Pagi itu, langit cerah membentang biru. Aroma tanah basah dan bunga liar memenuhi udara Desa Kelewer yang mulai bangkit menata hari baru. Warga berkelompok di alun-alun, sebagian membawa keranjang berisi hasil kebun, sebagian lagi sibuk memperbaiki rumah yang kemarin bahan-bahannya baru saja datang.Nama Raka kini bukan hanya disebut dengan rasa hormat, tapi juga dengan kebanggaan yang sulit disembunyikan. Bagaimana tidak? Ia, seorang menantu yang datang dari jauh, telah membawa perubahan besar bagi desa ini, bahkan lebih dari yang dilakukan banyak orang yang lahir dan besar di Kelewer."Ah, lihatlah rumah Tuan Anugra sekarang! Seperti rumah bangsawan saja!" seru Tuan Randu, sembari menunjuk bangunan megah yang kini berdiri kokoh di tengah desa."Iya, dan lihat pula bahan-bahan renovasi itu. Tak satu pun keluarga yang tertinggal! Semua dapat bagian!" sambung Nyi Ratmi, setengah berbisik penuh kagum.Tidak lama kemudian, satu per satu warga desa — terutama para orang tua — mulai beremb
Desa Kelewer kembali ramai. Bukan oleh dagang, bukan pula oleh keramaian pasar, melainkan suara-suara warga yang mengagumi bangunan rumah Tuan Anugra yang kini berdiri megah di tengah desa. Atapnya menjulang rapi dengan genteng bergaris dua warna, dindingnya bersih dengan ornamen geometris yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, dan bagian depan rumah dihiasi undakan batu halus dan tiang penyangga simetris."Astaga, rumah Tuan Anugra sudah seperti rumah saudagar istana!" seru Tuan Karno dengan mata terbelalak."Ornamen jendelanya... lihat! Kok bisa simetris semua ya?" tanya Nyi Kirana, menoleh ke suaminya."Waktu kecil, aku pikir rumah itu cukup asal atapnya tak bocor," seloroh Tuan Wirya sambil terkekeh. "Sekarang lihat, bahkan bentuk lubang angin saja dipikirkan!"Yang mereka kagumi bukan hanya rumah itu, tapi juga sosok di baliknya: Raka. Ia tidak hanya membangun, tapi menggagas. Merancang. Menata ulang. Dan hari itu, banyak warga mulai membawa kertas dan arang untuk satu permin
Salju tipis mulai turun sejak fajar, menyelimuti atap-atap rumah Desa Kelewer seperti tepung putih yang ditabur dari langit. Anak-anak kecil berlarian dengan riang, tapi orang-orang dewasa tahu: musim dingin telah tiba lebih cepat dari yang diperkirakan.Di halaman luas rumah Tuan Anugra, puluhan warga berkumpul. Mereka mengenakan mantel tipis seadanya, tubuh menggigil namun wajah berseri-seri. Sebuah gerobak besar berhenti di tengah halaman, ditarik dua ekor kerbau jantan. Di atasnya, tumpukan besar kain tebal—selimut wol hitam berlapis kulit rusa—menjadi pemandangan yang mencolok.Tuan Raka berdiri di sisi gerobak, didampingi ketujuh pengawalnya yang berpakaian rapi dan membawa kantong-kantong kain kecil di pinggang mereka."Aku tak bisa membayar semua kebaikan kalian dengan kata-kata," ujar Tuan Raka dengan suara tenang namun jelas. "Tapi ijinkan aku membalasnya dengan sedikit penghangat dan upah yang layak."Warga mulai saling pandang. Lalu satu per satu nama dipanggil. Setiap yan
Udara pagi itu menusuk tulang. Salju turun perlahan, menyelimuti atap-atap rumah di Desa Kelewer seperti bubuk putih dari langit. Suara gelegak air panas dari dapur rumah Tuan Anugra nyaris tak terdengar, tenggelam dalam ketegangan yang menggantung sejak malam sebelumnya.Di ruang depan, Raka duduk bersama Aina, sang istri sulung, menatap ibunya yang sedang melipat selimut dengan tangan gemetar.“Kenapa Ibu tampak begitu gelisah sejak semalam?” tanya Raka sambil menyandarkan diri ke pilar kayu.Aina hanya memandangi ibunya. Inuke tak segera menjawab. Wajahnya seperti memendam sesuatu yang telah bertahun-tahun ditahan.“Nak Raka...,” akhirnya suara Tuan Anugra lirih terdengar dari balik pintu.Raka berdiri cepat. “Ada apa, Yah?”“Seseorang akan datang hari ini... kakakku... Tuan Anggara,” ucapnya dengan nada getir. “Ia menagih tiga karung gandum yang kupinjam setahun lalu.”Raka menyipitkan mata. “Gandum? Yang dipinjam karena Ayah dan Ibu dipaksa bekerja dengan upah setengah? Yang digu
Salju baru saja mereda, ketika Raka bergegas mengenakan jubah wol tebal. Sejak pagi hatinya panas. Ia berniat berjalan ke rumah Tuan Anggara untuk menyelesaikan semua perkara dengan kepala dingin... atau dengan tangan, bila perlu.Namun baru saja Raka mengikat ikat pinggangnya, terdengar suara gaduh dari depan rumah. Suara sandal kayu berderap, suara orang-orang berteriak.“Raka! Keluar! Hadapi kami!”Raka mengerutkan kening. Dari balik jendela, tampak dua sosok tinggi besar berdiri gagah di halaman rumah Tuan Anugra: Jano dan Jipo.Anugra buru-buru keluar dari dapur, wajahnya tegang. “Tuan Raka... biarkan saja. Mereka itu hanya ingin mempermalukanmu di hadapan warga.”Di belakang, Nyi Inuke menggenggam tangan Aina dengan cemas. Tapi Aina justru berbisik kepada adik-adiknya, “Lihatlah, Kanda Raka kita tidak akan gentar.”Raka menghela napas. Ia sebenarnya enggan. Mereka adalah darah daging dari istrinya juga, meski sudah jelas hatinya tak bisa mendiamkan penghinaan yang terus terjadi.
Mentari baru saja condong ke barat ketika Raka tiba di depan rumah besar milik keluarga Anggara. Udara terasa panas, tapi jauh lebih panas amarah yang membara di dada Raka. Ia berdiri tegak dengan wajah dingin, ditemani suara sepatu kulitnya yang menjejak lantai batu dengan tegas.Di ruang utama, Anggara duduk dengan gelisah. Kehadiran Raka sudah terdengar sejak penjaga depan berlari masuk terbirit-birit. Tak biasanya pemuda dari Kali Bening itu datang ke rumah besar tanpa aba-aba, dan tak biasanya pula wajahnya segelap tadi.Raka menuntut keluarga Anggara untuk membayar semua upah yang seharusnya diberikan.Raka melangkah masuk, tanpa basa-basi. "Aku datang bukan untuk berbasa-basi, Tuan Anggara," ucapnya tajam. "Aku ingin semua upah Anugra dan Inuke selama dua musim yang kalian tahan itu diserahkan hari ini juga."Anggara menelan ludah. "Raka, tak semudah itu… urusan ini perlu waktu..."Raka memotongnya. "Waktu apa? Upah itu sudah bekerja keras dikucurkan dari peluh Anugra dan Inuke
“Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.” “Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merug
Ingatan Raka begitu terus menerawang apa yang sebenarnya terjadi kapada dirinya dan kepada ketiga istrinya ini. Setelah mendengarkan cerita ini mereka begitu senang dan melihat pancaran kedewasaan muncul dari wajah Raka. “Kanda apakah semua ini sudah cukup menjelaskan keadaan kita saat ini.” “Sudah cukup aku sedikit mengingatnya.” Aku sangat berutang budi kepada kalian bertiga. Raka menatap dengan lekat tiga gadis cantik di depannya dengan begitu teliti hingga tidak terlewatkan satu incipun dan memperhatikan bagitu semangat. “Kamu kemarilah Raka memanggil gadis yang di sebelah kirinya dan menyurunya duduk di sebelah kiri Raka. “Coba kulihat tangan mu.” Raka memegang tangan yang begitu sempurna putih bersih dan harum. Kamu sedang haid sepertinya.” Gadis itu pun merah padam dan tersipu malu. Kali ini pertama dalam hidupnya ai di puji oleh lelaki yang begitu tampan dan berwibawa setelah bangun dari mati surinya. Dizaman ini laki-laki diberikan istri lebih dari tiga. Sehingga hal it
Mentari baru saja condong ke barat ketika Raka tiba di depan rumah besar milik keluarga Anggara. Udara terasa panas, tapi jauh lebih panas amarah yang membara di dada Raka. Ia berdiri tegak dengan wajah dingin, ditemani suara sepatu kulitnya yang menjejak lantai batu dengan tegas.Di ruang utama, Anggara duduk dengan gelisah. Kehadiran Raka sudah terdengar sejak penjaga depan berlari masuk terbirit-birit. Tak biasanya pemuda dari Kali Bening itu datang ke rumah besar tanpa aba-aba, dan tak biasanya pula wajahnya segelap tadi.Raka menuntut keluarga Anggara untuk membayar semua upah yang seharusnya diberikan.Raka melangkah masuk, tanpa basa-basi. "Aku datang bukan untuk berbasa-basi, Tuan Anggara," ucapnya tajam. "Aku ingin semua upah Anugra dan Inuke selama dua musim yang kalian tahan itu diserahkan hari ini juga."Anggara menelan ludah. "Raka, tak semudah itu… urusan ini perlu waktu..."Raka memotongnya. "Waktu apa? Upah itu sudah bekerja keras dikucurkan dari peluh Anugra dan Inuke
Salju baru saja mereda, ketika Raka bergegas mengenakan jubah wol tebal. Sejak pagi hatinya panas. Ia berniat berjalan ke rumah Tuan Anggara untuk menyelesaikan semua perkara dengan kepala dingin... atau dengan tangan, bila perlu.Namun baru saja Raka mengikat ikat pinggangnya, terdengar suara gaduh dari depan rumah. Suara sandal kayu berderap, suara orang-orang berteriak.“Raka! Keluar! Hadapi kami!”Raka mengerutkan kening. Dari balik jendela, tampak dua sosok tinggi besar berdiri gagah di halaman rumah Tuan Anugra: Jano dan Jipo.Anugra buru-buru keluar dari dapur, wajahnya tegang. “Tuan Raka... biarkan saja. Mereka itu hanya ingin mempermalukanmu di hadapan warga.”Di belakang, Nyi Inuke menggenggam tangan Aina dengan cemas. Tapi Aina justru berbisik kepada adik-adiknya, “Lihatlah, Kanda Raka kita tidak akan gentar.”Raka menghela napas. Ia sebenarnya enggan. Mereka adalah darah daging dari istrinya juga, meski sudah jelas hatinya tak bisa mendiamkan penghinaan yang terus terjadi.
Udara pagi itu menusuk tulang. Salju turun perlahan, menyelimuti atap-atap rumah di Desa Kelewer seperti bubuk putih dari langit. Suara gelegak air panas dari dapur rumah Tuan Anugra nyaris tak terdengar, tenggelam dalam ketegangan yang menggantung sejak malam sebelumnya.Di ruang depan, Raka duduk bersama Aina, sang istri sulung, menatap ibunya yang sedang melipat selimut dengan tangan gemetar.“Kenapa Ibu tampak begitu gelisah sejak semalam?” tanya Raka sambil menyandarkan diri ke pilar kayu.Aina hanya memandangi ibunya. Inuke tak segera menjawab. Wajahnya seperti memendam sesuatu yang telah bertahun-tahun ditahan.“Nak Raka...,” akhirnya suara Tuan Anugra lirih terdengar dari balik pintu.Raka berdiri cepat. “Ada apa, Yah?”“Seseorang akan datang hari ini... kakakku... Tuan Anggara,” ucapnya dengan nada getir. “Ia menagih tiga karung gandum yang kupinjam setahun lalu.”Raka menyipitkan mata. “Gandum? Yang dipinjam karena Ayah dan Ibu dipaksa bekerja dengan upah setengah? Yang digu
Salju tipis mulai turun sejak fajar, menyelimuti atap-atap rumah Desa Kelewer seperti tepung putih yang ditabur dari langit. Anak-anak kecil berlarian dengan riang, tapi orang-orang dewasa tahu: musim dingin telah tiba lebih cepat dari yang diperkirakan.Di halaman luas rumah Tuan Anugra, puluhan warga berkumpul. Mereka mengenakan mantel tipis seadanya, tubuh menggigil namun wajah berseri-seri. Sebuah gerobak besar berhenti di tengah halaman, ditarik dua ekor kerbau jantan. Di atasnya, tumpukan besar kain tebal—selimut wol hitam berlapis kulit rusa—menjadi pemandangan yang mencolok.Tuan Raka berdiri di sisi gerobak, didampingi ketujuh pengawalnya yang berpakaian rapi dan membawa kantong-kantong kain kecil di pinggang mereka."Aku tak bisa membayar semua kebaikan kalian dengan kata-kata," ujar Tuan Raka dengan suara tenang namun jelas. "Tapi ijinkan aku membalasnya dengan sedikit penghangat dan upah yang layak."Warga mulai saling pandang. Lalu satu per satu nama dipanggil. Setiap yan
Desa Kelewer kembali ramai. Bukan oleh dagang, bukan pula oleh keramaian pasar, melainkan suara-suara warga yang mengagumi bangunan rumah Tuan Anugra yang kini berdiri megah di tengah desa. Atapnya menjulang rapi dengan genteng bergaris dua warna, dindingnya bersih dengan ornamen geometris yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, dan bagian depan rumah dihiasi undakan batu halus dan tiang penyangga simetris."Astaga, rumah Tuan Anugra sudah seperti rumah saudagar istana!" seru Tuan Karno dengan mata terbelalak."Ornamen jendelanya... lihat! Kok bisa simetris semua ya?" tanya Nyi Kirana, menoleh ke suaminya."Waktu kecil, aku pikir rumah itu cukup asal atapnya tak bocor," seloroh Tuan Wirya sambil terkekeh. "Sekarang lihat, bahkan bentuk lubang angin saja dipikirkan!"Yang mereka kagumi bukan hanya rumah itu, tapi juga sosok di baliknya: Raka. Ia tidak hanya membangun, tapi menggagas. Merancang. Menata ulang. Dan hari itu, banyak warga mulai membawa kertas dan arang untuk satu permin
Pagi itu, langit cerah membentang biru. Aroma tanah basah dan bunga liar memenuhi udara Desa Kelewer yang mulai bangkit menata hari baru. Warga berkelompok di alun-alun, sebagian membawa keranjang berisi hasil kebun, sebagian lagi sibuk memperbaiki rumah yang kemarin bahan-bahannya baru saja datang.Nama Raka kini bukan hanya disebut dengan rasa hormat, tapi juga dengan kebanggaan yang sulit disembunyikan. Bagaimana tidak? Ia, seorang menantu yang datang dari jauh, telah membawa perubahan besar bagi desa ini, bahkan lebih dari yang dilakukan banyak orang yang lahir dan besar di Kelewer."Ah, lihatlah rumah Tuan Anugra sekarang! Seperti rumah bangsawan saja!" seru Tuan Randu, sembari menunjuk bangunan megah yang kini berdiri kokoh di tengah desa."Iya, dan lihat pula bahan-bahan renovasi itu. Tak satu pun keluarga yang tertinggal! Semua dapat bagian!" sambung Nyi Ratmi, setengah berbisik penuh kagum.Tidak lama kemudian, satu per satu warga desa — terutama para orang tua — mulai beremb
Suara gemuruh roda kereta dan derit kayu gerobak sapi membelah keheningan Desa Kelewer. Debu tipis beterbangan di jalanan tanah yang mulai mengering setelah hujan dua hari lalu. Penduduk desa, dari anak-anak hingga orang tua, berbondong-bondong keluar rumah, menatap takjub pada iring-iringan yang datang dari arah selatan.“Ya ampun, itu… barang-barang siapa, ya?” seru Nyi Itam, tukang anyam keranjang, sambil menyipitkan mata ke arah gerobak."Astaga, lihat itu! Karung-karung gandum, peti-peti besi... bahkan papan kayu dan batu bata!" sahut Tuan Gendis, pemilik warung kecil di tepi jalan.Di barisan terdepan, tampak Raka, mengenakan pakaian perjalanan sederhana, tersenyum lebar. Di belakangnya, Bayu dan Rio membantu mengatur barisan gerobak, sementara beberapa pengawal setia Raka menjaga iring-iringan.Saat rombongan berhenti di alun-alun kecil Desa Kelewer, semua mata tak berkedip. Raka melompat turun dari kudanya, melambaikan tangan."Saudara-saudara sekalian!" serunya lantang. "Berk
Setelah dua hari perjalanan yang panjang dan melelahkan, rombongan dari Desa Kali Bening akhirnya tiba kembali di Desa Kelewer.Mereka membawa serta harapan baru — bata, genting, kayu-kayu kuat, dan semangat membara untuk membangun kembali rumah-rumah mereka.Sementara para warga sibuk mengangkut bahan bangunan dari gerobak ke halaman rumah masing-masing, Raka menahan Bayu dan Rio yang hendak membantu.“Bayu, Rio, istirahatlah dulu. Dua hari di jalanan cukup membuat punggungmu seperti kayu kaku,” kata Raka sambil tersenyum tipis.“Mari kita lihat rumah Tuan Anugra sebelum kau berdua patah pinggang,” lanjutnya, setengah menggoda.Mereka bertiga berjalan perlahan di antara deretan rumah desa yang sebagian sudah mulai berdiri gagah.Begitu sampai di halaman rumah mertua Raka — Anugra dan Inuke — mata mereka membelalak. Rumah itu... sungguh berubah.Dinding batu bata merah tersusun rapi, beratap genting merah yang kuat, jendela-jendela kayu jati dipahat indah, dan pekarangan yang bersih
Di bawah pohon beringin besar, tepat di lapangan kecil depan balai kecamatan Kemusuk, Raka berdiri tegak, dikelilingi tiga karung besar berisi koine emas. Bayu dan Rio berdiri di kedua sisinya, sama-sama berpeluh, namun mata mereka berbinar.Penduduk Desa Kelewer—sekitar tiga ratus orang, tua-muda, laki-laki dan perempuan—berkumpul dengan wajah penuh harap.Raka mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua diam.“Dengarlah, saudara-saudaraku!” seru Raka, suaranya lantang namun hangat. “Emas ini adalah hak kalian! Bukan pemberian, bukan belas kasihan. Ini adalah ganti rugi atas kerja keras dan derita kalian yang dirampas!”Orang-orang mulai menunduk hormat, sebagian menghapus air mata dengan lengan baju mereka.“Kalian akan berdiri dalam satu barisan,” lanjut Raka, “dan setiap kepala keluarga akan menerima seribu keping emas.”Segera Bayu dan Rio membantu mengatur antrean. Warga Desa Kelewer, dengan tertib, berbaris panjang memutari beringin.Seorang lelaki paruh baya, berkulit legam