Seketika mata mas Jaka membelalak.
"Kamu!" Mas Jaka menujukku.
"Iya, Mas. Mulut istrimu sudah sangat keterlaluan menghina kami. Termasuk kalian semuanya!"
Ya Tuhan, kali ini mas Bayu berani menjawab lantang, sebelum mas Jaka memperpanjang ucapannya. Hingga ia beralih melotot ke suamiku.
"Berani kamu berteriak padaku!" Mas Jaka membalas menghardik suamiku.
"Iya, lagian jika kami tak bersaudara dengan kalian tak masalah. Toh persaudaraan ini seperti tuan dan majikan." Kuperjelas dengan nada kesal.
"Tuh! lihat sendiri, Mas. Baru punya duit har*m aja sudah sok." Inur mengompori suaminya.
"Memalukan, aku yang punya uang tapi kok kamu yang sewot?" Tentu kuucapkan sambil tersenyum sungging. Berusaha tenang agar bisa membalas ucapan mereka.
"Aku juga nggak yakin ia punya uang banyak. Jangan harap kami menahan kepergian kalian supaya bisa dapat penghormatan di rumah ini!"
Dengan angkuhnya mas Jaka bicara seolah kami akan minta maaf jika digertak. Secuil pun aku tak akan pernah tunduk pada mereka. Jika aku tak salah kenapa harus takut, toh ini uang halal yang kudapat dari hasil menulis, bukan mencuri ataupun menipu orang lain.
"Usir aja, Mas," hasut Inur.
"Jangan Jaka! Bayu tetap di rumah ini." Ibu mertua kenapa menahan?
"Bu, mereka yang pilih pergi kenapa repot nahan, sih? Lagian juga bakalan balik lagi. Kita usir pasti mereka ke sini lagi. Aku yakin itu, Bu." Stela berucap jika kami pasti tunduk padanya.
"Tenang aja, tanpa diusir kami pasti pergi," jawabku tanpa ragu.
"Assalamu'alaikum." Tiba-tiba mbak Leha datang. Pintu dibiarkan terbuka hingga ia langsung melangkah masuk.
Mendadak semuanya terdiam melihat ke arah mbak Leha.
"W*'alaikumsalam, Mbak," jawabku.
"Jadi kan, Rin?" tanyanya.
"Jadi, Mbak. Lagian aku udah telpon kan?" jawabku.
Kemarin saat nutup warung, mbak Leha datang beli garam. Waktu itu hanya aku di warung karena seperti biasa membersihkan sampah sebelum warung ditutup. Kukatakan uang yang dipinjam akan segera diganti karena menunggu pencairan hasil dari menulis. Sebagai bukti kuperlihatkan penghasilan beserta nama akun aku di aplikasi tersebut. Pembicaraan itu disambut antusias mbak Leha karena ia salah satu pembaca tetap di aplikasi dan group f******k tenteng menulis membaca novel. Tak menyangka, ia salah satu pembaca setiaku.
Kebanyakan dari penulis baru memasang foto profile bukan foto wajah asli. Seperti aku contohnya, memasang foto tanaman dan nama akun diambil dari nama anakku. Itulah kenapa tak ada yang tahu kehidupan pribadiku.
"Hey Leha, mau nagih hutangmu yang dilebihin, katanya banyak uang dari nulis, kayak orang berpendidikan aja," cerocos ibu mertua.
"Idih Bu Ida ini mulutnya kok kayak gitu ke mantunya, seharusnya Ibu beruntung punya mantu yang bisa melakukan sesuatu pake otak meskipun tamat SMP. Aku salah satu penggemar tulisan Rina, loh."
Lagi, mereka tertawa meremehkan aku, seolah tak percaya yang diucapkan mbak Leha.
"Apa maksud Mbak Leha? Seperti dia Mbak kagumi? Helooo, Mbak punya mata nggak sih." Sudah kesekian kali Stela merendahkanku, dan bahkan jariku tak cukup menghitungnya.
"Hey, Stel, hanya orang yang hobi baca yang tau. Kamu suka baca nggak?" balas mbak Leha.
"Aku nih kuliah dan berilmu, baca apapun pasti bisa lah."
Berilmu tapi bahasanya ..., Astagfirullah'alaziim. Hanya bisa mengurut dada mendengar cara bicara adik iparku yang berpendidikan.
"Bukan bisa bacanya yang kubilang. Tapi suka baca cerbung atau novel online nggak?"
"Oooh, mm ya nggak, siih," jawab Stela terdengar ragu.
"Aku suka baca malah. Itu mah bacaanku setiap malam, bahkan gabung di group f* khusus baca novel. Jangan kira aku ketinggalan ya, Leha." Inur menimpali seakan ia juga hobi membaca cerbung.
Semuanya terlihat menyimak dengan pemikiran masing-masing.
"Hey hey hey! Kalian ngomong apa sih?" Dipastikan mas Jaka tidak nyambung dengan pembicaraan ini.
"Mbak Leha, ini uangnya." Kuberikan uang tiga ratus ribu sesuai janji.
Tak ada yang menanggapi pertanyaan mas Jaka.
"Makasih ya, Rin. Tapi aku nggak minta lebihin, loh." Mbak Leha menerimanya dengan senang.
"Ini keinginanku, Mbak. Makasi ya Mbak bersedia meminjamkan uang. Hanya Mbak yang mau meminjamkan. Alhamdulillah aku bisa bayar dan bukan sedang mimpi punya uang." Ini sindiran untuk mereka.
"Sama-sama. Aku percaya kamu bisa bayar makanya kupinjamkan. Oh ya, ntar ajarin aku nulis juga ya, biar dapat uang seperti kamu, Rin. Nggak nyangka deh cerbungnya laris hingga dapat uang belasan juta di satu aplikasi."
"A-apa? Makasudnya apa sih, Leha?" Ibu mertua tercengang dan kelihatan masih belum mengerti.
"Aku nggak percaya kalau dia penulis. Mana buktinya? Kalau yang lain tak hobi baca aku bisa maklum kalian bohongi, tapi tidak dengan aku. Aku juga suka baca cerbung dan juga sering beli koin buat baca bab cerita." Inur masih belum yakin dengan ucapan mbak Leha tentang aku bisa menulis cerbung.
"Oh ya? Berarti kita sama ya, Nur. Aku mah juga sering beli koin buat baca cerita. Koin murah meriah dan masih terjangkau, ya. Baca di aplikasi apa?"
"Ntar kubuktikan." Lalu Inur fokus memencet ponselnya.
"Benaran Rina dapat duit dari nulis cerita, Leha?"
"Iya, Bu Ida," jawab mbak Leha.
"Kok bisa? Lagian ia hanya tamat SMP."
"Bu Ida, tamat SMP bukan berati bodoh loh, jangan remehkan pendidikan seseorang. Yang terlihat buruk dari luar belum tentu buruk, begitu pun sebaliknya."
Ibu mertua langsung melirikku. Stela dan mas Jaka juga masih menyimak.
"Ini, lihat dan buktikan sendiri kalau aku tau apa yang kalian berdua bicarakan." Inur mengulurkan ponselnya ke mbak Leha.
"Wah! aplikasi yang sama dengan tempatmu menulis, Rin." Mbak Leha melirikku sekilas. "Nah ini dia, kategori cerita terpopuler bulan ini, lihat nih, ini cerbungnya Rina, Nur." Ponsel itu diberikan lagi ke Inur.
"Cerbung ini? Nggak mungkin, ini salah satu penulis baru pavoritku. Jangan mengada-ngada, Leha. Nggak mungkin deh ini Rina. Lah namanya saja nama lelaki."
"Mana, Mbak, coba kulihat." Stela ikut melihat layar ponsel Inur.
"Ini, Stel. Lihat tuh tulisannya, nggak mungkin kan itu Rina yang nulis. Lah dia nggak punya laptop." Inur menujuk layar ponselnya.
"Oooh, iya iya, dari tulisannya aja seperti kuliah bidang menulis. Mereka pasti bohong agar kita menghormatinya."
"Mbak Leha, makasi sekali lagi. Mudah-mudahan lain kali kita masih bisa bertemu." Lalu kugendong Raka keluar yang diiringi mas Bayu.
Terlihat mereka masih berbincang dan aku pun tak peduli. Bagiku sekarang balik ke rumah ibu dan mulai merintis warung.
"Rin, biar kubawa tas ini. Kamu gendong saja Raka ke tepi jalan."
"Iya, Mas," jawabku, lalui melangkahkan kaki ke tepi jalan untuk menyetop angkot.
Mas Bayu berusaha mengangkat satu tas. Ada dua tas. Dan diangkat satu dulu karena kondisinya.
Sampai di tepi jalan, terlihat ramai angkot lalu lalang. Hanya saja banyak yang penuh. Namun aku belum menyetop lantaran tas dan kardus barang masih belum dibawa ke sini.
"Ini tasnya, tinggal satu lagi, Rin." Mas Bayu meletakkan satu tas. Sementara kardus barang juga masih di teras rumah.
"Biar aku yang angkat lebihnya, Mas. Kamu di sini aja sambil pegangin Raka."
Akan memakan waktu lama, jika aku menghandalkan mas Bayu mengangkat satu tas lagi dan kardus barang. Kuputuskan jika aku yang mengambilnya.
"Iya, Rin." Lalu mas Bayu memegang tangan Raka agar tak lari ke jalan raya. Aku pun mulai kembali ke teras mengambil tas dan kardus barang.
Akan tetapi, terlihat mereka semuanya berdiri di teras menatapku. Rasa tak enak dan mungkin akan ada perdebatan lagi. Aku sudah siap menghadapinya. Mau mereka mengusir kasar atau mencaci, akan terpaksa kudengar karena ini hari terakhirku di rumah ini.
"Rina, kamu yakin mau pergi?" Tiba-tiba ibu mertua bertanya. Namun nadanya terdengar lebih baik.
Aku diam tak menjawab. Tas dan kardus barang sasaran mataku karena ingin segera meraihnya.
"Rina, jika kalian ingin tetap di rumah ini juga tak masalah."
Astaga, mas Jaka terdengar menawarkan atau menahanku?
"Tapi ia sudah menamparku, Mas," bisik Inur yang bisa kudengar.
"Diam, Nur," tegur mas Jaka ke istrinya.
"Oke! Kamu kumaafkan, Mbak," tukas Stela hingga membuatku menoleh padanya.
"Apa? Kamu memaafkanku?" tanyaku balik.
Inur terlihat cemberut. Namun ia tak berani menghadapiku lantaran ditegur suaminya. Entah apa maksud mas Jaka.
"Iya, bukankah kamu kakak iparku juga?"
Tumben Stela mengatakan 'kakak iparku'.
"Kamu salah, aku nggak minta maaf sama kamu? Jadi nggak perlu merasa kamu memaafkan aku. Aneh, ngakunya berpendidikan tapi nggak ngerti mana bahasa minta maaf." Kali ini aku mencoba sedikit membalas.
"Dasar ...." Stela terlihat emosi dengan jawabanku.
"Diam, Stela!" Ibu mertua langsung mencubit Stela hingga ia tak jadi membalas kata-kataku. Tumben ibu mertua melarang putrinya menghinaku.
"Tapi, Bu."
"Diam!" Gigi ibu mertua bertaut sambil melotot ke Stela.
"Uuuh!" Seketika Stela langsung berlari ke dalam rumah.
"Rina, sebaiknya kita bicarakan semua baik-baik. Kalian mau ke mana? Lihat, Bayu juga kesulitan jika kalian pergi."
Ow ow ow! Mas Jaka terdengar sangat baik. Ada apa dengan mereka?
"Iya, Rina. Toh kita bisa hidup rukun di rumah ini. Saling mendukung untuk kemajuan." Ibu mertua terdengar bersahaja. Astaga, mereka berubah seratus delapan puluh derajat.
"Maksudnya apa, ya?" Aku bertanya untuk meyakinkan ucapan mereka. Tas sudah kujinjing beserta kardus barang.
"Kembalilah ke kamarmu. Rapikan barang-barangmu dan mari kita bicara di dalam," ajak ibu mertua.
"Hah?" Tentu aku terkejut mendengarnya.
"Rina, aku balik dulu ya. Nanti kalau tak jadi pergi aku ke sini lagi minta ajarin menulis cerbung. Seandainya penghasilanmu tetap sebesar ini perbulannya, aku yakin hanya waktu enam bulan saja kamu bisa beli mobil. Oke Mbak Author-ku, aku pulang dulu, ya." Mbak Leha berpamitan, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum, berlalu pergi.
Ooh, aku mengerti. Jadi mbak Leha menjelaskan semuanya hingga ibu mertua dan kakak iparku berubah baik. Dan mereka berharap aku tak jadi pergi. Astaga, apakah mereka ada maunya?
Bersambung ....
"Lagian rumah ini cukup kamar, kok, Rin. Lagian jika kalian ngontrak pasti keluarin duit banyak. Lah di sini nggak usah bayar." Ibu berusaha merayuku agar tak jadi pergi."Nanti aku carikan usaha buat Bayu yang cocok dengan kondisi kakinya. Mungkin buka counter jual pulsa atau token listrik. Itu kan nggak repot amat." Mas Jaka menimpali seperti ia punya solusi, seolah sangat pintar. Lagian kenapa tidak dari dulu saja ide itu.Kuhela nafas besar. Menyimak sambil membaca maksud ucapan mereka. Sedikit pun aku tak tertarik. Cukup hinaan yang diterima selama ini."Rina! Rin!" Mas Bayu memanggil dari tepi jalan."Iya, Mas!" sahutku."Bayu! Sini!" Wajah ibu terlihat bersahabat memanggil putranya. Hanya saja tumben kok kelihatan baik. Biasanya mas Bayu seperti beban dalam hidupnya, terutama di hari tuanya, itulah yang sering dilontarkan di saat marah."Bayu, sini!" Kali ini kakak suamiku ikut memanggil. Wuih! Baik sekali cara memanggil
Pov Bu Ida (mertua)Setelah membicarakan tentang Rina dan Bayu, akhirnya kami mendapat kesepakatan. Mereka harus kembali ke rumah ini. Jika Rina punya bakat menulis yang nenghasilkan uang, tentu aku harus merayu Bayu agar bisa membantu biaya kuliah Stela.Semenjak Bayu tak lagi bekerja, aku harus banting tulang mencari uang di usaha warung. Sementara Jaka hanya membantu biaya dapur delapan puluh persen, ditambah seratus persen biaya listrik. Tapi tetap saja tak mencukupi. Pengeluaran untuk Stela besar, bahkan sehari menghabiskan uang seratus ribu."Jadi gimana, Bay. Mau kan balik lagi ke rumah kita?" ajakku. Tentu aku harus membuat putraku menurut, lah ia lahir dari rahimku.Bayu justru melihat ke Rina. Seketika mereka beradu pandang. Entah apa yang dipikirkan. Hanya saja aku harus gigih agar mereka setuj
"Ini teh telor, Mas. Semoga semangat kerjanya." Kuletakkan tiga gelas teh telur. Ini ciri khas minuman di daerahku. Kuning telur ayam kampung yang dikocok dengan gula, setelah itu disiram dengan air teh mendidih. Baru dikasih susu kental manis dan sedikit irisan jahe.Minuman ini hampir setiap hari kuminum diam-diam saat berada di rumah ibu mertua. Gunanya agar aku lebih bertenaga jika mengangkat beban berat. Ya maklumlah, air galon atau pun pasang gas, aku yang kerjakan. Belum lagi mengangkat tiga ember besar cucian. Tak sarapan pun masih kuat bertenaga."Iya, Rin, nanti kuminum, tanggung nih." Mas Bayu tetap melanjutkan kerjanya memaku kaki meja yang hampir sembilan puluh persen selesai.Mas Bayu tampak semangat bekerja. Berhenti pun jika makan atau ke kamar kecil. Begitu pun dengan Bapak, membantu tukang bangunan memanjat menyelesaikan atap war
Bukan aku tak menghargai ibu mertua, tapi semua ada batasnya. Apa yang ia katakan itulah yang dikembalikan. Jika sekarang ia bersikap baik lantaran ada maunya, tak perlu basa basi dan cukup jawab intinya saja tanpa paksaan."Rina, tunggu." Inur memanggil hingga langkahku terhenti."Ya, Mbak.""Tolong jangan perpanjang masalah, Ibu sedang sakit dan butuh bantuan. Hanya kita berdua mantu di rumah ini, kenapa tak saling berbagi?"Astaga, enak sekali berkata seolah hatiku terbuat dari batu. Mereka menghinaku. Bukan sekali atau dua kali, bahkan sering. Ucapan mereka mencemooh jika aku gil* hingga sekarang masih menusuk hati."Kita? Maaf ya, di rumah ini hanya kamu mantu yang seatap dengan Ibu, jadi jika ada masalah ya itu bukan urusanku. Lagian aku sudah berbagi kok, lumaya
"Mas! Mas!" teriakku panik. Lalu ikut membantu bapak memegang kaki mas Bayu.Ya Tuhan, kenapa mas Bayu berbuat senekat ini. Setahuku, ia bukan lelaki yang mudah putus asa. Terbukti saat ia kehilangan satu kaki, kesedihan tidak lama dan selalu percaya jika takdir Tuhan yang terbaik. Tapi kenapa sekarang seperti ini?"Rina, cepat lepaskan tali dari leher Bayu," titah bapak tak melepas kaki suamiku."I-iya, Pak," jawabku lalu meraih kursi."Astagfirullah'alaziim, Bayu?" Ibu sudah berdiri di ambang pintu dapur, terkejut melihat."Biar kubantu, Kak." Yana pun datang dan segera mengambil pisau dapur.Naik kursi, aku berusaha menggapai tali yang menjerat leher mas Bayu. Wajahnya pucat dan tadi tangannya tegang kehilangan nafas.
Ya, aku yakin pemuda bernama Kelfin ini adalah yang ada di foto status facebook Stela. Barusan kulihat dan ingatanku masih segar. Tapi, kenapa ia bersama Yana?"Mbak Rina, kenalkan ini temanku atau anak dari bos aku." Yana menepuk pundakku hingga aku tersentak."Oh! Iya," jawabku gugup. Lalu kusambut uluran tangan Kelfin."Aku Kelfin, Kak Rina," ucapnya ramah."Oh, silahkan duduk, Kelfin.""Tidak usah, Kak, lain kali saja. Aku terburu-buru karena mau ngantarkan Mama ke dokter," tolaknya."Oh gitu. Lain kali duduk dan minum kopi dulu, ya," ujarku sekedar basa basi."Pasti, Kak. Permisi." Kutanggapi mengangguk kecil sambil tersenyum."Aku b
Uang lima ribu dari mas Jaka, kulempar ke wajahnya. Jika kami tak diakui sebagai saudara, tak masalah. Tapi ia menghina kami. Tentu aku tak bisa diam, toh hidupku tak tergantung dia. Jika diam dihina bukan solusinya. Ia mempermalukan kami, justru aku balik mempermalukannya. Apa yang ia tanam itulah yang kupetik dan dikembalikan."Ka-kamu?" Matanya membulat seiring ucapan gugup. Tepatnya mungkin tak percaya jika aku berani melempar wajahnya dengan uang lima ribu itu. Seketika wajahnya merah seperti malu atau amarah."Kenapa? Malu mengakui Suamiku adik kandungmu?""Hah? Jadi adikmu, Bro?" ucap temannya seakan terkejut."Parah lu, Bro ....""Tapi kok?"Semua temannya berucap seakan tak percaya dengan yang kukatakan. Atau lebih tepatnya sanga
Pov BayuStela adikku. Saat ia tumbuh dewasa, ia bukan lagi adik kecil yang kubimbing saat menyeberang jalan. Bermain di halaman rumah, berlari. Saat ia terjatuh, aku yang menggendongnya meskipun akhirnya akulah yang dimarahi ibu karena tak bisa menjaganya. Namun, sekarang ia malu mengakui diriku kakaknya, ada rasa sedih dan kehilangan. Adik yang kusayang, adik yang kumanja akan tega berbuat ini. Dan itupun di saat aku tak bisa memberi lagi. Dan rasa hormat itu sudah lama hilang seiring hilangnya satu kakiku."Masuk aja, Mas. Itu Yana lagi kerja di dalam," ucap Kelfin menujuk ke arah laundry."Oh iya, Kelfin. Maaf mengganggu Yana kerja.""Nggak apa-apa, Mas." Lalu ia melihat ke arah Rina. "Singgah dulu, Kak Rina.""Lain kali aja, Kelfin. Lagian kami mau jalan jualan," sahut
Mas Bayu menelepon memberitahukan tentang kematian Stela. Innalillahi, tak menyangka jika umur Stela sependek ini. Bahkan yang lebih parahnya, Stela pendarahan hebat karena ingin menggugurkan kandungannya. Pemikiran yang pendek hingga gadis seperti Stela mau melakukan hal yang membuat ia kehilangan nyawa. Teringat bagaimana dengan angkuh, ia menghina dan membanggakan pendidikannya. Hanya saja pendidikan belum tentu membuat seseorang berpemikiran panjang. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa Stela, Aamiin."Kamu penyebab anakku mati! Kamu yang membunuh anakku! Kamu pembawa sial!"Baru menginjakkan kaki di sini, mataku langsung disuguhkan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Ibu mas Bayu menyalahkan Inur di depan para pelayat. Sebuah alasan yang tak berlogika, kenapa Inur disalahkan atas kematian Stela. Astagfirullah'alazim ... Astagfirullah'alazim.
Pov Bu IdaRasanya duaniaku mau runtuh. Siang ini ada seseorang datangkerumah memberi kabar tentang Stela. Dan yang membuat rasanya hampir berhentibernafas, Stela pendarahan di sebuah rumah seorang wanita, yang diketahui bahwawanita itu adalah dukun beranak. Ya Tuhan, jangan renggut anakku.Tadinya aku sudah sangat senang melihat Stela tidak lagimurung. Ia berdandan cantik seperti biasa ke kampus. Bahkan saat minta izin,terlihat senyum mengambang di bibirnya. Ia putriku yang cantik danberpendidikan.Berbagai cara telah dilakukan untuk menutupi kehamilanStela. Namun setelah kedatangan Leha, ia semakin terpuruk karena para tetanggamengetahui kehamilannya. Putri yang dibanggakan dengan berpendidikan, dimanjadan bahkan semua kemauannya selalu dipenuhi semaksimal kemampuanku, akhirnyabernasib seperti ini. &
Pov BayuMungkin saat ini Rina sudah mendapatkan apa yang ia mau.Surat cerai. Tak ingin larut dalam kesedihan akan rasa kehilangan, setiappulang kerja aku menyibukkan diri berkebun. Maksudnya berkebun dengan polybagdi halaman rumah. Dan kini, rumah terlihat hijau dengan sayuran yang mulaimenampakkan banyak daunnya. Sebuah hobi yang juga menghasilakan uang meskipuntak banyak.“Ini kopinya, Bay.”Kupalingkan muka ke teras, ibu meletakkan secangkir kopi dimeja. Tanpa diminta, ibu selalu melakukannya. Kadang sepiring pisang gorengjuga menemani memanjakan lidah. Hidangan sederhana yang mengingatkan aku padaRina. Dulu ia yang sering menghidangkan itu. Rina ..., rindu ini hanya untukmu.Setelah mencuci tangan, aku duduk di teras. Menikmatisuasana sore yang akan
Rasanya tak menyangka jika Inur akan seperti ini. Kulitwajah mulus, putih dan glowing sudah tak terlihat. Yang ada hanya seseorangyang mepunyai kulit bekas melepuh karena terbakar. Tapi hanya di bagian pipisebelah kanan, namun tetap saja terlihat mengerikan. Astagfirullah’alaziim.“Ka-kamu bukan Inur, tidak mungkin.” Jaka mungkin syokdengan apa yang dilihatnya. Dan mungkin semua orang di ruangan ini juga sepertiitu.“Mas, aku Inur istrimu,” lirih Inur berusaha mendekati Jaka.“Jangan mendekat! Aku takut melihatmu.”“Apa kamu tak bisa lihat jika Jaka takut melihatmu?” ketusibu mas Bayu. Dari cara bicaranya, bisa dipastikan jika ia tak menyukai Inur.“Bu, aku istri Mas Jak
“Kita jalan-jalan ke mana, Rin?” tanya Ibu sambil memasukanmakanan ke rantang.“Ke danau aja, Bu. Di sana pemandangannya bagus.”“Nggak apa-apa rumah makan ditinggal?” tanya bapak sepertienggan pergi. Tentu saja bapak merasa senang dengan usaha rumah makan ini. Kamibisa makan enak dan menghasilkan uang. Dari penghasilan rumah makan, tak lupa disisihkanuang buat biaya kuliah Yana. Dan ini lebih baik dari dulu saat bapak menjadipemulung.“Sekali-sekali apa salahnya kita refreshing, Pak. Lagian adaDoni yang ngurusin rumah makan kita. Kita percayakan saja, toh ia orangnyajujur kok.”“Bukan itu masalahnya, hanya saja Bapak merasa nyamanmengurus usaha ini.”“Iih, Bapak.
Pov Bu Ida“Wah, banyak sekali belanjaanmu, Stel.”“Iya dong, Bu. Kapan lagi aku menikmati hidup kalau bukansekarang.” Stela duduk sambil meletakkan semua belanjaanya di meja. “Ini untukIbu.” Stela menyodorkan sebuah kantong belajaanya padaku.“Ini buat Ibu ya?” Senang sekali Stela membelikan akusesuatu. Segera aku buka kantong itu.“Iyaaa. Semoga cocok sama Ibu.”“Waaah, gamisnya bagus sekali, Stel. Trus ini sendalnya ...,astaga, harganya mahal sekali.” Baru kali ini aku punya sendal mahal. Palingamahal yang pernah aku punya hanya sekitar sembilan puluh ribu. Mendadak merasajadi orang kaya deh.“Kapan Bagas ke sini lagi? Trus kapan ia membelikan mobildan rumah?”Dari setelah menikah hanya janji yang ada. Bagas hanyasekali ke sini setelah menikah. Stelah itu tak muncul lagi. Aku tahu Stelatidak mempermasalahakan itu, yang penting uangnya
Pov Inur“A-apa? Kamu minta cerai, Nur?” Suara mas Jaka tergagap.Tepatnya mungkin ia merasa syok dengan permintaanku. Lah iya laah, siapa jugamau punya suami cac*t dan tak berg*na. Aku masih cantik dan bisa mencari lelakilain yang bisa memanjakan diri dengan uang.“Sudah putraku begini ulahmu, kamu meninggalkannya tanparasa kasihan?” Ibu yang masih berstatus ibu mertua, bersuara lantang menatap. Dikiranyaaku akan diam saja, nggak dong. lagian apa lagi yang bisa diharapkan dari keluargaini. Capek iya.“Mungkin nih ya, ia lebih tertarik sama su*mi orang, Bu,”timpal Stela mencemooh. “Kamu juga sadar diri dong, statusmu apa?” Tentu aku tidaktinggal diam.“Aku lebih ba
Pov Jaka“Tidak! Tidak! Ini pasti mimpi, ini pasti mimpi!”“Kakiku! Ibu ... kakiku, Ibu ....”“Aaaak! Aku mau mati saja, aku tak ingin hidup lagi, Ibu....”Teriakan ini berkali-kali saat melihat dan merasakan, akukehilangan kedua kaki. predikat lelaki cacat yang tidak berguna, itulahsebuatanku. Tidak, ini hanya mimpi. Tidak!“Sabar, Nak. Sabar ....” Ibu memelukku ketika aku tak mampulagi berdiri sendiri. Di ranjang ini, disaksikan semua keluarga betapa malangnyanasibku. Kecelakaan itu membuatku kehilangan kaki. Bahkan di setelah kecewamelihat Inur selingkuh. Istri yang dipuja, dibanggakan dengan pintarnya merawatdiri, tapi tega mengkhianati. Aku seperti seonggok sampah yang ta
Ini bukan karena aku tak kasihan ke Raka, tapi ini demikebaikan dan kelangsungan hidup membesarkannya. Tak ada niat memisahkan antaramas Bayu dengan Raka, namun ini masalah kenyamanan. Jika aku memaksakan tetapbersama mas Bayu, mau tak mau pasti berhubungan dengan ibu dansaudara-saudaranya. Untuk mencari uang akan terhalang karena memikirkan banyak masalahyang timbul. Aku capek dan jenuh dengan semua itu.Tentang sikap mas Bayu akan berubah, itupun membuatku takyakin. Jika mas Bayu kecewa dengan penolakan dari aku, itu tetap terjadi danaku harus memikirkan diri sendiri. Menenggang rasa sudah dilakukan dari dulu.Hasilnya, aku terbelenggu seputar masalah itu juga tanpa ada solusi darinya.“Jangan pernah istilah janda menjadikanmu minder. Hidupkalau memikirkan tentang pendapat orang tak akan habis. Pikirkan bagaimanamembesarkan Raka de