Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
Aku tersenyum sinis saat melihat betapa ramainya toko kelontong milik ayahku yang kini dikelola Agus. Aku tahu kalau dia berbohong saat selalu mengatakan kalau toko ini telah sepi dan membutuhkan tambahan uang untuk membayar setoran pada para penyuplai barang yang harus dipenuhinya tiap bulan.'Tsk… mana mungkin kekurangannya selalu hampir sama tiap bulannya? 3 sampai 5 juta? Lagian mana ada kekurangan yang sesedikit itu jika toko ini benar-benar sepi? Berbohong juga butuh kecerdasan, Agus!'Aku dulu sebenarnya tidak setuju kalau Agus-lah yang mengambil alih toko kelontong ini dan pernah menyarankan agar Nina saja yang mengelolanya karena dia juga sangat malas sekolah bahkan sudah sering membolos sekolah saat SMP.Sayangnya Nina yang pemalas dan manja itu menolak mentah-mentah usulku dan pada akhirnya malah selalu meminta uang jajan padaku. Padahal, andai Nina mau mengelola toko ini, dia pasti akan menghasilkan lebih banyak uang dariku.Karena 10 tahun lalu kebetulan Agus baru lulus SM
“Mulai hari ini...,” aku menatap Cakra seraya meyakinkan diriku sendiri kalau kali ini aku tidak akan salah memercayai orang lagi. 'Tidak, sejak awal aku sebenarnya tidak memercayai Agus. Aku hanya berharap dia bisa melakukannya.' Intuisiku biasanya cukup bagus dan Agus dulu bukanlah aku yang menunjuknya, melainkan Camila.Aku melanjutkan, “Mulai hari ini serahkan semua hasil penjualan harian dan kunci toko beserta kunci gudang penyimpanan barang padanya. Ada temannya juga yang nanti akan bergantian berjaga di sini dan kau harus menyerahkan semua uang penjualan pada mereka.”Herman menatap Cakra dengan wajah bingung dan ada ketakutan juga di sorot matanya. Bagaimana tidak, Cakra memiliki tubuh hampir sebesar Hulk.“Y-ya… Non Key.”Cakra yang tidak tahu apa-apa tentu saja sama bingungnya dengan Herman. Namun demikian dia tetap mengangguk padaku setelah mungkin sadar kalau aku membutuhkan bantuannya.“Tidak masalah, kan?” tanyaku pada Cakra yang dijawabnya dengan anggukan sekali lagi. Ca
Hari yang tidak diharapkan para pekerja malas akhirnya tiba. Benar, ini hari Senin dan khusus hari ini aku bisa menyamakan diriku dengan orang-orang yang malas bekerja itu. Orang-orang yang tidak mensyukuri jika ada orang lain yang sangat ingin berada di posisi mereka.Penyebabnya? Karena untuk pertama kalinya aku tidur dalam pelukan Steven.Kami memang belum melakukan apapun —gila kalau kami sampai melakukannya di tempat ini— tapi setidaknya kami akhirnya tidur dengan berpelukan. 'Senangnya…'Sebenarnya, kami cuma ketiduran di sofa lebar ruang rawat inap saat sedang menjaga ayahku yang sudah dipindahkan ke kamar khusus sejak tadi malam.Steven yang terlihat sangat lelah —aku yakin saat menginap di hotel dia pasti tidak tidur semalaman— tertidur terlebih dahulu di sofa. Dia bahkan tidak terbangun saat aku duduk di dekatnya sampai akhirnya aku pun ikut tertidur dan terbangun dalam pelukannya.'Untung tadi malam aku sudah mematikan alarm di ponselku.'Aku memandangi wajahnya yang hanya b
Steven mengangguk.“Ku kira kau tidak menggunakan kartu kredit.” Aku keceplosan.Steven menatapku dengan kening berkerut sebelum akhirnya tertawa. “Jadi kau memerhatikanku?”Karena sudah ketahuan aku pun mengangguk.“Biasanya Aku tidak belanja banyak karena itu aku tidak membutuhkannya. Sebenarnya Sofi baru membantuku membuatkannya khusus untukmu.”'Apa?! Jadi Sofi seorang asisten pribadi yang bisa melakukan itu? Siapa sebenarnya mereka ini? Ah sudahlah…, untuk apa kupikirkan?'Orang mungkin akan menganggapku bodoh karena tidak mencurigai mereka. Namun aku sepertinya sudah dibutakan oleh cinta pada pria dihadapanku ini hingga aku percaya saja padanya. Pikiran kalau dia ini mungkin saja seorang mafia seperti yang pernah terlintas dalam benakku dulu bahkan sudah tidak pernah terpikirkan lagi olehku.Aku menatap lagi kartu kredit tanpa batas di tanganku. Kini aku merasa seperti seorang Nyonya yang sebenarnya, karena bagiku orang yang disebut Nyonya bukannya istri seseorang atau sejenisnya
Sebenarnya mereka tidak perlu sungkan dengan pertanyaan itu, toh mereka juga sudah tahu kalau Camila suka mengekangku sejak lama.“Bukan, sebenarnya aku tidak sempat mengundang kalian karena ibu tiriku tidak memberitahu kapan hari pernikahannya. Aku baru tahu malam hari sebelum esok harinya pergi ke KUA dan kantor catatan sipil.” Aku mengatakan yang sebenarnya. Bagaimanapun keadaannya, aku sebenarnya sangat ingin mengundang anggota geng masa SMA-ku ini untuk datang, terkecuali Nayla tentunya. Alasannya? Sudah pasti karena Franky. Lelaki pembual itu pasti akan ikut datang bersama istrinya.“Ya Tuhan! Jadi kau menikah karena terpaksa?”Aku mengangguk lalu melirik Steven yang duduk di kejauhan. Aku melihat senyum pahit di wajahnya, membuatku merasa bersalah. Namun aku tidak mungkin berbohong karena memang itulah kenyataannya.Aku memang terpaksa pada awalnya, namun sekarang aku sudah mulai bersyukur karena saat itu masih mau menuruti kemauan Camila seperti biasanya.“Tapi aku sekarang me
Aku melirik Steven lagi. Ya, sumber kebahagiaanku sedang berada di sana, hanya berjarak beberapa meja dari tempatku duduk. Aku tadi bahkan langsung lupa pada kenakalan Mira setelah melihatnya.'Dia benar-benar membuatku—'“Kau mendengarkanku tidak sih?”“Hah? Oh… Y-ya tentu… Tentu saja.” Aku melihat Bertha, Karin, dan Erina menoleh pada Steven, menyadari kalau fokusku pada apa yang Bertha katakan teralih karena sedang mencuri pandang padanya.“Aku tahu dia tampan, tapi tolong jangan kecewakan suamimu karena kau tadi mengatakan bahwa hidupmu bersama suamimu sudah bahagia,” Bertha berkata dengan sedikit ketus, namun tertawa setelahnya.“Apaan sih? Aku cuma...”'...Mau melihat suamiku kok.'“Tidak apa-apa. Aku bisa memakluminya kok, aku cuma bercanda. Dia memang tampan sih... Astaga, bisa-bisanya kita ketemu pria tampan saat sudah bersuami?” keluh Bertha.Aku langsung berpaling menatap Bertha sembari mengernyitkan kening, mengomel dalam hati, 'Hah? Kalau kau belum menikah apa kau akan men
“Hah? Apa maksudmu? Justru kalau aku tahu kau ada di sini, aku akan langsung pergi sejak awal,” sahutku ketus.Franky tiba-tiba berdiri, membawa kursinya ke sisi meja kami dan duduk di antara aku dan Nayla dengan sangat tidak tahu diri.“Eh, untuk apa kau bergabung dengan kami?” protes Erina.“Aku cuma mau lebih akrab dengan teman-teman istriku,” sahut Franky. “Lagian aku duduk di dekat istriku. Apa tidak boleh? Apa salahnya?”“Ini reuni kami! Kau tidak lihat kalau kami tidak membawa suami kami datang bersama? Lagian posisi dudukmu lebih dekat dengan Key!” protes Bertha.Franky sempat tertawa namun terpotong olehku yang langsung berbicara karena tidak suka mendengar dan melihatnya tertawa“Aku tadi sempat berpikir kenapa Nay memaksaku datang ke reuni ini padahal sejak dulu tidak pernah menjadi penggagas awal saat kita ingin berkumpul,” aku menoleh pada Nayla, melewatkan pandanganku dari Franky yang sedang menatapku sambil tersenyum, “Nay, tolong jujur. Apa sebenarnya suamimu ini yang b
Aku mengangguk pelan lalu mengambil cangkir kopiku dan mengosongkannya. Walau sebenarnya ingin mengosongkan cangkir di tanganku ini dengan menyiramkan isinya ke wajah Franky, tapi aku meminum isinya kok... Aku tidak ingin membuat keributan dengan orang tidak penting.“Dari mana kau bisa mendapatkan black card internasional itu?” Erina bertanya dengan ekspresi penasaran.Aku tahu kenapa dia bersikap begini. Sedangkan ayahnya yang lebih kaya dari suaminya saja tidak bisa memiliki black card keluaran American Express itu, tapi aku memilikinya.Kartu itu memang berbeda dengan black card keluaran bank lokal, hanya orang-orang dengan undangan khusus saja yang bisa memilikinya. Mendaftar untuk memilikinya memang bisa, namun kebanyakan ditolak.Itulah penyebab kekagetanku saat tahu kalau Sofi bisa mendapatkannya dengan mudah karena dari informasi yang kutahu, seseorang hanya akan mendapatkan undangan dari Amex jika memiliki setidaknya pengeluaran tahunan rutin minimal 500.000 dollar Amerika.A