Jalanan malam ini lebih banyak dihuni manusia. Mereka lebih berisik daripada suara kendaraan roda dua dan empat yang berlalu lalang sesekali. Ramadhan yang sebentar lagi tiba, menjadi alasan bagi pengguna jalan yang kini beramai-ramai dengan celotehan mereka. Pawai obor, tradisi yang melekat di beberapa daerah Indonesia, menjadi penghias malam ini.
Bintang dilangit yang bertabur, seolah memberi sinyal bagus bahwa tidak akan ada hujan yang turun. Warga semakin bersemangat, berseru ria, takbir dan menggaungkan selamat datang pada bulan yang penuh berkah, yang kehadirannya begitu dinanti-nanti oleh orang-orang yang merayakannya.
Bryan melewati kerumunan orang-orang yang memadati jalan. Bahkan, ia berkali-kali mengumpat kasar begitu sepeda motornya harus berhenti mendadak karena ada anak-anak yang lewat tanpa aba-aba. Menghalangi jalan, sambil tertawa riang membawa kembang api, seolah hidup tanpa beban.
"Shit, kalau tau gini gue lewat jalan lain aja," kesal Bryan. I
Tali adalah andalan Bryan ketika ia akan masuk ke rumah namun tanpa di ketahui orang dalam. Ia berjalan memutar ke arah belakang rumah, lalu melempar tali yang berisi pengait agar menyangkut tepat di pagar pembatas yang menghiasi balkon kamarnya."Nanti, dikira gue masih pengen tinggal disini, terpaksa gue pakai cara ini. Eric jangan sampai tau gue kesini lagi," gumam Bryan sambil menaiki tali dengan susah payah.Zeliya yang tengah melakukan tadarus al-qur'an menolehkan kepala, mendapati Bryan membuka pintu yang terhubung ke balkon."Ternyata kamu pulang, padahal lima menit lagi aku akan melapor pada Ayah, kalau kamu keluar sama teman-temanmu," ucap Zeliya sambil meletakkan al-qur'an di atas meja. Kepalanya berbalut mukena, namun wajahnya tanpa penutup apa-apa. Toh Bryan sudah mengetahui wajahnya, untuk apa pula ia masih menutupnya. Pikir Zeliya.Bryan tersenyum kecut, wanita yang kini terlihat berbinar matanya itu tidak tahu jika Bryan dan Ay
Tidak menyerah begitu saja. Bryan kembali mengunjungi teman-temannya di rumah sakit untuk memastikan semuanya. Menurutnya sikap Angkasa tadi malam sangat berlebihan dan hanya terbawa perasaan marahnya. Begitu pula juga Alex, yang biasanya bijak berbuah menjadi begitu dingin.Bukan tanpa membawa apa-apa Bryan datang. Ia bahkan membawa sebuah kertas bertabur tinta. Berisi perjanjian di masa lalu, yang dibubuhi darah yang sudah mengering, karena tanda tangan cap jari itu sudah dilakukan lama sekali.Saat hampir mencapai ruangan tempat dimana Ferdinand di rawat. Bryan berpapasan dengan Alex."Lex tunggu! gue mau bicara ama lo," ujar Bryan dengan berlari. Alex mengabaikan, ia memilih untuk masuk ke dalam ruangan.Bryan ikut masuk dan di sana ada Angkasa yang sudah berganti baju, memar di wajahnya sudah tertutupi dengan beberapa hansaplast. "Buat apa lo datang lagi?" tanya Angkasa dingin."Mengunjungi sahabat gue yang sekarat," jawab Bryan. Padahal
"Thanks ya Ka, gue udah berhasil bawa dia ke tempat gue. Suatu kemajuan buat kami berdua." Selena menyeringai setelah menutup panggilan telponnya dengan Angkasa.Ia memang semakin dekat dengan pria yang berwajah rupawan itu. Gairahnya yang memancar dari mata tajam pria itu memang menjadi daya tarik tersendiri bagi Selena, namun tidak membuatnya lupa bahwa Bryan adalah pria yang ia cintai. Sedangkan Angkasa, tidak lebih dari friend with benefit baginya.Angkasa dengan senang hati membantunya untuk bisa bersama dan menjalin asmara dengan Bryan. Dan kini, Selena telah mengacungkan jempolnya untuk kehebatan Angkasa membuat dirinya dan Bryan semakin dekat. "Kamu mau minum apa Bry? Vodka? Wine? Sampanye? aku punya semua." Selena menawari Bryan beberapa jenis minuman yang memang sudah ia siapkan dan telah ada di lemari yang berada di bagian kitchen Bar apartemennya.Bryan mendongak, tersenyum tipis. "Itu semua kesukaan gue, tapi hari ini, entah kenapa gue nggak pengen minum itu semua," lir
Sayur bayam, tempe goreng, tahu kecap, sambat terasi dan segelas air putih tersaji di hadapan Bryan. Hidangan sederhana, namun mampu membuat hatinya terenyuh. Apalagi selagi menyajikan itu Ibu mertuanya tidak lepas dari senyum dan mengajaknya berbincang."Kalau Zeliya ada berbuat hal yang kamu nggak ridho sepanjang itu kebaikan, katakan pada Ibu."Bryan tersenyum, seharusnya peringatan itu bukan ditujukan untuk Zeliya, perempuan itu sudah terlampau baik, justru dirinyalah yang harus mendapatkannya. "Dia istri yang baik dan cerdas. Saya kagum sama dia Bu. Kagum juga sama wanita hebat yang melahirkannya."Syifa tersenyum mendengar pujian dari menantunya. Tangannya semakin mendekatkan piring berisi goreng tempe untuk semakin dekat ke arah Bryan agar anak laki-laki dewasa itu dengan mudah menjangkau. "Kami ini, bisa aja membuat hati Ibu berbunga-bunga. Apa kabar putriku yang setiap hari kamu puji-puji begitu? aku membayangkan pasti wajahnya udah merah. N
Senja hari ini Zeliya disibukkan dengan event buka bersama yang diadakan di panti asuhan Aisyah bersama dengan organisasi rohis kampus. Program kerja yang setiap Ramdhan dilaksanakan. Ah, ia akan rindu masa-masa ini kelak ketika dirinya sudah menjadi alumni kampus dan organisasinya."Selalu rindu masa-masa ini," komentar Sisca yang sudah selesai membagikan kotak-kotak nasi di masjid yang tidak terlalu jauh dari panti. Anggota rohis kini berkumpul di depan bangunan panti, berlantai dua dengan cat putih. Halaman panti cukup luas dan bisa di pakai untuk anak-anak bermain bola sekali pun.Zeliya membenarkan. "Pengen lama-lama di rohis ini, tapi, aku harus lulus," katanya dengan terkekeh."Ya iyalah apalagi kamu udah punya suami, pasti pengen cepet-cepet minggat aja dari kampus, biar fokus ngelayanin dia gitu," goda Sisca yang membuat mata Zeliya mendelik."Kenapa kamu nggak ada Bryan ikut event ini?" Sisca bertanya sembari ikut mendudukkan dirinya di te
Terpaksa menabung ia lakukan demi mendapatkan tempat tinggal yang bisa ia sewa nantinya. Bryan tidak ingin terus menumpang di Apartemen Arham yang mengaku-ngaku saudaranya itu. Beberapa kali, pria itu membujuknya juga untuk pulang, karena ia menolak tegas, akhirnya pria itu hanya membiarkan Bryan menempati apartemen yang jarang terpakai itu.Entah tujuannya untuk apa, padahal Arham memiliki rumah besar yang ditinggali keluarganya, begitu pula rumah Eric yang bisa dijadikan tempat tinggal. Namun, pria itu masih saja belum merasa cukup dengan itu semua. Saat ditanyakan mengenai tempat tinggal itu, ternyata Arham menjawab diluar dugaan."Tempat ini aku gunakan untuk menyendiri, menyembuhkan galau." Walau menjawab dengan nada bergurau, tapi Bryan yakin apa yang diucapkan Arham serius. Pria itu ternyata tidak sebahagia yang dilihat. Bryan menjadi sadar, bahwa setiap orang pasti memiliki masalah, tidak hanya dirinya."Bukannya lo benci ama gue? setelah terakhir
Geng Bryan malam ini harus berhadapan dengan Geng Kukuruyuk yang di kepalai oleh Ardan Adikusuma. Mereka semua telah sepakat dan melakukan perjanjian untuk tanding di daerah Blok C dengan sedikit kemungkinan aparat akan ke sana, mengingat daerah itu yang sepi penduduk dan jarang di lewati.Tiga orang itu berangkat dengan semangat membara. Ferdinand sedari tadi merengek pengen ikut serta, namun lagi-lagi Alex yang bijak itu tidak membiarkan. Ia takut terjadi apa-apa pada Ferdinand yang masih lemah secara fisik."Kita bukan mau tawuran, cuma tanding doang. Percaya deh, setelah tanding, mereka nggak bakal nyerang kita." Ferdinand memberi argumen kuatnya untuk tetap diijinkan ikut."Biarin dia ama gue." Angkasa nyeletuk, sembari memakai kaos tangan terbuat dari kulit. Ia menatap kearah Alex.Bryan juga sebenarnya tidak mengizinkaj Ferdinand karena pria itu masih lemah kondisinya. "Awas lo kalau boong, bilang aja kalau masih sakit," ucap Bryan. Daripada nanti
"Mau kemana lo? jangan bilang mau Balapan?" Arham memicing ke arah adiknya yang sudah mengenakan pakaian dinasnya.Anak punk itu tersenyum sebelah. "Biasanya lo nggak negur gue juga, kenapa tiba-tiba?""Aku denger dari Bibi, kalau malam ini, Paman berpatroli. Kalau kali ini kamu membuat masalah lagi, aku akan membiarkanmu di balik jeruji besi," ancam Arham. Ia tadi siang berkunjung ke rumah keponakannya yang menggemaskan, sekedar menghibur diri dari kepenatan hidup. Ternyata ia mendapat informasi bahwa akan ada razia yang dilakukan suaminya."Heh, gue nggak takut. Lo tau? kalau Geng gue itu udah biasa berantem ama polisi. Jangan remehin kami," sombong Ardan sambil melipat tangan di depan dada."Lagian, Ibu juga nggak ngelarang anaknya begini, asal sekolah yang bener. Lo kenapa malah jadi kayak ibu-ibu sih," ketus Ardan tidak suka perhatian yang di tujukan untuk dirinya dari sang Kakak."Terserahmu, pokoknya kali ini, aku nggak mau ikut campur