"Gue tau lo sekarang adalah istri Bryan." Selena memulai pembicaraan. Wanita dengan wangi tubuhnya yang semerbak hingga menusuk-nusuk hidung Zeliya walau di balik cadar itu terlihat menatap datar ke depan.
"Dan gue juga tau. Kalau kalian di jodohkan. Bryan tidak ingin perjodohan ini, nggak tau kamu. Nikah sama anak orang kaya, mungkin impian wanita sepertimu," lanjut Selena dengan nada datar namun mengandung pernyataan yang merendahkan.
"Maksud anda apa? perempuan seperti saya?" ulang Zeliya. Jika menyangkut harga diri sebagai seorang muslimah, jelas ia harus membela. Selena pasti berfikir bahwa dirinya menikah gara-gara tergiur dengan kekayaan Eric Davidson.
"Berlindung di balik pakaian, ternyata menggaet anak konglomerat untuk di porotin. Kamu nggak jauh beda sama wanita liar di luar sana yang mangkal di tempat pelacuran, hanya saja kamu berbeda, memakai pakaian agama," jelas Selena dengan pedasnya, membuat Zeliya tidak bisa tinggal diam. Wanita dengan paha ya
Bryan terdiam melihat sudut mata Selena yang mengeluarkan air mata. "Selama ini, gue merhatiin lo diam-diam, pengen ikut kemana lo pergi, dan gue ajak lo ikut pemotretan biar apa? biar gue bisa lebih deket. Lo nggak sadar?" tanya Selena lagi."Na... gue," Bryan tidak melanjutkan kata-katanya. Ia bingung mendapatkan pengakuan cinta tiba-tiba dari wanita cantik di depannya. Selena, wanita yang memesona, siapapun akan mengakuinya. Termasuk Bryan, namun tidak dengan hatinya."Gue tau lo udah nikah. Dan lo nggak undang gue," sela Selena. Sejujurnya ia ingin marah karena sakit hati dengan Bryan yang seperti tidak menganggapnya siapa-siapa, bahkan teman pun tidak."Pernikahan gue mendadak Na. Nggak semua orang gue undang, bahkan temen-temen sekelas gue, gak semuanya tau," jelas Bryan. Merasa bersalah dalam hatinya karena ia sama sekali tidak ingat untuk mengundang wanita bernama Selena.Selena manggut-manggut, menyeka air mata di pelupuk mata. "Lo emang ng
"Bryan, jangan bicaramu! Hormati dan hargai mereka sebagai keluargamu!” tekan Eric yang tengah duduk di sofa besar. Sedangkan seorang wanita dengan hijab terlilit di leher, duduk di sofa lain bersamaan dengan seorang pria yang terlihat memunggungi Bryan.Wanita itu terlihat berwajah sayu dan penuh rasa bersalah, menatap Bryan sedih.“Mulai hari ini. Mereka akan tinggal bersama kita. Biar rumah ini nggak sepi, ada yang ngisi,” lanjut Eric dengan nada santainya. Ia tidak peduli, wajah sang putra sudah merah padam.“Hahaha, keluarga? Sejak kapan? Bukankah kau sudah menceraikannya?” Bryan tertawa sendiri, lalu maju beberapa langkah. Setahunya, Eric sudah menceraikan istri sahnya yang adalah juga ibu tirinya itu sejak dua tahun yang lalu dan mengapa justru hari ini, wanita itu kembali.“Kami sudah rujuk,” ucap Eric singkat. Seorang pria yang sedari tadi memunggungi Bryan, menoleh. Mata mereka saling bersitatap.
Rumah yang tidak besar tidak pula luas itu terlihat sederhana namun asri. Dua orang anak laki-laki dan perempuan yang sepertinya umur mereka tidak terpaut jauh, tengah berlari sambil bergurau. Saling mengejek satu sama lain.Bryan seperti terbiasa disuguhkan pemandangan yang langka ia dapatkan. Terkadang, ia iri dengan kehidupan Alex yang walau biasa saja, tapi sebenarnya sempurna.Pria itu memiliki kasih sayang seorang Ayah dan dua adiknya. Tidak seperti dirinya yang tidak memiliki sanak saudara dan hanya memiliki Ayah, namun pria itu lah yang dibencinya.Alex terlihat sibuk mencuci motonya, tanpa menyadari kehadiran Bryan. Ayah Alex yang pertama menyambut. Pria yang ditaksir umurnya hampir sama dengan Ayah Bryan itu menyapa Bryan dengan ramah.“Kenapa berdiri disitu? Masuk,” ucapnya pada Bryan.Bryan tersenyum. Ia mengangguk dan melambai begitu adik laki-lakinya Alex menyapanya dengan lambaian tangan.“Loh, ng
Bryan akan membuktikan sampai mana rasa sayang Eric padanya. Sampai detik ini, Bryan masih tidak bisa memahami bagaimana pola pikir Ayahnya. Tiba-tiba memintanya menikah, lalu sekarang rujuk dengan istri mudanya dan meminta untuk tinggal bersama.Pria yang identik dengan kemewahan itu akhir-akhir ini berubah drastis, lebih banyak tinggal dirumah, karena ketik Bryan party di rumah, selalu saja Eric mengusir teman-temannya secara tidak langsung. Ditambah, pria itu tidak pernah lagi membawa wanita-wanita yang biasanya di cumbu di ruang tamu yang membuat Bryan muaknya setengah mati.“Tua Bangka, tidak tahu malu, brengsek, bajingan!” itulah kutukan yang kerap kali keluar dari mulut Bryan untuk Ayahnya.Sneaker berwarna hitam milik Bryan terdengar menggema begitu menaiki undakan tangga menuju lantai dua. Kaca-kaca transparan yang menjadi pembatas antara dalam dan luar ruangan, membuat suasana di lorong yang menuju kediaman sang Ayah terlihat te
Zeliya hendak mengambil piring yang dijulurkan Ardan padanya, namun lengannya di tahan oleh Bryan. “Dia bisa ambil sendiri. Nggak sopan nyuruh yang tua,” ujar Bryan dingin.Zeliya merasa tidak enak, untunglah Arham segera menyela. “Maklum, dia emang manja Zeliya. Biar dia ambil sendiri. Betul kata Bryan. Ambil untukmu aja.”“Hahaha… aku ‘kan cuma mau akrabin kakak iparku Bang,” ucap Ardan dengan tertawa garing. Zeliya mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Lalu duduk dengn tenang di samping suaminya yany sudah makan dengan lahap.“Zeliya, cicipin ya menu andalan Mama. Pengen tau bagaimana pendapat kamu,”celetuk Ibu mertuanya. Zeliya tersenyum dibalik cadar, menganggukkan kepala.Arham terus menerus menatap ke arah Zeliya. Sedangkan Bryan, tidak menyadarinya dan justru fokus menatap nyalang ke arah Ardan yang sesekali memonyong-monyongkan bibir kepadanya. Mimpi apa Bryan bisa satu meja makan dengan musuhnya sendiri. “Nggak lepas aja cadarnya Mbak? Ribet kayaknya makan begitu,” komenta
Zeliya menggeleng sembari menahan tangan Bryan membuat si empunya mendengus keras. Sudah dalam keadaan sekarat begini, masih sempat-sempatnya Zeliya berusaha keras untuk mempertahankan pendiriannya Sulit sekali membantu wanita bercadar itu. Memang akan terjadi apa jika ia melihat wajahnya? “Santai aja kali, gue nggak bakal ilfill liat muka lo. Suwer." Wajah Bryan serius. Memang tidak ada niat apapun, selain membantu mengurangi rasa tidak nyaman yang dialami istrinya itu. Zeliya bangkit, perutnya terasa begitu mual, segera saja ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isinya. Bryan menyusul karena pintu kamar mandi tidak tertutup. Dengan ragu, tangan Bryan terulur untuk memijat pelan tengkuk sang istri. “Gue nggak bakal maksa lo buat buka cadar. Terserah lo kalau mau kesusahan kaya gitu. Tuh, basah kainnya," sindir Bryan. Zeliya menahan tangan Bryan, mengusirnya dari tengkuk. Ia merasa tidak nyaman karena baru pertama kali pria itu memegang salah satu bagian tubuhnya yang s
Bryan mengejar langkah istrinya yang cepat. Berkali-kali dipanggil pun, wanita itu tidak kunjung menoleh apalagi berhenti. Bryan berfikir, apakah ada yang salah dengan perkataannya beberapa menit lalu? Sehingga Zeliya terlihat begitu marah?Zeliya melambaikan tangannya saat sudah berada di bahu jalan. Ia memilih untuk pulang terpisah saja dari pada harus bersama pria yang omongannya selalu membuatnya sakit hati. Zeliya pikir, bakal bisa sabar menghadapi Bryan, ternyata semakin lama, semakin sulit. Hatinya tiba-tiba saja begitu sensitif. Ia ingin menenangkan diri.“Lo mau kemana huh? Pulang ama gue.” Bryan menahan lengan Zeliya. Saat mata mereka bersitatap, sudah terdapat genangan air dipelupuk mata Zeliya yang membuat Bryan tertegun. Zeliya menangis? Kenapa? Batinnya bertanya-tanya.“Kenapa lo? Nangis? Kena angin malam?” cecar Bryan dengan pertanyaan. Zeliya membuang wajah. Ia tetap melanjutkan untuk membuka pintu sebuah taksi yang
Jalanan malam ini lebih banyak dihuni manusia. Mereka lebih berisik daripada suara kendaraan roda dua dan empat yang berlalu lalang sesekali. Ramadhan yang sebentar lagi tiba, menjadi alasan bagi pengguna jalan yang kini beramai-ramai dengan celotehan mereka. Pawai obor, tradisi yang melekat di beberapa daerah Indonesia, menjadi penghias malam ini.Bintang dilangit yang bertabur, seolah memberi sinyal bagus bahwa tidak akan ada hujan yang turun. Warga semakin bersemangat, berseru ria, takbir dan menggaungkan selamat datang pada bulan yang penuh berkah, yang kehadirannya begitu dinanti-nanti oleh orang-orang yang merayakannya.Bryan melewati kerumunan orang-orang yang memadati jalan. Bahkan, ia berkali-kali mengumpat kasar begitu sepeda motornya harus berhenti mendadak karena ada anak-anak yang lewat tanpa aba-aba. Menghalangi jalan, sambil tertawa riang membawa kembang api, seolah hidup tanpa beban."Shit, kalau tau gini gue lewat jalan lain aja," kesal Bryan. I
"Setelah semua yang aku lakukan, adakah jalan tobat bagi wanita seperti aku ini, Zeliya?" lirih Selena seolah terdengar berputus asa. Zeliya mengusap bahunya lembut."Jangan pernah berputus asa, Allah itu maha pengampun. Justru, Allah senang kalau hamba-hamba yang melampaui batas datang kembali padanya. Kamu sudah menyesali semua perbuatanmu, Selena. Kamu hanya perlu memperbaiki diri, hijrah dan banyak solat tobat diiringi istighfar.""Setiap aku ingat momen-momen itu, rasanya malu dan marah pada diriku sendiri.""Itu masa lalu, Selena. Allah nggak akan liat masa lalumu, yang penting masa depanmu ini kamu gunakan sebaik-baiknya buat taat sama Allah, juga membesarkan anakmu dengan sepenuh hati. Dia bisa jadi ladang pahala buatmu.""Aamin, terimakasih Zeliya. Hanya kamu yang nggak menghakimi aku, semua keluargaku mengusirku, menatapku seolah aku adalah wanita yang hina, pelacur dan tidak pantas hidup. Aku bener-bener nggak tau lagi harus gimana.""Ka
Kehamilan Zeliya mulai beranjang memasuki trimester ke dua, dimana moodnya mulai semakin membaik. Ia pun tidak lagi terkena morning sickness yang membuat ia dan suaminya kepayahan sendiri dengan keadaan yang berbeda setelah dinyatakan positif hamil.Hari ini, suami istri itu terlihat sudah rapi dan bersiap-siap untuk melakukan cek kehamilan serta untuk melakukan USG tentang jenis kelamin bayi mereka. Bryan yang sebenarnya memaksa ikut sang istri untuk cek kandungan."Kamu tahu sayang, Ibu-ibu diluar sana banyak yang mengeluh karena suami mereka nggak pernah sama sekali ikut pemeriksaan kandungan. Kalau aku seperti mereka diluar sana, kayaknya aku bener-bener jadi Ayah yang merasa sangat bersalah, bukan pada anakku, tapi pada istriku, Ibu dari anakku itu," ungkap Bryan sembari mengusap kerudung istrinya."Akhir-akhir ini kamu mahil menggombal Mas," komentar Zeliya yang merasa perkataan suaminya amat sangat manis terdengar ditelinga."Masa? bikin kamu makin cinta ya?" goda Bryan dengan
Zeliya beranjak dari sajadahnya karena mendengar suara ketukan pintu dan suara orang mengucap salam. Dahinya mengernyit, tumben malam-malam begini ada tamu laki-laki ke rumah Ibunya, kira-kira siapa? "Wa'alaikumussalam, iya sebentar," jawab Zeliya, ia memasang cadar, lalu membuka pintu. Matanya membulat melihat siapa yang datang. "M-mas, k-kenapa kamu ada di sini?" bisik Zeliya lirih. Ia hampir tidak percaya ada sang suami di depan matanya, pasalnya tadi sore Bryan terlihat muak sekali melihat dirinya. Tapi kenapa kini menemuinya? "Sayang, maafkan aku," lirih Bryan dengan raut menyesal. "Siapa tamunya Nak?" Ibu Zeliya bertanya sembali menyusul keluar dari kamar. "Loh, suamimu Nak, ayo ajak ke dalam, malah pada bengong di luar, gimana tho." Syifa tersenyum menyambut menantunya. Bryan segera bersalaman dan menciumi tanyan mertuanya. "Maafkan Bryan Bu, maaf." Wajah Bryan terlihat lesu dan merasa bersalah. Ia pikir istrinya sudah menferutakan keburukan dirinya kepada Iby mertua. "Eh
Bryan terkejut karena Alex mengatainya 'Bajingan' padahal dulu pria itu hampir tidak pernah melakukannya, walau mereka masih sama-sama satu geng motor. Sahabatnya yang satu itu merupakan satu-satunya yang memiliki kata-kata lembut. Berbeda dengan Angkasa dan Ferdinand. "Gue ke rumah lo sekarang," ucap Alex dengan nafas memburu. Walau badannya terasa lelah, karena pekerjaan kantor yang membabi buta, ia rela untuk lebih lelah lagi, semata demi sahabatnya yang bodoh itu. Bagaimana bisa, Bryan masih tidak mengambil pelajaran dari kisah di masa lalu? Bisa-bisanya pria itu mengusir istri solehahnya karena terprovokasi dan cemburu oleh pria lain yang pernah berhubungan dengan istrinya di masa lalu. Alex benar-benar harus mendisiplinkan Bryan. Pria itu masih saja kekanak-kanakkan, walau sudah menjadi seorang suami. "Mau ngapain lo ke rumah gue?" tanya Bryan seperti orang bego. Alex lebih memilih mematikan ponselnya, daripada Bryan terus menelponnya untuk meminta penjelasan. Buat apa ia ke
Teringat kembali kata-kata suaminya, Zeliya kembali menitikkan air matanya. Bryan terlihat murka ketika tahu bahwa dirinya pernah berhubungan dengan seorang pria di masa lalu. Tapi, ia berani bersumpah, tidak pernah disentuh oleh Reno, dalam artian kehormatannya tidak pernah ia gadaikan kepada pria brengsek itu."Mas... Kalau kamu mau dengerin aku..." lirih Zeliya, berdiri mematung di depan kamar. Ia tahu Bryan pasti mendengarnya, tapi pria itu memilih diam tanpa menyahut. Tidak ingin membuat suaminya semakin murka, akhirnya Zeliya memutuskan untuk pergi dari rumah, karena toh suaminya sudah menyuruhmya untuk pergi. "Mas, kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi," ucap Zeliya sembari menyeka air mata. Ia hanya ingin membiarkan Bryan untuk mencerna semua yang terjadi. Pria itu sedang lelah karena pekerjaan ditambah kedatangan pria bernama Reno yang pasti sudah mengatakan yang tidak-tidak tentang hubungan sang istri dan pria itu."Tapi, aku mau pergi kemana? Kalau ke rumah Ayah, nant
Zeliya kembali ke kamar mandi karena ia merasa mual terus menerus, bahkan wajahnya sudah pucat saat ini. Sudah lima kali ia memuntahkan isi perutnya, walau hanya air. Kepalanya pun sangat pening, padahal ia ditarget oleh dosen pembimbingnya untuk menyelesaikan revisi bab dua skripsinya."Zeliya!" panggil Bryan dengan namanya, bukan seperti panggilan biasanya. Zeliya yang hanya mendengar sayup-sayup panggilan itu menyahut dengan lirih dengan keadaan tubuh yang lemah.Derap kaki yang terdengar, membuat Zeliya segera keluar kamar mandi dan mendapati wajah Bryan yang lelah, bahkan pria itu kini memiliki kumis sedikit di bagian bibirnya, mungkin tidak sempat cukur. Zeliya memaksakan senyum manisnya."Kamu udah datang Mas? kamu minum apa?" tanya Zeliya. Kini ia hanya berpakaian tank top, karena ia baru selesai mandi namun ternyata ia kembali muntah terus menerus dan belum sempat berpakaian. Bryan menatap tubuh istrinya dari atas ke bawah, tubuh yang ternyata tidak han
Zeliya belakangan memang disibukkan oleh konsultasi skripsi yang dilakukannya di kampus. Padahal, ia sudah negosiasi kepada dua dosen pembimbingnya agar bisa konsultasi online karena ia merasa sering tidak enak badan akhir-akhir ini, tapi sayangnya kedua dosen itu tidak mau tahu, Saat ia berjalan pelan di koridor ruangan para dosen, ia mendapat pesan dari Bryan yakni sang suami. Pria itu juga akhir-akhir ini bertambah sibuk, karena setelah resign dari perusahaan agensi modelnya, kini bergelut mengurus perusahaan Ayahnya yang besar dan memang sedang acak-acakkan, untunglah teman-teman pria itu membantu. [Sayang, maaf, malam ini aku nggak pulang ya, kerjaan aku di kantor banyak banget, nggak kelar-kelar, nggak papa ya, kamu sendirian di rumah?] Zeliya membalas dengan cepat, ia juga ingin segera agar urusan perusahaan suaminya lancar dan cepat selesai, tentu saja ia mengizinkannya, asal Bryan sibuk dengan pekerjaan dan bukan dengan yang lain. [Iya Mas, nggak papa, jangan lupa makan y
Seminggu sejak Ayahnya di pindahkan ke ruang VVIP, Bryan kini sudah bisa beraktifitas kembali, juga Zeliya yang mulai fokus kuliah dan bekerja di Butik Arham.Hari ini, tepat dimana Ayahnya akan pulang dari rumah sakit karena kondisinya sudah membaik. "Kalau kamu ada kuliah, nggak papa, nggak usah ke rumah sakit Zeliya," ucap Bryan pada istrinya yang tengah mematut diri di cermin, setelah malam yang menjadikan keduanya suami istri seutuhnya, Bryan dan Zeliya menempati hanya satu kamar. Tepatnya di kamar Bryan."Iya Mas, hari ini aku juga ada janji sama dosen untuk konsul skripsiku."Bryan mengangguk, ia memasang hem berwarna biru di tubuhnya. Menjadi outer dari kaos putih polos yang begitu serasi di kulit putih bersihnya. Menghampiri istrinya yang terduduk di meja rias, menatap wajah ayu itu dari pantulan kaca."Ada apa Mas?" tanya Zeliya, membalas tatapan suaminya dari kaca."Kamu selalu cantik di mataku," balas Bryan, membuat wajah Zeliya merona.
"Salat... aku pengen salat, Zel." Bryan berucap lirih di balik punggung istrinya. Zeliya mengangguk, ia menatap Mama mertuanya sekaligus memberi isyarat."Bawalah, tenangkan dia sementara," ujar Ratna walau tanpa kata, namun hanya lewat tatapan mata. Zeliya menipiskan bibir, ia juga sempat menganggukkan kepala, untuk pamit pada Ratna dan Arham.Zeliya menatap nanar punggung suaminya yang masih saja bergetar, sejak pria itu memulai salat duhanya. Zeliya sebenarnya tidak tahu juga suaminya tengah melaksanakan salat duha atau salat yang lain, yang jelas ia tahu suaminya menangis dalam salatnya.Suasana masjid yang sepi, membuat pria itu leluasa menumpahkan segala rasa sedih dan terpukulnya. Zeliya, hanya bisa mengintip suaminya dari balik tirai penghalang antara shaf wanita dan pria.Hingga satu jam lamanya, Zeliya masih menunggu suaminya beranjak, namun sepertinya pria itu amat betah di sana. Akhirnya, dengan melihat situasi, memastikan jika tidak ada