Sunyi di ruang belakang rumah dinas pejabat kecamatan Kemusuk. Lampu minyak bergoyang tertiup angin, dan di dalamnya, dua bayangan sedang berembuk dalam nada pelan tapi penuh niat buruk.Galih, dengan jubah gelapnya, duduk membelakangi jendela. Sementara Aryo, pejabat muda anak kades desa petir yang terbakar iri hati sejak Kali Bening dikenal, mencoret-coret peta desa dengan arang di atas kulit kayu.“Jika ia tidak bisa dijatuhkan dari atas,” gumam Galih, “maka biarkan rakyatnya sendiri yang mengguncang dari bawah.”Aryo mengangguk. “Aku sudah kirim orang ke pasar sisi timur. Beberapa orang bayaran, bekas perampok, dan penghasut. Mereka akan menyusup sebagai pedagang, buruh, dan bahkan pengemis. Satu bulan cukup untuk menyalakan api dari dalam.”Galih menyeringai. “Desa itu terlalu damai. Sedikit kerusuhan, sedikit kelangkaan makanan, satu-dua bentrok kecil… dan semua mata akan kembali melihat Raka bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai pemicu kekacauan.”Di sisi lain, para pejabat
Angin berhembus lembut dari arah barat, namun di dalam dada Raka, badai belum jua reda. Ia berdiri di depan pendopo rumahnya, memandangi bulan yang menggantung setengah penuh di langit. Pikirannya kembali pada kejadian malam itu—kejadian yang hanya ia ketahui dan sengaja ia sembunyikan dari ketiga istrinya.“Tak perlu mereka tahu,” gumam Raka lirih, “Bila hati mereka tenang, maka rumah tangga pun tak goyah.”Ia menatap jauh, ke arah penjuru desa. Bayangan hitam yang melintas diam-diam malam itu belum bisa ia lupakan. Sesuatu sedang bergerak dari luar, dan Raka tahu... angin kedamaian bisa saja berbalik menjadi angin pembawa bencana.Keesokan harinya, dua pemuda, Roni dan Riko, memikul keranjang besar berisi makanan hangat dari rumah makan Sekar Kedaton. Beberapa pekerja membantu mereka menyiapkan makanan untuk para penjaga di gerbang dan benteng desa.“Cepat, Riko, nasi jangan sampai dingin. Penjaga di barat sudah berjaga sejak fajar!” seru Roni sambil menyeimbangkan beban di pundakny
Pagi itu, mentari baru setengah naik di langit timur ketika dentang lonceng kayu terdengar dari pelabuhan Kali Bening. Setelah kerja siang dan malam tanpa henti, pelabuhan baru akhirnya rampung. Kini, dua kapal besar bisa bersandar dengan leluasa, dan tiga kapal kecil lainnya berjejer di sisi selatan dermaga.Dari atas balai pengawas, Raka tersenyum puas, berdiri dengan tangan bersilang di dada. Di sampingnya, Naka bendahara desa kali bening mengangguk kagum.“Tak kusangka dermaga ini bisa selesai dalam dua malam saja,” ujar Naka.“Jika kita terus menunggu restu dari langit, maka kaki kita takkan pernah menginjak tanah yang kita tuju,” jawab Raka ringan. “Desa ini tak boleh diam. Harus tumbuh seperti anak-anak muda kita yang makin gagah.”Naka menoleh ke arah dua sahabatya yang sedang membantu nelayan menurunkan muatan dari kapal—Roni dan Riko.Roni dan Riko telah tumbuh menjadi pemuda dewasa. Tubuh mereka tegap, wajah mereka jernih seperti air sungai Kali Bening. Mereka telah membang
Langit sore itu menggantungkan awan kelabu di atas Desa Petir, seolah ikut merasakan kegundahan yang menyelimuti hati para gadis di sana. Di balai desa, para tetua telah berkumpul, berharap kabar baik dari dua pemuda terhormat yang baru saja tiba dari perjalanan panjang: Roni dan Riko, anak dari mantan Kades Zeno, serta keponakan dari kades Raka, sang pahlawan dari Kali Bening. Kepala Desa Wiroguno berdiri di tengah balai, berwajah sumringah namun sedikit tegang. Di sampingnya, Aryo, tangan kanannya, menunduk dengan tenang, sembari sesekali melirik ke arah para gadis desa yang berdandan lebih rapi dari biasanya. "Roni, Riko," ucap Wiroguno membuka pertemuan. "Kami, mewakili Desa Petir, dengan tulus menyampaikan lamaran dari keluarga-keluarga terbaik di sini. Anak-anak gadis kami telah memendam harapan besar atas kedatangan kalian." Namun, Riko menatap lurus ke depan. Ia menunduk sedikit sebagai bentuk hormat, lalu berkata pelan namun tegas, “Kami menghargai niat baik ini, namun kami
Beberapa saat kemudian, Raka kembali ke rumah. Begitu ia melihat lentera padam dan dayang tua pingsan di tanah, ia segera menarik pedangnya. “Andini!” serunya, berlari ke dalam rumah. Namun rumah itu kosong. Hatinya bergemuruh. Raka berjongkok, menemukan bekas telapak kaki di tanah yang belum kering. Ia menyentuhnya. Masih hangat. “Baru saja...” Dalam waktu singkat, alarm darurat dipukul. Para prajurit Kali Bening berkuda ke segala arah, menyalakan obor dan menyisir hutan serta jalan-jalan gelap. Di Balai Agung, Roni dan Riko segera berkumpul bersama Raka. “Siapa yang berani menyentuh istrimu paman di wilayah kita sendiri?” geram Riko. Raka menatap ke arah barat—ke arah Desa Petir. Matanya menyipit. “Yang merasa tersingkir... dan menyimpan dendam.” “Beri aku waktu satu malam,” kata Roni sambil menggenggam gagang pedangnya. “Jika mereka membawa bibi Andini keluar dari wilayah Kali Bening, kita akan kejar mereka... sampai ke ujung negeri.” Raka mengepalkan tangan. “An
Ruangan gelap itu hanya diterangi cahaya minyak dari lentera kecil yang tergantung di langit-langit. Bau lembap dan debu memenuhi udara. Di sudut ruangan, Andini terbaring lemah dengan tangan terikat pada tiang kayu. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, tapi matanya masih menyala dengan semangat yang belum padam. Pintu kayu berderit pelan. Aryo masuk perlahan sambil membawa kendi berisi air. Ia tersenyum, senyum yang lebih mirip kepalsuan daripada ketulusan. “Andini... kau sudah siuman,” katanya lirih, seolah-olah tak pernah melakukan dosa. Ia mendekat, menuang air ke dalam cawan tanah liat. “Minumlah, kau pasti haus.” Andini mengalihkan wajahnya. “Apa yang kau inginkan, Aryo?” Dengan lembut yang dipaksakan, Aryo menyentuhkan kain basah ke pipi Andini, membersihkan sisa debu. “Aku hanya ingin kau tenang. Tak ada yang akan menyakitimu... selama kau tak membuatku marah.” Andini bersiap berteriak, namun Aryo buru-buru mencengkeram dagunya, matanya berubah buas. “Sekali saja kau berteriak.
Malam menuruni Desa Petir perlahan. Angin membawa aroma padi matang dan tanah lembap. Di balai desa, suasana perlahan mereda. Namun mata Raka masih waspada.Ia memutuskan meninggalkan balai desa lebih awal. Bukan karena lelah, tapi karena firasatnya menguat. Ia mengenakan kain biasa dan berjalan menunduk, menyusuri gang-gang kecil yang tidak dikenali oleh orang luar. Seperti bayangan, ia menyelinap di balik warung tua, menjauh dari keramaian.Dari kejauhan, matanya menangkap siluet Aryo yang melangkah cepat, sendirian. Raka mengikutinya dalam diam. Langkah Aryo menuju sebuah bangunan kayu besar di ujung desa—gudang tua milik keluarga Wironegoro.Raka menahan napas, menyelip di balik gang sempit yang langsung menghadap ke gudang. Dari celah papan bambu yang renggang, ia melihat Aryo membuka pintu dan masuk, membawa sebuah lentera kecil.Di dalam gudang yang remang-remang, Andini duduk terikat di sudut ruangan. Tatapannya tegas meski tubuhnya lemah. Aryo mendekatinya lagi dengan gaya me
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati pasar rakyat dengan lapak-lapak dari kayu dan atap genting merah yang tersusun simetris. Di seberangnya, berdiri balai desa di atas tebing batu pinggir Kali Bening. Megah namun tetap menyatu dengan alam. Dindingnya dari batu andesit bebaur dengan bata merah yang dipahat tangan-tangan muda desa, dengan ukiran matahari dan aliran air.“Ini seperti bangunan kadipaten…” gumam salah satu pejabat. “Tapi dibangun oleh desa baru berdiri…”“Bukan istana, Tuan,” ujar Raka dengan tenang. “Ini rumah tempat rakyat menaruh harap. Karena itulah kami buat yang kuat, tegak, dan tak gampang roboh.”Di kejauhan, rumah besar Raka tampak menjulang dari balik pohon beringin tua. Bertiang batu alam membentuk pilar, beratap genting merah berdinding bata merah pula, halaman luas menghadap lembah dan sungai.Aryo yang turut berjalan dalam rombongan itu tertegun. Matanya melebar, dadanya mendadak sesak.“Rumah siapa itu?” bisiknya pada seorang pamong dari Kali Bening.“Ru
Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k
Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di
Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini
Pagi itu, balairung utama pengadilan kecamatan Kemusuk dipenuhi rakyat yang penasaran. Bangunan batu kapur berukir dengan atap genting batu hitam itu terasa sesak, udara panas bercampur aroma keringat dan ketegangan. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki tenang berwajah rupawan dengan tatapan mata teduh—Raka, Kepala Desa Kali Bening.Ia duduk di kursi pesakitan di temani Aina dan Roni di belakangnya. Tuduhannya berat: menerapkan pajak tanah sebesar 30 persen tanpa persetujuan kerajaan. Raka hanya menunduk, matanya tak berkedip menatap lantai kayu. Tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya, bahkan saat hakim memintanya memberi penjelasan."Raka, atas dasar apa kau menetapkan pajak tanah sebesar tiga puluh persen kepada warga Desa Kali Bening?"Hakim Bagas mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya, suaranya tegas dan menggema.Namun Raka tetap diam.Di kursi belakang, Aini, istri kedua Raka, mulai gelisah. Wajahnya yang putih pucat semakin tak berdarah. Ia menggenggam erat tangan k
Langit mendung menggantung di atas Desa Petir, seolah menyimpan amarah yang tak terucap. Di jalan menuju balai desa, kerumunan warga berkumpul dengan kain ikat kepala dan berteriak: “Turunkan Pajak! Rakyat Tertindas!”Seorang petani tua bernama Pak Suryo berdiri di tengah kerumunan. Suaranya serak, tapi cukup lantang:“Cucu-cucuku kelaparan, ladang tak laku dijual, semua dagang ke pasar baru di Kali Bening. Kami ingin pindah saja ke sana, ke desa yang rakyatnya dihargai!”Seorang pemuda berseru, “Di Kali Bening, tanah subur! Di sini, yang subur hanya pajak!”Kerumunan bergemuruh.Tapi saat warga mendatangi Balai Desa Petir, yang mereka dapati hanyalah Kades Wiroguno duduk di kursi rotan sambil menghisap tembakau kering. Di sekelilingnya berdiri para pengawal desa.“Protes ini sia-sia,” katanya dengan nada dingin. “Pajak itu sudah ditetapkan… Demi pembangunan desa kita juga.”Seorang Wanita dengan baju kain rami maju dengan mata berair.“Pembangunan apa, Pak Lurah? Rumah kami roboh tak
Di perempatan jalan besar — yang sebelumnya hanya tanah lapang dan semak belukar — kini mulai berdiri tenda-tenda kain, meja kayu, dan bangku dagangan.Di tengah keramaian itu, Raka berdiri di atas panggung bata merah. Suaranya lantang namun bersahaja, menyapa para pedagang dan warga yang datang.“Hari ini, kita membuka lapak pasar kulon, mudah-mudahan penduduk kampung kulon tidak perlu berjalan jauh kepasar pusat desa kali bening, cukup di pasar kulon ini kitab isa berinteraksi !“Pasar ini bukan milik kita semua yang mau berdagang.”Warga bersorak. Tangan-tangan terangkat. Terlihat banyak wajah baru—dan lama—yang ikut berdiri di barisan.Mirna, sang bendahara desa, berdiri di samping Raka sambil mencatat nama-nama pedagang yang ingin mendaftar lapak resmi.“Ada yang menjual ikan asin dari tambak Kali Bening… ada yang bawa tembakau dari lereng timur,” bisik Mirna.Beberapa pedagang yang dulu meninggalkan desa karena sulitnya hidup, kini kembali dengan semangat baru.Salah satunya, Pak
Mentari baru saja naik ketika Raka, mengenakan ikat kepala coklat tua dan baju kerja dari kain kasar, berdiri di pinggir sungai tempat jembatan batu sedang dibangun. Matanya tajam memandang para pekerja yang sibuk: ada yang mengangkat batu, ada yang mengaduk semen, ada yang menurunkan muatan dari kereta kuda.Salah satu mandor, Pak Resno, menghampiri dengan gulungan rencana bangunan.“Yang Mulia Kades, bagian lengkung utama akan kita susun siang ini. Tapi butuh empat pekerja tambahan untuk pasang pilar tengah,” katanya.Raka mengangguk cepat. “Ambil dari kelompok barat, mereka sudah menyelesaikan tugasnya pagi ini. Jangan lupa beri mereka makan siang sebelum lanjut.”Ia tidak sekadar memerintah dari jauh. Hampir tiap hari, Raka turun langsung ke lapangan, berjalan di antara debu dan batu, menyapa para buruh, memastikan setiap bagian jembatan dikerjakan dengan benar.“Kalau aku hanya duduk di balai desa,” ujar Raka suatu hari kepada Mirna, “maka jembatan ini tak akan punya jiwa.”Semen
Udara pagi masih sejuk saat Raka memandang aliran sungai lebar yang membelah antara Desa Kali Bening dan wilayah timur yang mengarah ke dermaga baru. Arus sungainya tenang, namun cukup dalam, dan tiap sore banyak perahu kecil yang berlalu-lalang, membawa hasil bumi, ikan, dan barang dagangan.Di atas tanah berbukit kecil yang menghadap sungai, Raka membentangkan lembaran kulit pohon waru, tempat ia menggambar rancangan jembatan. Bentuknya setengah lingkaran, dengan lengkungan batu yang kokoh dan elegan.“Jika kita ingin jembatan ini bertahan puluhan tahun, bahkan seratus tahun,” ujar Raka kepada para tukang bangunan, “maka kita harus membangunnya dari batu alam dan bukan dari kayu. Lengkungannya harus kuat, tapi tak kaku. Seperti punggung seekor naga batu.”Raka menunjuk bagian tengah rancangan.“Sungai ini lebar. Kita buat tiga terowongan melengkung, agar kapal-kapal kecil tanpa layar bisa tetap melintas di bawahnya. Jembatan ini bukan penghalang, tapi penghubung.”Seorang tukang ban
Angin pagi berhembus pelan di tepian Desa Kali Bening. Embun masih menempel di ujung-ujung daun, dan suara burung hutan bersahut-sahutan. Tapi pagi itu, bukan hanya suara burung yang terdengar — dari arah timur, iring-iringan rombongan kecil berjalan kaki membawa karung, alat pertanian, dan raut muka penuh harap. Mereka adalah warga dari Desa Anggur, dari salah satu kampung miskin yang letaknya terpencil di balik perbukitan berbatu.Raka, Kades Kali Bening, tengah duduk di pendopo saat berita kedatangan mereka sampai ke telinganya. Ia segera mendatangi rombongan itu, ditemani beberapa tetua dan pemuda kampung."Apa yang membuat kalian datang sejauh ini?" tanya Raka.Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun melangkah maju, membungkuk hormat. Namanya nara, pemimpin kecil di antara rombongan itu."Maafkan kami, Tuan Raka. Kampung kami tak lagi sanggup menahan kemiskinan. Ladang kami subur, ternak kami sehat... tapi kami terkurung. Jalan keluar desa rusak, hutan rimba dan jurang m