Setelah melihat bagaimana Desa Kali Bening semakin ramai didatangi saudagar dan wisatawan dari berbagai daerah, Raka tidak tinggal diam. Ia mulai berpikir lebih jauh— bukan hanya soal rumah makan, tetapi juga tentang tempat menginap bagi mereka yang datang dari jauh .“Jika mereka datang untuk bersantap, mengapa kita tidak menyediakan pula tempat mereka beristirahat?” begitu pikirnya.Maka, dengan tekad yang bulat, Raka mulai membangun beberapa rumah penginapan di Desa Kali Bening . Penginapan yang lama pun ia perlukan, agar dapat menampung lebih banyak tamu. Setiap bangunan dirancang sedemikian rupa, menggunakan kayu-kayu pilihan yang kokoh serta atap rumbia yang sejuk. Kamar-kamar dibuat nyaman, lengkap dengan tikar anyaman halus serta tempat tidur yang tersusun rapi.Namun, tidak semua orang melihat langkah ini sebagai keputusan yang bijak. Beberapa warga menganggap usaha Raka sia-sia."Apa maksudnya membangun banyak rumah penginapan? Desa kita ini hanya desa kecil, bukan kota besa
Hari demi hari, Desa Kali Bening semakin ramai. Para saudagar, pelancong, dan pekerja mulai berdatangan , menjadikan desa yang dulu sepi kini penuh dengan aktivitas.Di sepanjang jalan utama, warung-warung mulai bermunculan , menjajakan berbagai makanan dan barang dagangan. Beberapa rumah warga bahkan diubah menjadi tempat penginapan sederhana , menampung para musafir yang ingin beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan.Di sisi lain, usaha Raka berkembang pesat . Rumah makan Sekar Kedaton yang baru kini menjadi tempat persinggahan utama para saudagar kaya . Setiap harinya, pundi-pundi perak terus mengalir , bukan hanya dari hasil penjualan makanan, tetapi juga dari bumbu siap saji, penginapan, serta produk unggulan desa .Tidak butuh waktu lama, kabar tentang pesatnya perkembangan Desa Kali Bening sampai ke para pedagang besar dan pejabat kota ."Luar biasa! Siapa yang mengira desa kecil ini bisa tumbuh menjadi pusat perdagangan baru?" ujar seorang saudagar saat menikmati hidangan
Malam itu, angin berhembus pelan menyusuri pematang sawah dan menyelinap ke rumah-rumah penduduk Desa Kali Bening. Namun tak seperti biasanya, malam yang biasanya diterangi oleh lampu minyak, kini justru memancarkan cahaya hangat dari jendela rumah bata merah warga.Raka, kini telah mengenalkan benda sederhana namun mengubah banyak hal—lilin kayu malam.“Cahaya ini… seperti sinar rembulan yang turun ke bumi,” gumam seorang perempuan tua sambil menatap lilin yang menyala di sudut rumahnya.“Iya, Mak,” sahut cucunya, “kata Kak Raka, kayu malam memang punya minyak yang bisa membakar lama.”Di penginapan milik Raka sendiri, cahaya lilin menghiasi setiap sudut. Para tamu yang bermalam duduk melingkar, mengobrol tanpa takut disengat gelap malam.“Sungguh, penginapanmu ini tak lagi seperti rumah desa, Raka,” kata Pak Leman, saudagar dari Kutaraja, sambil menyeruput air jahe. “Terang dan nyaman. Aku betah berlama-lama di sini.”Raka hanya tersenyum, lalu menjawab rendah hati.“Hanya kayu dan
Mentari pagi baru saja menyapa lembah Kali Bening. Udara masih segar, aroma kayu basah dan dedaunan berpadu dengan bau manis madu segar yang menguar dari dapur-dapur warga. Di halaman penginapan Raka, beberapa pemuda sibuk menyusun bata merah dalam tungku pengeringan, sementara yang lainnya mengaduk ramuan lilin dengan cekatan.Para pedagang mulai berdatangan, membawa gerobak berisi kain, rempah, bahkan logam ringan. Tapi yang paling mereka incar adalah dua hal: lilin kayu malam dan bata merah Kali Bening.“Raka, lilinmu sudah laris hingga ke Talangkidul!” seru seorang pedagang gemuk bernama Pak Sambu, sambil menepuk-nepuk kantung uangnya. “Aku mau pesan seratus batang untuk dikirim seminggu sekali. Bisa?”Raka tersenyum, lalu menunjuk ke arah tungku pembakaran.“Bisa, asal kayu malam dan sarang lebah masih cukup. Tapi tak bisa dipaksa, lilin tak bisa dibuat buru-buru… harus dengan sabar.”“Haha, sabar asal barang tetap datang!” canda Pak Sambu, lalu menyerahkan kantung kecil berisi p
Angin pagi di kampung Puri Soka berembus lembut, menyibak tirai tipis paviliun. Burung-burung berkicau riang seolah ikut menyambut kabar bahagia yang sedang menyelimuti puri sederhana di ujung bukit itu.Di dalam paviliun yang hangat, Raka tengah duduk bersimpuh di sisi ranjang, menatap wajah mungil putranya yang baru saja lahir. Wajah bayi itu tenang, tidur dalam dekapan ibunya, Aina, yang tampak lelah namun berseri.“Namanya... akan kupanggil Rama Wironegoro, yang artinya kekuatan yang bijaksana,” bisik Raka dengan suara bergetar.Aina tersenyum, mengelus tangan suaminya.“Semoga ia tumbuh dengan hati seperti ayahnya, dan keberanian seperti leluhurnya.”Raka mengecup kening istrinya, dan dalam hati bersyukur bahwa Aina memutuskan tinggal sementara di kampung puri di paviliun puri milik Raka yang jauh dari riuhnya Desa Kali Bening—agar masa kelahiran mereka jalani dengan tenang.Ayunda selamat ya atas lahirnya Mas Rama, ih dia ganteng seperti kakanda Raka.” Ujar Aini, dan Andini.“Iy
Hari pelantikan Raka sebagai kepala desa Kali Bening berlangsung megah di pendapa utama, dengan diiringi bunyi gamelan dan alunan seruling bambu dari para pemuda desa. Para warga memenuhi alun-alun, menanti momen bersejarah tersebut—saat putra terbaik mereka resmi memegang tongkat kepemimpinan menggantikan Kades Zeno yang telah sepuh.Di tengah acara, Raka naik ke mimbar bambu yang dihias bunga kamboja putih. Ia mengenakan beskap hitam berlist emas dan blangkon bermotif kawung peninggalan ayahnya. Dengan suara lantang, ia membuka pidato:"Hari ini, aku tak hanya menerima amanah sebagai Kades, namun juga hendak mengabarkan kepada kalian semua... bahwa putra pertamaku dari Aina telah diberi nama: Rama Wironegoro!"Sorak sorai warga bergema, beberapa anak-anak melonjak kegirangan. Nama itu langsung menjadi buah bibir di antara para tetua.“Namanya gagah sekali!” bisik Bu Rini kepada tetangganya. “Rama… seperti satria besar. Semoga jadi penerus yang bijak kelak,” balas yang lain.Di ruma
Matahari baru saja terbit di ufuk timur ketika Lurah Wiroguno dari Desa Petir dan Wedana Amung dari Kecamatan Kemusuk duduk di balai bambu belakang rumah lurah, membicarakan satu hal yang sama: Raka dari Kali Bening.“Kau lihat, Amung? Pasar mereka hampir rampung. Pedagang dari arah barat mulai beralih ke sana. Bahkan beberapa petani kita ikut memasok bahan baku ke pasar Kali Bening,” gumam Wiroguno sambil menyulut tembakau kering. “Aku dengar mereka sudah punya tiga rumah makan, pabrik lilin, tambak ikan, dan bata merah. Bahkan anak muda pun lebih suka merantau ke sana ketimbang ke kota kecamatan!” sahut Amung dengan suara berat.Mereka terdiam sejenak, lalu Wiroguno menyeringai.“Sepertinya sudah waktunya... membuat orang-orang itu sadar bahwa Raka bukan lelaki suci. Aku masih ingat, waktu ia pernah diculik oleh keluarga Anom. Bukankah itu bisa kita besarkan sebagai aib?”Wedana Amung mengangguk, meski ragu.“Tapi bukankah rakyat Kali Bening sudah tahu peristiwa itu? Bahkan mereka
Suara-suara samar dari para pedagang dan musafir mulai memenuhi jalanan kota madya utama. Angin membawa kabar dari pelosok negeri, dan salah satu nama yang makin sering terdengar di kedai-kedai kopi pahit, warung-warung rempah, hingga ruang istirahat para bangsawan—adalah nama Raka dari Kali Bening.“Anak muda itu bukan sembarang pemuda desa,” bisik seorang saudagar tua kepada rekannya di teras pasar. “Ia menyulap tanah rawa menjadi desa bertembok kokoh. Jalanannya dilapisi semen murni, lebih halus dari jalan utama kota ini.”Genteng merah membara, bata merah yang kuat, serta lilin wangi dari kayu malam dan madu desa Kali Bening kini menjadi barang dagangan laris. Pedagang-pedagang dari kota madya datang silih berganti, bukan sekadar membeli, tetapi juga ingin menyaksikan sendiri keajaiban yang konon dibangun oleh seorang pemuda yang dahulu hanya dikenal sebagai budak mandor kuat.Jalan yang menghubungkan kota madya ke Kali Bening kini tak lagi dipenuhi lumpur dan lubang. Kereta kuda,
Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s
Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa
Mentari pagi belum sepenuhnya tinggi saat seekor kuda cokelat berhenti di depan gerbang Desa Kali Bening. Di punggungnya duduk seorang pria berjubah hijau lumut dengan lambang Adipati Kota Madya Utama di dadanya. Di tangannya tergenggam gulungan surat berstempel lilin merah."Aku mencari Tetua Kades Zeno," ucap si utusan, suaranya mantap, tak tergesa.Warga yang sedang menjemur padi dan membersihkan jalanan langsung menoleh, lalu saling berbisik penasaran. Tak setiap hari utusan adipati datang ke desa kecil seperti mereka.Tak lama, Zeno keluar dari rumah panggungnya. Pria tua itu mengenakan ikat kepala kelabu dan sorot matanya menyimpan wibawa yang bijak."Aku Zeno. Ada urusan apakah dari Kota Madya Utama hingga membuat langit pagi di sini jadi lebih bergema?"Utusan itu menunduk hormat sebelum menyodorkan surat."Surat ini dari Adipati untuk keluarga Raka. Mohon disampaikan kepada yang berhak. Isinya... kabar yang mulia."Zeno mengangguk, memanggil anak kembarnya Riko dan Roni, lalu
Hari itu, langit di atas Desa Dalam Raja memancarkan cahaya keemasan. Panji-panji Kerajaan Surya Manggala berkibar di setiap sudut, bunyi gamelan dan tabuhan kendang bersahut-sahutan mengisi udara. Di tengah alun-alun desa, sebuah panggung kayu didirikan, dikelilingi bunga kenanga, kemenyan, dan dupa yang mengepul halus ke langit.Hari itu, bukan hari biasa. Hari itu adalah Upacara untuk Raka.Penduduk dari berbagai dusun datang membawa sesajen dan buah-buahan, menaruhnya di meja panjang, berjejer dengan nasi tumpeng setinggi lutut orang dewasa.Seorang tetua desa—berjubah putih dengan tongkat ukiran ular kembar—berdiri dan mengangkat suaranya, "Mulai hari ini, Raka... bukan lagi hanya seorang pelajar. Tapi ia telah sejajar dengan para bangsawan muda Surya Manggala, meski usianya belum lagi lewat seperempat abad!"Orang-orang bersorak. Anak-anak berlarian, mengangkat miniatur pedang kayu dan meneriakkan nama Raka sambil tertawa.Raka sendiri duduk bersila di atas panggung, mengenakan
Hening menyelimuti langit Akademi Utama Kerajaan. Riuh para penonton yang tadi menggema di tanah latihan, kini terganti dengan desau angin dan napas para siswa yang masih tersisa. Tubuh-tubuh kelelahan bergelimpangan di pinggir arena. Namun satu sosok masih berdiri tegap di tengah lingkaran batu raksasa itu: Raka.Tubuhnya penuh memar. Biru keunguan menghiasi lengan, pundak, bahkan bagian samping wajahnya. Namun langkahnya tetap kokoh, napasnya masih teratur, dan sorot matanya masih setajam awal pertandingan.Seorang guru mendekatinya dengan ragu, lalu berbisik, "Raka... kau yakin tak perlu pengobatan dari tabib istana?"Raka hanya mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa mengubah nada suaranya,"Syukurlah tubuh ini cepat menyembuh. Sedikit nyeri seperti ini... takkan membuatku tumbang."Di atas podium kehormatan, Maha Patih Maheswara, panglima tertinggi yang mengawasi ujian itu, mematung dalam diam. Raut wajahnya kaku, mata menatap kosong ke arah Raka. Di balik jubah emasnya yang berat,
Tubuh Master Resi Kumara terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan hangat dan balur akar-akar langka dari Pegunungan Sembilak. Di sisi tempat tidurnya, berdiri seorang lelaki tua berjubah cokelat tanah dengan sabuk hijau zamrud—Tabib Nambi, sang penyembuh istana.“Sepempat Kekuatan Saja Sudah Cukup”Patih Nambi berdiri di sisi ranjang, wajahnya tenang namun suaranya berat saat berbicara kepada salah satu guru besar.“Jika benar seperti yang kalian katakan... bahwa Raka hanya menggunakan sepempat kekuatannya, maka bersyukurlah Master Kumara masih bisa bernapas.”“Separuh saja sudah seperti ini...” gumam Guru Lomas, menunduk.“Kalau separuh tenaganya dilepas,” lanjut Tabib Nambi, “aku tak yakin tubuh manusia bisa bertahan. Ia bisa lumpuh... bahkan mati, dalam sekejap.”Semua yang mendengar berita itu terdiam. Terbayang di kepala mereka: Raka yang santun, diam, ternyata menyimpan kekuatan seolah bukan milik manusia biasa.Keesokan harinya, Raka mendapat pesan khusus. Ia diminta datang ke
Hari itu, halaman utama Akademi Surya Manggala ramai luar biasa. Langit bersih, tapi ketegangan seperti menggantung di udara. Para murid berdesakan, tak ingin melewatkan ujian bela diri tingkat tinggi—yang akan mempertemukan Raka dengan Master Resi Kumara dalam pertandingan resmi di depan seluruh guru besar.Resi Kumara berdiri gagah, tongkatnya menyentuh tanah, dan suaranya bergema.“Raka dari kelas S. Ujian ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kehormatan seluruh angkatan. Jangan kira aku akan menahan diri.”Raka mengangguk hormat. “Aku tidak ingin menang dengan belas kasihan.”Lonceng ujian berdentang. Dalam sekejap, Resi Kumara menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tapi Raka sudah bersiap. Ia tak hanya menangkis—ia memutar tubuh, memanfaatkan momentum lawan, dan selalu menghindar Ketika resi kumara menyerang dengan keahlian resi yang di atas rata-rata penduduk Kerajaan surya manggala, namun tidak bagi raka.Raka terus mengelak hingga membuat resi jengkel dan mengeluarkan jurus
Langit Surya Manggala mulai menguning. Angin sore membawa bau tanah dan daun kering dari taman belakang Akademi Kerajaan. Suasana yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi arena sorak-sorai. Di tengah halaman utama, Raka berdiri dengan napas tenang, dikelilingi oleh murid-murid dari kelas A yang penuh amarah.Teknik Rahasia“Raka! Kau terlalu sombong! Kelas S seharusnya tahu diri!” bentak Darwa, pemimpin kelas A, sembari mengayunkan serangan cepat ke arah dada Raka.Raka menghindar tipis, langkahnya ringan seperti angin musim semi. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangkat tangan kanan, menekuk jari-jari dengan formasi aneh yang belum pernah dilihat siapa pun.“Ap—apa itu?” bisik salah satu murid di kerumunan.Dalam sekejap, Darwa terpental ke belakang. Suara desis halus terdengar, seperti angin memecah udara. Raka memutar badannya, tiga lawan lainnya terjatuh sebelum mereka sempat menyentuh jubahnya.Teknik itu... bukan berasal dari Surya Manggala.“Teknik apa itu, Raka?” tanya Ni
Kabut pagi masih tipis menyelimuti halaman utama Akademi Surya Manggala. Hari itu, suasana terasa berbeda. Hari ujian kerajaan — momen penting di mana beberapa siswa terbaik dari berbagai kelas diundang untuk mengikuti seleksi lanjutan yang bisa menentukan masa depan mereka. Termasuk satu sesi rahasia: pertukaran sandera antar wilayah kekuasaan untuk misi diplomatik.Namun semua tak berjalan seperti rencana.Di lorong timur akademi, suara langkah kaki panik terdengar.“Cepat! Panggil tabib! Dia pingsan!” seru seorang penjaga.Seorang pelajar dari kelas B — bernama Dawa — tergeletak, darah merembes dari mulutnya. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Ujian pun dihentikan seketika.Di sisi lain halaman, suara benturan terdengar keras. Di bawah tangga batu utama, Raka tergeletak sambil meringis menahan sakit. Tangannya menggantung tidak wajar.“Rakaaa!” Temon berteriak, berlari dari arah perpustakaan. “Apa yang terjadi? Siapa yang dorong kau?”Raka menahan rasa nyeri sambil mencoba bangk