Mall adalah tempat yang mereka pilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Laras mengandeng Sasa memasuki salah satu toko mainan bus tayo yang sejak masuk tadi ditunjuk-tunjuk sang anak. Sasa memang berbeda dengan bocah perempuan sebayanya lainnya. Jika anak perempuan lain bermain dengan boneka maka berbeda dengan Sasa yang lebih suka dengan mainan anak laki-laki. Seperti mainan yang baru saja mereka beli.
Laras sendiri terkadang binggung, apakah dulu ia salah saat mengidam. Ataukah memang selera anaknya yang aneh.
"Ituu ma, yang biru," minta Sasa.
Bocah kecil itu menunjuk tayo berwarna biru yang bertengger manis di etalase. Kakinya menghentak-hentak dengan bibir yang tidak berhenti merengek.
"Mbak tolong yang biru ini ya."
Setelah membayar Laras mengendong anaknya yang tengah memeluk boneka tayo besar keluar dari toko tersebut.
Dia akan ke restoran Jepang setelah tadi pagi Sonya menghubunginya dan membuat janji di sana.
"Udah lama?" Tanya Laras setelah mendudukan dirinya di depan sahabatnya.
"Baru aja," jawab Sonya.
"Ada yang perlu gue bicarain ras. Dan ini menyangkut lo sama Sasa."
Sonya menarik nafas panjang. Ada suatu hal yang menganggu fikirannya sejak 2 hari kemarin. Namun baru hari ini ia memiliki waktu luang setelah beberapa hari ini di sibukkan dengan acara keluarga.
"Gue kemarin ketemu papanya Sasa."
Keterkejutan nampak di mata Laras, namun perempuan itu lebih cepat mengendalikan diri hingga Sonya tidak menyadarinya.
Darimana sahabatnya itu tau rupa David mengingat Sonya tidak pernah bertemu langsung dengan laki-laki itu.
Hanya selembar foto yang dulu ia bawa dan tunjukkan pada sahabatnya itu, namun setelah bertahun-tahun berlalu bukankah David sudah lebih matang. Dan tentu saja wajahnya mengalami perubahan bukan.
"Dia gak tinggal di sini. Toh lu belum pernah ketemu dia sebelumnya," Jawabnya mencoba menenangkan diri. Laras tidak pernah berfikir hal ini akan terjadi sebelumnya.
"Gue gak rabun buat ngenalin seseorang ras. Dari mata, hidung dan alis mirip Sasa. Lagian gue masih inget wajahnya lewat foto yang Lo tunjukin dulu. Ingat."
"Untuk apa dia kesini," Gumam Laras menyelidik.
Apakah laki-laki itu menguntitnya selama ini. Tapi tidak mungkin. Dia tau bagaimana egoisnya laki-laki itu.
"Yang baru gue tau, ternyata dia sepupu jauh Sena."
"Bagaimana kalian bisa ketemu?"
Tuduhnya penuh selidik. Tidak mungkin Sonya berani berbuat sejauh ini.
"Jangan berfikir buruk dulu. Kita gak sengaja ketemu waktu acara keluarga kemarin. Kebetulan David datang mewakili keluarga Sena yang gak bisa hadir."
Ya Laras ingat. 2 hari sahabatnya itu izin karena acara tunangan yang pasti dari pihak laki-laki juga mengajak serta keluarganya.
Ia sedikit bersyukur karena tidak bisa hadir sebab ada urusan pribadi yang tidak bisa di tinggalkan.
"Gue gak berharap apapun lagi nte."
"Hidup gue udah bahagia dengan Sasa," lanjutnya lagi.
Sungguh hal yang selama ini ia hindari adalah bertemu laki-laki brengsek itu. Rasa sakit itu masih membekas di hatinya. Tidak mudah untuk memaafkan sesuatu yang menyakitkan. Dan waktu 4 tahun tidak mampu menghapus semuanya.
"Gue gak nyuruh kalian bersama. Cuma, apa lo gak mikirin anak lo."
"Sasa selama ini baik-baik aja hidup berdua sama gue. Jadi gak ada alasan apapun yang perlu gue khawatirkan."
"Gimana jika suatu saat nanti David menemukan keberadaan kalian," tanya Sonya lagi. Dia hanya berusaha berfikir rasional.
"Kalaupun selama ini dia cari gue bukannya dia menemukan gue dari lama. Dia bukan dari keluarga sembarangan nte, apapun bisa dia lakukan kalau itu memang keinginan dia."
"Bukannya lo juga memiliki kemungkinan terburuk."
Sonya menghembuskan nafas sejenak saat Laras hanya terdiam. Berbicara masalah ini memang tidak pernah ada ujungnya.
"Dengerin gue. Bagaimanapun kalian pernah bersama. Gak mungkin David dengan mudahnya lupain lo apalagi dulu kalian putus karena Lo hamil kan."
"Ini memang gak mudah ras, tapi ingat. Apapun bisa terjadi. Dan kita gak akan tau apa yang akan lo temui nantinya," sambung Sonya lagi.
Terkadang berbicara dengan Laras memang memerlukan penjabaran yang panjang. Sahabatnya itu hanya terlalu takut untuk memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di masa depan.
Masalah lain adalah, Sasa. Bocah itu akan tumbuh semakin besar. Di usia yang semakin bertambah pula suatu saat nanti anak itu pasti mencari keberadaan ayah kandungnya. Akan menjadi Boomerang jika Laras tidak memikirkan itu dari sekarang.
*****
Sepulang dari mall Laras mendudukan dirinya di sofa setelah menidurkan anaknya di kamar.
Pembicaraan dengan Sonya tadi benar-benar menganggu fikirannya. Kenapa ia tidak berfikir sampai ke sana.
Sonya benar, kemungkinan apapun itu bisa saja terjadi. Dan jika ketakutan yang membayanginya selama ini benar-benar terjadi Laras tidak tau harus berbuat apa.
David memang tidak menginginkan anak mereka. Ia tahu karena menghamili wanita di luar nikah memang perbuatan yang memalukan, apalagi mantan pacarnya itu bukan berasal dari keluarga sembarangan. Sudah pasti laki-laki itu menginginkan lenyapnya janin mereka.
Hal lain yang paling ia takutkan adalah jika suatu saat nanti Sasa bertemu dengan papanya. Ia hanya takut laki-laki itu berubah fikiran dan merebut anaknya seperti cerita-cerita di novel yang pernah ia baca.
Nggak, itu semua gak boleh terjadi. Laras bisa gila jika David benar-benar melakukan hal itu.
Sekian tahun ia berusaha melupakan semua hal yang menyangkut laki-laki itu, tapi kenapa sampai sekarang nama itu enggan enyah dari fikirannya.
Bukan karena rasa cinta. Tapi benci karena perbuatan David dulu. Terkadang Laras mengutuk dirinya di masa lalu. Kenapa dia tidak bisa menjaga diri. Kenapa semua ini harus terjadi padanya. Laras tidak menyesali hadirnya Sasa, dia hanya merasa hina dan bodoh.
****
"Lho mas kamu gak kerja?"
Diana bertanya saat melihat anaknya menuruni tangga dengan celana training dan sepatu olahraga.
"Ini hari libur ma. David keluar dulu ya."
Setelah mencium punggung tangan sang mama. David segera keluar rumah untuk lari-lari kecil memutari komplek.
Sudah menjadi jadwal rutinnya melakukan olahraga ringan jika weekend seperti sekarang ini.
Dulu sewaktu ia masih tinggal di Semarang untuk kuliah dan mengelola perusahaan di sana, David sering menghabiskan akhir pekan dengan lari-lari pagi bersama Laras. Setelah merasa capek mereka baru akan berhenti dan memakan bubur ayam di tempat langganan mereka berdua.
David ingat bagaimana Laras begitu lahap memakan makanan itu tanpa merasa canggung ataupun malu. Tingkah perempuan itu benar-benar murni tanpa di buat-buat.
Mengingat semua itu membuat dirinya merasa bersalah sekaligus menyesal. Karena jujur saja ia masih mencintai Laras sampai sekarang walaupun ada Riana disisinya. Perempuan itu tidak tergantikan oleh siapapun.
Tak mudah melupakan perempuan polos dan lugu seperti Laras. Karena Laras lah ia berhenti bermain perempuan.
Ya, sejak SMA dia memang di kenal dengan julukan play boy. Bergonta-ganti pacar dan nongkrong adalah makanan sehari-harinya. Hal itulah yang mungkin membuat papanya tidak terlalu menyukainya.
Namun kelakuan buruknya itu berubah saat ia mengenal Laras, perempuan apa adanya dengan kecantikan alami.
Laras benar-benar mampu mengubah hidupnya. Nasehat serta omelan perempuan itu berhasil mengubah hatinya untuk mau memperbaiki diri. Walaupun sulit nyatanya semua itu bisa dilakukan dengan konsisten.
Namun sekarang semuanya berubah, karena perbuatan bodohnya dimasa lalu ia harus kehilangan Laras. Sampai sekarang pun dia tidak tau dimana keberadaan perempuan itu karena memang tidak ingin untuk mencari tahu.
David belum berani menunjukkan dirinya mengingat bagaimana ia dulu dengan kejamnya menyuruh Laras melenyapkan anak mereka.
Terkadang David berfikir apakah Laras benar-benar menuruti ucapannya ataukah perempuan itu tetep mempertahankan kehamilannya.
Sejujurnya David berharap Laras tetap mempertahankan anak mereka, katakanlah dia bejat dan brengsek. Karena dulu dia memang belum siap memiliki anak di usia muda.
David tiba saat rumah dalam keadaan Sepi, hanya ada adiknya Bima yang sedang duduk anteng menyantap sepiring nasi goreng tanpa menyadari kehadirannya."Mama papa kemana?"Tanyanya setelah berhasil meneguk sebotol air dingin dari kulkas. Pandangannya mengarah pada sang adik yang tengah mengunyah sarapannya."Ke Bogor, kondangan," jawab Bima cuek dan kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya."Bang?"David yang sudah berdiri, mengurungkan niatnya dan kembali duduk menghadap Bima yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti."Kenapa?" tanyanya setelah beberapa menit adiknya hanya menatap David tanpa mengatakan sepatah katapun."Gak jadi. Sana kalau mau pergi."Usir Bima dan kembali memakan nasi gorengnya yang tinggal setengah.Memilih abai David segera bangkit menuju lantai atas. Ia akan mandi dan bersiap pergi menemui seseorang.Weekend seperti ini biasanya David hanya m
David menghempaskan tubuhnya di ranjang king size miliknya. Pembicaraan dengan Yuda tadi benar-benar menguras emosinya.Dia tidak pernah menyangka Yuda masih mengingat semuanya sejak bertahun-tahun mereka selalu menghindari topik pembahasan ini.Bagaimanapun sahabatnya itu tau bahwa di awal-awal kepergian Laras, David sempat di rawat di rumah sakit karena stress dan kurang istirahat.Pada masa itu memang adalah masa terpuruk bagi David, dia tidak mengelak bahwa Laras adalah sumber kekuatannya. Wanita itu mampu membuat dirinya menjadi lebih percaya diri dan tetap optimis.Laras jugalah wanita yang mengetahui segala kurangnya namun memilih untuk tetap bertahan di sisinya. Sering kali dia berfikir, kenapa dulu dia bisa bertindak bodoh hingga berakibat seperti sekarang ini.Mengutuk diri sendiripun tidak akan mengubah apapun. David kehilangan jejak wanita itu, dan ia belum cukup keberanian untuk mencari keberadaan Laras."Bang."Ketukan p
Pagi ini rumah tampak ribut saat Sasa sulit sekali untuk di bangunkan. Memang anak kecil itu terkadang susah untuk membuka mata tapi tidak separah pagi ini.Laras sudah melakukan segala cara agar anaknya itu tidak rewel dan menangis saat di mandikan. Namun bukannya berhenti Sasa malah menjerit membuat Laras harus mengusap dada pelan melihat tingkah sang anak yang semakin manja."Kakak udah besar lho, masak mandi harus nangis dulu sih.""Mau mama tinggal di rumah aja sendiri? Iya?"Bukan, dia tidak berniat mengancam namun Laras sudah benar-benar kehabisan cara untuk menenangkan putrinya. Dia sendiri juga tidak tau sebab anaknya rewel begini sejak bangun tidur tadi."Sini mama pakein baju."Laras menarik lembut tangan mungil anaknya, wajah Sasa masih saja cemberut dengan lelehan air mata yang membuat ibu muda itu merasa iba."Nanti jajan ice cream kalau Sasa anteng. Nurut sama mama. Oke?"Sasa masih
"Diminum om." "Makasih Ras, harusnya gak usah repot-repot." Ryan meneguk teh hangat yang baru saja di hidangkan Laras. Udara yang dingin memang paling cocok dengan minuman hangat selepas hujan sore tadi. "Gimana kerjaannya?" Laras memulai pembicaraan setelah beberapa menit mereka terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. "Lancar. Tapi capek juga," Jawab Ryan dengan kekehan ringan di akhir kalimat. "Yang penting perusahaan laba banyak kan om?" goda Laras. "Tapi gak kuat kalau harus pisah lama sama kalian." "Lebay ih." "Fakta lho Ras. Kalau kamu mau, pengen banget ajak kalian buat ikut kemanapun aku pergi." "Buat di jadiin asisten pribadi." tebak Laras namun di balas tawa oleh Ryan. Kenapa perempuan di sampingnya ini selalu berfikir negatif. "Yakin mau?" Goda Rian lagi. "Sana pulang. Malem-malem begini gak enak diliatin tetangga." Bukannya menjawab Laras malah me
Siang ini cuaca cukup terik, Ryan mengemudi dengan kecepatan sedang mengingat jalanan juga lengang selepas jam makan siang.Di dalam mobil hanya celotehan Sasa yang menemani perjalanan mereka, bocah dengan rambut di kuncir dua itu tak berhenti mengomentari apapun yang di lihatnya.Setelah tadi tidur cukup lama Sasa tidak akan rewel karena jam tidur siangnya terganggu."Ma, nanti mam es kim lagi."Menghembuskan nafas pelan Laras melirik anaknya yang kini sibuk dengan ponsel di tangan tengah menonton mukbang.Pantas saja bocah kecil itu teringat ice cream."Boleh. Tapi satu ya. Gigi Sasa bolong semua kalau banyak-banyak."Mengangguk-angguk Sasa kembali fokus pada tontonannya, mungkin capek karena selama perjalanan berangkat bocah itu tak berhenti mengoceh."Sampai. Sini, Sasa ayah yang gendong."Ryan mengulurkan tangan dan mengendong Sasa keluar dari mobil. Dengan Laras mereka beriringan memasuki rumah megah ya
"Gue gak nyangka, ternyata jodoh emang gak ada yang tau."David menyeringai menatap sepupunya yang sedari tadi menunduk dalam. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan.Wajah kusut adalah penampilan yang ia lihat akhir-akhir ini. Padahal selangkah lagi sepupunya itu akan menikah dengan perempuan yang di cintai.Namun bukannya bahagia malah wajah kurang gairah yang sering di tampilkan."Dari banyaknya cewek di sekeliling Lo. Kenapa harus dia yang Lo pilih. Cewek petakilan bermulut pedas.""Seperti yang Lo bilang tadi. Jodoh gak ada yang tau.""Tapi Lo bisa milih yang lain.""Gue cinta sama dia vid. Itu kenapa gue pilih dia.""Alasan klasik."Sena memilih tak peduli. Enggan menangapi lebih jauh. Sonya dan David sama-sama memiliki sifat keras dan menjengkelkan. Dan ia tak akan menghabiskan waktu untuk berdebat dengan keduanya.
Menikah dengan David Ardinata Wiryawan, menikah saat usia 25 tahun dan memiliki sepasang anak kembar.Dulu mimpi itu terasa mudah untuk di raih, dulu harapan itu akan segera terealisasikan andai saja kesalahan tidak kami lakukan.Semua hancur karena kecerobohan kami, tidak ia bukan menyalahkan sasa yang hadir tanpa rencana. Ia menyalahkan dirinya sendiri dan David yang menghadirkan Sasa pada waktu yang tidak tepat. Menghadirkan Sasa pada situasi yang sulit.David memilih tidak bertanggung jawab bahkan ayah dari anaknya itu meminta laras untuk melenyapkan darah daging mereka sendiri.Adakah yang lebih kejam dari itu? Adakah perlakuan menyakitkan yang melebihi itu?Bahkan janin yang belum berbentuk sempurna itu sudah di rencanakan untuk di rengut paksa hidupnya oleh ayahnya sendiri.Andai laras menyetujui mungkin saat ini hanya penyesalan yang akan selalu menghantui hari perempuan itu.Angin malam menerbangkan rambut Laras yan
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi Sena namun tidak untuk Sonya. Laki-laki itu tersenyum lega sesaat setelah mengucap qobul dengan sekali tarikan nafas.Jantungnya berdetak kencang dengan pandangan mengarah pada tirai sebelah kanan tempat dimana sang mempelai wanita berjalan menemuinya.Sonya tengah berjalan di apit Laras di sebelah kanan dan keponakannya Listi yang merangkul tangan Sonya di sebelah kiri. Ketiganya tersenyum saat melewati para tamu undangan.Tiba di depan Sena, Sonya meraih tangan laki-laki yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Mencium takzim dengan mata terpejam rapat."Assalamualaikum istri."Bisikan halus Sena membuat Sonya melepas kecupannya dan kembali tertegun saat bibir Sena mencium lembut keningnya.Mata Sena memancarkan kebahagiaan, kedua bola mata laki-laki itu berbinar cerah berbeda dengan Sonya yang kini bersumpah serapah dalam hati mengutuk diri sendiri yang tadi sempat terlena dengan perlakuan l
"Kenapa senyum-senyum sendiri pa."Suara Laras yang menginterupsi membuat David panik, buru-buru laki-laki itu menyembunyikan buku diary yang sedang dipegangnya."O--ohh, itu ma ..," jawab David terbata, binggung hendak menjawab apa."Itu apa?."Laras yang curiga mengernyitkan kening samar, mata perempuan itu awas melihat tangan suaminya yang disembunyikan dibelakang tubuh. Cepat Laras mengintip. Perempuan itu memanyunkan bibir saat tahu apa yang sedang suaminya pegang saat ini."Ihh, kok dipegang sih? Pasti mas senyum-senyum karena baca diary ku ya. Kenapa gak izin dulu, itu namanya mencuri," omel Laras kesal.David yang ketahuan dan merasa bersalah hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Jujur saja ia merasa tak enak pada sang istri."Mas penasaran sayang. Tadi nemu di bawah tumpukan baju pas tadi mau cari baju," Jawab David tak berbohong."Tapi kenapa dibaca, mas tau kan aku malu," ujar Laras dengan menunduk."Kenap
Flash BackSejenak Laras terdiam kaku tanpa sanggup melakukan apapun. Perempuan itu mendudukkan diri di kursi kerja dengan tubuh yang tiba-tiba melemas dan kedua tangan menutup wajah sepenuhnya.Laras tak mampu berfikir, otaknya tiba-tiba kosong bahkan hanya air mata yang mengalir tanpa suara."Ras, ada apa?"Sonya yang baru tiba mendekati sabahabatnya dengan gusar, melihat Laras yang tadi baik-baik saja dan sekarang menangis membuat Sonya khawatir. Sonya kembali karena menyadari ponselnya yang tertinggal. Namun perempuan hamil itu dibuat shock melihat keadaan Laras. Bahu Laras bergetar dengan tangan yang bertumpu pada meja."Ayo," ujar Sonya sembari menuntun sahabatnya untuk duduk di sofa ruang kerja mereka.Perempuan yang tengah hamil itu memeluk tubuh Laras disertai usapan lembut, Sonya tak akan bertanya lagi sebelum Laras benar-benar bisa menguasai diri. Setelah tenang Laras menceritakan semuanya pada Sonya, bahkan perempuan itu juga berte
Hari ini Avin menginjak usia Empat bulan. Balita itu semakin aktif dengan pipi yang semakin montok. Kulitnya yang putih bersih menurun dari papanya, hanya bibir yang menjiplak sempurna milik Laras. Avin tertawa girang saat sang papa menciumi pipi balita itu bergantian. Laras yang memperhatikan turut tertawa melihat putranya segirang ini. Bahagia tampak menghiasi raut perempuan itu. "Teh, Minum dulu sini." Laras melambaikan tangan memanggil Yaya yang berlarian kesana kemari. Bocah itu tampak bahagia berada di taman luas seperti ini. Tentu saja karena Yaya menyukai alam bebas. "Mama, capek. Mau teh aja, yang kemalin Yaya beli sama kakak," pinta bocah itu sembari mengusap keringat yang menuruni pelipis. Laras yang gemas menarik putrinya mendekat dan mengelap keringat itu dengan tissue yang tadi sengaja dibawa dari rumah. "Gimana? Seger?" tanya Laras menatap putrinya geli. Pasalnya bocah itu minum dengan tergesa membuat Laras yang mengamati sejak tadi merasakan takut putrinya akan t
Setelah berziarah ke makan Deon, David beserta anak-anaknya mampir di salah satu restoran seafood yang cukup terkenal di kota mereka yang juga menjadi langganan mereka.Yaya sudah duduk dengan anteng. Tangan bocah itu sibuk menggeser-geser layar handphone sang papa dengan tekun. "Yaya makan dulu nak, hp nya ditaruh dulu." David mengangsurkan sepiring udang goreng crispy kesukaan putrinya. "Halum pa, kayak masakan mama," ujar bocah itu girang. David mengacak surai putrinya gemas. Kedua anaknya memang pecinta seafood, walaupun sebenarnya tak terlalu baik untuk dikonsumsi sering-sering. Namun Laras sendiri membatasi, hanya sebulan 2-3 kali memasakkan makanan kesukaan putrinya itu. "Nanti langsung pulang ya pa? Tanya Sasa yang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu. Remaja itu menatap papanya penasaran, menanti jawaban. "Iya, pesenan mama kan udah dibeli tadi. Kenapa emang kak?" "Emm, kakak boleh nggak nanti diturunin di rumah Zia aja," tanya Sasa dengan tersenyum tipis. Takut p
Minggu pagi ini kediaman David ramai karena berkumpulnya banyak keluarga yang menjenguk bayi mereka. Ada Sonya beserta anak dan suaminya, Ryan juga turut hadir namun tunangannya tidak ikut karena ada jadwal praktek pagi di rumah sakit, orang tua David juga menginap disini beserta adiknya, Bima. Suasana rumah tampak lebih berisik karena suara anak-anak yang memenuhi ruang tengah. Tak lupa bapak-bapak juga sibuk bermain catur di taman belakang. "Yaampun Ras, hidungnya kayak tower tinggi banget." Celetukan Sonya tak urung membuat semua wanita yang berada di kamar Laras tertawa. Sonya memang selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana. Sonya yang sekarang tentu saja berbeda dengan Sonya yang dulu. Berkat menikah dengan Sena, sahabat Laras itu lebih asyik untuk diajak bercerita. Apalagi semenjak memiliki anak, aura keibuan perempuan itu terpancar semakin kuat. "Iya mbak, kayak bapaknya. Ganteng pula." Lisa, mama Leo yang turut memperhatikan juga ikut memberikan komentar. Tetangga
David berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tadi laki-laki itu mendapat telfon dari sang mama bahwa istrinya akan segera melahirkan dan sudah berada di rumah sakit. Setelah memberitahukan pada sekretarisnya, David segera meluncur ke rumah sakit yang tadi mamanya beritahukan.Tiba di ruang bersalin lali-laki itu mengatur nafas yang memburu. Disana sudah ada Bima yang tengah duduk santai bermain ponsel. Segera saja David menghampiri adiknya."Mbak Laras di dalem sama mama, sana masuk, udah bukaan banyak tadi gue denger."Belum sempat David bertanya, Bima lebih dulu menjawab pertanyaan yang ada dalam fikiran abangnya. Segera saja laki-laki itu memasuki ruangan dan menemukan istrinya yang sudah terbaring diatas brankar dan meringis menahan sakit."Sayang, maaf mas telat," ucap David setelah tiba di samping istrinya, tangan laki-laki itu mengelus pinggang Laras mengantikan sang mama yang tadi melakukannya.Laras tak mengatakan apapun, perempuan itu meme
David tengah duduk sendirian di kursi ruang kerja laki-laki itu. Jendela ruangan dibiarkan terbuka lebar, menghadirkan udara sejuk karena malam hingga subuh tadi hujan cukup deras menguyur kota Bogor.Pandangan laki-laki itu menerawang jauh, mengingat beberapa tahun silam saat mengalami kecelakaan. Ia mengalami koma selama beberapa Minggu dan harus dirawat di rumah sakit. David tidak mengingat apapun, setelah bangun laki-laki itu juga linglung dan menatap sekitar dengan pandangan kosong.Setiap hari tidak ada yang dilakukannya selain berdiam diri diatas brankar dan tidur.Setelah dua bulan lebih dirawat, akhirnya ia diizinkan pulang.Semuanya berjalan baik, ingatan laki-laki itu juga berangsur pulih. Salah satu yang David ingat setelah bangun dari koma adalah laki-laki itu selalu melihat perempuan cantik yang setia merawat dirinya selama dirumah sakit."Mas?"Lamunan laki-laki itu buyar saat tangan Laras melambai di depan matanya.Dav
Pagi ini rumah David ramai dengan keluarga yang berkumpul. Laki-laki itu tersenyum melihat Yaya yang lengket pada neneknya, tak ketinggalan juga Zia dan Sasa yang juga membututi kemanapun Bima pergi."Kamu kenapa mas?"Wira bertanya pada putranya yang berdiri tanpa ikut bergabung dengan yang lainnya. Laki-laki tua itu sedikit heran, pasalnya sang putra hanya senyum-senyum sendiri dengan pandangan ke depan, mengamati yang lain tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing."Gak apa-apa pa. Cuma lagi bahagia aja," jawab David tanpa menoleh pada sang ayah."Kamu selalu jawab begitu setiap kali papa tanya."Wira mencibir yang dibalas kekehan ringan sang putra. Jangan heran bagaimana David dan sang papa, Wira bisa seakrab sekarang. Waktu telah mengubah semuanya. Mereka sama-sama intropeksi diri dan saling menerima, dan beginilah hubungan mereka sekarang."Papa gak ikut gabung?" tanya David."Nanti malam saja. Papa mau istirahat dulu. Capek ju
"papa!"Yaya memekik antusias. Bocah tiga tahun itu berlari dan memeluk kedua kaki sang ayah erat yang belum sempat menjaga keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika saja tangan laki-laki itu tak memang kusen pintu untuk menahan bobot tubuh mereka."Uhhh, papa kaget nak. Kalau jatuh bagaimana?"Ucap sang papa dengan tangan mengelus dada. Walaupun putrinya sering begini, tapi tetap saja membuat kaget."Kangen pa. Kenapa pelginya lama?"Yaya memberikan protes. Bibir bocah itu mengerucut ke depan membuat sang papa gemas dan berkahir mencium pipi sang putri berkali-kali."Mas, kapan sampe?"Laras yang baru keluar dari kamar segera menghampiri sepasang ayah dan anak itu, perempuan hamil besar itu mengambil tangan suaminya untuk dicium."Baru aja. Sasa kemana ma?" tanya laki-laki itu."Kok mama gak denger suara mobil papa ya."Bukannya menjawab Laras malah balik bertanya. Perempuan itu sepertinya baru bangun ti