka cambuk bagiku agar terus kuat dan tak berhenti berusaha dan belajar menulis cerbung."Hari masih pagi, jangan bercanda karena aku tak level bercanda denganmu, Rin." Mbak Inur sempat juga menyelipkan hinaan dari setiap kata-kata yang dilontarkan padaku."Atau jangan-jangan sakit sarafnya kumat dan ia benaran gi*a, ha ha ha."Aku diam sambil tersenyum manis menatap mereka. Sepasang suami istri menghina dan itu masih kata-kata cacian dari kemarin. Terdiamku karena ingin melihat apa saja yang akan diucapkan lagi. Ekspresi tertawa cemooh me
"I-itu cincin emas benaran?" tanya ibu mertua. Matanya membulat sempurna menujuk jariku. Begitupun mbak Inur agak sedikit mangap.'Makanya, jangan remehkan aku yang hanya tamat SMP,' bathinku. Pura-pura tak dengar."Rina! Ibu nanya kok malah diam. Itu cincin dari mana dapatnya?" Mbak Inur kesal karena kuabaikan."Apa?""Apa apa apa! Ini kamu dapat uang dari mana belanja? Sini lihat cincin itu!" Ibu ingin menggapai jariku."Iiih! Apaan sih?" Kujauhkan tanganku dari ibu."Sini lihat!" Ibu masih kukuh agar aku memberikan cincin ini.Oh, tidak bisa! Emangnya apa urusanmu."Kenapa Ibu memaksaku agar memberikan cincin ini? Toh bukan punya Ibu kan?""A-apa? Kamu sudah bisa melawan sekarang?" Bahuku kananku sedikit di dorong."Iih! Bisa nggak tangannya dijauhkan dari aku?" Alisku bertaut menatapnya. Tentu aku tak bisa diam seperti biasa."Hah? Bisa melawan ia sekarang, Bu." Si tukang kompor
"Aku kecewa padamu, Mas. Raka disakiti kamu hanya diam!" Duduk di tepi ranjang, kupandangi Raka sedang tertidur.Sudah tak tahan ingin mengucapkanya. Ia seorang bapak, meskipun dengan keadaan fisik kaki satu, tapi bukan berarti diam melihat anak disakiti. Sekilas merasakan, akulah yang mengendalikan semua keadaan tanpa ada tempat mengadu dan berlindung.Tuhan, maaf jika sering hinggap dengan sebuah rasa lelah. Tapi aku hanya perempuan biasa yang juga butuh perlindungan. Tapi kenyataanya ..., Astagfirullah'alaziim, kenapa aku mengeluh di saat keadaan mas Bayu seperti ini."Aku tidak lihat, Rin. Hanya sebentar kutinggal karena Ibu minta bersihkan genangan air hujan di teras. Lagian jika dibiarkan takutnya yang lewat terjatuh.""Tapi bukan berarti kamu diam kalau tau dia mencubit anakku!"Ibu mana yang rela jika anaknya disakiti orang lain. Apalagi Raka baru satu tahun."Aku tidak tau, Rin. Tiba-tiba Raka menangis dan kudekati, Mbak
"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi. Selama ini diam dan diam. Ia lelaki tapi mulutnya seperti ....Seketika mata mas Jaka membelalak."Kamu!" Mas Jaka menujukku."Iya, Mas. Mulut istrimu sudah sangat keterlaluan menghina kami. Termasuk kalian semuanya!"Ya Tuhan, kali ini mas Bayu berani menjawab lantang, sebelum mas Jaka memperpanjang ucapannya. Hingga ia beralih melotot ke suamiku."Berani kamu berteriak padaku!" Mas Jaka membalas menghardik suamiku."Iya, lagian jika kami tak bersaudara dengan kalian tak masalah. Toh persaudaraan ini seperti tuan dan majikan." Kuperjelas dengan nada kesal."Tuh! lihat sendiri, Mas. Baru punya duit har*m aja sudah sok." Inur mengompori suaminya."Memalukan, aku yang punya uang tapi kok kamu yang sewot?" Tentu kuucapkan sambil tersenyum sungging. Berusaha tenang agar
"Lagian rumah ini cukup kamar, kok, Rin. Lagian jika kalian ngontrak pasti keluarin duit banyak. Lah di sini nggak usah bayar." Ibu berusaha merayuku agar tak jadi pergi."Nanti aku carikan usaha buat Bayu yang cocok dengan kondisi kakinya. Mungkin buka counter jual pulsa atau token listrik. Itu kan nggak repot amat." Mas Jaka menimpali seperti ia punya solusi, seolah sangat pintar. Lagian kenapa tidak dari dulu saja ide itu.Kuhela nafas besar. Menyimak sambil membaca maksud ucapan mereka. Sedikit pun aku tak tertarik. Cukup hinaan yang diterima selama ini."Rina! Rin!" Mas Bayu memanggil dari tepi jalan."Iya, Mas!" sahutku."Bayu! Sini!" Wajah ibu terlihat bersahabat memanggil putranya. Hanya saja tumben kok kelihatan baik. Biasanya mas Bayu seperti beban dalam hidupnya, terutama di hari tuanya, itulah yang sering dilontarkan di saat marah."Bayu, sini!" Kali ini kakak suamiku ikut memanggil. Wuih! Baik sekali cara memanggil
Pov Bu Ida (mertua)Setelah membicarakan tentang Rina dan Bayu, akhirnya kami mendapat kesepakatan. Mereka harus kembali ke rumah ini. Jika Rina punya bakat menulis yang nenghasilkan uang, tentu aku harus merayu Bayu agar bisa membantu biaya kuliah Stela.Semenjak Bayu tak lagi bekerja, aku harus banting tulang mencari uang di usaha warung. Sementara Jaka hanya membantu biaya dapur delapan puluh persen, ditambah seratus persen biaya listrik. Tapi tetap saja tak mencukupi. Pengeluaran untuk Stela besar, bahkan sehari menghabiskan uang seratus ribu."Jadi gimana, Bay. Mau kan balik lagi ke rumah kita?" ajakku. Tentu aku harus membuat putraku menurut, lah ia lahir dari rahimku.Bayu justru melihat ke Rina. Seketika mereka beradu pandang. Entah apa yang dipikirkan. Hanya saja aku harus gigih agar mereka setuj
"Ini teh telor, Mas. Semoga semangat kerjanya." Kuletakkan tiga gelas teh telur. Ini ciri khas minuman di daerahku. Kuning telur ayam kampung yang dikocok dengan gula, setelah itu disiram dengan air teh mendidih. Baru dikasih susu kental manis dan sedikit irisan jahe.Minuman ini hampir setiap hari kuminum diam-diam saat berada di rumah ibu mertua. Gunanya agar aku lebih bertenaga jika mengangkat beban berat. Ya maklumlah, air galon atau pun pasang gas, aku yang kerjakan. Belum lagi mengangkat tiga ember besar cucian. Tak sarapan pun masih kuat bertenaga."Iya, Rin, nanti kuminum, tanggung nih." Mas Bayu tetap melanjutkan kerjanya memaku kaki meja yang hampir sembilan puluh persen selesai.Mas Bayu tampak semangat bekerja. Berhenti pun jika makan atau ke kamar kecil. Begitu pun dengan Bapak, membantu tukang bangunan memanjat menyelesaikan atap war
Bukan aku tak menghargai ibu mertua, tapi semua ada batasnya. Apa yang ia katakan itulah yang dikembalikan. Jika sekarang ia bersikap baik lantaran ada maunya, tak perlu basa basi dan cukup jawab intinya saja tanpa paksaan."Rina, tunggu." Inur memanggil hingga langkahku terhenti."Ya, Mbak.""Tolong jangan perpanjang masalah, Ibu sedang sakit dan butuh bantuan. Hanya kita berdua mantu di rumah ini, kenapa tak saling berbagi?"Astaga, enak sekali berkata seolah hatiku terbuat dari batu. Mereka menghinaku. Bukan sekali atau dua kali, bahkan sering. Ucapan mereka mencemooh jika aku gil* hingga sekarang masih menusuk hati."Kita? Maaf ya, di rumah ini hanya kamu mantu yang seatap dengan Ibu, jadi jika ada masalah ya itu bukan urusanku. Lagian aku sudah berbagi kok, lumaya
Mas Bayu menelepon memberitahukan tentang kematian Stela. Innalillahi, tak menyangka jika umur Stela sependek ini. Bahkan yang lebih parahnya, Stela pendarahan hebat karena ingin menggugurkan kandungannya. Pemikiran yang pendek hingga gadis seperti Stela mau melakukan hal yang membuat ia kehilangan nyawa. Teringat bagaimana dengan angkuh, ia menghina dan membanggakan pendidikannya. Hanya saja pendidikan belum tentu membuat seseorang berpemikiran panjang. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa Stela, Aamiin."Kamu penyebab anakku mati! Kamu yang membunuh anakku! Kamu pembawa sial!"Baru menginjakkan kaki di sini, mataku langsung disuguhkan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Ibu mas Bayu menyalahkan Inur di depan para pelayat. Sebuah alasan yang tak berlogika, kenapa Inur disalahkan atas kematian Stela. Astagfirullah'alazim ... Astagfirullah'alazim.
Pov Bu IdaRasanya duaniaku mau runtuh. Siang ini ada seseorang datangkerumah memberi kabar tentang Stela. Dan yang membuat rasanya hampir berhentibernafas, Stela pendarahan di sebuah rumah seorang wanita, yang diketahui bahwawanita itu adalah dukun beranak. Ya Tuhan, jangan renggut anakku.Tadinya aku sudah sangat senang melihat Stela tidak lagimurung. Ia berdandan cantik seperti biasa ke kampus. Bahkan saat minta izin,terlihat senyum mengambang di bibirnya. Ia putriku yang cantik danberpendidikan.Berbagai cara telah dilakukan untuk menutupi kehamilanStela. Namun setelah kedatangan Leha, ia semakin terpuruk karena para tetanggamengetahui kehamilannya. Putri yang dibanggakan dengan berpendidikan, dimanjadan bahkan semua kemauannya selalu dipenuhi semaksimal kemampuanku, akhirnyabernasib seperti ini. &
Pov BayuMungkin saat ini Rina sudah mendapatkan apa yang ia mau.Surat cerai. Tak ingin larut dalam kesedihan akan rasa kehilangan, setiappulang kerja aku menyibukkan diri berkebun. Maksudnya berkebun dengan polybagdi halaman rumah. Dan kini, rumah terlihat hijau dengan sayuran yang mulaimenampakkan banyak daunnya. Sebuah hobi yang juga menghasilakan uang meskipuntak banyak.“Ini kopinya, Bay.”Kupalingkan muka ke teras, ibu meletakkan secangkir kopi dimeja. Tanpa diminta, ibu selalu melakukannya. Kadang sepiring pisang gorengjuga menemani memanjakan lidah. Hidangan sederhana yang mengingatkan aku padaRina. Dulu ia yang sering menghidangkan itu. Rina ..., rindu ini hanya untukmu.Setelah mencuci tangan, aku duduk di teras. Menikmatisuasana sore yang akan
Rasanya tak menyangka jika Inur akan seperti ini. Kulitwajah mulus, putih dan glowing sudah tak terlihat. Yang ada hanya seseorangyang mepunyai kulit bekas melepuh karena terbakar. Tapi hanya di bagian pipisebelah kanan, namun tetap saja terlihat mengerikan. Astagfirullah’alaziim.“Ka-kamu bukan Inur, tidak mungkin.” Jaka mungkin syokdengan apa yang dilihatnya. Dan mungkin semua orang di ruangan ini juga sepertiitu.“Mas, aku Inur istrimu,” lirih Inur berusaha mendekati Jaka.“Jangan mendekat! Aku takut melihatmu.”“Apa kamu tak bisa lihat jika Jaka takut melihatmu?” ketusibu mas Bayu. Dari cara bicaranya, bisa dipastikan jika ia tak menyukai Inur.“Bu, aku istri Mas Jak
“Kita jalan-jalan ke mana, Rin?” tanya Ibu sambil memasukanmakanan ke rantang.“Ke danau aja, Bu. Di sana pemandangannya bagus.”“Nggak apa-apa rumah makan ditinggal?” tanya bapak sepertienggan pergi. Tentu saja bapak merasa senang dengan usaha rumah makan ini. Kamibisa makan enak dan menghasilkan uang. Dari penghasilan rumah makan, tak lupa disisihkanuang buat biaya kuliah Yana. Dan ini lebih baik dari dulu saat bapak menjadipemulung.“Sekali-sekali apa salahnya kita refreshing, Pak. Lagian adaDoni yang ngurusin rumah makan kita. Kita percayakan saja, toh ia orangnyajujur kok.”“Bukan itu masalahnya, hanya saja Bapak merasa nyamanmengurus usaha ini.”“Iih, Bapak.
Pov Bu Ida“Wah, banyak sekali belanjaanmu, Stel.”“Iya dong, Bu. Kapan lagi aku menikmati hidup kalau bukansekarang.” Stela duduk sambil meletakkan semua belanjaanya di meja. “Ini untukIbu.” Stela menyodorkan sebuah kantong belajaanya padaku.“Ini buat Ibu ya?” Senang sekali Stela membelikan akusesuatu. Segera aku buka kantong itu.“Iyaaa. Semoga cocok sama Ibu.”“Waaah, gamisnya bagus sekali, Stel. Trus ini sendalnya ...,astaga, harganya mahal sekali.” Baru kali ini aku punya sendal mahal. Palingamahal yang pernah aku punya hanya sekitar sembilan puluh ribu. Mendadak merasajadi orang kaya deh.“Kapan Bagas ke sini lagi? Trus kapan ia membelikan mobildan rumah?”Dari setelah menikah hanya janji yang ada. Bagas hanyasekali ke sini setelah menikah. Stelah itu tak muncul lagi. Aku tahu Stelatidak mempermasalahakan itu, yang penting uangnya
Pov Inur“A-apa? Kamu minta cerai, Nur?” Suara mas Jaka tergagap.Tepatnya mungkin ia merasa syok dengan permintaanku. Lah iya laah, siapa jugamau punya suami cac*t dan tak berg*na. Aku masih cantik dan bisa mencari lelakilain yang bisa memanjakan diri dengan uang.“Sudah putraku begini ulahmu, kamu meninggalkannya tanparasa kasihan?” Ibu yang masih berstatus ibu mertua, bersuara lantang menatap. Dikiranyaaku akan diam saja, nggak dong. lagian apa lagi yang bisa diharapkan dari keluargaini. Capek iya.“Mungkin nih ya, ia lebih tertarik sama su*mi orang, Bu,”timpal Stela mencemooh. “Kamu juga sadar diri dong, statusmu apa?” Tentu aku tidaktinggal diam.“Aku lebih ba
Pov Jaka“Tidak! Tidak! Ini pasti mimpi, ini pasti mimpi!”“Kakiku! Ibu ... kakiku, Ibu ....”“Aaaak! Aku mau mati saja, aku tak ingin hidup lagi, Ibu....”Teriakan ini berkali-kali saat melihat dan merasakan, akukehilangan kedua kaki. predikat lelaki cacat yang tidak berguna, itulahsebuatanku. Tidak, ini hanya mimpi. Tidak!“Sabar, Nak. Sabar ....” Ibu memelukku ketika aku tak mampulagi berdiri sendiri. Di ranjang ini, disaksikan semua keluarga betapa malangnyanasibku. Kecelakaan itu membuatku kehilangan kaki. Bahkan di setelah kecewamelihat Inur selingkuh. Istri yang dipuja, dibanggakan dengan pintarnya merawatdiri, tapi tega mengkhianati. Aku seperti seonggok sampah yang ta
Ini bukan karena aku tak kasihan ke Raka, tapi ini demikebaikan dan kelangsungan hidup membesarkannya. Tak ada niat memisahkan antaramas Bayu dengan Raka, namun ini masalah kenyamanan. Jika aku memaksakan tetapbersama mas Bayu, mau tak mau pasti berhubungan dengan ibu dansaudara-saudaranya. Untuk mencari uang akan terhalang karena memikirkan banyak masalahyang timbul. Aku capek dan jenuh dengan semua itu.Tentang sikap mas Bayu akan berubah, itupun membuatku takyakin. Jika mas Bayu kecewa dengan penolakan dari aku, itu tetap terjadi danaku harus memikirkan diri sendiri. Menenggang rasa sudah dilakukan dari dulu.Hasilnya, aku terbelenggu seputar masalah itu juga tanpa ada solusi darinya.“Jangan pernah istilah janda menjadikanmu minder. Hidupkalau memikirkan tentang pendapat orang tak akan habis. Pikirkan bagaimanamembesarkan Raka de