Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
“Kita tidak ke kantin rumah sakit saja?” tanyaku saat tahu jika dia ingin mengajakku makan malam di luar area rumah sakit.“Ini sudah malam.” “…Benar juga.” Kantin pasti sudah tutup. Mereka tidak mungkin buka 24 jam. Saat kami tiba di parkiran, aku kaget melihat mobil yang akan kami kendarai. Mobil sedan mewah berwarna hitam yang kuperkirakan berharga selangit. Mobil ini sebenarnya mobil yang sama dengan yang kukendarai bersama Sofi tadi. Karena pikiranku sedang kacau aku sampai tidak memperhatikannya. 'Pantas kursinya terasa sangat nyaman. Mobil ini pasti sangat mahal, kan?'Aku menoleh menatap Steven yang duduk di sampingku, di belakang kemudi. 'Siapa dia ini sebenarnya? Tidak mungkin kan seorang pengawal memiliki mobil semahal ini? Atau ini mobil bosnya?'“Anda merindukan saya?” “Hah? A-apa? Tidak... bukan begitu… maksudku—”“Sedih mendengarnya. Padahal Anda menatap saya seperti itu.” “...Bukan begitu, aku cuma sedang...” 'Tentu saja aku sangat merindukanmu. Haiss... Dasar Ke
Aku sudah lupa kapan terakhir kali Nayla menghubungiku, yang pasti kami sudah tidak pernah berkirim pesan lagi sejak dia dan Franky menikah.'Kapan mereka menikah? 5 atau 6 tahun lalu? Sudah lama juga ternyata.'Aku bukan sengaja sedang mengingat Nayla. Aku mengingatnya lagi karena tiba-tiba saja mendapat pesan darinya yang tentu saja tidak langsung kubuka. Aku agak curiga dengan pesan yang Nayla kirim setelah bertahun-tahun tidak menghubungiku, curiga kalau pesannya berhubungan dengan Franky.Seingatku, Franky selalu memata-mataiku saat aku sedang dekat dengan seorang pria, baik saat kami masih berteman dulu, terutama saat kami baru putus.'Masa sih dia sampai minta Istrinya bertanya setelah tahu kalau aku sudah menikah?'Franky dulu sering melakukannya. Dia selalu memata-matai dengan pria mana aku sering berbicara melalui rekan kerja bahkan melalui bawahanku.Dia tidak malu memanfaatkan posisinya sebagai orang dari kantor pusat untuk memengaruhi rekan kerja dan bawahanku. 'Ya, Franky
Aku mengintip dan menatap Steven, yang sedang tertawa, dengan perasaan kesal.Saat ia menyusulku masuk, setelah menutup pintu, aku segera berlari ke kamar mandi dengan membawa pakaianku.'Pantas dia berdiri menghalangi pintu. Ku kira dia sedang berpose untuk menggodaku juga. Ugh... Bodohnya aku...'"Kenapa kau tidak memberitahu kalau kau datang bersama mereka?!" teriakku dari dalam kamar mandi."Saya sudah mengirimi Anda pesan."'Ah… jadi ada pesan lain lagi... Ku kira itu pesan Nayla makanya belum kubuka.'Aku cepat-cepat mengenakan seluruh pakaianku dan membawa Steven pergi menyusul Sofi dan yang lainnya ke restoran untuk sarapan bersama. Sudah pasti aku akan semakin malu kalau datang terlalu lama. Mereka pasti akan mengira kalau kami sedang…"Kenapa kau tidak memberitahuku?" protesku pada Steven sambil terus menariknya agar cepat tiba di lift."Saya sudah mengatakannya tadi, kan? Saya sudah mengirimi Anda pesan.""Haaah... Bukan itu maksudku. Ah sudahlah, ayo cepat!""Kita tidak per
“Pantas saja...!”Saking marahnya, aku meminta Steven untuk segera mengantarkanku pergi menyusul Lintang dan Sofi menemui Camila, namun Sofi memberitahu kalau Camila ternyata sudah dibebaskan dengan uang jaminan oleh seseorang.“Dia dibebaskan? Kenapa bisa? Kenapa Polisi tidak melakukan penyelidikan ke rumah sakit dulu?!” Perasaanku saat ini benar-benar tak karuan. Sedih, marah, kesal, juga merasa bersalah pada ayahku karena terlalu terlambat menyadarinya.'Sialan kau, Camila!'“Tenang dulu. Kau harus bisa menangkan dirimu. Kau tahu kan kalau kita tidak akan bisa berpikir jernih saat dalam keadaan marah?”Steven merangkul dan mengusap lembut belakang kepalaku. Perlakuannya padaku yang seperti memperlakukan seorang anak kecil ini sebenarnya membuatku agak sedikit malu, terutama saat menyadari jika kami sedang diperhatikan orang-orang di parkiran, di mana kami saat ini berada.Tapi... Jujur saja aku sangat menyukainya. Apalagi mencium aroma lembut dari bajunya, yang entah bagaimana sanga
Aku tersenyum sinis saat melihat betapa ramainya toko kelontong milik ayahku yang kini dikelola Agus. Aku tahu kalau dia berbohong saat selalu mengatakan kalau toko ini telah sepi dan membutuhkan tambahan uang untuk membayar setoran pada para penyuplai barang yang harus dipenuhinya tiap bulan.'Tsk… mana mungkin kekurangannya selalu hampir sama tiap bulannya? 3 sampai 5 juta? Lagian mana ada kekurangan yang sesedikit itu jika toko ini benar-benar sepi? Berbohong juga butuh kecerdasan, Agus!'Aku dulu sebenarnya tidak setuju kalau Agus-lah yang mengambil alih toko kelontong ini dan pernah menyarankan agar Nina saja yang mengelolanya karena dia juga sangat malas sekolah bahkan sudah sering membolos sekolah saat SMP.Sayangnya Nina yang pemalas dan manja itu menolak mentah-mentah usulku dan pada akhirnya malah selalu meminta uang jajan padaku. Padahal, andai Nina mau mengelola toko ini, dia pasti akan menghasilkan lebih banyak uang dariku.Karena 10 tahun lalu kebetulan Agus baru lulus SM
“Mulai hari ini...,” aku menatap Cakra seraya meyakinkan diriku sendiri kalau kali ini aku tidak akan salah memercayai orang lagi. 'Tidak, sejak awal aku sebenarnya tidak memercayai Agus. Aku hanya berharap dia bisa melakukannya.' Intuisiku biasanya cukup bagus dan Agus dulu bukanlah aku yang menunjuknya, melainkan Camila.Aku melanjutkan, “Mulai hari ini serahkan semua hasil penjualan harian dan kunci toko beserta kunci gudang penyimpanan barang padanya. Ada temannya juga yang nanti akan bergantian berjaga di sini dan kau harus menyerahkan semua uang penjualan pada mereka.”Herman menatap Cakra dengan wajah bingung dan ada ketakutan juga di sorot matanya. Bagaimana tidak, Cakra memiliki tubuh hampir sebesar Hulk.“Y-ya… Non Key.”Cakra yang tidak tahu apa-apa tentu saja sama bingungnya dengan Herman. Namun demikian dia tetap mengangguk padaku setelah mungkin sadar kalau aku membutuhkan bantuannya.“Tidak masalah, kan?” tanyaku pada Cakra yang dijawabnya dengan anggukan sekali lagi. Ca
Hari yang tidak diharapkan para pekerja malas akhirnya tiba. Benar, ini hari Senin dan khusus hari ini aku bisa menyamakan diriku dengan orang-orang yang malas bekerja itu. Orang-orang yang tidak mensyukuri jika ada orang lain yang sangat ingin berada di posisi mereka.Penyebabnya? Karena untuk pertama kalinya aku tidur dalam pelukan Steven.Kami memang belum melakukan apapun —gila kalau kami sampai melakukannya di tempat ini— tapi setidaknya kami akhirnya tidur dengan berpelukan. 'Senangnya…'Sebenarnya, kami cuma ketiduran di sofa lebar ruang rawat inap saat sedang menjaga ayahku yang sudah dipindahkan ke kamar khusus sejak tadi malam.Steven yang terlihat sangat lelah —aku yakin saat menginap di hotel dia pasti tidak tidur semalaman— tertidur terlebih dahulu di sofa. Dia bahkan tidak terbangun saat aku duduk di dekatnya sampai akhirnya aku pun ikut tertidur dan terbangun dalam pelukannya.'Untung tadi malam aku sudah mematikan alarm di ponselku.'Aku memandangi wajahnya yang hanya b
Steven mengangguk.“Ku kira kau tidak menggunakan kartu kredit.” Aku keceplosan.Steven menatapku dengan kening berkerut sebelum akhirnya tertawa. “Jadi kau memerhatikanku?”Karena sudah ketahuan aku pun mengangguk.“Biasanya Aku tidak belanja banyak karena itu aku tidak membutuhkannya. Sebenarnya Sofi baru membantuku membuatkannya khusus untukmu.”'Apa?! Jadi Sofi seorang asisten pribadi yang bisa melakukan itu? Siapa sebenarnya mereka ini? Ah sudahlah…, untuk apa kupikirkan?'Orang mungkin akan menganggapku bodoh karena tidak mencurigai mereka. Namun aku sepertinya sudah dibutakan oleh cinta pada pria dihadapanku ini hingga aku percaya saja padanya. Pikiran kalau dia ini mungkin saja seorang mafia seperti yang pernah terlintas dalam benakku dulu bahkan sudah tidak pernah terpikirkan lagi olehku.Aku menatap lagi kartu kredit tanpa batas di tanganku. Kini aku merasa seperti seorang Nyonya yang sebenarnya, karena bagiku orang yang disebut Nyonya bukannya istri seseorang atau sejenisnya