Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
Aku sudah lupa kapan terakhir kali Nayla menghubungiku, yang pasti kami sudah tidak pernah berkirim pesan lagi sejak dia dan Franky menikah.'Kapan mereka menikah? 5 atau 6 tahun lalu? Sudah lama juga ternyata.'Aku bukan sengaja sedang mengingat Nayla. Aku mengingatnya lagi karena tiba-tiba saja mendapat pesan darinya yang tentu saja tidak langsung kubuka. Aku agak curiga dengan pesan yang Nayla kirim setelah bertahun-tahun tidak menghubungiku, curiga kalau pesannya berhubungan dengan Franky.Seingatku, Franky selalu memata-mataiku saat aku sedang dekat dengan seorang pria, baik saat kami masih berteman dulu, terutama saat kami baru putus.'Masa sih dia sampai minta Istrinya bertanya setelah tahu kalau aku sudah menikah?'Franky dulu sering melakukannya. Dia selalu memata-matai dengan pria mana aku sering berbicara melalui rekan kerja bahkan melalui bawahanku.Dia tidak malu memanfaatkan posisinya sebagai orang dari kantor pusat untuk memengaruhi rekan kerja dan bawahanku. 'Ya, Franky
Aku mengintip dan menatap Steven, yang sedang tertawa, dengan perasaan kesal.Saat ia menyusulku masuk, setelah menutup pintu, aku segera berlari ke kamar mandi dengan membawa pakaianku.'Pantas dia berdiri menghalangi pintu. Ku kira dia sedang berpose untuk menggodaku juga. Ugh... Bodohnya aku...'"Kenapa kau tidak memberitahu kalau kau datang bersama mereka?!" teriakku dari dalam kamar mandi."Saya sudah mengirimi Anda pesan."'Ah… jadi ada pesan lain lagi... Ku kira itu pesan Nayla makanya belum kubuka.'Aku cepat-cepat mengenakan seluruh pakaianku dan membawa Steven pergi menyusul Sofi dan yang lainnya ke restoran untuk sarapan bersama. Sudah pasti aku akan semakin malu kalau datang terlalu lama. Mereka pasti akan mengira kalau kami sedang…"Kenapa kau tidak memberitahuku?" protesku pada Steven sambil terus menariknya agar cepat tiba di lift."Saya sudah mengatakannya tadi, kan? Saya sudah mengirimi Anda pesan.""Haaah... Bukan itu maksudku. Ah sudahlah, ayo cepat!""Kita tidak per
“Pantas saja...!”Saking marahnya, aku meminta Steven untuk segera mengantarkanku pergi menyusul Lintang dan Sofi menemui Camila, namun Sofi memberitahu kalau Camila ternyata sudah dibebaskan dengan uang jaminan oleh seseorang.“Dia dibebaskan? Kenapa bisa? Kenapa Polisi tidak melakukan penyelidikan ke rumah sakit dulu?!” Perasaanku saat ini benar-benar tak karuan. Sedih, marah, kesal, juga merasa bersalah pada ayahku karena terlalu terlambat menyadarinya.'Sialan kau, Camila!'“Tenang dulu. Kau harus bisa menangkan dirimu. Kau tahu kan kalau kita tidak akan bisa berpikir jernih saat dalam keadaan marah?”Steven merangkul dan mengusap lembut belakang kepalaku. Perlakuannya padaku yang seperti memperlakukan seorang anak kecil ini sebenarnya membuatku agak sedikit malu, terutama saat menyadari jika kami sedang diperhatikan orang-orang di parkiran, di mana kami saat ini berada.Tapi... Jujur saja aku sangat menyukainya. Apalagi mencium aroma lembut dari bajunya, yang entah bagaimana sanga
Aku tersenyum sinis saat melihat betapa ramainya toko kelontong milik ayahku yang kini dikelola Agus. Aku tahu kalau dia berbohong saat selalu mengatakan kalau toko ini telah sepi dan membutuhkan tambahan uang untuk membayar setoran pada para penyuplai barang yang harus dipenuhinya tiap bulan.'Tsk… mana mungkin kekurangannya selalu hampir sama tiap bulannya? 3 sampai 5 juta? Lagian mana ada kekurangan yang sesedikit itu jika toko ini benar-benar sepi? Berbohong juga butuh kecerdasan, Agus!'Aku dulu sebenarnya tidak setuju kalau Agus-lah yang mengambil alih toko kelontong ini dan pernah menyarankan agar Nina saja yang mengelolanya karena dia juga sangat malas sekolah bahkan sudah sering membolos sekolah saat SMP.Sayangnya Nina yang pemalas dan manja itu menolak mentah-mentah usulku dan pada akhirnya malah selalu meminta uang jajan padaku. Padahal, andai Nina mau mengelola toko ini, dia pasti akan menghasilkan lebih banyak uang dariku.Karena 10 tahun lalu kebetulan Agus baru lulus SM
“Mulai hari ini...,” aku menatap Cakra seraya meyakinkan diriku sendiri kalau kali ini aku tidak akan salah memercayai orang lagi. 'Tidak, sejak awal aku sebenarnya tidak memercayai Agus. Aku hanya berharap dia bisa melakukannya.' Intuisiku biasanya cukup bagus dan Agus dulu bukanlah aku yang menunjuknya, melainkan Camila.Aku melanjutkan, “Mulai hari ini serahkan semua hasil penjualan harian dan kunci toko beserta kunci gudang penyimpanan barang padanya. Ada temannya juga yang nanti akan bergantian berjaga di sini dan kau harus menyerahkan semua uang penjualan pada mereka.”Herman menatap Cakra dengan wajah bingung dan ada ketakutan juga di sorot matanya. Bagaimana tidak, Cakra memiliki tubuh hampir sebesar Hulk.“Y-ya… Non Key.”Cakra yang tidak tahu apa-apa tentu saja sama bingungnya dengan Herman. Namun demikian dia tetap mengangguk padaku setelah mungkin sadar kalau aku membutuhkan bantuannya.“Tidak masalah, kan?” tanyaku pada Cakra yang dijawabnya dengan anggukan sekali lagi. Ca
Hari yang tidak diharapkan para pekerja malas akhirnya tiba. Benar, ini hari Senin dan khusus hari ini aku bisa menyamakan diriku dengan orang-orang yang malas bekerja itu. Orang-orang yang tidak mensyukuri jika ada orang lain yang sangat ingin berada di posisi mereka.Penyebabnya? Karena untuk pertama kalinya aku tidur dalam pelukan Steven.Kami memang belum melakukan apapun —gila kalau kami sampai melakukannya di tempat ini— tapi setidaknya kami akhirnya tidur dengan berpelukan. 'Senangnya…'Sebenarnya, kami cuma ketiduran di sofa lebar ruang rawat inap saat sedang menjaga ayahku yang sudah dipindahkan ke kamar khusus sejak tadi malam.Steven yang terlihat sangat lelah —aku yakin saat menginap di hotel dia pasti tidak tidur semalaman— tertidur terlebih dahulu di sofa. Dia bahkan tidak terbangun saat aku duduk di dekatnya sampai akhirnya aku pun ikut tertidur dan terbangun dalam pelukannya.'Untung tadi malam aku sudah mematikan alarm di ponselku.'Aku memandangi wajahnya yang hanya b
Steven mengangguk.“Ku kira kau tidak menggunakan kartu kredit.” Aku keceplosan.Steven menatapku dengan kening berkerut sebelum akhirnya tertawa. “Jadi kau memerhatikanku?”Karena sudah ketahuan aku pun mengangguk.“Biasanya Aku tidak belanja banyak karena itu aku tidak membutuhkannya. Sebenarnya Sofi baru membantuku membuatkannya khusus untukmu.”'Apa?! Jadi Sofi seorang asisten pribadi yang bisa melakukan itu? Siapa sebenarnya mereka ini? Ah sudahlah…, untuk apa kupikirkan?'Orang mungkin akan menganggapku bodoh karena tidak mencurigai mereka. Namun aku sepertinya sudah dibutakan oleh cinta pada pria dihadapanku ini hingga aku percaya saja padanya. Pikiran kalau dia ini mungkin saja seorang mafia seperti yang pernah terlintas dalam benakku dulu bahkan sudah tidak pernah terpikirkan lagi olehku.Aku menatap lagi kartu kredit tanpa batas di tanganku. Kini aku merasa seperti seorang Nyonya yang sebenarnya, karena bagiku orang yang disebut Nyonya bukannya istri seseorang atau sejenisnya
Sebenarnya mereka tidak perlu sungkan dengan pertanyaan itu, toh mereka juga sudah tahu kalau Camila suka mengekangku sejak lama.“Bukan, sebenarnya aku tidak sempat mengundang kalian karena ibu tiriku tidak memberitahu kapan hari pernikahannya. Aku baru tahu malam hari sebelum esok harinya pergi ke KUA dan kantor catatan sipil.” Aku mengatakan yang sebenarnya. Bagaimanapun keadaannya, aku sebenarnya sangat ingin mengundang anggota geng masa SMA-ku ini untuk datang, terkecuali Nayla tentunya. Alasannya? Sudah pasti karena Franky. Lelaki pembual itu pasti akan ikut datang bersama istrinya.“Ya Tuhan! Jadi kau menikah karena terpaksa?”Aku mengangguk lalu melirik Steven yang duduk di kejauhan. Aku melihat senyum pahit di wajahnya, membuatku merasa bersalah. Namun aku tidak mungkin berbohong karena memang itulah kenyataannya.Aku memang terpaksa pada awalnya, namun sekarang aku sudah mulai bersyukur karena saat itu masih mau menuruti kemauan Camila seperti biasanya.“Tapi aku sekarang me
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s
“Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is
“A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen
◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal
♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku