Bryan terdiam melihat sudut mata Selena yang mengeluarkan air mata. "Selama ini, gue merhatiin lo diam-diam, pengen ikut kemana lo pergi, dan gue ajak lo ikut pemotretan biar apa? biar gue bisa lebih deket. Lo nggak sadar?" tanya Selena lagi.
"Na... gue," Bryan tidak melanjutkan kata-katanya. Ia bingung mendapatkan pengakuan cinta tiba-tiba dari wanita cantik di depannya. Selena, wanita yang memesona, siapapun akan mengakuinya. Termasuk Bryan, namun tidak dengan hatinya.
"Gue tau lo udah nikah. Dan lo nggak undang gue," sela Selena. Sejujurnya ia ingin marah karena sakit hati dengan Bryan yang seperti tidak menganggapnya siapa-siapa, bahkan teman pun tidak.
"Pernikahan gue mendadak Na. Nggak semua orang gue undang, bahkan temen-temen sekelas gue, gak semuanya tau," jelas Bryan. Merasa bersalah dalam hatinya karena ia sama sekali tidak ingat untuk mengundang wanita bernama Selena.
Selena manggut-manggut, menyeka air mata di pelupuk mata. "Lo emang ng
"Bryan, jangan bicaramu! Hormati dan hargai mereka sebagai keluargamu!” tekan Eric yang tengah duduk di sofa besar. Sedangkan seorang wanita dengan hijab terlilit di leher, duduk di sofa lain bersamaan dengan seorang pria yang terlihat memunggungi Bryan.Wanita itu terlihat berwajah sayu dan penuh rasa bersalah, menatap Bryan sedih.“Mulai hari ini. Mereka akan tinggal bersama kita. Biar rumah ini nggak sepi, ada yang ngisi,” lanjut Eric dengan nada santainya. Ia tidak peduli, wajah sang putra sudah merah padam.“Hahaha, keluarga? Sejak kapan? Bukankah kau sudah menceraikannya?” Bryan tertawa sendiri, lalu maju beberapa langkah. Setahunya, Eric sudah menceraikan istri sahnya yang adalah juga ibu tirinya itu sejak dua tahun yang lalu dan mengapa justru hari ini, wanita itu kembali.“Kami sudah rujuk,” ucap Eric singkat. Seorang pria yang sedari tadi memunggungi Bryan, menoleh. Mata mereka saling bersitatap.
Rumah yang tidak besar tidak pula luas itu terlihat sederhana namun asri. Dua orang anak laki-laki dan perempuan yang sepertinya umur mereka tidak terpaut jauh, tengah berlari sambil bergurau. Saling mengejek satu sama lain.Bryan seperti terbiasa disuguhkan pemandangan yang langka ia dapatkan. Terkadang, ia iri dengan kehidupan Alex yang walau biasa saja, tapi sebenarnya sempurna.Pria itu memiliki kasih sayang seorang Ayah dan dua adiknya. Tidak seperti dirinya yang tidak memiliki sanak saudara dan hanya memiliki Ayah, namun pria itu lah yang dibencinya.Alex terlihat sibuk mencuci motonya, tanpa menyadari kehadiran Bryan. Ayah Alex yang pertama menyambut. Pria yang ditaksir umurnya hampir sama dengan Ayah Bryan itu menyapa Bryan dengan ramah.“Kenapa berdiri disitu? Masuk,” ucapnya pada Bryan.Bryan tersenyum. Ia mengangguk dan melambai begitu adik laki-lakinya Alex menyapanya dengan lambaian tangan.“Loh, ng
Bryan akan membuktikan sampai mana rasa sayang Eric padanya. Sampai detik ini, Bryan masih tidak bisa memahami bagaimana pola pikir Ayahnya. Tiba-tiba memintanya menikah, lalu sekarang rujuk dengan istri mudanya dan meminta untuk tinggal bersama.Pria yang identik dengan kemewahan itu akhir-akhir ini berubah drastis, lebih banyak tinggal dirumah, karena ketik Bryan party di rumah, selalu saja Eric mengusir teman-temannya secara tidak langsung. Ditambah, pria itu tidak pernah lagi membawa wanita-wanita yang biasanya di cumbu di ruang tamu yang membuat Bryan muaknya setengah mati.“Tua Bangka, tidak tahu malu, brengsek, bajingan!” itulah kutukan yang kerap kali keluar dari mulut Bryan untuk Ayahnya.Sneaker berwarna hitam milik Bryan terdengar menggema begitu menaiki undakan tangga menuju lantai dua. Kaca-kaca transparan yang menjadi pembatas antara dalam dan luar ruangan, membuat suasana di lorong yang menuju kediaman sang Ayah terlihat te
Zeliya hendak mengambil piring yang dijulurkan Ardan padanya, namun lengannya di tahan oleh Bryan. “Dia bisa ambil sendiri. Nggak sopan nyuruh yang tua,” ujar Bryan dingin.Zeliya merasa tidak enak, untunglah Arham segera menyela. “Maklum, dia emang manja Zeliya. Biar dia ambil sendiri. Betul kata Bryan. Ambil untukmu aja.”“Hahaha… aku ‘kan cuma mau akrabin kakak iparku Bang,” ucap Ardan dengan tertawa garing. Zeliya mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Lalu duduk dengn tenang di samping suaminya yany sudah makan dengan lahap.“Zeliya, cicipin ya menu andalan Mama. Pengen tau bagaimana pendapat kamu,”celetuk Ibu mertuanya. Zeliya tersenyum dibalik cadar, menganggukkan kepala.Arham terus menerus menatap ke arah Zeliya. Sedangkan Bryan, tidak menyadarinya dan justru fokus menatap nyalang ke arah Ardan yang sesekali memonyong-monyongkan bibir kepadanya. Mimpi apa Bryan bisa satu meja makan dengan musuhnya sendiri. “Nggak lepas aja cadarnya Mbak? Ribet kayaknya makan begitu,” komenta
Zeliya menggeleng sembari menahan tangan Bryan membuat si empunya mendengus keras. Sudah dalam keadaan sekarat begini, masih sempat-sempatnya Zeliya berusaha keras untuk mempertahankan pendiriannya Sulit sekali membantu wanita bercadar itu. Memang akan terjadi apa jika ia melihat wajahnya? “Santai aja kali, gue nggak bakal ilfill liat muka lo. Suwer." Wajah Bryan serius. Memang tidak ada niat apapun, selain membantu mengurangi rasa tidak nyaman yang dialami istrinya itu. Zeliya bangkit, perutnya terasa begitu mual, segera saja ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isinya. Bryan menyusul karena pintu kamar mandi tidak tertutup. Dengan ragu, tangan Bryan terulur untuk memijat pelan tengkuk sang istri. “Gue nggak bakal maksa lo buat buka cadar. Terserah lo kalau mau kesusahan kaya gitu. Tuh, basah kainnya," sindir Bryan. Zeliya menahan tangan Bryan, mengusirnya dari tengkuk. Ia merasa tidak nyaman karena baru pertama kali pria itu memegang salah satu bagian tubuhnya yang s
Bryan mengejar langkah istrinya yang cepat. Berkali-kali dipanggil pun, wanita itu tidak kunjung menoleh apalagi berhenti. Bryan berfikir, apakah ada yang salah dengan perkataannya beberapa menit lalu? Sehingga Zeliya terlihat begitu marah?Zeliya melambaikan tangannya saat sudah berada di bahu jalan. Ia memilih untuk pulang terpisah saja dari pada harus bersama pria yang omongannya selalu membuatnya sakit hati. Zeliya pikir, bakal bisa sabar menghadapi Bryan, ternyata semakin lama, semakin sulit. Hatinya tiba-tiba saja begitu sensitif. Ia ingin menenangkan diri.“Lo mau kemana huh? Pulang ama gue.” Bryan menahan lengan Zeliya. Saat mata mereka bersitatap, sudah terdapat genangan air dipelupuk mata Zeliya yang membuat Bryan tertegun. Zeliya menangis? Kenapa? Batinnya bertanya-tanya.“Kenapa lo? Nangis? Kena angin malam?” cecar Bryan dengan pertanyaan. Zeliya membuang wajah. Ia tetap melanjutkan untuk membuka pintu sebuah taksi yang
Jalanan malam ini lebih banyak dihuni manusia. Mereka lebih berisik daripada suara kendaraan roda dua dan empat yang berlalu lalang sesekali. Ramadhan yang sebentar lagi tiba, menjadi alasan bagi pengguna jalan yang kini beramai-ramai dengan celotehan mereka. Pawai obor, tradisi yang melekat di beberapa daerah Indonesia, menjadi penghias malam ini.Bintang dilangit yang bertabur, seolah memberi sinyal bagus bahwa tidak akan ada hujan yang turun. Warga semakin bersemangat, berseru ria, takbir dan menggaungkan selamat datang pada bulan yang penuh berkah, yang kehadirannya begitu dinanti-nanti oleh orang-orang yang merayakannya.Bryan melewati kerumunan orang-orang yang memadati jalan. Bahkan, ia berkali-kali mengumpat kasar begitu sepeda motornya harus berhenti mendadak karena ada anak-anak yang lewat tanpa aba-aba. Menghalangi jalan, sambil tertawa riang membawa kembang api, seolah hidup tanpa beban."Shit, kalau tau gini gue lewat jalan lain aja," kesal Bryan. I
Tali adalah andalan Bryan ketika ia akan masuk ke rumah namun tanpa di ketahui orang dalam. Ia berjalan memutar ke arah belakang rumah, lalu melempar tali yang berisi pengait agar menyangkut tepat di pagar pembatas yang menghiasi balkon kamarnya."Nanti, dikira gue masih pengen tinggal disini, terpaksa gue pakai cara ini. Eric jangan sampai tau gue kesini lagi," gumam Bryan sambil menaiki tali dengan susah payah.Zeliya yang tengah melakukan tadarus al-qur'an menolehkan kepala, mendapati Bryan membuka pintu yang terhubung ke balkon."Ternyata kamu pulang, padahal lima menit lagi aku akan melapor pada Ayah, kalau kamu keluar sama teman-temanmu," ucap Zeliya sambil meletakkan al-qur'an di atas meja. Kepalanya berbalut mukena, namun wajahnya tanpa penutup apa-apa. Toh Bryan sudah mengetahui wajahnya, untuk apa pula ia masih menutupnya. Pikir Zeliya.Bryan tersenyum kecut, wanita yang kini terlihat berbinar matanya itu tidak tahu jika Bryan dan Ay