Dukung terus dengan memberi Vote, tinggalkan komentar dan Rate untuk membantu author semangat menulis ya... Thank you (^^)
‘Tidak bisa. Ini bukan agak penasaran, tapi sangat penasaran,’ langkahku terhenti persis sebelum melewati pintu saat hendak keluar dari ruang pertemuan.Aku langsung berbalik —mengabaikan ekspresi bingung Lintang yang sedang mengawalku— lalu kembali menghampiri Sofi dan Nyonya Zhang, yang terlihat sangat ingin berbicara padaku. Yah, sebenarnya ada banyak hal yang membuatku sangat penasaran dan ingin berbicara juga padanya.Mungkin karena aku yang meminta, Sofi akhirnya membiarkanku berbicara berdua dengan Nyonya Zhang.Aku mengerti jika kematian ayah mertuaku sepertinya harus dirahasiakan, karena itulah aku mengirim pesan singkat pada Sofi dan berjanji jika aku tidak akan mengatakan apapun tentang ayah mertuaku sementara ia pergi meninggalkan kami dan aku sempat melihatnya tersenyum setelah membuka ponselnya.“Tsk, padahal kau terlihat sangat mandiri untuk dikhawatirkan. Kenapa dia sepertinya sangat enggan meninggalkanmu?” ketus Nyonya Zhang, sepertinya tahu kalau aku baru saja mengiri
“Anda seharusnya tahu kalau permintaan Anda agak tidak relevan, kan? Kenapa Anda masih membiarkannya bekerja jika Anda ingin istri Anda mengasuh kedua anak kalian?”Bukannya menanggapi apa yang ku katakan, Lukman malah berbicara lagi dengan nada merengek, “Saya mohon...”‘Astaga…’ Entah apa yang terjadi dalam keluarganya, aku sampai menggelengkan kepala melihat reaksinya itu. “Saya sedang terburu-buru dan maaf, saya tidak bisa membantu Anda.”“Key! Tolong aku kali ini saja,” Lukman berteriak nyaring dengan nada gelisah tepat saat aku baru membalikkan badan.Aku terkejut saat Lintang melintas di sampingku dan melihatnya menangkap leher Lukman setelahnya.“Jangan coba-coba menyentuh Nyonya kami!” gertak Lintang.Aku benar-benar kaget dan merasa agak takut, terutama setelah melihat Anto dan Robet baru saja mengembalikan senjata api mereka ke balik jas. Ingatan kejadian di pondok itu membuatku agak trauma melihat senjata api.Lintang sepertinya tahu kalau aku masih trauma. Karena itulah di
Bukan hanya mereka saja, aku yang tidak memiliki salah satu di antara mobil-mobil sport mewah yang bertengger gagah itu bahkan terdiam lama dengan ekspresi terpana yang tidak bisa kukendalikan. Apalagi para wanita gila yang kini adalah pemilik dari mobil-mobil mewah ini.Setelah hampir satu menit terdiam, Bertha akhirnya berhasil membuka mulut. Sambil berjalan menghampiri mobil berwarna putih yang kini menjadi miliknya, dia mengucapkan kata “Astaga” entah sudah berapa kali.Mobil-mobil ini berjenis sama, namun dengan empat warna berbeda. Melihat warna-warna mobil ini, aku teringat saat Steven bertanya tentang warna kesukaan mereka padaku dan tidak menyangka kalau itu digunakannya sebagai referensi dalam memilih warna dari hadiah ini.‘Andai dia dulu juga bertanya padaku tentang warna kesukaanku, mungkin mobilku bukan Si Kuning, tapi Violet, hahaha. Haahhh… yang benar saja, mau warna apa pun toh aku masih belum bisa mengemudikannya.’ Walau sedikit iri dengan keempat temanku, tapi aku me
Dua bulan berlalu sejak masalah yang kualami dengan Perusahaan Azure telah diselesaikan dengan sangat baik, bahkan sekarang aku telah menjadi salah satu dari dewan direksi perusahaan tersebut. Semuanya berkat rencana yang sudah disusun dengan sangat rapi oleh Steven dan juga Sofi. Steven sebenarnya sudah membeli saham Azure dari pemegang terbesarnya sejak 5 tahun lalu, yang memang ingin dihadiahkannya padaku karena ia begitu menyukaiku. Tidak, aku bukan sedang terlalu percaya diri, tapi Steven sendiri yang mengatakan jika dia sangat menyukaiku.Omong-omong aku juga baru tahu kalau Steven sebenarnya sudah mengikuti dan mengamati ku selama 6 tahun lamanya sebelum ia menemukan iklan pencarian jodoh untukku yang Camila pasang di media sosial. Aku bahkan baru tahu kalau Steven ternyata menghadiahkan sejumlah uang pada Robi Mochtar agar niatnya untuk melamarku bisa berjalan lancar —walau aku tidak tahu berapa nominalnya karena Steven hanya menjawabku dengan gelak tawa saat aku menanyakannya.
“Pagi…,” sapaku saat melihat Steven sesaat setelah sampai di lantai satu rumah kami.“Pagi, Sweety. Tidurmu nyenyak sekali semalam, sepertinya mimpimu menyenangkan, ya?” sahut Steven setelah mengecup lembut keningku. Hal yang sama yang selalu dilakukannya setiap pagi dalam dua bulan belakangan.“Sangat menyenangkan,” kataku sembari merapatkan tubuh ke dalam dekapannya. “Apa kau memiliki kegiatan lain hari ini selain ke toserba kita? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”“Tidak ada, bisa dibilang aku masih selalu mengikuti kemanapun kau pergi,” Steven tertawa dengan suara seraknya.Yah, aku mengatakan padanya tadi malam apa yang aku lamunkan saat sedang menyantap sosis di toserba kemarin. Tentu saja aku mengatakan kalau dia seperti seorang penguntit, hahaha…“Aku ingin mengajakmu ke dokter kandungan, apa kau tidak keberatan?”“Apa kau hamil?”‘Hmm… pertanyaannya terdengar penuh harap, sepertinya dia juga menginginkan anak dariku.’“Belum…” sahutku sedikit lesu. Aku mengatakan padanya k
Steven menggandeng tanganku dan mengajakku kembali pulang ke rumah mewah kami, oh maksudku rumah yang sederhana menurutnya —mau mewah atau tidak— tetap menjadi tempat tinggal yang sangat nyaman bagi kami berdua.Steven langsung m*lumat bibirku begitu kami baru saja melangkah masuk ke dalam ruang tamu, dia bahkan menutup pintu hanya dengan kakinya. Masih bergelut dengan ciuman panas, Steven membawaku melangkah ke ruang kerjanya, tadinya kupikir kami akan ke ruang keluarga lagi.Aku penasaran, pengalaman baru apa lagi yang akan diberikannya padaku setelah ia mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas meja kerjanya.Ciuman panas itu semakin dalam dan semakin menuntut, membuatku tak henti melenguh terutama karena jemarinya yang tidak tinggal diam menyusuri tubuhku di mana-mana. Di tengkuk, punggung, dada, dan juga perutku yang masih saja rata itu —semoga saja perutku cepat ada isinya.“Hhnnn… Steven…” Aku menggeliat karena ciumannya pada ceruk leherku membuat seluruh tubuhku terasa terge
“Maksud Kak Key?” Terlihat sekali kalau Nina sekarang sedang pura-pura sibuk setelah mendengar pertanyaanku barusan.“Tidak usah pura-pura tidak mengerti. Jujur saja padaku. Apa yang kalian bicarakan saat terakhir kali kita bertemu?” tanyaku sedikit menuntut. “Kau bahkan sampai mengerjakan tugas kuliah seperti ini padahal sebelum-sebelumnya kau hanya bersenang-senang,” lanjutku lagi, menduga jika perubahannya ini pasti berhubungan dengan pembicaraan mereka di hari itu.Nina tetap tidak menjawab pertanyaanku, dia malah mengalihkan kami ke topik pembicaraan lain. Sebenarnya aku sangat kesal dengan responnya ini. Bagaimana tidak, bukan hanya Steven dan Sofi yang tidak bersedia memberitahu, bahkan Nina pun tidak ingin mengatakannya padaku. ‘Sebenarnya ada apa sih sampai harus merahasiakannya seperti ini dariku?’Yah, walau sedikit kesal karena pertanyaanku diabaikan begitu saja, tapi aku sangat senang melihat perubahan sikap Nina. Dulu aku tidak pernah berharap dia bisa berubah menjadi leb
“Sudah ku reservasi, kali ini kita tidak perlu menundanya lagi,” ucap Steven menanggapi keterkejutanku.Dengan tangannya yang lain —yang tidak memegang tablet— ia menarikku ke dalam dekapannya dan mencium rambut di dekat telingaku, sementara aku masih takjub melihat negara mana yang akan kami kunjungi minggu depan.“Ini… wow… Pavilion Hotel Kuala Lumpur!” aku sangat kegirangan melihat layar tablet Steven yang memuat bukti pemesanannya.Aku tahu hotel ini, hotel yang baru saja Steven reservasi untuk bulan madu kami. Sudah sangat lama aku ingin berkunjung ke negara ini, terlebih sejak foto-foto pusat perbelanjaan Pavilion berseliweran di media sosialku. Apalagi hotel ini terhubung langsung dengan pusat perbelanjaan mewahnya itu, ‘Yeay! Ini surganya para wanita.’“Minggu depan kita ke sini dulu, setelah itu baru kita ke negara tetangganya, Steven memelukku dari belakang dengan kedua tangannya yang bebas setelah aku —dengan tidak tahu malu— merebut tablet dari tangannya.“Nanti kita jalan-
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s
“Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is
“A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen
◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal
♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku