Share

Bab 27

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-03-20 05:13:25
Malam itu bulan bersinar redup di langit, diterpa awan tipis yang sesekali menutupi cahayanya. Raka mengendarai kuda dengan hati-hati di jalan setapak yang menghubungkan Desa Petir dengan Kampung Kali Bening. Angin malam berembus dingin, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Di dalam tas kulit yang terikat di pelana kudanya, tersimpan berbagai bahan makanan yang ia beli untuk persiapan di rumah.

Di ujung jalan yang sepi, beberapa pria bertubuh kekar bersembunyi di balik pepohonan rimbun. Obor kecil yang mereka bawa hanya sesekali menyorot wajah mereka yang dipenuhi niat buruk. Begitu Raka melewati jalan tersebut, mereka langsung bergerak cepat.

"Hei! Apa-apaan ini?!" Raka berusaha menarik kendali kudanya saat dua pria bersenjata golok mencengkeram lengannya.

"Jangan banyak tanya!" Salah satu pria bertubuh tinggi besar menghardik sebelum melayangkan pukulan ke perut Raka.

Raka meringis, napasnya tertahan sesaat. Ia berusaha melawan, namun jumlah mereka terlalu banyak. Kudanya meringki
Bhay Hamid

Maaf selama liburan ini kemungkinan setiap hari hanya akan update satu bab saja

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 28

    Setelah beberapa hari tanpa kabar, keluarga Raka Wironegoro mulai dilingkupi kecemasan yang semakin mendalam. Paman Zeno, seorang pria paruh baya yang penuh kebijaksanaan, memutuskan untuk mengambil inisiatif dalam pencarian. Bersama kedua putranya, Roni dan Riko, serta ketiga istri Raka—Aina, Aini, dan Andini—mereka mulai menelusuri jejak yang mungkin mengarah pada keberadaan Raka.Ketiga istri Raka berada dalam kondisi yang sangat terpukul. Mereka kehilangan nafsu makan dan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan fisik serta mental. Wajah mereka semakin pucat, tubuh mereka semakin kurus, dan sering kali mereka menghabiskan malam dalam tangisan. Ikatan batin yang kuat dengan Raka membuat mereka sulit menerima kenyataan bahwa suami mereka hilang begitu saja tanpa jejak.Pencarian dimulai dari sekitaran istana Kerajaan Surya Manggala. Para penjaga dan pelayan ditanyai satu per satu, namun tak ada yang mengetahui ke mana Raka pergi. Tidak ingin tinggal diam, Paman Zeno dan rombongan mula

    Last Updated : 2025-03-20
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 29

    Raka terhuyung, tubuhnya penuh luka lebam dan goresan akibat perlawanan sengitnya melawan geng Kapak Geni. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan akhirnya, ia kalah. Tanpa ampun, mereka menyeretnya ke tepi jurang di balik gunung Desa Petir. "Selamat tinggal, bocah sombong!" seru salah satu dari mereka sebelum menendang tubuh Raka ke dalam jurang. Ia jatuh melayang di udara, sebelum tubuhnya menghantam dahan-dahan pohon dan akhirnya terhempas ke tanah berbatu. Gelap. Sunyi. Dunia terasa kosong. Beberapa hari kemudian, kelopak mata Raka bergetar, lalu perlahan terbuka. Rasa sakit menyeruak dari sekujur tubuhnya. Tulang-tulangnya terasa seperti remuk, dan setiap tarikan napas adalah penderitaan. Ia tergeletak di dasar jurang yang penuh dedaunan kering dan bebatuan tajam. "Di mana aku...?" gumamnya lemah. Ia mencoba bergerak, namun rasa sakit menusuk membuatnya meringis. Butuh waktu lama bagi Raka untuk sekadar duduk dan mengumpulkan kesadarannya. Perutnya keroncongan, tenggorokanny

    Last Updated : 2025-03-21
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 30

    Sejak kepergian Raka yang tiba-tiba, Rumah Makan Sekar Kedaton tetap beroperasi seperti biasa. Paman Zeno dan Aini mengambil alih pengelolaan dengan penuh tanggung jawab. Mereka memastikan bahwa setiap aspek operasional berjalan lancar, mulai dari penyediaan bahan baku, pengelolaan keuangan, hingga pelayanan terhadap pelanggan. Awalnya, banyak pelanggan setia yang menanyakan keberadaan Raka. Namun, Paman Zeno dan Aini selalu memberikan jawaban yang menenangkan tanpa mengurangi semangat mereka dalam menjalankan rumah makan. Berkat strategi pemasaran yang lebih agresif dan inovasi menu yang dilakukan Raka sebelum diculik, popularitas Sekar Kedaton justru semakin meningkat. Aini, dengan keterampilannya dalam mengatur keuangan dan menjaga hubungan baik dengan pelanggan, berhasil mempertahankan loyalitas pelanggan lama dan menarik pelanggan baru. Ulasan positif tentang kualitas makanan dan pelayanan Sekar Kedaton semakin banyak berkat pembicaraan dari mulut kemulut, membuat nama rumah mak

    Last Updated : 2025-03-21
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 31

    Suasana rumah makan Sekar Kedaton yang biasanya ramai dengan pelanggan setia, mendadak berubah tegang. Beberapa pria bertubuh kekar dengan wajah penuh luka dan tatapan penuh kesombongan melangkah masuk. Mereka adalah anggota Geng Kapak Geni, kelompok preman yang terkenal di sekitaran pasar.Tanpa basa-basi, mereka langsung duduk di beberapa meja dan mulai memesan makanan dalam jumlah besar. Pelayan yang melayani mereka tampak gemetar, tapi tetap berusaha bersikap profesional. Namun, begitu makanan dihidangkan, para preman itu mulai bertindak semena-mena. Mereka makan dengan kasar, melempar tulang ke lantai, bahkan merusak beberapa perabotan di rumah makan itu.Paman Zeno, yang saat itu sedang membantu di dapur, mendengar kegaduhan tersebut. Dengan cepat, ia keluar dan melihat situasi yang tidak terkendali. Aini, yang sedang melayani pelanggan lain, langsung menghampirinya dengan wajah khawatir.“Paman Zeno, mereka sudah keterlaluan. Kita harus melakukan sesuatu,” bisik Aini sambil mel

    Last Updated : 2025-03-22
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 32

    Malam mulai menyelimuti Desa Petir, namun kepanikan semakin terasa. Penduduk Kampung Kali bening yang bekerja menangkap ikan dan memelihara bebek untuk Raka berkerumun di halaman rumah Raka, membicarakan satu hal yang sama—kepergian Raka yang belum kembali. Para wanita mulai berbisik-bisik dengan wajah cemas, sementara para lelaki menghunuskan obor, bersiap untuk pencarian yang lebih luas. "Sudah hampir tiga hari penuh dia belum pulang!" seru salah satu warga. "Dia bisa saja tersesat di hutan atau jatuh ke jurang di sekitar gunung!" tambah yang lain dengan nada khawatir. Roni dan Riko, dua saudara yang juga merupakan orang kepercayaan keluarga Raka, mengambil alih pimpinan pencarian. Dengan suara lantang, Roni menginstruksikan para pekerja dan penduduk desa untuk berpencar ke beberapa titik penting. "Kita bagi tim! Beberapa orang mencari ke arah sungai, yang lain ke hutan di perbatasan barat, dan sisanya ke kaki Gunung Kali Bening!" Suara perintahnya menggema, dan para lelaki

    Last Updated : 2025-03-22
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 33

    Setelah hampir empat hari bersembunyi di atas pohon di tengah hutan Klewer, Raka akhirnya memberanikan diri untuk turun. Tubuhnya sudah mulai lemas karena persediaan makanan yang semakin menipis yang ia kumpulkan di hutan berupa akar-akar pohon yang bisa dimakan. Ia melompat dari dahan pohon dan mendarat dengan ringan di tanah yang masih basah oleh embun pagi.Dengan penuh kewaspadaan, Raka mulai menyusuri aliran anak Sungai Kali Bening. Airnya jernih, memantulkan cahaya matahari yang mulai menembus celah dedaunan. Ia meneguk air segar itu dengan rakus, merasakan kesegaran yang membasahi tenggorokannya yang kering. Matanya terus mengamati sekitar, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai.Saat langkahnya membawa lebih jauh ke dalam hutan di balik Gunung Klewer, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Di antara bebatuan yang berserakan di tepi sungai, ia melihat kilauan hijau keemasan yang memantulkan sinar matahari dengan indah. Dengan hati-hati, ia mendekati batu tersebut da

    Last Updated : 2025-03-23
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 34

    Persaingan antara Sekar Kedaton dan rumah makan Mawar semakin memanas. Sejak kepergian Raka, Sekar Kedaton bukannya meredup, tetapi justru semakin berkembang. Pengunjung yang datang semakin banyak, dan reputasi rumah makan itu kian melejit berkat hidangan khasnya yang selalu menggugah selera.Di sisi lain, rumah makan Mawar mulai kehilangan pelanggan. Meja-meja yang biasanya penuh kini sering kosong, dan aroma keputusasaan mulai terasa di antara para pegawainya. Sakar dan Candra, pemilik rumah makan Mawar, duduk di ruangan belakang dengan ekspresi masam. Mereka sudah mencoba berbagai cara untuk menarik pelanggan kembali, namun semua upaya sia-sia."Ini tidak masuk akal!" bentak Sakar, menghantam meja dengan kepalan tangannya. "Kita sudah menyingkirkan Raka! Seharusnya Sekar Kedaton sudah hancur tanpa dia!"Candra menggelengkan kepala, matanya menyipit penuh kebencian. "Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa bertahan. Bahkan, semakin hari, pelanggan mereka makin banyak. Seolah-olah k

    Last Updated : 2025-03-23
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 35

    Roni mengayunkan langkahnya dengan hati-hati di tepi sungai yang mengalir deras. Matanya terus menyisir setiap sudut, mencari tanda-tanda keberadaan kakaknya, Raka. Di belakangnya, Riko mengikuti dengan napas tersengal, namun semangatnya tetap menyala."Roni, apakah kita tidak terlalu jauh?" tanya Riko dengan suara lelah."Tidak, aku merasa dia ada di sekitar sini. Aku yakin!" balas Roni mantap.Tiba-tiba, langkah Roni terhenti. Matanya membelalak melihat sosok yang terbaring lemah di tepi sungai. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya lusuh, dan wajahnya terlihat pucat. Tanpa ragu, Roni berlari menghampiri."Kak Raka! Kak Raka!" seru Roni sambil mengguncang tubuh kakaknya dengan lembut.Riko yang melihat itu segera menyusul dan berjongkok di sisi Raka. Dengan mata berkaca-kaca, ia meraih tangan kakaknya yang dingin."Kak, bangun! Kami di sini!" ujar Riko dengan suara bergetar.Raka membuka matanya perlahan. Napasnya lemah, namun ada seberkas kelegaan di matanya saat melihat kedua adiknya."

    Last Updated : 2025-03-25

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 100

    Suara genderang kayu dipukul tiga kali di pendopo Desa Kali Bening, menandakan rapat tetua dimulai. Para sesepuh dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur duduk melingkar, jubah panjang dan ikat kepala mereka tampak berwibawa. Raka berdiri di tengah, menggenggam selembar lontar berisi rencana pembentukan desa baru yang telah disusunnya selama berbulan-bulan.“Para tetua sekalian,” kata Raka sambil membungkuk hormat, “saya mengajukan wacana resmi pemisahan Kampung Puri dari Kali Bening. Wilayah ini tumbuh pesat, jumlah penduduknya terus bertambah, dan letaknya strategis di jalur pelabuhan. Saya rasa sudah waktunya dipersiapkan menjadi desa mandiri.”Kakek Bango dari barat Kali Bening mengelus jenggotnya. “Anak muda, langkahmu besar, tapi tidak terburu-buru. Itu bagus. Namun, apakah rakyat siap?”Raka menunduk hormat. “Belum. Maka dari itu, saya mohon ini jadi rencana jangka panjang. Lima atau tujuh tahun ke depan. Saya tak ingin terburu-buru, hanya ingin bersiap sejak sekarang.”Cakra, kep

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 99

    Langit di atas Kota Madya Utama pagi itu diselimuti mendung tipis. Di dalam balai kota yang megah dengan tiang-tiang batu berukir lambang Surya Manggala, Raka berdiri tegak di hadapan para pejabat. Di atas meja panjang terbentang lembar-lembar peta yang ia bawa sendiri dari Desa Kali Bening.Dengan suara tenang, ia memulai, “Saya datang bukan hanya sebagai wakil dari Kali Bening, tapi sebagai utusan dari masa depan. Ini peta wilayah yang kami rancang… pemekaran dari dusun menjadi desa, dan penggabungan dua desa menjadi cikal bakal kota kecil.”Para pejabat duduk dengan tangan terlipat. Beberapa tampak tertarik, namun sebagian lain mulai tersenyum simpul. Salah satu pejabat tua dengan suara lantang menimpali,“Jadi… kau ingin menjadikan daerah sawah dan ladang kerbau itu menjadi kota? Wah, sungguh berani anak muda ini!”Terdengar tawa kecil bersahutan.“Jangan-jangan kau juga berniat bangun istana emas di tengah kolam lumpur?” sambung yang lain dengan nada mengejek.Raka tetap tenang.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 98

    udara di balai pusat Desa Kali Bening begitu segar, seolah embusan angin membawa semangat baru. Raka duduk di ruang dalam balai dengan tumpukan naskah di hadapannya. Di tangan kanannya, sebilah pena bulu ayam yang dicelup dalam tinta hitam. Ia sedang menyusun surat penting yang akan ditujukan kepada Bupati Kota Madya Utama."Kalau desa ini makin besar, banyak hal akan terbagi dua. Ronda, pasar, bahkan pengairan," gumam Raka pada dirinya sendiri. "Mungkin ini saatnya memekarkan desa… jadi dua wilayah."Mirna, yang berdiri di dekat jendela sambil menyusun laporan hasil panen, menoleh. “Apa tidak terlalu cepat, Tuan?”Raka tersenyum. “Bukan soal cepat atau lambat. Tapi soal bagaimana kita menata arah. Dua desa bisa lebih fokus dalam mengatur jalannya rakyat.”Beberapa jam kemudian, surat rampung. Segel desa ditempel, dan dua orang pengawal berkuda ditugaskan membawa surat itu ke kadipaten.Beberapa hari berselang, Raka sendiri yang menghadiri panggilan ke Kadipaten. Ruang pertemuan di ka

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 97

    Angin pagi bertiup sejuk saat utusan dari Desa Anggur datang menunggang kuda cokelat berpelana kain tenun. Ia membawa sepucuk surat bersampul kulit pohon jati, ditujukan langsung kepada Raka.Surat itu singkat namun padat. Isinya, usulan dari Kades Cakra agar kedua desa, Kali Bening dan Anggur, membentuk satu kota baru yang mewakili kemajuan besar yang kini mereka alami. Kota itu akan memiliki balai pusat, pasar agung, dan perwakilan rakyat desa.Raka membacanya sambil duduk di bale-bale bambu rumahnya di Kampung Puri, mengenakan kain tenun kasual dan ikat kepala sederhana. Di depannya, Mirna berdiri, memegangi peta jalur desa.“Cakra memang berani,” gumam Raka. “Tapi usulannya seperti petir siang bolong.”Mirna tertawa kecil. “Petirnya menyala karena langit kita bersih. Tidak banyak desa yang bisa tumbuh secepat ini.”Raka menghela napas. “Kota baru bukan hanya soal bangunan. Tapi juga orang-orangnya, aturannya, makannya dari mana, minumnya dari mana. Apa kita sudah siap?”Hari itu j

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 96

    Tak ada yang menyangka bahwa jalan tanah lebar yang menghubungkan Desa Kali Bening dan Desa Anggur akan membawa perubahan sebesar ini. Dulu hanya berupa jalur setaTuan berkerikil, kini jalan itu sudah ditata rapi, diperkeras dengan batu-batu lempeng dari sungai, dan di kiri-kanannya ditanami pohon turi serta lampu minyak gantung yang dinyalakan tiap malam.Sejak jalan itu dibuka, desa terasa seperti hidup kembali. Kuda-kuda pedagang berdatangan membawa hasil bumi, kain, rempah, logam, dan barang-barang dari wilayah lain. Gerobak-gerobak kayu berseliweran, dan anak-anak kecil sering berdiri di tepi jalan, bersorak tiap kali rombongan saudagar lewat.Suatu pagi, di sebuah warung sederhana di pinggir jalan, seorang pedagang tua duduk sambil menyeruput wedang jahe. Ia menatap lalu lalang orang dengan senyum tipis.“Tempat ini,” katanya sambil menunjuk ke arah jalan yang berdebu halus, “rasanya lebih ramai dari alun-alun kota pelabuhan di utara.”Di depannya, pemilik warung, seorang ibu mu

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 95

    Pagi masih berselimut kabut ketika suara benturan kayu terdengar dari Balai Pelatihan Pasukan. Di sana, Raka berdiri dengan baju pelatihan sederhana, memegang tongkat kayu panjang, sementara puluhan pemuda dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur berdiri berbaris, napas mereka mengembun dalam udara pagi.“Aku tak butuh prajurit yang hanya pandai mengangkat senjata,” seru Raka lantang. “Yang kubutuhkan adalah penjaga sejati. Yang tahu kapan harus bertindak, dan kapan harus menahan diri.”Para pemuda mendengarkan dengan mata menyala-nyala. Mereka tahu, ini bukan pelatihan untuk perang besar, tapi untuk menjaga kehidupan yang telah dibangun dengan susah payah. Jembatan kayu besar yang menghubungkan dua desa kini menjadi urat nadi perdagangan, dan rumah makan Sekar Kedaton telah menjadi tempat persinggahan para saudagar dan pelancong dari jauh. Keamanan bukan lagi urusan tetua desa saja—semua harus turut menjaga.Raka tak bekerja sendirian. Ia dibantu Cakra, sahabatnya yang ahli dalam taktik

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 94

    Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 93

    Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 92

    Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status