"Aku kecewa padamu, Mas. Raka disakiti kamu hanya diam!" Duduk di tepi ranjang, kupandangi Raka sedang tertidur.
Sudah tak tahan ingin mengucapkanya. Ia seorang bapak, meskipun dengan keadaan fisik kaki satu, tapi bukan berarti diam melihat anak disakiti. Sekilas merasakan, akulah yang mengendalikan semua keadaan tanpa ada tempat mengadu dan berlindung.
Tuhan, maaf jika sering hinggap dengan sebuah rasa lelah. Tapi aku hanya perempuan biasa yang juga butuh perlindungan. Tapi kenyataanya ..., Astagfirullah'alaziim, kenapa aku mengeluh di saat keadaan mas Bayu seperti ini.
"Aku tidak lihat, Rin. Hanya sebentar kutinggal karena Ibu minta bersihkan genangan air hujan di teras. Lagian jika dibiarkan takutnya yang lewat terjatuh."
"Tapi bukan berarti kamu diam kalau tau dia mencubit anakku!"
Ibu mana yang rela jika anaknya disakiti orang lain. Apalagi Raka baru satu tahun.
"Aku tidak tau, Rin. Tiba-tiba Raka menangis dan kudekati, Mbak Inur sedang asik duduk menonton tivi."
"Seharus tanya kenapa Raka nangis."
"Iya, kata Mbak Inur terjatuh tadinya."
Oooh, jadi si Inur berbohong dan mengakui setelah aku yang bertanya. Mau cari sesuatu membalasku? Lagian jika aku menolak mengasuh bayinya, bukan hak dia memaksa.
Lama-lama ia semena-mena menginjak kami.
"Oke, sekarang kita kemasi baju balik ke rumah orang tuaku. Lama-lama di sini bisa bikin aku melakukan sesuatu di luar kewajaran. Aku capek menahan dan bersabar selama ini." Aku bangkit dari ranjang, lalu mengambil tas besar di sudut kamar.
"Rina, tolong beri tau aku dari mana kamu bisa punya uang sebanyak ini. Setengah hari keluar rumah mustahil bisa beli emas."
Kuletakkan tas lalu menoleh ke mas Bayu. "Aku menulis cerbung di aplikasi prabayar, Mas," jawabku.
"Cerbung? Maksudnya cerita bersambung seperti novel gitu?" Alis mas Bayu bertaut. Tentu ia kurang mengerti karena sebelumnya aku hanya pernah bercerita belajar menulis dengan seorang teman.
"Iya, Mas."
"Tapi, tapi mustahil jika hanya nulis cerbung bisa dapat uang sebanyak ini. Dan ...."
"Kamu lihat setiap malam aku main hp, kan?"
"Iya, sih. Tapi ..., katanya kamu hanya belajar menulis."
"Mas, maksud menulis di sini menulis cerita bersambung, bukan menulis seperti anak baru sekolah. Dari dulu aku sudah bisa nulis dan baca, kalo nggak, nggak mungkin juga aku bisa tamat SMP."
Beginilah nasib yang hanya tamat SMP. Seolah seperti orang bodoh. Mas Bayu bukan menganggapku bodoh, hanya saja ia terlihat tertegun jika aku bisa melakukan sesuatu yang setara dengan orang-orang yang pernah kuliah. Itu yang kubaca dari caranya menanggapi. Bagiku, asal ada kemauan belajar, umur bukan masalah.
"Bentar." Lalu kukeluarkan ponsel dari saku. Lalu jariku memencet ponsel, untuk melihat tampilan penghasilan menulis di aplikasi baca novel.
"Lihat ini, Mas." Ponsel kuulurkan ke mas Bayu, memperlihatkan nominal yang tertera.
"Astagfirullah'alaziim! I-ini benaran, Rin? Masya Allah ...." Mata mas Bayu membulat sempurna melihat layar ponsel.
"Sekarang, aku ingin kita pergi dari sini. Aku akan buka warung di rumah Ibuku, sambil aku menulis kamu juga bisa jagain warung, Mas. Ini lebih baik dari pada kita diperbudak, seperti rumah ini bukan rumah ibumu, tapi rumah majikan." Kuperjelas agar mas Bayu sadar jika keluarga kandungnya tak ada yang bisa membantu dan menghargai kami.
"Maafkan aku, Rin. Aku memberi kehidupan seperti ... seandainya kamu pun mau meninggalkan aku karena kondisiku, aku tak akan melarangmu karena aku sadar tak bisa memberi nafkah untukmu dan Raka. Aku hanya beban bagimu ...." Mendadak mas Bayu tersekat bicara, ia mengusap mata dengan jari agar air matanya tak berjatuhan. Ini kedua kali kulihat ia menangis. Pertama saat ia menerima kenyataan jika kakinya diamputasi.
"Mas, aku istrimu. Selagi semua yang kamu lakukan wajar, tak masalah. Lagian kita masih punya tangan dan otak sehat untuk bisa berusaha."
Bahasa sedikit kasar dan apa adanya kulontarkan. Bicara dengan suamiku tak perlu basa basi karena kami sudah mengenal sifat masing-masing. Yang penting kami saling menghargai.
"Aku bisa apa, Rin? Lihat kakiku hanya satu. Betul kata Stela dan Mas Jaka, aku hanya cocok berdiri di lampu merah."
Hinaan dari saudara kandung, aku tahu gimana sakit rasanya. Tapi aku bisa apa? Sedangkan ibunya sendiri tak membela.
"Sudahlah, Mas. Sekarang kita mulai bangkit. Aku ingin kita buka warung nasi padang depan rumah Ibuku. Aku akan ajari Mas masak yang enak. Kita sama-sama menekuni usaha ini, aku yakin Ibuku juga membantu kita merintis usaha. Nanti aku juga akan terus menulis."
"Iya iya iya, Rin. Aku, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Terima kasih ...." Mas Bayu memelukku. Bentuk syukur dan semangatnya bisa kurasakan. Ikhlas dengan takdir Tuhan, aku yakin selagi ada usaha pasti ada jalan.
Kami melanjutkan mengemas baju. Sebenarnya barang-barang yang kubeli saat mas Bayu kerja dulu masih ada. Seperti peralatan masak, lemari piring, kulkas yang kini di warung ibu dan kursi tamu yang terpajang. Masih banyak yang lainnya.
"Mas, aku mau bawa peralatan masakku dulu," ucapku sambil memasukan baju ke dalam tas.
"Yang dipakai di dapur?"
"Bukan, kutarok di kardus di sudut dapur. Lagian peralatan masak Ibu sudah ada makanya tidak kupakai."
"Ya udah, bawa aja. Dari pada beli dan tambah pengeluaran," jawab mas Bayu sambil menggusuk punggung Raka agar ia tertidur lagi, karena tadi sempat terbangun.
"Ntar kulkasnya kita bawa juga, Rin. Semua barang yang kita beli bagusan dibawa."
"Kamu yakin, Mas?"
"Iya."
"Nanti kita cari mobil sewa buat membawanya."
Aku tak yakin orang di rumah ini memperbolehkan. Pasti ada perdebatan hebat. Sepertinya ini sulit karena mereka banyak.
Aku melangkah ingin ke dapur. Saat melewati ruang tengah, kulihat mas Jaka sudah pulang dan sedang bicara dengan ibu, Stela dan istrinya. Biasanya jam segini ia belum pulang. Bisa jadi ditelepon karena insiden keributan yang terjadi.
'Jangan takut, Rina. Ini negara hukum, seandainya Jaka berbuat kasar, siap-siap ponselmu merekam jadi bukti,' ucapku di hati mensugesti diri agar tak takut menghadapi mereka. Ide ini juga terinspirasi dari cerbung yang kubaca.
Pikiran buruk pun terlintas karena aku tahu sifat lelaki yang bertatus kakak ipar. Ia tak akan segan melontarkan hinaan seolah ia yang bisa segalanya.
"Tuh dia, Mas," ucap Inur menujukku. Aku cuek tetap berlalu ke dapur.
"Hey, Rina, sini!" panggil mas Jaka dengan nada tidak enak. Seperti majikan memanggil pembantu.
Aku tetap berlalu tanpa memperdulikannya. Sampai di dapur, kuambil kardus pembukus alat-alat masak. Lalu berlalu ke luar.
Akan tetapi, sampai depan kamarku. Terlihat mas Bayu berdiri berhadapan dengan mereka. Aku yakin pasti membahas tentang aku.
"Jujur aja! Pasti istrimu mencuri. Nggak mungkin dapat uang banyak hanya setengah hari."
Astagfirullah'alaziim. Jadi ini yang mereka tanyakan ke mas Bayu. Pikiran buruk seolah mereka tak pernah sekolah, bahasa pun terdengar kasar.
"Rina tidak mencuri, Mas. Tolong jangan sebarakan fitnah."
"Trus istrimu dapat uang dari mana? Kamu mau nanti ada orang yang datang menangkap istrimu. Aku bisa malu karna ia masih mantuku!" Ibu mertua pun membuat mas Bayu di posisi sulit.
"Pasti nyuri lah, tangannya aja kuat dan cepat memukul, pasti mencuri keahliannya." Inur pun tak tinggal diam. Terlihat ia sangat sakit hati kulayangkan tamparan tadi.
Segera kuhidupkan kamera ponsel. Ponsel kupegang sambil menjinjing kardus yang sudah diikat dengan tali agar mudah membawanya. Lalu berlalu dekat mereka.
"Rina jadi penulis novel, Bu," jawab mas Bayu. Akhirnya suamiku jujur juga.
"Mas, ayok," ucapku berlalu ke teras. Sampai di teras kuletakan kardus lalu balik ke kamar ingin mengambil tas.
"Apa? Penulis, ha ha ha. Hoy, Bayu! Emang istrimu tamat sarjana? Aku aja yang tamat sarjana belum tentu bisa jadi penulis."
"Ha ha ha, betul, Mas Jaka. Lama-lama adikmu ini sama seperti istrinya yang rada mir*ng." Inur pun tertawa besar. Begitu pun yang lain.
"Mas Bayu, mana ada hanya nulis cerita dapat uang banyak. Jangan kira aku bodoh! Lah harga novel aja tidak mahal-mahal amat. Belum lagi biaya penerbit. Ngomong yang benar aja, makanya berwawasan luas dong." Lagi, Stela meremehkan aku seolah ia sangat pintar karena masih kuliah.
"Mas, ayo. Tak usah dibahas lagi." Aku berlalu masuk kamar. Mengambil tas dan membawanya ke teras.
"Ow ow ow, penulis terkenal tuh, dapat uang banyak bisa beli cincin emas. Menghayal ketinggian. Biasa noton sinetron kali." Suara Stela sangat lantang menyindir.
"Hey! Kalian mau ke mana?" tanya mas Jaka karena melihatku mondar mandir bawa tas besar.
"Kami akan pergi, supaya kamu bisa beli mobil. Betul kan, Mas?" Aku masih ingat ucapannya. Katanya gara-gara menampung kami makan, ia tak bisa beli mobil.
"Masih ingat? Lagian kalian mau ke mana? Mengemis?"
"Mas, ia yang menampar aku. Balaskan sekarang." Ada dendam membara di mata Inur.
"Iya, Mas. Ia juga menamparku. Sudah ditampung membakang lagi." Stela pun memperlihatkan amarahnya.
"Rina! Cepat bersujud minta maaf pada ustriku dan adikku."
Astaga, ia mau aku bersujud minta maaf? Sampai kiamat pun tak akan sudi.
"Emang kalian siapa? Ajarin istrimu agar tak menyakiti Raka. Anak umur satu tahun dicubit hingga kakinya membiru. Jika aku mau bisa saja kulaporkan ke polisi, foto sebagai bukti dan istrimu bisa dipenjara."
"A-apa?" Mas Jaka tergagap. Mungkin tidak menyangka jika aku bisa bicara ini. Semua kuketahui dari baca cerbung seorang Author, jika terjadi kekerasan fisik pada anak-anak ada landasan hukumnya. Tak tahu juga kekerasan seperti apa.
"Betul itu, Nur?"
"Tapi ia juga menamparku, Mas."
"Tapi tetap tidak baik memukul Raka, ia masih kecil loh. Kok kamu seperti nggak pernah punya anak, sih."
Mas Jaka saja masih ada hati nurani. Tapi si Inur?
"Kok nyalahin aku! Aku seharusnya bisa ikut acara reunian tak jadi karena dia nggak mau ngurusin zilan."
"Katanya mau berbisnis, kok reunian, sih?"
"Mmm maksudnya sambilan, Mas," poles Inur. Aku tahu itu pasti akal-akannya saja.
"Sudah, Jaka. Nih gimana penyelesaiannya?" timpal ibu.
"Rina harus minta maaf bersujud di kaki Inur dan Stela. Menampar sudah sangat keterlaluan!"
"Aku setuju," jawab Stela tersenyum sinis.
"Ya, bersujud sekarang!" Inur pun percaya diri jika aku akan patuh pada suaminya.
"Mas, ayok kita pergi. Biar kugendong Raka," ucapku ke mas Bayu. Kuabaikan ucapan mereka.
"Rina!" teriak mas Raka.
"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi.
Seketika mata mas Jaka membelalak.
Biar ia berbadan besar dan seorang lelaki, aku tak takut. Seandainya mas Jaka berbuat kasar, aku akan teriak minta tolong. Rumah ini di tepi jalan utama, di depan juga ramai orang lalu lalang. Aku tahu mas Bayu belum tentu bisa melindungiku karena kondisi kakinya.
Bersambung
Bersambung ....
"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi. Selama ini diam dan diam. Ia lelaki tapi mulutnya seperti ....Seketika mata mas Jaka membelalak."Kamu!" Mas Jaka menujukku."Iya, Mas. Mulut istrimu sudah sangat keterlaluan menghina kami. Termasuk kalian semuanya!"Ya Tuhan, kali ini mas Bayu berani menjawab lantang, sebelum mas Jaka memperpanjang ucapannya. Hingga ia beralih melotot ke suamiku."Berani kamu berteriak padaku!" Mas Jaka membalas menghardik suamiku."Iya, lagian jika kami tak bersaudara dengan kalian tak masalah. Toh persaudaraan ini seperti tuan dan majikan." Kuperjelas dengan nada kesal."Tuh! lihat sendiri, Mas. Baru punya duit har*m aja sudah sok." Inur mengompori suaminya."Memalukan, aku yang punya uang tapi kok kamu yang sewot?" Tentu kuucapkan sambil tersenyum sungging. Berusaha tenang agar
"Lagian rumah ini cukup kamar, kok, Rin. Lagian jika kalian ngontrak pasti keluarin duit banyak. Lah di sini nggak usah bayar." Ibu berusaha merayuku agar tak jadi pergi."Nanti aku carikan usaha buat Bayu yang cocok dengan kondisi kakinya. Mungkin buka counter jual pulsa atau token listrik. Itu kan nggak repot amat." Mas Jaka menimpali seperti ia punya solusi, seolah sangat pintar. Lagian kenapa tidak dari dulu saja ide itu.Kuhela nafas besar. Menyimak sambil membaca maksud ucapan mereka. Sedikit pun aku tak tertarik. Cukup hinaan yang diterima selama ini."Rina! Rin!" Mas Bayu memanggil dari tepi jalan."Iya, Mas!" sahutku."Bayu! Sini!" Wajah ibu terlihat bersahabat memanggil putranya. Hanya saja tumben kok kelihatan baik. Biasanya mas Bayu seperti beban dalam hidupnya, terutama di hari tuanya, itulah yang sering dilontarkan di saat marah."Bayu, sini!" Kali ini kakak suamiku ikut memanggil. Wuih! Baik sekali cara memanggil
Pov Bu Ida (mertua)Setelah membicarakan tentang Rina dan Bayu, akhirnya kami mendapat kesepakatan. Mereka harus kembali ke rumah ini. Jika Rina punya bakat menulis yang nenghasilkan uang, tentu aku harus merayu Bayu agar bisa membantu biaya kuliah Stela.Semenjak Bayu tak lagi bekerja, aku harus banting tulang mencari uang di usaha warung. Sementara Jaka hanya membantu biaya dapur delapan puluh persen, ditambah seratus persen biaya listrik. Tapi tetap saja tak mencukupi. Pengeluaran untuk Stela besar, bahkan sehari menghabiskan uang seratus ribu."Jadi gimana, Bay. Mau kan balik lagi ke rumah kita?" ajakku. Tentu aku harus membuat putraku menurut, lah ia lahir dari rahimku.Bayu justru melihat ke Rina. Seketika mereka beradu pandang. Entah apa yang dipikirkan. Hanya saja aku harus gigih agar mereka setuj
"Ini teh telor, Mas. Semoga semangat kerjanya." Kuletakkan tiga gelas teh telur. Ini ciri khas minuman di daerahku. Kuning telur ayam kampung yang dikocok dengan gula, setelah itu disiram dengan air teh mendidih. Baru dikasih susu kental manis dan sedikit irisan jahe.Minuman ini hampir setiap hari kuminum diam-diam saat berada di rumah ibu mertua. Gunanya agar aku lebih bertenaga jika mengangkat beban berat. Ya maklumlah, air galon atau pun pasang gas, aku yang kerjakan. Belum lagi mengangkat tiga ember besar cucian. Tak sarapan pun masih kuat bertenaga."Iya, Rin, nanti kuminum, tanggung nih." Mas Bayu tetap melanjutkan kerjanya memaku kaki meja yang hampir sembilan puluh persen selesai.Mas Bayu tampak semangat bekerja. Berhenti pun jika makan atau ke kamar kecil. Begitu pun dengan Bapak, membantu tukang bangunan memanjat menyelesaikan atap war
Bukan aku tak menghargai ibu mertua, tapi semua ada batasnya. Apa yang ia katakan itulah yang dikembalikan. Jika sekarang ia bersikap baik lantaran ada maunya, tak perlu basa basi dan cukup jawab intinya saja tanpa paksaan."Rina, tunggu." Inur memanggil hingga langkahku terhenti."Ya, Mbak.""Tolong jangan perpanjang masalah, Ibu sedang sakit dan butuh bantuan. Hanya kita berdua mantu di rumah ini, kenapa tak saling berbagi?"Astaga, enak sekali berkata seolah hatiku terbuat dari batu. Mereka menghinaku. Bukan sekali atau dua kali, bahkan sering. Ucapan mereka mencemooh jika aku gil* hingga sekarang masih menusuk hati."Kita? Maaf ya, di rumah ini hanya kamu mantu yang seatap dengan Ibu, jadi jika ada masalah ya itu bukan urusanku. Lagian aku sudah berbagi kok, lumaya
"Mas! Mas!" teriakku panik. Lalu ikut membantu bapak memegang kaki mas Bayu.Ya Tuhan, kenapa mas Bayu berbuat senekat ini. Setahuku, ia bukan lelaki yang mudah putus asa. Terbukti saat ia kehilangan satu kaki, kesedihan tidak lama dan selalu percaya jika takdir Tuhan yang terbaik. Tapi kenapa sekarang seperti ini?"Rina, cepat lepaskan tali dari leher Bayu," titah bapak tak melepas kaki suamiku."I-iya, Pak," jawabku lalu meraih kursi."Astagfirullah'alaziim, Bayu?" Ibu sudah berdiri di ambang pintu dapur, terkejut melihat."Biar kubantu, Kak." Yana pun datang dan segera mengambil pisau dapur.Naik kursi, aku berusaha menggapai tali yang menjerat leher mas Bayu. Wajahnya pucat dan tadi tangannya tegang kehilangan nafas.
Ya, aku yakin pemuda bernama Kelfin ini adalah yang ada di foto status facebook Stela. Barusan kulihat dan ingatanku masih segar. Tapi, kenapa ia bersama Yana?"Mbak Rina, kenalkan ini temanku atau anak dari bos aku." Yana menepuk pundakku hingga aku tersentak."Oh! Iya," jawabku gugup. Lalu kusambut uluran tangan Kelfin."Aku Kelfin, Kak Rina," ucapnya ramah."Oh, silahkan duduk, Kelfin.""Tidak usah, Kak, lain kali saja. Aku terburu-buru karena mau ngantarkan Mama ke dokter," tolaknya."Oh gitu. Lain kali duduk dan minum kopi dulu, ya," ujarku sekedar basa basi."Pasti, Kak. Permisi." Kutanggapi mengangguk kecil sambil tersenyum."Aku b
Uang lima ribu dari mas Jaka, kulempar ke wajahnya. Jika kami tak diakui sebagai saudara, tak masalah. Tapi ia menghina kami. Tentu aku tak bisa diam, toh hidupku tak tergantung dia. Jika diam dihina bukan solusinya. Ia mempermalukan kami, justru aku balik mempermalukannya. Apa yang ia tanam itulah yang kupetik dan dikembalikan."Ka-kamu?" Matanya membulat seiring ucapan gugup. Tepatnya mungkin tak percaya jika aku berani melempar wajahnya dengan uang lima ribu itu. Seketika wajahnya merah seperti malu atau amarah."Kenapa? Malu mengakui Suamiku adik kandungmu?""Hah? Jadi adikmu, Bro?" ucap temannya seakan terkejut."Parah lu, Bro ....""Tapi kok?"Semua temannya berucap seakan tak percaya dengan yang kukatakan. Atau lebih tepatnya sanga
Mas Bayu menelepon memberitahukan tentang kematian Stela. Innalillahi, tak menyangka jika umur Stela sependek ini. Bahkan yang lebih parahnya, Stela pendarahan hebat karena ingin menggugurkan kandungannya. Pemikiran yang pendek hingga gadis seperti Stela mau melakukan hal yang membuat ia kehilangan nyawa. Teringat bagaimana dengan angkuh, ia menghina dan membanggakan pendidikannya. Hanya saja pendidikan belum tentu membuat seseorang berpemikiran panjang. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa Stela, Aamiin."Kamu penyebab anakku mati! Kamu yang membunuh anakku! Kamu pembawa sial!"Baru menginjakkan kaki di sini, mataku langsung disuguhkan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Ibu mas Bayu menyalahkan Inur di depan para pelayat. Sebuah alasan yang tak berlogika, kenapa Inur disalahkan atas kematian Stela. Astagfirullah'alazim ... Astagfirullah'alazim.
Pov Bu IdaRasanya duaniaku mau runtuh. Siang ini ada seseorang datangkerumah memberi kabar tentang Stela. Dan yang membuat rasanya hampir berhentibernafas, Stela pendarahan di sebuah rumah seorang wanita, yang diketahui bahwawanita itu adalah dukun beranak. Ya Tuhan, jangan renggut anakku.Tadinya aku sudah sangat senang melihat Stela tidak lagimurung. Ia berdandan cantik seperti biasa ke kampus. Bahkan saat minta izin,terlihat senyum mengambang di bibirnya. Ia putriku yang cantik danberpendidikan.Berbagai cara telah dilakukan untuk menutupi kehamilanStela. Namun setelah kedatangan Leha, ia semakin terpuruk karena para tetanggamengetahui kehamilannya. Putri yang dibanggakan dengan berpendidikan, dimanjadan bahkan semua kemauannya selalu dipenuhi semaksimal kemampuanku, akhirnyabernasib seperti ini. &
Pov BayuMungkin saat ini Rina sudah mendapatkan apa yang ia mau.Surat cerai. Tak ingin larut dalam kesedihan akan rasa kehilangan, setiappulang kerja aku menyibukkan diri berkebun. Maksudnya berkebun dengan polybagdi halaman rumah. Dan kini, rumah terlihat hijau dengan sayuran yang mulaimenampakkan banyak daunnya. Sebuah hobi yang juga menghasilakan uang meskipuntak banyak.“Ini kopinya, Bay.”Kupalingkan muka ke teras, ibu meletakkan secangkir kopi dimeja. Tanpa diminta, ibu selalu melakukannya. Kadang sepiring pisang gorengjuga menemani memanjakan lidah. Hidangan sederhana yang mengingatkan aku padaRina. Dulu ia yang sering menghidangkan itu. Rina ..., rindu ini hanya untukmu.Setelah mencuci tangan, aku duduk di teras. Menikmatisuasana sore yang akan
Rasanya tak menyangka jika Inur akan seperti ini. Kulitwajah mulus, putih dan glowing sudah tak terlihat. Yang ada hanya seseorangyang mepunyai kulit bekas melepuh karena terbakar. Tapi hanya di bagian pipisebelah kanan, namun tetap saja terlihat mengerikan. Astagfirullah’alaziim.“Ka-kamu bukan Inur, tidak mungkin.” Jaka mungkin syokdengan apa yang dilihatnya. Dan mungkin semua orang di ruangan ini juga sepertiitu.“Mas, aku Inur istrimu,” lirih Inur berusaha mendekati Jaka.“Jangan mendekat! Aku takut melihatmu.”“Apa kamu tak bisa lihat jika Jaka takut melihatmu?” ketusibu mas Bayu. Dari cara bicaranya, bisa dipastikan jika ia tak menyukai Inur.“Bu, aku istri Mas Jak
“Kita jalan-jalan ke mana, Rin?” tanya Ibu sambil memasukanmakanan ke rantang.“Ke danau aja, Bu. Di sana pemandangannya bagus.”“Nggak apa-apa rumah makan ditinggal?” tanya bapak sepertienggan pergi. Tentu saja bapak merasa senang dengan usaha rumah makan ini. Kamibisa makan enak dan menghasilkan uang. Dari penghasilan rumah makan, tak lupa disisihkanuang buat biaya kuliah Yana. Dan ini lebih baik dari dulu saat bapak menjadipemulung.“Sekali-sekali apa salahnya kita refreshing, Pak. Lagian adaDoni yang ngurusin rumah makan kita. Kita percayakan saja, toh ia orangnyajujur kok.”“Bukan itu masalahnya, hanya saja Bapak merasa nyamanmengurus usaha ini.”“Iih, Bapak.
Pov Bu Ida“Wah, banyak sekali belanjaanmu, Stel.”“Iya dong, Bu. Kapan lagi aku menikmati hidup kalau bukansekarang.” Stela duduk sambil meletakkan semua belanjaanya di meja. “Ini untukIbu.” Stela menyodorkan sebuah kantong belajaanya padaku.“Ini buat Ibu ya?” Senang sekali Stela membelikan akusesuatu. Segera aku buka kantong itu.“Iyaaa. Semoga cocok sama Ibu.”“Waaah, gamisnya bagus sekali, Stel. Trus ini sendalnya ...,astaga, harganya mahal sekali.” Baru kali ini aku punya sendal mahal. Palingamahal yang pernah aku punya hanya sekitar sembilan puluh ribu. Mendadak merasajadi orang kaya deh.“Kapan Bagas ke sini lagi? Trus kapan ia membelikan mobildan rumah?”Dari setelah menikah hanya janji yang ada. Bagas hanyasekali ke sini setelah menikah. Stelah itu tak muncul lagi. Aku tahu Stelatidak mempermasalahakan itu, yang penting uangnya
Pov Inur“A-apa? Kamu minta cerai, Nur?” Suara mas Jaka tergagap.Tepatnya mungkin ia merasa syok dengan permintaanku. Lah iya laah, siapa jugamau punya suami cac*t dan tak berg*na. Aku masih cantik dan bisa mencari lelakilain yang bisa memanjakan diri dengan uang.“Sudah putraku begini ulahmu, kamu meninggalkannya tanparasa kasihan?” Ibu yang masih berstatus ibu mertua, bersuara lantang menatap. Dikiranyaaku akan diam saja, nggak dong. lagian apa lagi yang bisa diharapkan dari keluargaini. Capek iya.“Mungkin nih ya, ia lebih tertarik sama su*mi orang, Bu,”timpal Stela mencemooh. “Kamu juga sadar diri dong, statusmu apa?” Tentu aku tidaktinggal diam.“Aku lebih ba
Pov Jaka“Tidak! Tidak! Ini pasti mimpi, ini pasti mimpi!”“Kakiku! Ibu ... kakiku, Ibu ....”“Aaaak! Aku mau mati saja, aku tak ingin hidup lagi, Ibu....”Teriakan ini berkali-kali saat melihat dan merasakan, akukehilangan kedua kaki. predikat lelaki cacat yang tidak berguna, itulahsebuatanku. Tidak, ini hanya mimpi. Tidak!“Sabar, Nak. Sabar ....” Ibu memelukku ketika aku tak mampulagi berdiri sendiri. Di ranjang ini, disaksikan semua keluarga betapa malangnyanasibku. Kecelakaan itu membuatku kehilangan kaki. Bahkan di setelah kecewamelihat Inur selingkuh. Istri yang dipuja, dibanggakan dengan pintarnya merawatdiri, tapi tega mengkhianati. Aku seperti seonggok sampah yang ta
Ini bukan karena aku tak kasihan ke Raka, tapi ini demikebaikan dan kelangsungan hidup membesarkannya. Tak ada niat memisahkan antaramas Bayu dengan Raka, namun ini masalah kenyamanan. Jika aku memaksakan tetapbersama mas Bayu, mau tak mau pasti berhubungan dengan ibu dansaudara-saudaranya. Untuk mencari uang akan terhalang karena memikirkan banyak masalahyang timbul. Aku capek dan jenuh dengan semua itu.Tentang sikap mas Bayu akan berubah, itupun membuatku takyakin. Jika mas Bayu kecewa dengan penolakan dari aku, itu tetap terjadi danaku harus memikirkan diri sendiri. Menenggang rasa sudah dilakukan dari dulu.Hasilnya, aku terbelenggu seputar masalah itu juga tanpa ada solusi darinya.“Jangan pernah istilah janda menjadikanmu minder. Hidupkalau memikirkan tentang pendapat orang tak akan habis. Pikirkan bagaimanamembesarkan Raka de