Kali ini aku membantah karena sudah punya kekuatan berdiri sendiri. Meskipun belum seberapa bagi sebagian orang, tapi bagiku bisa menyelamatkan hidup dari hinaan. Akan kucari kontrakkan sambil buka warung nasi Padang. Belum rumah makan Padang karena uangku belum cukup untuk mengontrak ruko.
Alhamdulillah ... Alhamdulillah, tak henti-hentinya mengucap syukur atas rezeki ini. Usaha yang menghasilkan. Hinaan mereka cambuk bagiku agar terus kuat dan tak berhenti berusaha dan belajar menulis cerbung.
"Hari masih pagi, jangan bercanda karena aku tak level bercanda denganmu, Rin." Mbak Inur sempat juga menyelipkan hinaan dari setiap kata-kata yang dilontarkan padaku.
"Atau jangan-jangan sakit sarafnya kumat dan ia benaran gi*a, ha ha ha."
Aku diam sambil tersenyum manis menatap mereka. Sepasang suami istri menghina dan itu masih kata-kata cacian dari kemarin. Terdiamku karena ingin melihat apa saja yang akan diucapkan lagi. Ekspresi tertawa cemooh mereka akan selalu kuingat.
"Jangan gitu dong, Mas. Kalau dia gila trus yang jagain anak kita siapa?" Mbak Inur merangkul pundak suaminya.
"Ada apa sih? Pagi tertawa besar, suara hujan aja kalah." Tiba-tiba ibu mertua keluar dari kamar. Senyumku mendadak hilang melihat raut mukanya.
"Ini, Bu, Rina sok nggak butuh uangku," jawab mbak Inur. Aku yakin akan ada kelanjutan menghina. Kali ini mereka bukan berdua saja.
"Hah? Menghayal punya duit banyak lagi dia?" Ibu melirik sinis padaku.
"Hah? Ada yang kambuh?" Tuh kan, kini Stela juga ikut-ikutan menghina.
"Iya, Stel. Kakak iparmu yang terkaya ini nolak ngurusin bayiku dengan imbalan lima belas ribu. Maunya dua puluh juta kali, ha ha ha." Mas Jaka belum berhenti. Tertawa keras seperti tadi hingga yang lain pun ikut tertawa.
Sebaiknya aku pergi ke ATM. Ingin rasanya hari ini cari kontrakkan, atau lebih baik aku balik ke rumah ibu. Tapi hari hujan dan tak mungkin bawa Raka. Mau titip ke mas Bayu harus alasan apa? Aku belum ingin berkata jujur dari mana dapat uang. Ingin membuktikan saja hingga mereka penasaran.
"Rin, bantu aku angkat sekarung cabe," pinta mas Bayu berteriak di luar pintu.
Biasanya setiap pagi kami angkat sekarung cabe ke luar warung. Karena warung tak terlalu luas, makanya barang-barang jualan ibu ditumpuk ke dalam saat warung mau ditutup. Esoknya buka warung, sebagian barang jualan dikeluarkan lagi.
"Nggak usah repot, Mas. Nanti kamu terjatuh lagi. Biar nanti kuangkat sendiri."
Padahal aku tak ada niat mengangkatnya. Hanya ucapan sementara agar tak terjadi keributan karena aku membantah. Sabar dulu hingga waktunya.
"Hey, Bay! Istrimu nggak lagi sakit kan? Pagi-pagi berlagak seperti orang kaya. Menghayal sih boleh karna nggak bayar, hanya menghayalnya nggak nyadar nasib."
"Apa sih, Mbak? Rina bukan seperti itu loh," sanggah mas Bayu ke mbak Inur.
"Belain terus istri tak berguna," sindir ibu.
"Seharusnya cari istri seperti aku ini, Bay. Pintar dandan, nggak seperti istrimu yang tiap hari pakai daster lusuh. Lagian Inur juga tamat S1."
Mas bayu masuk. " Rina, ada masalah apa lagi?" tanyanya bernada baik.
"Aku ...."
"Istrimu nolak uang lima belas ribu rupah jagain anakku. Mungkin ia lebih suka kamu jadi pengemis, Bay," jawab mas Jaka memotong ucapanku.
"Jangan gitu ngomongnya, Mas. Mungkin Rina punya alasan lain. Jangan tersinggung dulu."
"Alasan apa lagi? Lah kalian berdua hanya di rumah aja, dapat uang dari mana? Untung kukasih kerjaan jagain anakku."
"Udah ker* milih lagi. Itu namanya tak tau diunt*ng!" Stela berucap seolah ia seorang tuan putri di rumah ini. Apakah ia lupa kebaikan suamiku dulunya?
'Silahkan puaskan dulu menghina kami, kutampung hingga nanti kumuntahkan,' bathinku.
"Tolong jaga omonganmu, Stela!" Muka mas Bayu merah seperti berusaha menahan amarah. Lagi, keadaan membuatnya tak bisa berkutik.
Keluarga macam apa mereka. Bukankah mas Bayu anak kedua di rumah ini? Tapi jika ia anak tiri, mungkin aku bisa maklum. Tak adakah rasa kasihan ibunya? Satu anak tersisih karena miskin dan cacat.
"Wow, udah bisa ngomong banyak kamu, Mas? Aku mah bicara apa adanya. Lagian jika nggak mampu jangan berlagak. Itu aja koook."
"Trus sadar diri tinggal di rumah ini," sambung Stela berdiri berkacak pinggang.
"Sudah sudah! Bayu tetap kakakmu, Stel. Biar cuma satu kaki tetap aja ada gunanya. Sekurang-kurangnya bantuin Ibu bersihkan warung, cuci motorku atau apalah. Lagian si Rina juga ada fungsingnya, ia bisa masak enak, trus apa kamu mau nyuci baju sendiri?"
"Ogah! Tanganku bisa kasar kalo nyuci."
Secara garis besar, mas Jaka memperjelas tugas kami seperti babu di rumah ini. Oke, sebelum aku pergi dari rumah ini. Akan kuperlihatkan cara membantah menantu yang hanya tamat SMP dengan sebutan menantu gil*. Karena bersikap diam terus menyiksaku.
"Biar anakmu titip padaku, Mas," ujar mas Bayu ke mas Jaka.
"Tidak bisa, Mas!" bantahku. "Aku juga perlu keluar, hari hujan dan aku titip Raka."
"Hah?" Serempak mereka melongo menatapku.
"Ha ha ha, sakit gil*nya belum sembuh, ha ha ha." Mas Jaka tertawa besar.
"Iya, pagi-pagi menghayal ada urusan penting seperti wanita karir aja, ha ha ha." Mbak Inur pun tertawa menanggapi seakan tak percaya.
"Oh Tuhaaan, malangnya aku punya mantu yang rada m*ring, ha ha ha."
"Ha ha ha, udah ah! Aku malas dengar orang yang belum sembuh. Bagusan aku ke kampus." Lalu Stela berlalu.
"Rina! Ayok sini." Mas Bayu mengajakku ke kamar. Pasti mau membicarakan ini.
"Tuh, urus istrimu, Bay," ucap mas Jaka sambil mengambil mantel hujan di meja.
"Sudah, Mas. Ayo berangkat kerja, nanti telat ngurusin Rina menghayal tingkat tinggi," kata mbak Inur sambil mengiringi suaminya ke pintu.
Aku mengikuti langkah mas Bayu ke kamar. Pagi ini perutku disuguhi sarapan hinaan keluarga suamiku. Masih ditahan dengan dada sesak. Ya, sebentar lagi akan diperlihatkan seperti apa 'menantu gil*' ini.
"Tolonglah, Rin. Jangan bikin banyak masalah. Kondisiku seperti ini. Jika kita membantah, kita mau tinggal di mana?" Mas Bayu mulai duduk di tepi ranjang.
"Mas, aku ingin pulang ke rumah orang tuaku. Lagian aku hanya berdua bersaudara. Aku yakin Ibu Bapak menyetujuinya."
"Tapi, Rin. Kita dapat biaya makan dari mana? Kita sama-sama tau keadaan orang tuamu."
Semenjak mas Bayu berhenti kerja, aku pun tak bisa mengirimkan uang ke orang tuaku. Hingga kini mereka menyambung hidup dari memungut botol-botol bekas atau kardus bekas di tong sampah dan jalanan. Sementara Yana --adikku masih menunggu kelulusan SMA tahun ini. Bahkan ia juga kerja di laundry sepulang sekolah. Kami sudah biasa hidup kekurangan. Namun ibu bapak tak pernah mengajarkan berhenti berusaha. Kata bapak, lebih baik memulung sampah dari pada mengemis.
"Pasti ada jalan asal kita usaha, mungkin kucoba buka warung kecil-kecilan, Mas."
"Biaya dari mana, Rin? Aku tak punya uang sepersen pun. Mungkin nunggu Mas Jaka pulang kerja dan aku dapat upah sepuluh ribu dari nyuci motornya. Seharusnya kamu nggak nolak jagain anaknya, toh kita dapat upah lima belas ribu."
Haruskah kujujur pada suamiku jika aku punya uang? Tapi ....
"Mas, aku bisa minta tolong jagain Raka? Aku diajak Yana hari ini kerja harian di laundry." Terpaksa berbohong.
Aku akan jujur jika sudah berada di rumah orang tuaku lalu kami buka warung. Jika ngontrak mungkin mengeluarkan biaya banyak. Uang itu buat buka usaha nantinya. Aku tak boleh menghabiskan sebanyak itu karena kedepannya belum tahu.
"Alhamdulillah ada kerjaan, coba nanti tanyakan jika aku juga bisa kerja di rumah bos Yana. Bilang aja aku juga bisa nyetrika baju meskipun kaki hanya satu. Biar nanti aku yang kerja dan kamu cukup ngurus Raka."
Mas Bayu masih bersemangat bekerja dengan kondisinya kini. Aku tahu ia suami yang bertanggung jawab. Itulah kenapa aku tak sanggup minta cerai jika alasannya ia tak bisa bekerja cari uang.
"Iya, Mas. Oh ya, nggak usah jagain anak Mbak Inur."
"Tapi, Rin, aku nggak enak nolaknya kamu tau sendiri ...."
"Sudahlah, Mas! Biar aku yang bilang. Aku capek dihina terus. Kita tinggal di rumah ibumu tapi seperti babu. Pokoknya siap-siap kita pulang ke rumah Ibuku." Kupertegas ucapan.
"Terserah kamu, Rin. Mungkin tinggal di rumah ibumu akan lebih dihargai. Tapi jika kamu izinkan, biarlah aku berdiri di lampu merah karena hanya itu yang bisa kulakukan saat ini."
"Tidak, Mas! Kita masih bisa berusaha. Jika aku mau sudah dari dulu kubiarkan kamu mengemis. Tapi aku yakin masih ada jalan."
Segera kuganti baju yang lebih baik. Ponsel dimasukan ke kantong kresek kecil, baru menyimpannya di saku celana kulot yang kupakai, agar tak basah karena hujan.
"Loh, kamu mau ke mana Rin? Trus yang jagain anakku siapa?" Tiba-tiba mbak Inur mendapatiku sedang mengambil payung di dapur.
"Jaga sendiri lah, kan sudah kubilang aku juga ada keperluan," jawabku berlalu dari dapur.
"Loh! Urusanku lebih penting, lagian kamu kuupah jagain anakku kok."
Ia sudah dandan dan siap-siap mau pergi. Sepatu hak tingginya saja sudah dipakai. Heran deh, mau ke rumah teman tapi dandanan seperti pergi kondangan. Atau karena aku tak biasa dandan seperti itu jika ia terlihat menor di mataku.
"Hey mantu terkaya! Mau ke mana? Kum*t lagi s*rafmu?" Ibu mertua melototiku.
Nenek lampir kok juga ikutan bertanya? Memperlama langkahku saja.
Aku tak peduli. Pertanyaan mereka kuabaikan. Kubuka payung lalu menerobos hujan meninggalkan rumah.
"Rina! Aku juga sudah ada janjian! Rina!"
"Rina!"
Teriakan mbak Inur masih terdengar. Kupalingkan ke belakang, ia dan ibu mertua berdiri di tetas melihatku pergi.
***
Segera kutarik uang via Atm. Seadanya saja. Untuk beli cemilan, nasi bungkus padang dan jus dua gelas. Tak lupa belanja baju serta tas baru. Kali ini juga kubeli dua buah cincin, tentu emas 24 karat dong. Dua cincin itu melingkar cantik di jari manis dan jari tengah tangan kananku.
"Oke, waktunya pulang," gumamku sambil menyetop taksi.
Hujan sudah reda. Matahari menampakkan diri. Sambil perjalanan pulang, kusempatkan mengetik satu atau dua paragraf cerbung. Setelah menerima uang dari hasil menulis, semangatku makin bertambah. Alhamdulillah, tak hentinya mengucap syukur.
Akhirnya taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah, tepatnya depan warung ibu mertua. Hari sudah siang dan warung pun terlihat sepi. Hanya ibu mertua yang duduk di warung sambil melihat ke arah taksi. Lalu mulai aku keluar.
Prak!
Kututup pintu mobil, lalu taksi meninggalkanku. Kakiku melangkah ingin masuk rumah sambil menenteng kantong belanjaan. Terlihat ibu mertua mangap, tentu ia terkejut melihatku pulang naik taksi. Aku sih cuek saja seolah tak melihatnya di dalam warung.
Aku pun masuk ke rumah. Terlihat dari kaca jendela, ibu juga melangkah mendekat.
"Assalamu'alaikum, Mas! Mas Bayu!"
"Hey Rina! Kamu nggak punya kuping apa? Gara-gara kamu aku batal pergi, dan ...." Mbak Inur tidak melanjutkan kata-katanya, matanya terfokus melihat kantong belanjaan yang sengaja kuletakkan di meja tamu.
"Kok kamu belanja banyak?" tanya ibu tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
Kubalikan badan. Kini mbak Inur dan ibu mertua sudah berdiri di depanku. Aku pun pura-pura memperbaiki jilbab yang menempel di kepala, agar tangan kananku terlihat memakai dua buah cincin emas.
"I-itu cincin emas benaran?" tanya ibu tergagap, menunjuk jariku. Mata mereka membulat sempurna.
Bersambung ....
"I-itu cincin emas benaran?" tanya ibu mertua. Matanya membulat sempurna menujuk jariku. Begitupun mbak Inur agak sedikit mangap.'Makanya, jangan remehkan aku yang hanya tamat SMP,' bathinku. Pura-pura tak dengar."Rina! Ibu nanya kok malah diam. Itu cincin dari mana dapatnya?" Mbak Inur kesal karena kuabaikan."Apa?""Apa apa apa! Ini kamu dapat uang dari mana belanja? Sini lihat cincin itu!" Ibu ingin menggapai jariku."Iiih! Apaan sih?" Kujauhkan tanganku dari ibu."Sini lihat!" Ibu masih kukuh agar aku memberikan cincin ini.Oh, tidak bisa! Emangnya apa urusanmu."Kenapa Ibu memaksaku agar memberikan cincin ini? Toh bukan punya Ibu kan?""A-apa? Kamu sudah bisa melawan sekarang?" Bahuku kananku sedikit di dorong."Iih! Bisa nggak tangannya dijauhkan dari aku?" Alisku bertaut menatapnya. Tentu aku tak bisa diam seperti biasa."Hah? Bisa melawan ia sekarang, Bu." Si tukang kompor
"Aku kecewa padamu, Mas. Raka disakiti kamu hanya diam!" Duduk di tepi ranjang, kupandangi Raka sedang tertidur.Sudah tak tahan ingin mengucapkanya. Ia seorang bapak, meskipun dengan keadaan fisik kaki satu, tapi bukan berarti diam melihat anak disakiti. Sekilas merasakan, akulah yang mengendalikan semua keadaan tanpa ada tempat mengadu dan berlindung.Tuhan, maaf jika sering hinggap dengan sebuah rasa lelah. Tapi aku hanya perempuan biasa yang juga butuh perlindungan. Tapi kenyataanya ..., Astagfirullah'alaziim, kenapa aku mengeluh di saat keadaan mas Bayu seperti ini."Aku tidak lihat, Rin. Hanya sebentar kutinggal karena Ibu minta bersihkan genangan air hujan di teras. Lagian jika dibiarkan takutnya yang lewat terjatuh.""Tapi bukan berarti kamu diam kalau tau dia mencubit anakku!"Ibu mana yang rela jika anaknya disakiti orang lain. Apalagi Raka baru satu tahun."Aku tidak tau, Rin. Tiba-tiba Raka menangis dan kudekati, Mbak
"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi. Selama ini diam dan diam. Ia lelaki tapi mulutnya seperti ....Seketika mata mas Jaka membelalak."Kamu!" Mas Jaka menujukku."Iya, Mas. Mulut istrimu sudah sangat keterlaluan menghina kami. Termasuk kalian semuanya!"Ya Tuhan, kali ini mas Bayu berani menjawab lantang, sebelum mas Jaka memperpanjang ucapannya. Hingga ia beralih melotot ke suamiku."Berani kamu berteriak padaku!" Mas Jaka membalas menghardik suamiku."Iya, lagian jika kami tak bersaudara dengan kalian tak masalah. Toh persaudaraan ini seperti tuan dan majikan." Kuperjelas dengan nada kesal."Tuh! lihat sendiri, Mas. Baru punya duit har*m aja sudah sok." Inur mengompori suaminya."Memalukan, aku yang punya uang tapi kok kamu yang sewot?" Tentu kuucapkan sambil tersenyum sungging. Berusaha tenang agar
"Lagian rumah ini cukup kamar, kok, Rin. Lagian jika kalian ngontrak pasti keluarin duit banyak. Lah di sini nggak usah bayar." Ibu berusaha merayuku agar tak jadi pergi."Nanti aku carikan usaha buat Bayu yang cocok dengan kondisi kakinya. Mungkin buka counter jual pulsa atau token listrik. Itu kan nggak repot amat." Mas Jaka menimpali seperti ia punya solusi, seolah sangat pintar. Lagian kenapa tidak dari dulu saja ide itu.Kuhela nafas besar. Menyimak sambil membaca maksud ucapan mereka. Sedikit pun aku tak tertarik. Cukup hinaan yang diterima selama ini."Rina! Rin!" Mas Bayu memanggil dari tepi jalan."Iya, Mas!" sahutku."Bayu! Sini!" Wajah ibu terlihat bersahabat memanggil putranya. Hanya saja tumben kok kelihatan baik. Biasanya mas Bayu seperti beban dalam hidupnya, terutama di hari tuanya, itulah yang sering dilontarkan di saat marah."Bayu, sini!" Kali ini kakak suamiku ikut memanggil. Wuih! Baik sekali cara memanggil
Pov Bu Ida (mertua)Setelah membicarakan tentang Rina dan Bayu, akhirnya kami mendapat kesepakatan. Mereka harus kembali ke rumah ini. Jika Rina punya bakat menulis yang nenghasilkan uang, tentu aku harus merayu Bayu agar bisa membantu biaya kuliah Stela.Semenjak Bayu tak lagi bekerja, aku harus banting tulang mencari uang di usaha warung. Sementara Jaka hanya membantu biaya dapur delapan puluh persen, ditambah seratus persen biaya listrik. Tapi tetap saja tak mencukupi. Pengeluaran untuk Stela besar, bahkan sehari menghabiskan uang seratus ribu."Jadi gimana, Bay. Mau kan balik lagi ke rumah kita?" ajakku. Tentu aku harus membuat putraku menurut, lah ia lahir dari rahimku.Bayu justru melihat ke Rina. Seketika mereka beradu pandang. Entah apa yang dipikirkan. Hanya saja aku harus gigih agar mereka setuj
"Ini teh telor, Mas. Semoga semangat kerjanya." Kuletakkan tiga gelas teh telur. Ini ciri khas minuman di daerahku. Kuning telur ayam kampung yang dikocok dengan gula, setelah itu disiram dengan air teh mendidih. Baru dikasih susu kental manis dan sedikit irisan jahe.Minuman ini hampir setiap hari kuminum diam-diam saat berada di rumah ibu mertua. Gunanya agar aku lebih bertenaga jika mengangkat beban berat. Ya maklumlah, air galon atau pun pasang gas, aku yang kerjakan. Belum lagi mengangkat tiga ember besar cucian. Tak sarapan pun masih kuat bertenaga."Iya, Rin, nanti kuminum, tanggung nih." Mas Bayu tetap melanjutkan kerjanya memaku kaki meja yang hampir sembilan puluh persen selesai.Mas Bayu tampak semangat bekerja. Berhenti pun jika makan atau ke kamar kecil. Begitu pun dengan Bapak, membantu tukang bangunan memanjat menyelesaikan atap war
Bukan aku tak menghargai ibu mertua, tapi semua ada batasnya. Apa yang ia katakan itulah yang dikembalikan. Jika sekarang ia bersikap baik lantaran ada maunya, tak perlu basa basi dan cukup jawab intinya saja tanpa paksaan."Rina, tunggu." Inur memanggil hingga langkahku terhenti."Ya, Mbak.""Tolong jangan perpanjang masalah, Ibu sedang sakit dan butuh bantuan. Hanya kita berdua mantu di rumah ini, kenapa tak saling berbagi?"Astaga, enak sekali berkata seolah hatiku terbuat dari batu. Mereka menghinaku. Bukan sekali atau dua kali, bahkan sering. Ucapan mereka mencemooh jika aku gil* hingga sekarang masih menusuk hati."Kita? Maaf ya, di rumah ini hanya kamu mantu yang seatap dengan Ibu, jadi jika ada masalah ya itu bukan urusanku. Lagian aku sudah berbagi kok, lumaya
"Mas! Mas!" teriakku panik. Lalu ikut membantu bapak memegang kaki mas Bayu.Ya Tuhan, kenapa mas Bayu berbuat senekat ini. Setahuku, ia bukan lelaki yang mudah putus asa. Terbukti saat ia kehilangan satu kaki, kesedihan tidak lama dan selalu percaya jika takdir Tuhan yang terbaik. Tapi kenapa sekarang seperti ini?"Rina, cepat lepaskan tali dari leher Bayu," titah bapak tak melepas kaki suamiku."I-iya, Pak," jawabku lalu meraih kursi."Astagfirullah'alaziim, Bayu?" Ibu sudah berdiri di ambang pintu dapur, terkejut melihat."Biar kubantu, Kak." Yana pun datang dan segera mengambil pisau dapur.Naik kursi, aku berusaha menggapai tali yang menjerat leher mas Bayu. Wajahnya pucat dan tadi tangannya tegang kehilangan nafas.
Mas Bayu menelepon memberitahukan tentang kematian Stela. Innalillahi, tak menyangka jika umur Stela sependek ini. Bahkan yang lebih parahnya, Stela pendarahan hebat karena ingin menggugurkan kandungannya. Pemikiran yang pendek hingga gadis seperti Stela mau melakukan hal yang membuat ia kehilangan nyawa. Teringat bagaimana dengan angkuh, ia menghina dan membanggakan pendidikannya. Hanya saja pendidikan belum tentu membuat seseorang berpemikiran panjang. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa Stela, Aamiin."Kamu penyebab anakku mati! Kamu yang membunuh anakku! Kamu pembawa sial!"Baru menginjakkan kaki di sini, mataku langsung disuguhkan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Ibu mas Bayu menyalahkan Inur di depan para pelayat. Sebuah alasan yang tak berlogika, kenapa Inur disalahkan atas kematian Stela. Astagfirullah'alazim ... Astagfirullah'alazim.
Pov Bu IdaRasanya duaniaku mau runtuh. Siang ini ada seseorang datangkerumah memberi kabar tentang Stela. Dan yang membuat rasanya hampir berhentibernafas, Stela pendarahan di sebuah rumah seorang wanita, yang diketahui bahwawanita itu adalah dukun beranak. Ya Tuhan, jangan renggut anakku.Tadinya aku sudah sangat senang melihat Stela tidak lagimurung. Ia berdandan cantik seperti biasa ke kampus. Bahkan saat minta izin,terlihat senyum mengambang di bibirnya. Ia putriku yang cantik danberpendidikan.Berbagai cara telah dilakukan untuk menutupi kehamilanStela. Namun setelah kedatangan Leha, ia semakin terpuruk karena para tetanggamengetahui kehamilannya. Putri yang dibanggakan dengan berpendidikan, dimanjadan bahkan semua kemauannya selalu dipenuhi semaksimal kemampuanku, akhirnyabernasib seperti ini. &
Pov BayuMungkin saat ini Rina sudah mendapatkan apa yang ia mau.Surat cerai. Tak ingin larut dalam kesedihan akan rasa kehilangan, setiappulang kerja aku menyibukkan diri berkebun. Maksudnya berkebun dengan polybagdi halaman rumah. Dan kini, rumah terlihat hijau dengan sayuran yang mulaimenampakkan banyak daunnya. Sebuah hobi yang juga menghasilakan uang meskipuntak banyak.“Ini kopinya, Bay.”Kupalingkan muka ke teras, ibu meletakkan secangkir kopi dimeja. Tanpa diminta, ibu selalu melakukannya. Kadang sepiring pisang gorengjuga menemani memanjakan lidah. Hidangan sederhana yang mengingatkan aku padaRina. Dulu ia yang sering menghidangkan itu. Rina ..., rindu ini hanya untukmu.Setelah mencuci tangan, aku duduk di teras. Menikmatisuasana sore yang akan
Rasanya tak menyangka jika Inur akan seperti ini. Kulitwajah mulus, putih dan glowing sudah tak terlihat. Yang ada hanya seseorangyang mepunyai kulit bekas melepuh karena terbakar. Tapi hanya di bagian pipisebelah kanan, namun tetap saja terlihat mengerikan. Astagfirullah’alaziim.“Ka-kamu bukan Inur, tidak mungkin.” Jaka mungkin syokdengan apa yang dilihatnya. Dan mungkin semua orang di ruangan ini juga sepertiitu.“Mas, aku Inur istrimu,” lirih Inur berusaha mendekati Jaka.“Jangan mendekat! Aku takut melihatmu.”“Apa kamu tak bisa lihat jika Jaka takut melihatmu?” ketusibu mas Bayu. Dari cara bicaranya, bisa dipastikan jika ia tak menyukai Inur.“Bu, aku istri Mas Jak
“Kita jalan-jalan ke mana, Rin?” tanya Ibu sambil memasukanmakanan ke rantang.“Ke danau aja, Bu. Di sana pemandangannya bagus.”“Nggak apa-apa rumah makan ditinggal?” tanya bapak sepertienggan pergi. Tentu saja bapak merasa senang dengan usaha rumah makan ini. Kamibisa makan enak dan menghasilkan uang. Dari penghasilan rumah makan, tak lupa disisihkanuang buat biaya kuliah Yana. Dan ini lebih baik dari dulu saat bapak menjadipemulung.“Sekali-sekali apa salahnya kita refreshing, Pak. Lagian adaDoni yang ngurusin rumah makan kita. Kita percayakan saja, toh ia orangnyajujur kok.”“Bukan itu masalahnya, hanya saja Bapak merasa nyamanmengurus usaha ini.”“Iih, Bapak.
Pov Bu Ida“Wah, banyak sekali belanjaanmu, Stel.”“Iya dong, Bu. Kapan lagi aku menikmati hidup kalau bukansekarang.” Stela duduk sambil meletakkan semua belanjaanya di meja. “Ini untukIbu.” Stela menyodorkan sebuah kantong belajaanya padaku.“Ini buat Ibu ya?” Senang sekali Stela membelikan akusesuatu. Segera aku buka kantong itu.“Iyaaa. Semoga cocok sama Ibu.”“Waaah, gamisnya bagus sekali, Stel. Trus ini sendalnya ...,astaga, harganya mahal sekali.” Baru kali ini aku punya sendal mahal. Palingamahal yang pernah aku punya hanya sekitar sembilan puluh ribu. Mendadak merasajadi orang kaya deh.“Kapan Bagas ke sini lagi? Trus kapan ia membelikan mobildan rumah?”Dari setelah menikah hanya janji yang ada. Bagas hanyasekali ke sini setelah menikah. Stelah itu tak muncul lagi. Aku tahu Stelatidak mempermasalahakan itu, yang penting uangnya
Pov Inur“A-apa? Kamu minta cerai, Nur?” Suara mas Jaka tergagap.Tepatnya mungkin ia merasa syok dengan permintaanku. Lah iya laah, siapa jugamau punya suami cac*t dan tak berg*na. Aku masih cantik dan bisa mencari lelakilain yang bisa memanjakan diri dengan uang.“Sudah putraku begini ulahmu, kamu meninggalkannya tanparasa kasihan?” Ibu yang masih berstatus ibu mertua, bersuara lantang menatap. Dikiranyaaku akan diam saja, nggak dong. lagian apa lagi yang bisa diharapkan dari keluargaini. Capek iya.“Mungkin nih ya, ia lebih tertarik sama su*mi orang, Bu,”timpal Stela mencemooh. “Kamu juga sadar diri dong, statusmu apa?” Tentu aku tidaktinggal diam.“Aku lebih ba
Pov Jaka“Tidak! Tidak! Ini pasti mimpi, ini pasti mimpi!”“Kakiku! Ibu ... kakiku, Ibu ....”“Aaaak! Aku mau mati saja, aku tak ingin hidup lagi, Ibu....”Teriakan ini berkali-kali saat melihat dan merasakan, akukehilangan kedua kaki. predikat lelaki cacat yang tidak berguna, itulahsebuatanku. Tidak, ini hanya mimpi. Tidak!“Sabar, Nak. Sabar ....” Ibu memelukku ketika aku tak mampulagi berdiri sendiri. Di ranjang ini, disaksikan semua keluarga betapa malangnyanasibku. Kecelakaan itu membuatku kehilangan kaki. Bahkan di setelah kecewamelihat Inur selingkuh. Istri yang dipuja, dibanggakan dengan pintarnya merawatdiri, tapi tega mengkhianati. Aku seperti seonggok sampah yang ta
Ini bukan karena aku tak kasihan ke Raka, tapi ini demikebaikan dan kelangsungan hidup membesarkannya. Tak ada niat memisahkan antaramas Bayu dengan Raka, namun ini masalah kenyamanan. Jika aku memaksakan tetapbersama mas Bayu, mau tak mau pasti berhubungan dengan ibu dansaudara-saudaranya. Untuk mencari uang akan terhalang karena memikirkan banyak masalahyang timbul. Aku capek dan jenuh dengan semua itu.Tentang sikap mas Bayu akan berubah, itupun membuatku takyakin. Jika mas Bayu kecewa dengan penolakan dari aku, itu tetap terjadi danaku harus memikirkan diri sendiri. Menenggang rasa sudah dilakukan dari dulu.Hasilnya, aku terbelenggu seputar masalah itu juga tanpa ada solusi darinya.“Jangan pernah istilah janda menjadikanmu minder. Hidupkalau memikirkan tentang pendapat orang tak akan habis. Pikirkan bagaimanamembesarkan Raka de