Share

Bab 128

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-04-28 15:43:52

Tangis pecah, bukan karena duka, melainkan bahagia yang sudah bertahun-tahun tertahan. Tangan-tangan renta itu meraba wajah ketiga putrinya, seakan tak percaya waktu yang telah mengubah mereka.

Inuke mengusap wajah Aina dengan tangan bergetar.

"Gusti batara… anakku... kau kini serupa putri bangsawan..."

Aina mengelus tangan tua ibunya dan berkata ibu ini berkat kanda raka, yang memuliakan kami sehingga kami Makmur dan tidak kurus.” Aina menangis di pelukan ibunya yang menua karena kurus disebabkan kemiskinan yang menimpa mereka.

Anugra tertawa kecil walau matanya berair.

"Aku kira kau hanya menikah dengan bocah dusun... ternyata membawa bala tentara pula."

Raka yang menggendong Rama tersenyum menunduk, membiarkan mertua laki-lakinya mencubit pelan pipi cucunya.

"Namanya Rama, Ayah. Kelak, semoga ia bisa jadi pelindung keluarganya seperti aku melindungi putri Ayah."

Anugra tertawa, matanya memicing.

"Semoga benar begitu. Jangan-jangan malah ketularan keras kepalamu, aku berharap bisa m
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 129

    “Duduklah kalian di sini. Ada yang ingin kutanyakan,” kata Raka tegas, namun suaranya tetap lembut.Aina, Aini, dan Andini saling pandang, wajah mereka menegang.Raka menatap mereka satu per satu. “Mengapa kalian tak pernah memberitahuku bahwa ayah dan ibu hidup dalam kemiskinan begini? Apakah mereka terlilit hutang? Sejak kapan ini terjadi?”Andini menggigit bibir, seolah menahan sesuatu. Aina menunduk, sedangkan Aini tampak mulai berkaca-kaca.“Katakanlah,” desak Raka, suaranya dalam. “Aku ingin tahu kebenarannya sebelum aku bertindak.”Akhirnya, Andini menghela napas panjang. “Ampunkan kami, Kanda Raka... Kami tidak berani mengatakannya dahulu, sebelum Kanda terjaga dari mati suri...”Aina melanjutkan dengan suara gemetar, “Kami... kami dinikahkan oleh Lurah Wiroguno bukan semata karena kehendak biasa...”Aini menambahkan lirih, “Sebagai tebusan atas hutang keluarga kami, Kanda...”Raka mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai mendidih. “Tebusan? Jelaskan lebih rinci!”Andini

    Last Updated : 2025-04-28
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 130

    Di ruang utama Padepokan Thainan, suasana terasa berat. Raka berdiri di tengah ruangan, dikelilingi sinar obor yang berkelip di dinding. Tuan Thai duduk di kursi kayu besar, namun tubuh tambunnya tampak sedikit gemetar.Raka membuka kantong kain di pinggangnya, memperlihatkan kilatan emas di dalamnya. Ia mengangkat segenggam keping emas, membiarkannya berkilau di bawah cahaya obor.“Lihat ini, Tuan Thai,” ujar Raka, suaranya datar namun penuh tekanan. “Emas ini bisa menjadi pedang emas... yang suatu saat akan menebas siapa saja yang mempermainkan kehidupan orang kecil.”Kata-kata itu meluncur tenang, namun maknanya terasa menghunjam. Tuan Thai menelan ludah, keringat dingin mulai merembes dari pelipisnya. Tangannya gemetar saat meraih cawan teh di samping kursinya, namun ia gagal menyembunyikan ketakutannya.“A-anak muda...” kata Tuan Thai terbata, berusaha tetap tenang. “Tak perlu berkata sekeras itu... Aku paham... Aku paham...”Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bangkit dari dudukn

    Last Updated : 2025-04-28
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 131

    Di bawah pohon beringin besar, tepat di lapangan kecil depan balai kecamatan Kemusuk, Raka berdiri tegak, dikelilingi tiga karung besar berisi koine emas. Bayu dan Rio berdiri di kedua sisinya, sama-sama berpeluh, namun mata mereka berbinar.Penduduk Desa Kelewer—sekitar tiga ratus orang, tua-muda, laki-laki dan perempuan—berkumpul dengan wajah penuh harap.Raka mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua diam.“Dengarlah, saudara-saudaraku!” seru Raka, suaranya lantang namun hangat. “Emas ini adalah hak kalian! Bukan pemberian, bukan belas kasihan. Ini adalah ganti rugi atas kerja keras dan derita kalian yang dirampas!”Orang-orang mulai menunduk hormat, sebagian menghapus air mata dengan lengan baju mereka.“Kalian akan berdiri dalam satu barisan,” lanjut Raka, “dan setiap kepala keluarga akan menerima seribu keping emas.”Segera Bayu dan Rio membantu mengatur antrean. Warga Desa Kelewer, dengan tertib, berbaris panjang memutari beringin.Seorang lelaki paruh baya, berkulit legam

    Last Updated : 2025-04-29
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 132

    Setelah dua hari perjalanan yang panjang dan melelahkan, rombongan dari Desa Kali Bening akhirnya tiba kembali di Desa Kelewer.Mereka membawa serta harapan baru — bata, genting, kayu-kayu kuat, dan semangat membara untuk membangun kembali rumah-rumah mereka.Sementara para warga sibuk mengangkut bahan bangunan dari gerobak ke halaman rumah masing-masing, Raka menahan Bayu dan Rio yang hendak membantu.“Bayu, Rio, istirahatlah dulu. Dua hari di jalanan cukup membuat punggungmu seperti kayu kaku,” kata Raka sambil tersenyum tipis.“Mari kita lihat rumah Tuan Anugra sebelum kau berdua patah pinggang,” lanjutnya, setengah menggoda.Mereka bertiga berjalan perlahan di antara deretan rumah desa yang sebagian sudah mulai berdiri gagah.Begitu sampai di halaman rumah mertua Raka — Anugra dan Inuke — mata mereka membelalak. Rumah itu... sungguh berubah.Dinding batu bata merah tersusun rapi, beratap genting merah yang kuat, jendela-jendela kayu jati dipahat indah, dan pekarangan yang bersih

    Last Updated : 2025-04-29
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 133

    Suara gemuruh roda kereta dan derit kayu gerobak sapi membelah keheningan Desa Kelewer. Debu tipis beterbangan di jalanan tanah yang mulai mengering setelah hujan dua hari lalu. Penduduk desa, dari anak-anak hingga orang tua, berbondong-bondong keluar rumah, menatap takjub pada iring-iringan yang datang dari arah selatan.“Ya ampun, itu… barang-barang siapa, ya?” seru Nyi Itam, tukang anyam keranjang, sambil menyipitkan mata ke arah gerobak."Astaga, lihat itu! Karung-karung gandum, peti-peti besi... bahkan papan kayu dan batu bata!" sahut Tuan Gendis, pemilik warung kecil di tepi jalan.Di barisan terdepan, tampak Raka, mengenakan pakaian perjalanan sederhana, tersenyum lebar. Di belakangnya, Bayu dan Rio membantu mengatur barisan gerobak, sementara beberapa pengawal setia Raka menjaga iring-iringan.Saat rombongan berhenti di alun-alun kecil Desa Kelewer, semua mata tak berkedip. Raka melompat turun dari kudanya, melambaikan tangan."Saudara-saudara sekalian!" serunya lantang. "Berk

    Last Updated : 2025-04-29
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 1

    “Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.” “Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merug

    Last Updated : 2025-02-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 2

    Ingatan Raka begitu terus menerawang apa yang sebenarnya terjadi kapada dirinya dan kepada ketiga istrinya ini. Setelah mendengarkan cerita ini mereka begitu senang dan melihat pancaran kedewasaan muncul dari wajah Raka. “Kanda apakah semua ini sudah cukup menjelaskan keadaan kita saat ini.” “Sudah cukup aku sedikit mengingatnya.” Aku sangat berutang budi kepada kalian bertiga. Raka menatap dengan lekat tiga gadis cantik di depannya dengan begitu teliti hingga tidak terlewatkan satu incipun dan memperhatikan bagitu semangat. “Kamu kemarilah Raka memanggil gadis yang di sebelah kirinya dan menyurunya duduk di sebelah kiri Raka. “Coba kulihat tangan mu.” Raka memegang tangan yang begitu sempurna putih bersih dan harum. Kamu sedang haid sepertinya.” Gadis itu pun merah padam dan tersipu malu. Kali ini pertama dalam hidupnya ai di puji oleh lelaki yang begitu tampan dan berwibawa setelah bangun dari mati surinya. Dizaman ini laki-laki diberikan istri lebih dari tiga. Sehingga hal it

    Last Updated : 2025-02-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 3

    “Kanda, bagaimana buruan nya hari ini.”“Tidak terlalu buruk di ujung des aini ada sebuah safana dengan pohon-pohon kecil beserta rumput yang bagus untuk bersembunyi dan memiliki banyak hewan liar disana serta aku dapat membidik dengan baik satu ekor kijang Jantan ini.”Aina begitu terkejut Ketika Raka menunjukkan arah busurnya ke samping pagar rumah mereka yang reot.“Wah kijang ini cukup untuk kita berempat sampai dua hari kedepan.”Kemudian bagaimana dengan beras kita apakah masih ada?” Ujar RakaAndini…kemari kakak mau menanyakan sesuatu padamu.”“Iya kak sebentar aku kedepan.” Andini tergopoh-gopoh hingga kakinya tersandung dan langsung di sambut dengan sigap oleh Raka.Mata mereka saling memanah dan raka merasakan empuk di tangannya sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Namun suara Aina membuat mereka berdua tersada.Momen yang membagongkan dan membuat libido siapapun segera membuncah dan ingin segera rasanya melanjutkannya di ranjang panas.Aihhh pikiran ini selalu….Kemudian

    Last Updated : 2025-02-19

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 133

    Suara gemuruh roda kereta dan derit kayu gerobak sapi membelah keheningan Desa Kelewer. Debu tipis beterbangan di jalanan tanah yang mulai mengering setelah hujan dua hari lalu. Penduduk desa, dari anak-anak hingga orang tua, berbondong-bondong keluar rumah, menatap takjub pada iring-iringan yang datang dari arah selatan.“Ya ampun, itu… barang-barang siapa, ya?” seru Nyi Itam, tukang anyam keranjang, sambil menyipitkan mata ke arah gerobak."Astaga, lihat itu! Karung-karung gandum, peti-peti besi... bahkan papan kayu dan batu bata!" sahut Tuan Gendis, pemilik warung kecil di tepi jalan.Di barisan terdepan, tampak Raka, mengenakan pakaian perjalanan sederhana, tersenyum lebar. Di belakangnya, Bayu dan Rio membantu mengatur barisan gerobak, sementara beberapa pengawal setia Raka menjaga iring-iringan.Saat rombongan berhenti di alun-alun kecil Desa Kelewer, semua mata tak berkedip. Raka melompat turun dari kudanya, melambaikan tangan."Saudara-saudara sekalian!" serunya lantang. "Berk

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 132

    Setelah dua hari perjalanan yang panjang dan melelahkan, rombongan dari Desa Kali Bening akhirnya tiba kembali di Desa Kelewer.Mereka membawa serta harapan baru — bata, genting, kayu-kayu kuat, dan semangat membara untuk membangun kembali rumah-rumah mereka.Sementara para warga sibuk mengangkut bahan bangunan dari gerobak ke halaman rumah masing-masing, Raka menahan Bayu dan Rio yang hendak membantu.“Bayu, Rio, istirahatlah dulu. Dua hari di jalanan cukup membuat punggungmu seperti kayu kaku,” kata Raka sambil tersenyum tipis.“Mari kita lihat rumah Tuan Anugra sebelum kau berdua patah pinggang,” lanjutnya, setengah menggoda.Mereka bertiga berjalan perlahan di antara deretan rumah desa yang sebagian sudah mulai berdiri gagah.Begitu sampai di halaman rumah mertua Raka — Anugra dan Inuke — mata mereka membelalak. Rumah itu... sungguh berubah.Dinding batu bata merah tersusun rapi, beratap genting merah yang kuat, jendela-jendela kayu jati dipahat indah, dan pekarangan yang bersih

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 131

    Di bawah pohon beringin besar, tepat di lapangan kecil depan balai kecamatan Kemusuk, Raka berdiri tegak, dikelilingi tiga karung besar berisi koine emas. Bayu dan Rio berdiri di kedua sisinya, sama-sama berpeluh, namun mata mereka berbinar.Penduduk Desa Kelewer—sekitar tiga ratus orang, tua-muda, laki-laki dan perempuan—berkumpul dengan wajah penuh harap.Raka mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua diam.“Dengarlah, saudara-saudaraku!” seru Raka, suaranya lantang namun hangat. “Emas ini adalah hak kalian! Bukan pemberian, bukan belas kasihan. Ini adalah ganti rugi atas kerja keras dan derita kalian yang dirampas!”Orang-orang mulai menunduk hormat, sebagian menghapus air mata dengan lengan baju mereka.“Kalian akan berdiri dalam satu barisan,” lanjut Raka, “dan setiap kepala keluarga akan menerima seribu keping emas.”Segera Bayu dan Rio membantu mengatur antrean. Warga Desa Kelewer, dengan tertib, berbaris panjang memutari beringin.Seorang lelaki paruh baya, berkulit legam

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 130

    Di ruang utama Padepokan Thainan, suasana terasa berat. Raka berdiri di tengah ruangan, dikelilingi sinar obor yang berkelip di dinding. Tuan Thai duduk di kursi kayu besar, namun tubuh tambunnya tampak sedikit gemetar.Raka membuka kantong kain di pinggangnya, memperlihatkan kilatan emas di dalamnya. Ia mengangkat segenggam keping emas, membiarkannya berkilau di bawah cahaya obor.“Lihat ini, Tuan Thai,” ujar Raka, suaranya datar namun penuh tekanan. “Emas ini bisa menjadi pedang emas... yang suatu saat akan menebas siapa saja yang mempermainkan kehidupan orang kecil.”Kata-kata itu meluncur tenang, namun maknanya terasa menghunjam. Tuan Thai menelan ludah, keringat dingin mulai merembes dari pelipisnya. Tangannya gemetar saat meraih cawan teh di samping kursinya, namun ia gagal menyembunyikan ketakutannya.“A-anak muda...” kata Tuan Thai terbata, berusaha tetap tenang. “Tak perlu berkata sekeras itu... Aku paham... Aku paham...”Ia menarik napas dalam-dalam, lalu bangkit dari dudukn

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 129

    “Duduklah kalian di sini. Ada yang ingin kutanyakan,” kata Raka tegas, namun suaranya tetap lembut.Aina, Aini, dan Andini saling pandang, wajah mereka menegang.Raka menatap mereka satu per satu. “Mengapa kalian tak pernah memberitahuku bahwa ayah dan ibu hidup dalam kemiskinan begini? Apakah mereka terlilit hutang? Sejak kapan ini terjadi?”Andini menggigit bibir, seolah menahan sesuatu. Aina menunduk, sedangkan Aini tampak mulai berkaca-kaca.“Katakanlah,” desak Raka, suaranya dalam. “Aku ingin tahu kebenarannya sebelum aku bertindak.”Akhirnya, Andini menghela napas panjang. “Ampunkan kami, Kanda Raka... Kami tidak berani mengatakannya dahulu, sebelum Kanda terjaga dari mati suri...”Aina melanjutkan dengan suara gemetar, “Kami... kami dinikahkan oleh Lurah Wiroguno bukan semata karena kehendak biasa...”Aini menambahkan lirih, “Sebagai tebusan atas hutang keluarga kami, Kanda...”Raka mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai mendidih. “Tebusan? Jelaskan lebih rinci!”Andini

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 128

    Tangis pecah, bukan karena duka, melainkan bahagia yang sudah bertahun-tahun tertahan. Tangan-tangan renta itu meraba wajah ketiga putrinya, seakan tak percaya waktu yang telah mengubah mereka.Inuke mengusap wajah Aina dengan tangan bergetar."Gusti batara… anakku... kau kini serupa putri bangsawan..."Aina mengelus tangan tua ibunya dan berkata ibu ini berkat kanda raka, yang memuliakan kami sehingga kami Makmur dan tidak kurus.” Aina menangis di pelukan ibunya yang menua karena kurus disebabkan kemiskinan yang menimpa mereka.Anugra tertawa kecil walau matanya berair."Aku kira kau hanya menikah dengan bocah dusun... ternyata membawa bala tentara pula."Raka yang menggendong Rama tersenyum menunduk, membiarkan mertua laki-lakinya mencubit pelan pipi cucunya."Namanya Rama, Ayah. Kelak, semoga ia bisa jadi pelindung keluarganya seperti aku melindungi putri Ayah."Anugra tertawa, matanya memicing."Semoga benar begitu. Jangan-jangan malah ketularan keras kepalamu, aku berharap bisa m

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 127

    Embusan angin dari timur terasa lebih dingin dari biasanya—tanda musim dingin akan segera tiba.Di ruang tengah rumah panggungnya yang besar, Raka duduk di hadapan tiga istrinya—Aina, Aini, dan Andini. Wajah mereka tampak heran bercampur harap, apalagi setelah mendengar kabar bahwa Raka memanggil mereka untuk urusan penting.Raka menarik napas perlahan, lalu berkata,"Sudah waktunya kita menengok orangtua kalian di Desa Kelewer. Sudah terlalu lama mereka tak mendengar kabar dari kita."Andini memandang dua kakaknya, lalu menatap Raka."Kanda… benar-benar ingin ke sana, ketiga bersaudari ini saling tatap dan meneteskan air mata?"Raka mengangguk."Iya. Aku sudah mengirim utusan, dan mendapat kabar bahwa mereka masih sehat, tapi kaki Ibu kalian sudah lemah. Ayah pun sudah jarang keluar rumah. Aku tak ingin kita terlambat."Aina mengusap pelan lengan Raka."Kami... sangat rindu. Tapi, perjalanan itu jauh. Dan musim dingin sebentar lagi.""Justru itu," jawab Raka mantap, "kita harus beran

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 126

    Suara ayam jantan bersahut-sahutan dari pekarangan warga, menyambut hari baru yang penuh harap.Di balik rumah megah yang berdiri kokoh di atas batu-batu besar Sungai kali bening, seorang lelaki muda duduk di beranda, memandangi sawah yang mulai menguning. Di pangkuannya, bayi mungil tertidur lelap, bernama Rama, buah hatinya dari Aina."Aina, lihatlah… pipinya makin bulat, seperti tahu gempol di rumah makan milik kita," ucap Raka sambil tertawa pelan.Aini tersenyum dari balik dapur. "Kalau ia besar nanti, semoga hatinya juga selembut tahu gempol itu. Bukan seperti pejabat kecamatan yang suka menyeleweng."Raka tertawa, lalu menghela napas panjang."Aina… aku senang. Tapi entah kenapa, juga merasa berat. Seolah-olah semua orang menaruh harap yang tak bisa kutolak.""Itu karena kanda menerangi banyak jalan. Tapi kanda juga butuh istirahat dan itu pun kanda pasti di izinkan oleh para pejabat desa," kata Aina sambil menuangkan air panas ke kendi.Nama Raka kini lebih dari sekadar Kades D

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 125

    Matahari telah condong ke barat ketika Aryo Wiroguno duduk di serambi rumah besarnya. Udara desa terasa berat, penuh bisik-bisik tentang nama yang tak asing lagi di telinganya: Raka, Kepala Desa Kali Bening.Aryo menggenggam erat segulung surat kabar dari kecamatan, berisi daftar peringkat ujian Tingkat Kerajaan. Namanya memang tertera di antara lulusan terbaik, namun di atasnya, terukir dengan tinta emas, nama Raka — si pendatang baru dari desa kecil yang baru saja mekar.Ia menggeram, mengomel sendiri, "Huh, rakyat kecil mana peduli siapa yang lulus terbaik. Yang mereka tahu hanya si Raka itu... padahal aku yang bertahun-tahun belajar sampai remuk tulang."Ibunya, Nyi Wiroguno, menyusul keluar dengan nampan berisi teh hangat. Ia menatap putranya dengan prihatin."Sabar, Aryo... namamu tetap harum di hadapan para pejabat. Bukankah Bapak Camat sendiri datang membawa emas dari keluarga kita?"Aryo memalingkan wajah, mendesis, "Emas itu cuma buat menutupi malu! Kalau rakyat lebih memili

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status