Bryan akan membuktikan sampai mana rasa sayang Eric padanya. Sampai detik ini, Bryan masih tidak bisa memahami bagaimana pola pikir Ayahnya. Tiba-tiba memintanya menikah, lalu sekarang rujuk dengan istri mudanya dan meminta untuk tinggal bersama.
Pria yang identik dengan kemewahan itu akhir-akhir ini berubah drastis, lebih banyak tinggal dirumah, karena ketik Bryan party di rumah, selalu saja Eric mengusir teman-temannya secara tidak langsung. Ditambah, pria itu tidak pernah lagi membawa wanita-wanita yang biasanya di cumbu di ruang tamu yang membuat Bryan muaknya setengah mati.
“Tua Bangka, tidak tahu malu, brengsek, bajingan!” itulah kutukan yang kerap kali keluar dari mulut Bryan untuk Ayahnya.
Sneaker berwarna hitam milik Bryan terdengar menggema begitu menaiki undakan tangga menuju lantai dua. Kaca-kaca transparan yang menjadi pembatas antara dalam dan luar ruangan, membuat suasana di lorong yang menuju kediaman sang Ayah terlihat te
Zeliya hendak mengambil piring yang dijulurkan Ardan padanya, namun lengannya di tahan oleh Bryan. “Dia bisa ambil sendiri. Nggak sopan nyuruh yang tua,” ujar Bryan dingin.Zeliya merasa tidak enak, untunglah Arham segera menyela. “Maklum, dia emang manja Zeliya. Biar dia ambil sendiri. Betul kata Bryan. Ambil untukmu aja.”“Hahaha… aku ‘kan cuma mau akrabin kakak iparku Bang,” ucap Ardan dengan tertawa garing. Zeliya mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Lalu duduk dengn tenang di samping suaminya yany sudah makan dengan lahap.“Zeliya, cicipin ya menu andalan Mama. Pengen tau bagaimana pendapat kamu,”celetuk Ibu mertuanya. Zeliya tersenyum dibalik cadar, menganggukkan kepala.Arham terus menerus menatap ke arah Zeliya. Sedangkan Bryan, tidak menyadarinya dan justru fokus menatap nyalang ke arah Ardan yang sesekali memonyong-monyongkan bibir kepadanya. Mimpi apa Bryan bisa satu meja makan dengan musuhnya sendiri. “Nggak lepas aja cadarnya Mbak? Ribet kayaknya makan begitu,” komenta
Zeliya menggeleng sembari menahan tangan Bryan membuat si empunya mendengus keras. Sudah dalam keadaan sekarat begini, masih sempat-sempatnya Zeliya berusaha keras untuk mempertahankan pendiriannya Sulit sekali membantu wanita bercadar itu. Memang akan terjadi apa jika ia melihat wajahnya? “Santai aja kali, gue nggak bakal ilfill liat muka lo. Suwer." Wajah Bryan serius. Memang tidak ada niat apapun, selain membantu mengurangi rasa tidak nyaman yang dialami istrinya itu. Zeliya bangkit, perutnya terasa begitu mual, segera saja ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isinya. Bryan menyusul karena pintu kamar mandi tidak tertutup. Dengan ragu, tangan Bryan terulur untuk memijat pelan tengkuk sang istri. “Gue nggak bakal maksa lo buat buka cadar. Terserah lo kalau mau kesusahan kaya gitu. Tuh, basah kainnya," sindir Bryan. Zeliya menahan tangan Bryan, mengusirnya dari tengkuk. Ia merasa tidak nyaman karena baru pertama kali pria itu memegang salah satu bagian tubuhnya yang s
Bryan mengejar langkah istrinya yang cepat. Berkali-kali dipanggil pun, wanita itu tidak kunjung menoleh apalagi berhenti. Bryan berfikir, apakah ada yang salah dengan perkataannya beberapa menit lalu? Sehingga Zeliya terlihat begitu marah?Zeliya melambaikan tangannya saat sudah berada di bahu jalan. Ia memilih untuk pulang terpisah saja dari pada harus bersama pria yang omongannya selalu membuatnya sakit hati. Zeliya pikir, bakal bisa sabar menghadapi Bryan, ternyata semakin lama, semakin sulit. Hatinya tiba-tiba saja begitu sensitif. Ia ingin menenangkan diri.“Lo mau kemana huh? Pulang ama gue.” Bryan menahan lengan Zeliya. Saat mata mereka bersitatap, sudah terdapat genangan air dipelupuk mata Zeliya yang membuat Bryan tertegun. Zeliya menangis? Kenapa? Batinnya bertanya-tanya.“Kenapa lo? Nangis? Kena angin malam?” cecar Bryan dengan pertanyaan. Zeliya membuang wajah. Ia tetap melanjutkan untuk membuka pintu sebuah taksi yang
Jalanan malam ini lebih banyak dihuni manusia. Mereka lebih berisik daripada suara kendaraan roda dua dan empat yang berlalu lalang sesekali. Ramadhan yang sebentar lagi tiba, menjadi alasan bagi pengguna jalan yang kini beramai-ramai dengan celotehan mereka. Pawai obor, tradisi yang melekat di beberapa daerah Indonesia, menjadi penghias malam ini.Bintang dilangit yang bertabur, seolah memberi sinyal bagus bahwa tidak akan ada hujan yang turun. Warga semakin bersemangat, berseru ria, takbir dan menggaungkan selamat datang pada bulan yang penuh berkah, yang kehadirannya begitu dinanti-nanti oleh orang-orang yang merayakannya.Bryan melewati kerumunan orang-orang yang memadati jalan. Bahkan, ia berkali-kali mengumpat kasar begitu sepeda motornya harus berhenti mendadak karena ada anak-anak yang lewat tanpa aba-aba. Menghalangi jalan, sambil tertawa riang membawa kembang api, seolah hidup tanpa beban."Shit, kalau tau gini gue lewat jalan lain aja," kesal Bryan. I
Tali adalah andalan Bryan ketika ia akan masuk ke rumah namun tanpa di ketahui orang dalam. Ia berjalan memutar ke arah belakang rumah, lalu melempar tali yang berisi pengait agar menyangkut tepat di pagar pembatas yang menghiasi balkon kamarnya."Nanti, dikira gue masih pengen tinggal disini, terpaksa gue pakai cara ini. Eric jangan sampai tau gue kesini lagi," gumam Bryan sambil menaiki tali dengan susah payah.Zeliya yang tengah melakukan tadarus al-qur'an menolehkan kepala, mendapati Bryan membuka pintu yang terhubung ke balkon."Ternyata kamu pulang, padahal lima menit lagi aku akan melapor pada Ayah, kalau kamu keluar sama teman-temanmu," ucap Zeliya sambil meletakkan al-qur'an di atas meja. Kepalanya berbalut mukena, namun wajahnya tanpa penutup apa-apa. Toh Bryan sudah mengetahui wajahnya, untuk apa pula ia masih menutupnya. Pikir Zeliya.Bryan tersenyum kecut, wanita yang kini terlihat berbinar matanya itu tidak tahu jika Bryan dan Ay
Tidak menyerah begitu saja. Bryan kembali mengunjungi teman-temannya di rumah sakit untuk memastikan semuanya. Menurutnya sikap Angkasa tadi malam sangat berlebihan dan hanya terbawa perasaan marahnya. Begitu pula juga Alex, yang biasanya bijak berbuah menjadi begitu dingin.Bukan tanpa membawa apa-apa Bryan datang. Ia bahkan membawa sebuah kertas bertabur tinta. Berisi perjanjian di masa lalu, yang dibubuhi darah yang sudah mengering, karena tanda tangan cap jari itu sudah dilakukan lama sekali.Saat hampir mencapai ruangan tempat dimana Ferdinand di rawat. Bryan berpapasan dengan Alex."Lex tunggu! gue mau bicara ama lo," ujar Bryan dengan berlari. Alex mengabaikan, ia memilih untuk masuk ke dalam ruangan.Bryan ikut masuk dan di sana ada Angkasa yang sudah berganti baju, memar di wajahnya sudah tertutupi dengan beberapa hansaplast. "Buat apa lo datang lagi?" tanya Angkasa dingin."Mengunjungi sahabat gue yang sekarat," jawab Bryan. Padahal
"Thanks ya Ka, gue udah berhasil bawa dia ke tempat gue. Suatu kemajuan buat kami berdua." Selena menyeringai setelah menutup panggilan telponnya dengan Angkasa.Ia memang semakin dekat dengan pria yang berwajah rupawan itu. Gairahnya yang memancar dari mata tajam pria itu memang menjadi daya tarik tersendiri bagi Selena, namun tidak membuatnya lupa bahwa Bryan adalah pria yang ia cintai. Sedangkan Angkasa, tidak lebih dari friend with benefit baginya.Angkasa dengan senang hati membantunya untuk bisa bersama dan menjalin asmara dengan Bryan. Dan kini, Selena telah mengacungkan jempolnya untuk kehebatan Angkasa membuat dirinya dan Bryan semakin dekat. "Kamu mau minum apa Bry? Vodka? Wine? Sampanye? aku punya semua." Selena menawari Bryan beberapa jenis minuman yang memang sudah ia siapkan dan telah ada di lemari yang berada di bagian kitchen Bar apartemennya.Bryan mendongak, tersenyum tipis. "Itu semua kesukaan gue, tapi hari ini, entah kenapa gue nggak pengen minum itu semua," lir
Sayur bayam, tempe goreng, tahu kecap, sambat terasi dan segelas air putih tersaji di hadapan Bryan. Hidangan sederhana, namun mampu membuat hatinya terenyuh. Apalagi selagi menyajikan itu Ibu mertuanya tidak lepas dari senyum dan mengajaknya berbincang."Kalau Zeliya ada berbuat hal yang kamu nggak ridho sepanjang itu kebaikan, katakan pada Ibu."Bryan tersenyum, seharusnya peringatan itu bukan ditujukan untuk Zeliya, perempuan itu sudah terlampau baik, justru dirinyalah yang harus mendapatkannya. "Dia istri yang baik dan cerdas. Saya kagum sama dia Bu. Kagum juga sama wanita hebat yang melahirkannya."Syifa tersenyum mendengar pujian dari menantunya. Tangannya semakin mendekatkan piring berisi goreng tempe untuk semakin dekat ke arah Bryan agar anak laki-laki dewasa itu dengan mudah menjangkau. "Kami ini, bisa aja membuat hati Ibu berbunga-bunga. Apa kabar putriku yang setiap hari kamu puji-puji begitu? aku membayangkan pasti wajahnya udah merah. N