Share

Bab 33

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-03-23 14:03:44

Setelah hampir empat hari bersembunyi di atas pohon di tengah hutan Klewer, Raka akhirnya memberanikan diri untuk turun. Tubuhnya sudah mulai lemas karena persediaan makanan yang semakin menipis yang ia kumpulkan di hutan berupa akar-akar pohon yang bisa dimakan. Ia melompat dari dahan pohon dan mendarat dengan ringan di tanah yang masih basah oleh embun pagi.

Dengan penuh kewaspadaan, Raka mulai menyusuri aliran anak Sungai Kali Bening. Airnya jernih, memantulkan cahaya matahari yang mulai menembus celah dedaunan. Ia meneguk air segar itu dengan rakus, merasakan kesegaran yang membasahi tenggorokannya yang kering. Matanya terus mengamati sekitar, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai.

Saat langkahnya membawa lebih jauh ke dalam hutan di balik Gunung Klewer, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Di antara bebatuan yang berserakan di tepi sungai, ia melihat kilauan hijau keemasan yang memantulkan sinar matahari dengan indah. Dengan hati-hati, ia mendekati batu tersebut da
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 34

    Persaingan antara Sekar Kedaton dan rumah makan Mawar semakin memanas. Sejak kepergian Raka, Sekar Kedaton bukannya meredup, tetapi justru semakin berkembang. Pengunjung yang datang semakin banyak, dan reputasi rumah makan itu kian melejit berkat hidangan khasnya yang selalu menggugah selera.Di sisi lain, rumah makan Mawar mulai kehilangan pelanggan. Meja-meja yang biasanya penuh kini sering kosong, dan aroma keputusasaan mulai terasa di antara para pegawainya. Sakar dan Candra, pemilik rumah makan Mawar, duduk di ruangan belakang dengan ekspresi masam. Mereka sudah mencoba berbagai cara untuk menarik pelanggan kembali, namun semua upaya sia-sia."Ini tidak masuk akal!" bentak Sakar, menghantam meja dengan kepalan tangannya. "Kita sudah menyingkirkan Raka! Seharusnya Sekar Kedaton sudah hancur tanpa dia!"Candra menggelengkan kepala, matanya menyipit penuh kebencian. "Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa bertahan. Bahkan, semakin hari, pelanggan mereka makin banyak. Seolah-olah k

    Last Updated : 2025-03-23
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 35

    Roni mengayunkan langkahnya dengan hati-hati di tepi sungai yang mengalir deras. Matanya terus menyisir setiap sudut, mencari tanda-tanda keberadaan kakaknya, Raka. Di belakangnya, Riko mengikuti dengan napas tersengal, namun semangatnya tetap menyala."Roni, apakah kita tidak terlalu jauh?" tanya Riko dengan suara lelah."Tidak, aku merasa dia ada di sekitar sini. Aku yakin!" balas Roni mantap.Tiba-tiba, langkah Roni terhenti. Matanya membelalak melihat sosok yang terbaring lemah di tepi sungai. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya lusuh, dan wajahnya terlihat pucat. Tanpa ragu, Roni berlari menghampiri."Kak Raka! Kak Raka!" seru Roni sambil mengguncang tubuh kakaknya dengan lembut.Riko yang melihat itu segera menyusul dan berjongkok di sisi Raka. Dengan mata berkaca-kaca, ia meraih tangan kakaknya yang dingin."Kak, bangun! Kami di sini!" ujar Riko dengan suara bergetar.Raka membuka matanya perlahan. Napasnya lemah, namun ada seberkas kelegaan di matanya saat melihat kedua adiknya."

    Last Updated : 2025-03-25
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 36

    Malam itu sebelum terjadi penculikan, Raka berdiri di tepi dermaga Desa Anggur, menunggu kepulangan para nelayan yang membawa hasil tangkapan mereka. Sebagai pemilik rumah makan sekar kedaton yang mulai berkembang, ia telah bekerja keras untuk membangun usahanya. Namun, siapa sangka, malam itu menjadi awal dari tragedi yang akan mengubah hidupnya. Narno, seorang tengkulak ikan yang sudah lama bekerja sama dengan Raka, datang membawa berita bahwa ada hasil tangkapan langka yang bisa mereka jual dengan harga tinggi di kota. Raka, yang tidak curiga sedikit pun, setuju untuk menukar emas dalam jumlah besar dengan hasil tangkapan yang dijanjikan oleh Narno. Mereka melakukan transaksi di sebuah rumah makan bernama "Mawar," yang dimiliki oleh dua saudara, Candra dan Sakar. Setelah menyerahkan peti berisi uang emasnya, Raka menunggu ikan-ikan yang dijanjikan. Namun, Narno menghilang bersama kereta kuda dan seluruh emasnya. Saat Raka menyadari bahwa ia telah ditipu, dua pria bertopeng muncul

    Last Updated : 2025-03-25
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 37

    Di bawah rindangnya pepohonan hutan belantara, Roni dengan cekatan mendirikan tenda darurat. Raka masih terbaring lemah setelah perjalanan panjang yang menguras tenaga. Sementara Riko menyalakan api unggun, Roni memastikan sahabatnya itu nyaman dengan menyelimuti tubuhnya dengan kain tebal. Malam itu, mereka memutuskan untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Petir. Pagi menjelang, matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Raka masih tampak lemah, namun tekadnya untuk kembali ke desa membuatnya berusaha bangkit. Dengan penuh perhatian, Roni dan Riko membantu memapahnya. Langkah demi langkah mereka lalui hingga akhirnya sampai di gerbang Kampung Kali Bening, sebuah desa kecil yang terletak di tepian sungai jernih yang selalu mereka lewati. Melihat kedatangan mereka, warga Kampung Kali Bening berbondong-bondong menyambut dengan penuh rasa syukur. Kabar tentang kondisi Raka yang lemah sudah menyebar di antara mereka. Suasana haru pun tak terhindarkan ke

    Last Updated : 2025-03-25
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 38

    Setelah beberapa minggu beristirahat dan memulihkan kondisi fisiknya, Raka akhirnya merasa cukup bugar untuk kembali beraktivitas seperti biasa. Pagi itu, ia memutuskan untuk mengajak ketiga istrinya—Aina, Aini, dan Andini—berjalan-jalan ke Pelabuhan Desa Anggur, tempat para nelayan menurunkan hasil tangkapannya. Ia ingin memperkenalkan mereka pada kehidupan pesisir sekaligus menikmati suasana yang berbeda.Setibanya di pelabuhan, aroma laut yang khas langsung menyambut mereka. Para nelayan tampak sibuk dengan hasil tangkapan mereka, dan salah satu yang menarik perhatian adalah cumi-cumi segar yang masih bergerak di dalam keranjang. Aina, Aini, dan Andini terkejut sekaligus kagum melihat bentuk dan warna cumi-cumi yang berbeda dari ikan-ikan yang biasa mereka lihat."Lihat itu, mereka masih hidup!" seru Andini dengan mata berbinar."Aku belum pernah melihat ikan seperti ini dan sebesar ini sebelumnya," tambah Aini sambil menyentuh salah satu cumi yang masih segar.Tanpa ragu, mereka s

    Last Updated : 2025-03-25
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 39

    Raka berdiri di depan rumahnya, menatap puluhan pasang mata yang memohon kepadanya dengan penuh harap. Warga kampung yang dahulu hanyalah pengemis dan pengangguran kini berkumpul, memohon agar Raka tidak meninggalkan mereka. Di antara mereka, para pengemis yang selama ini setia mengikuti Raka, menangis tersedu-sedu."Tuan Raka, jangan tinggalkan kami!" seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Kami sudah berubah berkat bimbinganmu. Kampung ini mulai berkembang, jangan biarkan kami kembali ke masa lalu yang suram!"Seorang wanita dengan bayi di gendongannya maju ke depan. "Tuan Raka, sejak kedatanganmu, kami memiliki harapan. Kami telah belajar bekerja dan berusaha. Jika kau pergi, kepada siapa lagi kami bergantung?"Raka menghela napas panjang. Ia sudah berencana meninggalkan kampung ini, tetapi melihat mereka semua, hatinya mulai bimbang. Saat itu, Paman Zeno, orang tua bijak yang telah lama menjadi penasehatnya sekaligus pamannya, melangkah maju dan meletakkan tangan di bahu Rak

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 40

    Setelah pertemuan di balai Kali Bening, Raka tidak membuang waktu. Dengan tekad yang bulat, ia segera mengumpulkan para pekerja dan memulai eksperimen pembuatan bata merah di pinggiran Sungai Kali Bening. Namun, berbeda dengan cara lama yang banyak merusak tanah dan mencemari udara, Raka memperkenalkan teknik baru yang lebih ramah lingkungan—teknik pengendapan lumpur. Setiap pagi, para pekerja menggali tanah liat di tepian sungai, kemudian menampungnya dalam wadah besar. Lumpur tersebut dibiarkan mengendap secara alami, memisahkan kotoran dan pasir kasar, hingga hanya tersisa tanah liat halus yang kelak akan tercetak menjadi bata. Cara ini tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem sungai, tetapi juga menghasilkan bata dengan warna merah menyala, permukaan halus, dan kekuatan yang lebih baik. Hari demi hari, kabar tentang bata merah dari Kali Bening mulai menyebar. Warga yang semula ragu, kini terheran-heran melihat hasilnya. Bata-bata itu lebih kokoh dibandingkan yang biasa mereka g

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 40

    Setelah pertemuan di balai Kali Bening, Raka tidak membuang waktu. Dengan tekad yang bulat, ia segera mengumpulkan para pekerja dan memulai eksperimen pembuatan bata merah di pinggiran Sungai Kali Bening. Namun, berbeda dengan cara lama yang banyak merusak tanah dan mencemari udara, Raka memperkenalkan teknik baru yang lebih ramah lingkungan—teknik pengendapan lumpur. Setiap pagi, para pekerja menggali tanah liat di tepian sungai, kemudian menampungnya dalam wadah besar. Lumpur tersebut dibiarkan mengendap secara alami, memisahkan kotoran dan pasir kasar, hingga hanya tersisa tanah liat halus yang kelak akan tercetak menjadi bata. Cara ini tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem sungai, tetapi juga menghasilkan bata dengan warna merah menyala, permukaan halus, dan kekuatan yang lebih baik. Hari demi hari, kabar tentang bata merah dari Kali Bening mulai menyebar. Warga yang semula ragu, kini terheran-heran melihat hasilnya. Bata-bata itu lebih kokoh dibandingkan yang biasa mereka g

    Last Updated : 2025-03-28

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 100

    Suara genderang kayu dipukul tiga kali di pendopo Desa Kali Bening, menandakan rapat tetua dimulai. Para sesepuh dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur duduk melingkar, jubah panjang dan ikat kepala mereka tampak berwibawa. Raka berdiri di tengah, menggenggam selembar lontar berisi rencana pembentukan desa baru yang telah disusunnya selama berbulan-bulan.“Para tetua sekalian,” kata Raka sambil membungkuk hormat, “saya mengajukan wacana resmi pemisahan Kampung Puri dari Kali Bening. Wilayah ini tumbuh pesat, jumlah penduduknya terus bertambah, dan letaknya strategis di jalur pelabuhan. Saya rasa sudah waktunya dipersiapkan menjadi desa mandiri.”Kakek Bango dari barat Kali Bening mengelus jenggotnya. “Anak muda, langkahmu besar, tapi tidak terburu-buru. Itu bagus. Namun, apakah rakyat siap?”Raka menunduk hormat. “Belum. Maka dari itu, saya mohon ini jadi rencana jangka panjang. Lima atau tujuh tahun ke depan. Saya tak ingin terburu-buru, hanya ingin bersiap sejak sekarang.”Cakra, kep

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 99

    Langit di atas Kota Madya Utama pagi itu diselimuti mendung tipis. Di dalam balai kota yang megah dengan tiang-tiang batu berukir lambang Surya Manggala, Raka berdiri tegak di hadapan para pejabat. Di atas meja panjang terbentang lembar-lembar peta yang ia bawa sendiri dari Desa Kali Bening.Dengan suara tenang, ia memulai, “Saya datang bukan hanya sebagai wakil dari Kali Bening, tapi sebagai utusan dari masa depan. Ini peta wilayah yang kami rancang… pemekaran dari dusun menjadi desa, dan penggabungan dua desa menjadi cikal bakal kota kecil.”Para pejabat duduk dengan tangan terlipat. Beberapa tampak tertarik, namun sebagian lain mulai tersenyum simpul. Salah satu pejabat tua dengan suara lantang menimpali,“Jadi… kau ingin menjadikan daerah sawah dan ladang kerbau itu menjadi kota? Wah, sungguh berani anak muda ini!”Terdengar tawa kecil bersahutan.“Jangan-jangan kau juga berniat bangun istana emas di tengah kolam lumpur?” sambung yang lain dengan nada mengejek.Raka tetap tenang.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 98

    udara di balai pusat Desa Kali Bening begitu segar, seolah embusan angin membawa semangat baru. Raka duduk di ruang dalam balai dengan tumpukan naskah di hadapannya. Di tangan kanannya, sebilah pena bulu ayam yang dicelup dalam tinta hitam. Ia sedang menyusun surat penting yang akan ditujukan kepada Bupati Kota Madya Utama."Kalau desa ini makin besar, banyak hal akan terbagi dua. Ronda, pasar, bahkan pengairan," gumam Raka pada dirinya sendiri. "Mungkin ini saatnya memekarkan desa… jadi dua wilayah."Mirna, yang berdiri di dekat jendela sambil menyusun laporan hasil panen, menoleh. “Apa tidak terlalu cepat, Tuan?”Raka tersenyum. “Bukan soal cepat atau lambat. Tapi soal bagaimana kita menata arah. Dua desa bisa lebih fokus dalam mengatur jalannya rakyat.”Beberapa jam kemudian, surat rampung. Segel desa ditempel, dan dua orang pengawal berkuda ditugaskan membawa surat itu ke kadipaten.Beberapa hari berselang, Raka sendiri yang menghadiri panggilan ke Kadipaten. Ruang pertemuan di ka

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 97

    Angin pagi bertiup sejuk saat utusan dari Desa Anggur datang menunggang kuda cokelat berpelana kain tenun. Ia membawa sepucuk surat bersampul kulit pohon jati, ditujukan langsung kepada Raka.Surat itu singkat namun padat. Isinya, usulan dari Kades Cakra agar kedua desa, Kali Bening dan Anggur, membentuk satu kota baru yang mewakili kemajuan besar yang kini mereka alami. Kota itu akan memiliki balai pusat, pasar agung, dan perwakilan rakyat desa.Raka membacanya sambil duduk di bale-bale bambu rumahnya di Kampung Puri, mengenakan kain tenun kasual dan ikat kepala sederhana. Di depannya, Mirna berdiri, memegangi peta jalur desa.“Cakra memang berani,” gumam Raka. “Tapi usulannya seperti petir siang bolong.”Mirna tertawa kecil. “Petirnya menyala karena langit kita bersih. Tidak banyak desa yang bisa tumbuh secepat ini.”Raka menghela napas. “Kota baru bukan hanya soal bangunan. Tapi juga orang-orangnya, aturannya, makannya dari mana, minumnya dari mana. Apa kita sudah siap?”Hari itu j

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 96

    Tak ada yang menyangka bahwa jalan tanah lebar yang menghubungkan Desa Kali Bening dan Desa Anggur akan membawa perubahan sebesar ini. Dulu hanya berupa jalur setaTuan berkerikil, kini jalan itu sudah ditata rapi, diperkeras dengan batu-batu lempeng dari sungai, dan di kiri-kanannya ditanami pohon turi serta lampu minyak gantung yang dinyalakan tiap malam.Sejak jalan itu dibuka, desa terasa seperti hidup kembali. Kuda-kuda pedagang berdatangan membawa hasil bumi, kain, rempah, logam, dan barang-barang dari wilayah lain. Gerobak-gerobak kayu berseliweran, dan anak-anak kecil sering berdiri di tepi jalan, bersorak tiap kali rombongan saudagar lewat.Suatu pagi, di sebuah warung sederhana di pinggir jalan, seorang pedagang tua duduk sambil menyeruput wedang jahe. Ia menatap lalu lalang orang dengan senyum tipis.“Tempat ini,” katanya sambil menunjuk ke arah jalan yang berdebu halus, “rasanya lebih ramai dari alun-alun kota pelabuhan di utara.”Di depannya, pemilik warung, seorang ibu mu

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 95

    Pagi masih berselimut kabut ketika suara benturan kayu terdengar dari Balai Pelatihan Pasukan. Di sana, Raka berdiri dengan baju pelatihan sederhana, memegang tongkat kayu panjang, sementara puluhan pemuda dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur berdiri berbaris, napas mereka mengembun dalam udara pagi.“Aku tak butuh prajurit yang hanya pandai mengangkat senjata,” seru Raka lantang. “Yang kubutuhkan adalah penjaga sejati. Yang tahu kapan harus bertindak, dan kapan harus menahan diri.”Para pemuda mendengarkan dengan mata menyala-nyala. Mereka tahu, ini bukan pelatihan untuk perang besar, tapi untuk menjaga kehidupan yang telah dibangun dengan susah payah. Jembatan kayu besar yang menghubungkan dua desa kini menjadi urat nadi perdagangan, dan rumah makan Sekar Kedaton telah menjadi tempat persinggahan para saudagar dan pelancong dari jauh. Keamanan bukan lagi urusan tetua desa saja—semua harus turut menjaga.Raka tak bekerja sendirian. Ia dibantu Cakra, sahabatnya yang ahli dalam taktik

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 94

    Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 93

    Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 92

    Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status