Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate untuk membantu author semangat menulis ya... Thank you (^^)
♡Keysa Andini♡“Oh... kalian tepat waktu!” aku menyambut kedatangan Lintang dan Sofi dengan penuh semangat. Bukan karena rindu pada mereka, namun karena suvenir pesta untuk teman kantorku —yang Steven minta mereka uruskan untukku— baru saja tiba bersamaan dengan kedatangan mereka.“Saya taruh di mana, Nyonya?” tanya Lintang sembari memperhatikan keadaan sekitar, mungkin mencari meja atau tempat apa pun untuk meletakkan kardus besar yang dipeluknya.“Tidak perlu. Sebentar.” Aku memanggil Anto mendekat dan memintanya untuk mengambil alih kotak kardus yang sedang dibawa Lintang. Aku sebenarnya sudah memberikan instruksi pada Anto dan Robet mengenai apa yang harus mereka lakukan pada isi kotak tersebut setelah aku pergi dari resto ini nanti.Setelah berpamitan pada semua tamu undanganku, yang masih lengkap karena sebelumnya kuminta bertahan lebih dulu walau pesta kami sudah selesai, aku pulang bersama Lintang dan Sofi. Sementara itu, Anto dan Robet masih kuberikan tugas untuk membagikan su
“Dokumen apa ini?”Steven memberikan beberapa dokumen tepat setelah aku kembali dari kamar mandi. Aku menerima dokumen-dokumen itu lalu duduk di sampingnya.“Buka dan pelajari saja. Kau bisa menahan kantuk, kan?”‘Haiss… aku memang sudah lumayan mengantuk dan agak lelah setelah kegiatan kami barusan.’“Harus sekarang? Apa ini dokumen penting?”“Sangat penting. Ini akan membantumu besok.”Mendengar kalimat terakhirnya membuatku menjadi agak penasaran hingga rasa kantuk ku menurun drastis seketika dan akhirnya malah merasa penasaran dengan isi dari beberapa dokumen yang hampir ku letakkan di meja —karena aku baru saja berniat untuk memeluknya dan mengajaknya berlayar bersama mengarungi dunia mimpi.Aku membuka dokumen pertama dan terkejut setelah membaca beberapa baris kalimatnya.Aku menatap Steven sesaat, terperangah karena informasi yang tertera dalam dokumen itu, lalu rasa kantuk yang tadi menderaku kini lenyap sama sekali. ❀❀❀ Tidak seperti saat terakhir kali datang ke kantor pus
Aku dikagetkan oleh suara dari Nyonya Zhang yang tiba-tiba saja tertawa —terutama karena ia duduk tepat di sebelahku.“Apa kalian sudah melakukan kontak di belakangku?” ucap Nyonya Zhang sembari menatap 8 anggota dewan direksi lainnya, di mana 4 orang di antaranya adalah bagian dari 6 besar pemegang saham terbesar Perusahaan Azure —selain dirinya sendiri dan satu orang lain yang masih misterius.Nyonya Zhang memang tidak memiliki pendukung. Namun demikian, Nyonya Zhang justru terlihat sangat menguasai atmosfer ruangan dengan aura intimidasinya yang sangat kuat dan elegan.Walau terlihat hambar, Tuan Darwin berusaha membalas tawa Nyonya Zhang dengan tawa serupa, lalu menanggapi, “Walaupun Anda pemegang saham terbesar kedua, apa Anda pikir kami sebagai pengusaha lokal akan membiarkan Anda bertindak semaunya pada kami?”“Kecuali pemegang saham utama mendukung Anda, maka kami tidak akan melepaskan wanita itu dengan mudah,” tambah Tuan Sanjaya.Nyonya Zhang tampak tidak terpengaruh dengan u
Bagaimana cara Nyonya Zhang menyebut namaku barusan tentu saja membuatku kaget.‘Apa yang baru dia katakan? Dia memanggilku Keysa Steve, kan? Dari mana dia tahu siapa suamiku? Apa Steven menghubunginya? Tapi…, bukankah Steven tidak mau berurusan dengannya secara langsung?’Nyonya Zhang melemparkan dokumen itu ke lantai sebelum berdiri dan berjalan ke tengah ruangan.“Aku sungguh terpukau dengan persekongkolan murahan kalian,” ucap Nyonya Zhang sembari bertepuk tangan. “Tapi apa kalian tahu kalau aku sudah bisa menebak semua hal yang sudah kalian rencanakan ini?” tambahnya ketika sudah berada dekat pada meja Tuan Darwin dan Tuan Sanjaya yang duduk bersebelahan.“Apa yang Anda bicarakan? Apa Anda sedang berusaha memutar lidah untuk keluar dari rasa malu Anda karena akan merasa rugi jika harus menjadi penjamin penalti Keysa Andini sebab saham Anda lah yang dipertaruhkan?” sahut Tuan Darwin. Dia akhirnya berdiri, memutari mejanya dan duduk di atas meja, tepat di hadapan Nyonya Zhang.“Tida
Semua mata tertuju pada tas tangan ungu muda di hadapanku sementara aku melirik semua orang sembari tersenyum canggung sebelum tatapanku berhenti pada Nyonya Zhang.“Sepertinya kau sedang mendapat panggilan. Angkatlah...,” ucap Nyonya Zhang. Seringai lebar terukir di wajahnya.Aku meletakkan ponselku sebelum merogoh ke dalam tas tanganku dan mengeluarkan ponsel model lama dari dalamnya, hanya untuk menekan tombol menolak panggilan masuk yang memang tidak perlu kuterima.“Tidak usah dilanjutkan, Pak CEO,” ucapku pelan pada Andi yang duduk tak jauh dariku.Bukannya menuruti permintaanku, Andi malah mengulangi panggilan dan menatap kosong padaku setelah ponsel merah yang kupegang kembali bergetar, hingga aku melambaikan ponsel merah itu ke arahnya. “Nah, Anda tidak perlu melakukan panggilan lagi,” ucapku sebelum tersenyum canggung padanya.“A-anda...”“Ya,” sahutku, mengerti arah pertanyaannya yang terhenti.“Apa yang terjadi? Apa kau baru saja menelepon pemegang saham utama?” tanya Tuan
“Kau gila?! Kami semua sudah saling mengenal. Bagaimana bisa kau menyamakan kami dengan ponsel itu?!” Tuan Sanjaya membentakku sembari menunjuk ponsel yang masih ku angkat tinggi di hadapannya.“Itu yang saya maksud. Kita semua tahu jika orang-orang yang saya sebutkan tadi, juga nomor telepon yang ada di ponsel ini adalah wujud si pemilik saham. Jika Anda ingin bukti, Anda juga harus menunjukkan buktinya, kan? Apa saya salah? Mana tahu di antara kita ada yang sudah menjual saham secara diam-diam? Apalagi saham Azure sekarang sedang berada di puncak.”“Baik... baik... tsk… kau pintar juga, ya? Ayo tunjukkan bukti milikmu dan kami akan membawakan milik kami nanti.”“Tidak. Saya akan membawa milik saya sekarang, dan Anda semua juga harus melakukan hal yang sama. Kalau tidak, Anda sebaiknya keluar sementara saya berbicara pada CEO,” sahutku, sama ngototnya dengannya.“Nah, ini milikku,” ucap Nyonya Zhang sembari melambaikan selembar kertas dari tempatnya duduk.“Dan mana bukti milikmu?!” t
‘Tidak bisa. Ini bukan agak penasaran, tapi sangat penasaran,’ langkahku terhenti persis sebelum melewati pintu saat hendak keluar dari ruang pertemuan.Aku langsung berbalik —mengabaikan ekspresi bingung Lintang yang sedang mengawalku— lalu kembali menghampiri Sofi dan Nyonya Zhang, yang terlihat sangat ingin berbicara padaku. Yah, sebenarnya ada banyak hal yang membuatku sangat penasaran dan ingin berbicara juga padanya.Mungkin karena aku yang meminta, Sofi akhirnya membiarkanku berbicara berdua dengan Nyonya Zhang.Aku mengerti jika kematian ayah mertuaku sepertinya harus dirahasiakan, karena itulah aku mengirim pesan singkat pada Sofi dan berjanji jika aku tidak akan mengatakan apapun tentang ayah mertuaku sementara ia pergi meninggalkan kami dan aku sempat melihatnya tersenyum setelah membuka ponselnya.“Tsk, padahal kau terlihat sangat mandiri untuk dikhawatirkan. Kenapa dia sepertinya sangat enggan meninggalkanmu?” ketus Nyonya Zhang, sepertinya tahu kalau aku baru saja mengiri
“Anda seharusnya tahu kalau permintaan Anda agak tidak relevan, kan? Kenapa Anda masih membiarkannya bekerja jika Anda ingin istri Anda mengasuh kedua anak kalian?”Bukannya menanggapi apa yang ku katakan, Lukman malah berbicara lagi dengan nada merengek, “Saya mohon...”‘Astaga…’ Entah apa yang terjadi dalam keluarganya, aku sampai menggelengkan kepala melihat reaksinya itu. “Saya sedang terburu-buru dan maaf, saya tidak bisa membantu Anda.”“Key! Tolong aku kali ini saja,” Lukman berteriak nyaring dengan nada gelisah tepat saat aku baru membalikkan badan.Aku terkejut saat Lintang melintas di sampingku dan melihatnya menangkap leher Lukman setelahnya.“Jangan coba-coba menyentuh Nyonya kami!” gertak Lintang.Aku benar-benar kaget dan merasa agak takut, terutama setelah melihat Anto dan Robet baru saja mengembalikan senjata api mereka ke balik jas. Ingatan kejadian di pondok itu membuatku agak trauma melihat senjata api.Lintang sepertinya tahu kalau aku masih trauma. Karena itulah di