"Kenapa senyum-senyum sendiri pa."
Suara Laras yang menginterupsi membuat David panik, buru-buru laki-laki itu menyembunyikan buku diary yang sedang dipegangnya.
"O--ohh, itu ma ..," jawab David terbata, binggung hendak menjawab apa.
"Itu apa?."
Laras yang curiga mengernyitkan kening samar, mata perempuan itu awas melihat tangan suaminya yang disembunyikan dibelakang tubuh. Cepat Laras mengintip. Perempuan itu memanyunkan bibir saat tahu apa yang sedang suaminya pegang saat ini.
"Ihh, kok dipegang sih? Pasti mas senyum-senyum karena baca diary ku ya. Kenapa gak izin dulu, itu namanya mencuri," omel Laras kesal.
David yang ketahuan dan merasa bersalah hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Jujur saja ia merasa tak enak pada sang istri.
"Mas penasaran sayang. Tadi nemu di bawah tumpukan baju pas tadi mau cari baju," Jawab David tak berbohong.
"Tapi kenapa dibaca, mas tau kan aku malu," ujar Laras dengan menunduk.
"Kenap
Wanita cantik bertubuh mungil itu duduk sendirian di kursi taman dengan gelisah, sedari tadi matanya menelisik ke penjuru taman berharap orang yang sedari tadi ia tunggu segera tiba. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia duduk disini dengan segala perasaan gamang dan cemas yang bergumul di dada membuat Laras semakin di landa rasa takut. "Maaf sayang tadi mas masih ada meeting." Suara bariton yang tak asing ditelinga membuat Laras mengangkat wajah, wanita itu menatap David yang saat ini tengah menampilkan senyum hangat seperti biasa. "Gapapa. Mas, ada yang ingin aku bicarakan." Laras menatap David takut-takut membuat laki laki yang kini tengah berdiri di depan perempuan itu mengerutkan kening binggung namun tak urung mengangguk mengiyakan. "Ya, katakan." "Aku hamil." To the point Laras berucap dengan satu tarikan nafas, suaranya yang bergetar berusaha perempuan itu redam sebisa mungkin. Sedang David, laki-laki itu menatap sa
Laras melirik jam yang menempel di tangan kirinya, jarum pendek sudah menunjuk angka lima. Bergegas, ibu dua anak itu meraih tas yang berisi keperluan sang putri dan berjalan keluar dari ruang kerjanya. Bekerja di kedai sendiri memang memiliki kelonggaran waktu bagi Laras, kedai merangkap toko kue yang ia rintis bersama sahabatnya Sonya sejak tiga tahun yang lalu. Saat tiba di tangga senyum Laras terkembang sempurna, ibu muda itu meraih uluran tangan sang putri yang juga menyambutnya antusias. "Uhh anak mama, nunggu lama ya sayang." "Mama. pulang," rengek Sasa. "Iya ini mama, pulang yuk udah sore." Setelah berpamitan kepada para karyawan Laras berjalan menuju mobilnya, pulang di saat bersamaan jam-jam pulang kantor begini memang macet tapi beruntung anaknya bukan bocah yang rewel. Setiba di depan rumah, ibu dua anak itu segera turun dari mobil. Membuka pintu sebelah untuk mengendong sang putri, rumahnya gelap karena
David mengetuk bolpoin yang sedang di pegang keatas meja, wajahnya yang kusut menyiratkan rasa frustasi. Menyender pada kursi kerja, laki-laki matang itu memejamkan matanya sejenak saat rasa pening menghampiri.Mamanya benar-benar menguji kesabarannya, perempuan paruh baya itu tak pernah lelah menghampiri kantornya hanya untuk menanyakan kapan ia akan membawa pasangannya ke rumah untuk di kenalkan pada keluarga besar mereka.Tidak ada masalah sebenarnya toh ia juga sudah memiliki kekasih, tapi mimpi sialan yang sering menghampiri malamnya beberapa Minggu terkahir benar-benar membuat dirinya panas dingin.David mengedarkan pandangan pada lapangan luas yang dipenuhi rumput dan bunga putih, tidak ada siapapun disini selain dirinya. Ia berjalan pelan saat cahaya putih tiba-tiba menghalangi pandanganya, membuat laki-laki itu harus memejamkan mata sebentar. David berjalan hat-hati saat tiba-tiba seorang anak lelaki kecil men
Pak Suryo mengendarai mobil dengan santai.Memilih pulang ke apartemen adalah pilihan terbaik untuk saat ini dari pada nanti telinganya panas karena omelan mamanya akibat tidak mendengarkan titah sang ratu. Namun telefon mamanya pagi tadi berhasil membuat David mengurungkan niat. Laki-laki itu akhirnya memilih putar balik dan pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika tidak perempuan paruh baya itu akan mengomel tanpa henti hingga ber jam-jam tanpa bosan.Sejujurnya masalah mereka masih sama, kapan David akan membawa calon istrinya ke rumah. Oh hallo, dia hanya pria dewasa dan belum tua. 28 tahun dan berstatus taken tidak bisa di bilang bujang lapuk bukan.Bukan kenapa-kenapa, hanya saja David belum siap mengenalkan pacarnya pada keluarga besar mereka. Entah bagaimana, ia hanya belum memiliki kemantapan hati.Ponsel yang berdering menganggu lamunan David, ya hari ini laki-laki itu memilih menggunakan sopir
Riana melambaikan tangannya saat menemukan David yang berjalan penuh wibawa memasuki restoran tempat mereka mengadakan janji makan siang."Aku kira kamu gak dateng mas? Aku telfon tapi hp kamu gak aktif?""Tadi masih di proyek, hp aku juga mati."Riana mengangguk tersenyum, memaklumi kebiasaan David yang memang sudah biasa terjadi saat laki-laki itu tengah sibuk dengan pekerjaan.Menjadi pewaris utama perusahaan sang ayah tak membuat David menjadi pemimpin yang manja dan semaunya sendiri, laki-laki itu selalu melakukan yang terbaik dan bekerja maksimal dalam pengerjaan proyek yang di emban.Tak heran di usianya yang masih muda David berhasil mengaet banyak investor dan menjadikan ia salah satu pengusaha muda yang sukses dan terkenal cerdas."Aku udah pesen makanan kesukaan kamu."David hanya mengangguk dengan senyum tipis."Emm.. mas, Senin depan kamu ada jadwal?"Riana bertanya dengan harap-harap cemas, taku
Laras memasuki ruang tamu saat Sonya sibuk mendandani Sasa hingga tak menyadari keberadaannya. Sahabatnya itu terlihat cekatan dan sabar menghadapi polah anaknya yang seperti biasa, selalu banyak tingkah dan tidak bisa diam. Laras berdehem pelan, membuat Sonya menoleh kearahnya. "Lo udah enakan? Kenapa turun?" Tanya Sonya, tangannya sibuk memoleskan bedak di sekitaran leher Sasa. "Udah mendingan, bosen di kamar terus," ucap Laras masih dengan suara sangau, pusingnya memang sudah berkurang tapi badannya masih sangat lemas seperti tak bertenaga. "Istirahat sana, gue sama Sasa berangkat dulu. Makan siang udah gue siapin di meja makan. Jangan lupa minum obat, oh ya buahnya juga udah gue siapin di meja kamar lo jangan lupa di makan." Bak ibu yang memberikan petuah pada anaknya, Sonya benar-benar sudah cocok untuk memiliki anak sendiri melihat bagaimana jiwa emak-emak sudah melekat dalam diri perempuan itu. Laras mengangguk pelan, matanya me
Pagi ini Laras dan Sasa sudah berada di kedai, pengunjung tidak sebanyak biasanya karena rintik hujan yang turun sejak subuh tadi.Mendudukkan anaknya di karpet yang di penuhi mainan Laras langsung berkutat dengan beberapa lembar kertas di meja kerjanya. Pembukaan cabang baru masih dalam proses penyelesaian membuat pekerjaannya cukup padat di tambah hari ini adalah akhir bulan membuat ia di sibukkan dengan pembukuan."Gila, gue beneran bisa gila" Sonya mendudukan pantatnya di sofa setelah masuk ruangan tanpa mengetuk pintu dulu membuat Laras keheranan. Pasalnya sahabatnya itu sudah bilang tidak bisa masuk kerja hari ini. Tapi pagi ini Sonya sudah sampai di toko dengan wajah nelangsa."Lo kenapa dateng-dateng meracau gak jelas?" tanya Laras."Gue pusing ras, bunda berulah lagi."Sonya menjawab dengan kedua bahu merosot, dia benar-benar pusing. Kepulangannya kemarin adalah kesalahan."Ada apa lagi?"Laras memilih bangkit dar
Mall adalah tempat yang mereka pilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Laras mengandeng Sasa memasuki salah satu toko mainan bus tayo yang sejak masuk tadi ditunjuk-tunjuk sang anak. Sasa memang berbeda dengan bocah perempuan sebayanya lainnya. Jika anak perempuan lain bermain dengan boneka maka berbeda dengan Sasa yang lebih suka dengan mainan anak laki-laki. Seperti mainan yang baru saja mereka beli.Laras sendiri terkadang binggung, apakah dulu ia salah saat mengidam. Ataukah memang selera anaknya yang aneh."Ituu ma, yang biru," minta Sasa.Bocah kecil itu menunjuk tayo berwarna biru yang bertengger manis di etalase. Kakinya menghentak-hentak dengan bibir yang tidak berhenti merengek."Mbak tolong yang biru ini ya."Setelah membayar Laras mengendong anaknya yang tengah memeluk boneka tayo besar keluar dari toko tersebut.Dia akan ke restoran Jepang setelah tadi pagi Sonya menghubunginya dan membuat janji di sana."Udah lama?
"Kenapa senyum-senyum sendiri pa."Suara Laras yang menginterupsi membuat David panik, buru-buru laki-laki itu menyembunyikan buku diary yang sedang dipegangnya."O--ohh, itu ma ..," jawab David terbata, binggung hendak menjawab apa."Itu apa?."Laras yang curiga mengernyitkan kening samar, mata perempuan itu awas melihat tangan suaminya yang disembunyikan dibelakang tubuh. Cepat Laras mengintip. Perempuan itu memanyunkan bibir saat tahu apa yang sedang suaminya pegang saat ini."Ihh, kok dipegang sih? Pasti mas senyum-senyum karena baca diary ku ya. Kenapa gak izin dulu, itu namanya mencuri," omel Laras kesal.David yang ketahuan dan merasa bersalah hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Jujur saja ia merasa tak enak pada sang istri."Mas penasaran sayang. Tadi nemu di bawah tumpukan baju pas tadi mau cari baju," Jawab David tak berbohong."Tapi kenapa dibaca, mas tau kan aku malu," ujar Laras dengan menunduk."Kenap
Flash BackSejenak Laras terdiam kaku tanpa sanggup melakukan apapun. Perempuan itu mendudukkan diri di kursi kerja dengan tubuh yang tiba-tiba melemas dan kedua tangan menutup wajah sepenuhnya.Laras tak mampu berfikir, otaknya tiba-tiba kosong bahkan hanya air mata yang mengalir tanpa suara."Ras, ada apa?"Sonya yang baru tiba mendekati sabahabatnya dengan gusar, melihat Laras yang tadi baik-baik saja dan sekarang menangis membuat Sonya khawatir. Sonya kembali karena menyadari ponselnya yang tertinggal. Namun perempuan hamil itu dibuat shock melihat keadaan Laras. Bahu Laras bergetar dengan tangan yang bertumpu pada meja."Ayo," ujar Sonya sembari menuntun sahabatnya untuk duduk di sofa ruang kerja mereka.Perempuan yang tengah hamil itu memeluk tubuh Laras disertai usapan lembut, Sonya tak akan bertanya lagi sebelum Laras benar-benar bisa menguasai diri. Setelah tenang Laras menceritakan semuanya pada Sonya, bahkan perempuan itu juga berte
Hari ini Avin menginjak usia Empat bulan. Balita itu semakin aktif dengan pipi yang semakin montok. Kulitnya yang putih bersih menurun dari papanya, hanya bibir yang menjiplak sempurna milik Laras. Avin tertawa girang saat sang papa menciumi pipi balita itu bergantian. Laras yang memperhatikan turut tertawa melihat putranya segirang ini. Bahagia tampak menghiasi raut perempuan itu. "Teh, Minum dulu sini." Laras melambaikan tangan memanggil Yaya yang berlarian kesana kemari. Bocah itu tampak bahagia berada di taman luas seperti ini. Tentu saja karena Yaya menyukai alam bebas. "Mama, capek. Mau teh aja, yang kemalin Yaya beli sama kakak," pinta bocah itu sembari mengusap keringat yang menuruni pelipis. Laras yang gemas menarik putrinya mendekat dan mengelap keringat itu dengan tissue yang tadi sengaja dibawa dari rumah. "Gimana? Seger?" tanya Laras menatap putrinya geli. Pasalnya bocah itu minum dengan tergesa membuat Laras yang mengamati sejak tadi merasakan takut putrinya akan t
Setelah berziarah ke makan Deon, David beserta anak-anaknya mampir di salah satu restoran seafood yang cukup terkenal di kota mereka yang juga menjadi langganan mereka.Yaya sudah duduk dengan anteng. Tangan bocah itu sibuk menggeser-geser layar handphone sang papa dengan tekun. "Yaya makan dulu nak, hp nya ditaruh dulu." David mengangsurkan sepiring udang goreng crispy kesukaan putrinya. "Halum pa, kayak masakan mama," ujar bocah itu girang. David mengacak surai putrinya gemas. Kedua anaknya memang pecinta seafood, walaupun sebenarnya tak terlalu baik untuk dikonsumsi sering-sering. Namun Laras sendiri membatasi, hanya sebulan 2-3 kali memasakkan makanan kesukaan putrinya itu. "Nanti langsung pulang ya pa? Tanya Sasa yang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu. Remaja itu menatap papanya penasaran, menanti jawaban. "Iya, pesenan mama kan udah dibeli tadi. Kenapa emang kak?" "Emm, kakak boleh nggak nanti diturunin di rumah Zia aja," tanya Sasa dengan tersenyum tipis. Takut p
Minggu pagi ini kediaman David ramai karena berkumpulnya banyak keluarga yang menjenguk bayi mereka. Ada Sonya beserta anak dan suaminya, Ryan juga turut hadir namun tunangannya tidak ikut karena ada jadwal praktek pagi di rumah sakit, orang tua David juga menginap disini beserta adiknya, Bima. Suasana rumah tampak lebih berisik karena suara anak-anak yang memenuhi ruang tengah. Tak lupa bapak-bapak juga sibuk bermain catur di taman belakang. "Yaampun Ras, hidungnya kayak tower tinggi banget." Celetukan Sonya tak urung membuat semua wanita yang berada di kamar Laras tertawa. Sonya memang selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana. Sonya yang sekarang tentu saja berbeda dengan Sonya yang dulu. Berkat menikah dengan Sena, sahabat Laras itu lebih asyik untuk diajak bercerita. Apalagi semenjak memiliki anak, aura keibuan perempuan itu terpancar semakin kuat. "Iya mbak, kayak bapaknya. Ganteng pula." Lisa, mama Leo yang turut memperhatikan juga ikut memberikan komentar. Tetangga
David berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tadi laki-laki itu mendapat telfon dari sang mama bahwa istrinya akan segera melahirkan dan sudah berada di rumah sakit. Setelah memberitahukan pada sekretarisnya, David segera meluncur ke rumah sakit yang tadi mamanya beritahukan.Tiba di ruang bersalin lali-laki itu mengatur nafas yang memburu. Disana sudah ada Bima yang tengah duduk santai bermain ponsel. Segera saja David menghampiri adiknya."Mbak Laras di dalem sama mama, sana masuk, udah bukaan banyak tadi gue denger."Belum sempat David bertanya, Bima lebih dulu menjawab pertanyaan yang ada dalam fikiran abangnya. Segera saja laki-laki itu memasuki ruangan dan menemukan istrinya yang sudah terbaring diatas brankar dan meringis menahan sakit."Sayang, maaf mas telat," ucap David setelah tiba di samping istrinya, tangan laki-laki itu mengelus pinggang Laras mengantikan sang mama yang tadi melakukannya.Laras tak mengatakan apapun, perempuan itu meme
David tengah duduk sendirian di kursi ruang kerja laki-laki itu. Jendela ruangan dibiarkan terbuka lebar, menghadirkan udara sejuk karena malam hingga subuh tadi hujan cukup deras menguyur kota Bogor.Pandangan laki-laki itu menerawang jauh, mengingat beberapa tahun silam saat mengalami kecelakaan. Ia mengalami koma selama beberapa Minggu dan harus dirawat di rumah sakit. David tidak mengingat apapun, setelah bangun laki-laki itu juga linglung dan menatap sekitar dengan pandangan kosong.Setiap hari tidak ada yang dilakukannya selain berdiam diri diatas brankar dan tidur.Setelah dua bulan lebih dirawat, akhirnya ia diizinkan pulang.Semuanya berjalan baik, ingatan laki-laki itu juga berangsur pulih. Salah satu yang David ingat setelah bangun dari koma adalah laki-laki itu selalu melihat perempuan cantik yang setia merawat dirinya selama dirumah sakit."Mas?"Lamunan laki-laki itu buyar saat tangan Laras melambai di depan matanya.Dav
Pagi ini rumah David ramai dengan keluarga yang berkumpul. Laki-laki itu tersenyum melihat Yaya yang lengket pada neneknya, tak ketinggalan juga Zia dan Sasa yang juga membututi kemanapun Bima pergi."Kamu kenapa mas?"Wira bertanya pada putranya yang berdiri tanpa ikut bergabung dengan yang lainnya. Laki-laki tua itu sedikit heran, pasalnya sang putra hanya senyum-senyum sendiri dengan pandangan ke depan, mengamati yang lain tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing."Gak apa-apa pa. Cuma lagi bahagia aja," jawab David tanpa menoleh pada sang ayah."Kamu selalu jawab begitu setiap kali papa tanya."Wira mencibir yang dibalas kekehan ringan sang putra. Jangan heran bagaimana David dan sang papa, Wira bisa seakrab sekarang. Waktu telah mengubah semuanya. Mereka sama-sama intropeksi diri dan saling menerima, dan beginilah hubungan mereka sekarang."Papa gak ikut gabung?" tanya David."Nanti malam saja. Papa mau istirahat dulu. Capek ju
"papa!"Yaya memekik antusias. Bocah tiga tahun itu berlari dan memeluk kedua kaki sang ayah erat yang belum sempat menjaga keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika saja tangan laki-laki itu tak memang kusen pintu untuk menahan bobot tubuh mereka."Uhhh, papa kaget nak. Kalau jatuh bagaimana?"Ucap sang papa dengan tangan mengelus dada. Walaupun putrinya sering begini, tapi tetap saja membuat kaget."Kangen pa. Kenapa pelginya lama?"Yaya memberikan protes. Bibir bocah itu mengerucut ke depan membuat sang papa gemas dan berkahir mencium pipi sang putri berkali-kali."Mas, kapan sampe?"Laras yang baru keluar dari kamar segera menghampiri sepasang ayah dan anak itu, perempuan hamil besar itu mengambil tangan suaminya untuk dicium."Baru aja. Sasa kemana ma?" tanya laki-laki itu."Kok mama gak denger suara mobil papa ya."Bukannya menjawab Laras malah balik bertanya. Perempuan itu sepertinya baru bangun ti