Pagi ini Laras dan Sasa sudah berada di kedai, pengunjung tidak sebanyak biasanya karena rintik hujan yang turun sejak subuh tadi.
Mendudukkan anaknya di karpet yang di penuhi mainan Laras langsung berkutat dengan beberapa lembar kertas di meja kerjanya. Pembukaan cabang baru masih dalam proses penyelesaian membuat pekerjaannya cukup padat di tambah hari ini adalah akhir bulan membuat ia di sibukkan dengan pembukuan.
"Gila, gue beneran bisa gila" Sonya mendudukan pantatnya di sofa setelah masuk ruangan tanpa mengetuk pintu dulu membuat Laras keheranan. Pasalnya sahabatnya itu sudah bilang tidak bisa masuk kerja hari ini. Tapi pagi ini Sonya sudah sampai di toko dengan wajah nelangsa.
"Lo kenapa dateng-dateng meracau gak jelas?" tanya Laras.
"Gue pusing ras, bunda berulah lagi."
Sonya menjawab dengan kedua bahu merosot, dia benar-benar pusing. Kepulangannya kemarin adalah kesalahan.
"Ada apa lagi?"
Laras memilih bangkit dari kursi kerjanya dan menyusul Sonya duduk di sofa. Ia merasa kasihan melihat raut wajah sahabatnya ini yang terlihat sedang tidak baik-baik saja.
"Gue di jodohin. Dan Lo tau siapa laki-laki itu?" Tanya sonya menjeda kalimatnya sebentar.
"Senaa, mantan gue," sambungnya lagi dengan nada pasrah.
"Ya bagus dong. Gue tau Lo belum bisa move on dari dia."
"Gue gak mau seatap sama pengkhianat," balas Sonya dengan penekanan di akhir kalimat.
Ia benar-benar muak dengan bundanya, bisa-bisanya ia dijodohkan dengan Sena yang saat ini sangat ia benci. Padahal bundanya juga tau bagaimana sifat asli laki-laki itu.
Mantannya itu memang tidak memiliki kecacatan apapun, otak cemerlang, karir mapan, berasal dari keluarga baik-baik dan tentu saja wajah rupawan. Namun satu yang tidak di miliki. "Kesetiaan"
Laras menghembuskan nafas pelan. Berbicara dengan Sonya memang memerlukan kesabaran. Sahabatnya ini adalah salah satu orang terkeras kepala sekaligus tersadis yang ia kenal. Namun biarpun begitu persahabatan mereka sudah terjalin cukup lama. Ia terkadang heran dengan dirinya sendiri bagaimana bisa ia bertemu dan berteman dengan orang model Sonya begini. Sifatnya sungguh berbanding terbalik dengan dirinya.
"Denger gue nte. Semua itu masa lalu, lagian dulu lo sendiri yang gak mau denger penjelasan dari dia kan. Gue kenal lo dengan baik, kalau pakai nasehat gue, lebih baik jangan gegabah dulu nolak perjodohan ini. Toh gak ada salahnya kasih kesempatan kedua," nasihat Laras bijak.
"Ngomong enak, lo gak ngerasain di posisi gue ras," balas Sonya sengit. Dia kesini untuk menenangkan fikiran dan batinnya sendiri. Tapi bukannya mendapat yang di inginkan malah ia merasa di pojokan begini.
Laras menghembuskan nafas pelan, tangannya mengusap dada meminta dirinya untuk bersabar. "Bicarakan baik-baik sama tante dulu. Lo juga udah cukup tua untuk menikah," ucap Laras dengan kekehan diakhir kalimat.
"Sialan," umpat Sonya pelan.
*****
David tiba di rumah orang tuanya saat malam menjelang. Tidak biasanya ia pulang karena sedari SMA ia memilih tinggal sendiri di apartemen miliknya.
Bukan apa-apa hanya saja ia tidak terlalu suka di atur sekalipun itu orang tuanya sendiri. David lebih suka mandiri dan hidup sesuai keinginannya.
Segera saja ia naik ke lantai atas menuju kamarnya. Membersihkan tubuh terlebih dahulu sebelum turun ke lantai bawah untuk makan malam bersama.
Rumah ini terasa semakin sepi karena adiknya juga melanjutkan kuliah ke luar kota. David dua bersaudara dan dia adalah anak pertama.
Tak heran ia selalu menjadi harapan orang tuanya. Bukan berarti adiknya tidak demikian, tetapi beban yang di pikul David lebih besar dari pada sang adik. Ia memiliki kewajiban untuk memegang perusahaan keluarga kelak. Maka dari itu sedari dulu ia sudah di haruskan belajar tentang bisinis dari papanya.
Papanya adalah tipe orang tua yang tegas dan galak. Itulah salah satu alasan kenapa ia enggan pulang ke rumah. David tidak suka di atur dan di kekang.
"Lhoh, mama kira kamu lupa masih punya orang tua."
Sindiran mamanya membuat David jengah. Terkadang ia binggung sendiri harus bagaimana menghadapi sikap sang mama. Padahal baru dua hari kemarin mereka bertemu.
Mamanya pun juga sering menerornya dengan telefon. Sungguh bukan apa-apa hanya saja terkadang ia jengah juga karena, oh ayolah dia bukan anak kecil lagi.
David memilih merangkul bahu mama nya dan berjalan menuju meja makan yang sudah ada papanya tengah duduk manis di sana.
Makanan kesukaannya pun sudah terhidang memenuhi meja makan. Tadi sore ia mengabari sang mama akan pulang ke rumah, alhasil seperti yang saat ini ia lihat. Mamanya menyambut dengan berbagai makanan lezat kesukaannya.
"Duduk mas, mama gak akan buat kamu kesel lagi."
David menurut dan mulai menyuapkan sesendok nasi beserta lauknya yang baru saja dinambilkan sang mama.
Suasana meja makan hening karena memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga mereka, tak ada pembicaraan saat makan tengah berlangsung. Orang tuanya memang tegas menerapkan unggah unguh dan kesopanan, mengingat ke dua orang tuanya sama-sama berasal dari solo yang masih kental dengan budaya Jawanya.
Meneguk segelas air putih David berniat segera bangkit berdiri, namun urung saat mendengar pertanyaan sang papa.
"Bagaimana kabar perusahaan mas?"
Hal itulah yang pertama papa nya tanyakan. Mereka memang jarang sekali berkomunikasi. Sejak kecil David memang tidak terlalu dekat dengan papanya.
Kebalikan dengan adiknya yang bisa begitu akrab bercengkrama dengan papa mereka. Berbeda dengannya yang memilih diam jika tidak di ajak berbicara terlebih dahulu.
"Lancar pa, kerja sama dengan perusahaan om Adam juga berjalan dengan baik."
"Syukur kalau begitu. Sebetulnya papa ingin membicarakan sesuatu padamu. Tapi papa fikir sekarang bukan waktu yang tepat."
"Papa bisa bicarakan sekarang, aku tidak akan lembur malam ini."
"Kita bicara di ruangan papa," pinta Wira.
David segera bangkit berdiri meninggalkan papanya yang saat ini tengah berdebat kecil dengan sang mama.
Mamanya itu memang wanita dengan tingkat kekepoan tertinggi menurutnya. Lihat saja sekarang sang ayah harus membujuk mamanya terlebih dahulu agar mereka bisa berbicara berdua saja .
Ia yakin ada hal penting yang ingin papanya sampaikan, mengingat mamanya saja tidak boleh tau apa yang akan mereka bicarakan.
Ia juga sedikit heran namun mencoba bersikap biasa saja. Toh ia tidak melakukan dosa besar. Ia menjalankan perusahan dengan baik dan juga tidak berbuat kesalahan yang patut di takutkan.
"Jawab jujur pertanyaan papa nanti."
David membalikkan tubuhnya dmelihat pemandangan malam di jendela ruang kerja papanya yang masih terbuka.
Segera saja ia melangkah menuju sofa dan mendudukan dirinya di sana berhadapan dengan sang papa.
"Apa benar kamu pernah memiliki kekasih yang namanya Laras sewaktu kuliah dulu?"
David tertegun sejenak namun mampu menguasai dirinya dan kembali bersikap biasa. Sekarang bukan waktunya untuk menanyakan dari mana papanya tau tentang hal ini.
"Hanya jawab benar atau tidak, papa tidak ingin ada kebohongan di sini."
David menatap mata papanya yang memancarkan ketegasan. Ia tak mungkin bisa berbohong di situasi seperti ini. Menarik nafas panjang merilekskan diri terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Benar pa, Laras adik tingkatku semasa kuliah dulu."
"Sekarang sudah putus?" tanya Wira.
Seakan belum puas papanya kembali mengajukan pertanyaan yang menurutnya bukan sesuatu hal yang penting. Apakah papanya sedang mencurigai sesuatu?
"Sudah, sejak aku lulus dulu. Kami tidak komunikasi sampai sekarang," jawab David.
"Ada apa? Tumben papa menanyakan hal seperti ini," sambung David lagi.
"Bukan sesuatu yang penting, papa menemukan foto dengan tulisan nama di belakangnya, di map yang kemarin asisten kamu kirimkan ke papa."
"Papa kira dia kekasih kamu, mengingat gimana mama kamu dan banyak orang luar mencurigai kamu penyuka sesama jenis."
"Ternyata bukan, awalnya papa ingin kalian segera menikah untuk mematahkan rumor itu."
David menghembuskan nafas dalam, sampai saat ini pun ia merasa terganggu dengan rumor yang beredar. Bahkan mamanya mempercayai bahwa ia memang seperti itu.
"David masih waras untuk tidak melakukan itu pa."
"Papa percaya."
Papanya menepuk bahunya lembut sebelum meninggalkannya yang tengah merenung.
Apakah ia kenalkan saja orang tuanya pada Riana. Jujur saja ia mulai jengah dengan tuduhan orang-orang padanya. Memuakkan.
Mall adalah tempat yang mereka pilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Laras mengandeng Sasa memasuki salah satu toko mainan bus tayo yang sejak masuk tadi ditunjuk-tunjuk sang anak. Sasa memang berbeda dengan bocah perempuan sebayanya lainnya. Jika anak perempuan lain bermain dengan boneka maka berbeda dengan Sasa yang lebih suka dengan mainan anak laki-laki. Seperti mainan yang baru saja mereka beli.Laras sendiri terkadang binggung, apakah dulu ia salah saat mengidam. Ataukah memang selera anaknya yang aneh."Ituu ma, yang biru," minta Sasa.Bocah kecil itu menunjuk tayo berwarna biru yang bertengger manis di etalase. Kakinya menghentak-hentak dengan bibir yang tidak berhenti merengek."Mbak tolong yang biru ini ya."Setelah membayar Laras mengendong anaknya yang tengah memeluk boneka tayo besar keluar dari toko tersebut.Dia akan ke restoran Jepang setelah tadi pagi Sonya menghubunginya dan membuat janji di sana."Udah lama?
David tiba saat rumah dalam keadaan Sepi, hanya ada adiknya Bima yang sedang duduk anteng menyantap sepiring nasi goreng tanpa menyadari kehadirannya."Mama papa kemana?"Tanyanya setelah berhasil meneguk sebotol air dingin dari kulkas. Pandangannya mengarah pada sang adik yang tengah mengunyah sarapannya."Ke Bogor, kondangan," jawab Bima cuek dan kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya."Bang?"David yang sudah berdiri, mengurungkan niatnya dan kembali duduk menghadap Bima yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti."Kenapa?" tanyanya setelah beberapa menit adiknya hanya menatap David tanpa mengatakan sepatah katapun."Gak jadi. Sana kalau mau pergi."Usir Bima dan kembali memakan nasi gorengnya yang tinggal setengah.Memilih abai David segera bangkit menuju lantai atas. Ia akan mandi dan bersiap pergi menemui seseorang.Weekend seperti ini biasanya David hanya m
David menghempaskan tubuhnya di ranjang king size miliknya. Pembicaraan dengan Yuda tadi benar-benar menguras emosinya.Dia tidak pernah menyangka Yuda masih mengingat semuanya sejak bertahun-tahun mereka selalu menghindari topik pembahasan ini.Bagaimanapun sahabatnya itu tau bahwa di awal-awal kepergian Laras, David sempat di rawat di rumah sakit karena stress dan kurang istirahat.Pada masa itu memang adalah masa terpuruk bagi David, dia tidak mengelak bahwa Laras adalah sumber kekuatannya. Wanita itu mampu membuat dirinya menjadi lebih percaya diri dan tetap optimis.Laras jugalah wanita yang mengetahui segala kurangnya namun memilih untuk tetap bertahan di sisinya. Sering kali dia berfikir, kenapa dulu dia bisa bertindak bodoh hingga berakibat seperti sekarang ini.Mengutuk diri sendiripun tidak akan mengubah apapun. David kehilangan jejak wanita itu, dan ia belum cukup keberanian untuk mencari keberadaan Laras."Bang."Ketukan p
Pagi ini rumah tampak ribut saat Sasa sulit sekali untuk di bangunkan. Memang anak kecil itu terkadang susah untuk membuka mata tapi tidak separah pagi ini.Laras sudah melakukan segala cara agar anaknya itu tidak rewel dan menangis saat di mandikan. Namun bukannya berhenti Sasa malah menjerit membuat Laras harus mengusap dada pelan melihat tingkah sang anak yang semakin manja."Kakak udah besar lho, masak mandi harus nangis dulu sih.""Mau mama tinggal di rumah aja sendiri? Iya?"Bukan, dia tidak berniat mengancam namun Laras sudah benar-benar kehabisan cara untuk menenangkan putrinya. Dia sendiri juga tidak tau sebab anaknya rewel begini sejak bangun tidur tadi."Sini mama pakein baju."Laras menarik lembut tangan mungil anaknya, wajah Sasa masih saja cemberut dengan lelehan air mata yang membuat ibu muda itu merasa iba."Nanti jajan ice cream kalau Sasa anteng. Nurut sama mama. Oke?"Sasa masih
"Diminum om." "Makasih Ras, harusnya gak usah repot-repot." Ryan meneguk teh hangat yang baru saja di hidangkan Laras. Udara yang dingin memang paling cocok dengan minuman hangat selepas hujan sore tadi. "Gimana kerjaannya?" Laras memulai pembicaraan setelah beberapa menit mereka terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. "Lancar. Tapi capek juga," Jawab Ryan dengan kekehan ringan di akhir kalimat. "Yang penting perusahaan laba banyak kan om?" goda Laras. "Tapi gak kuat kalau harus pisah lama sama kalian." "Lebay ih." "Fakta lho Ras. Kalau kamu mau, pengen banget ajak kalian buat ikut kemanapun aku pergi." "Buat di jadiin asisten pribadi." tebak Laras namun di balas tawa oleh Ryan. Kenapa perempuan di sampingnya ini selalu berfikir negatif. "Yakin mau?" Goda Rian lagi. "Sana pulang. Malem-malem begini gak enak diliatin tetangga." Bukannya menjawab Laras malah me
Siang ini cuaca cukup terik, Ryan mengemudi dengan kecepatan sedang mengingat jalanan juga lengang selepas jam makan siang.Di dalam mobil hanya celotehan Sasa yang menemani perjalanan mereka, bocah dengan rambut di kuncir dua itu tak berhenti mengomentari apapun yang di lihatnya.Setelah tadi tidur cukup lama Sasa tidak akan rewel karena jam tidur siangnya terganggu."Ma, nanti mam es kim lagi."Menghembuskan nafas pelan Laras melirik anaknya yang kini sibuk dengan ponsel di tangan tengah menonton mukbang.Pantas saja bocah kecil itu teringat ice cream."Boleh. Tapi satu ya. Gigi Sasa bolong semua kalau banyak-banyak."Mengangguk-angguk Sasa kembali fokus pada tontonannya, mungkin capek karena selama perjalanan berangkat bocah itu tak berhenti mengoceh."Sampai. Sini, Sasa ayah yang gendong."Ryan mengulurkan tangan dan mengendong Sasa keluar dari mobil. Dengan Laras mereka beriringan memasuki rumah megah ya
"Gue gak nyangka, ternyata jodoh emang gak ada yang tau."David menyeringai menatap sepupunya yang sedari tadi menunduk dalam. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan.Wajah kusut adalah penampilan yang ia lihat akhir-akhir ini. Padahal selangkah lagi sepupunya itu akan menikah dengan perempuan yang di cintai.Namun bukannya bahagia malah wajah kurang gairah yang sering di tampilkan."Dari banyaknya cewek di sekeliling Lo. Kenapa harus dia yang Lo pilih. Cewek petakilan bermulut pedas.""Seperti yang Lo bilang tadi. Jodoh gak ada yang tau.""Tapi Lo bisa milih yang lain.""Gue cinta sama dia vid. Itu kenapa gue pilih dia.""Alasan klasik."Sena memilih tak peduli. Enggan menangapi lebih jauh. Sonya dan David sama-sama memiliki sifat keras dan menjengkelkan. Dan ia tak akan menghabiskan waktu untuk berdebat dengan keduanya.
Menikah dengan David Ardinata Wiryawan, menikah saat usia 25 tahun dan memiliki sepasang anak kembar.Dulu mimpi itu terasa mudah untuk di raih, dulu harapan itu akan segera terealisasikan andai saja kesalahan tidak kami lakukan.Semua hancur karena kecerobohan kami, tidak ia bukan menyalahkan sasa yang hadir tanpa rencana. Ia menyalahkan dirinya sendiri dan David yang menghadirkan Sasa pada waktu yang tidak tepat. Menghadirkan Sasa pada situasi yang sulit.David memilih tidak bertanggung jawab bahkan ayah dari anaknya itu meminta laras untuk melenyapkan darah daging mereka sendiri.Adakah yang lebih kejam dari itu? Adakah perlakuan menyakitkan yang melebihi itu?Bahkan janin yang belum berbentuk sempurna itu sudah di rencanakan untuk di rengut paksa hidupnya oleh ayahnya sendiri.Andai laras menyetujui mungkin saat ini hanya penyesalan yang akan selalu menghantui hari perempuan itu.Angin malam menerbangkan rambut Laras yan
"Kenapa senyum-senyum sendiri pa."Suara Laras yang menginterupsi membuat David panik, buru-buru laki-laki itu menyembunyikan buku diary yang sedang dipegangnya."O--ohh, itu ma ..," jawab David terbata, binggung hendak menjawab apa."Itu apa?."Laras yang curiga mengernyitkan kening samar, mata perempuan itu awas melihat tangan suaminya yang disembunyikan dibelakang tubuh. Cepat Laras mengintip. Perempuan itu memanyunkan bibir saat tahu apa yang sedang suaminya pegang saat ini."Ihh, kok dipegang sih? Pasti mas senyum-senyum karena baca diary ku ya. Kenapa gak izin dulu, itu namanya mencuri," omel Laras kesal.David yang ketahuan dan merasa bersalah hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Jujur saja ia merasa tak enak pada sang istri."Mas penasaran sayang. Tadi nemu di bawah tumpukan baju pas tadi mau cari baju," Jawab David tak berbohong."Tapi kenapa dibaca, mas tau kan aku malu," ujar Laras dengan menunduk."Kenap
Flash BackSejenak Laras terdiam kaku tanpa sanggup melakukan apapun. Perempuan itu mendudukkan diri di kursi kerja dengan tubuh yang tiba-tiba melemas dan kedua tangan menutup wajah sepenuhnya.Laras tak mampu berfikir, otaknya tiba-tiba kosong bahkan hanya air mata yang mengalir tanpa suara."Ras, ada apa?"Sonya yang baru tiba mendekati sabahabatnya dengan gusar, melihat Laras yang tadi baik-baik saja dan sekarang menangis membuat Sonya khawatir. Sonya kembali karena menyadari ponselnya yang tertinggal. Namun perempuan hamil itu dibuat shock melihat keadaan Laras. Bahu Laras bergetar dengan tangan yang bertumpu pada meja."Ayo," ujar Sonya sembari menuntun sahabatnya untuk duduk di sofa ruang kerja mereka.Perempuan yang tengah hamil itu memeluk tubuh Laras disertai usapan lembut, Sonya tak akan bertanya lagi sebelum Laras benar-benar bisa menguasai diri. Setelah tenang Laras menceritakan semuanya pada Sonya, bahkan perempuan itu juga berte
Hari ini Avin menginjak usia Empat bulan. Balita itu semakin aktif dengan pipi yang semakin montok. Kulitnya yang putih bersih menurun dari papanya, hanya bibir yang menjiplak sempurna milik Laras. Avin tertawa girang saat sang papa menciumi pipi balita itu bergantian. Laras yang memperhatikan turut tertawa melihat putranya segirang ini. Bahagia tampak menghiasi raut perempuan itu. "Teh, Minum dulu sini." Laras melambaikan tangan memanggil Yaya yang berlarian kesana kemari. Bocah itu tampak bahagia berada di taman luas seperti ini. Tentu saja karena Yaya menyukai alam bebas. "Mama, capek. Mau teh aja, yang kemalin Yaya beli sama kakak," pinta bocah itu sembari mengusap keringat yang menuruni pelipis. Laras yang gemas menarik putrinya mendekat dan mengelap keringat itu dengan tissue yang tadi sengaja dibawa dari rumah. "Gimana? Seger?" tanya Laras menatap putrinya geli. Pasalnya bocah itu minum dengan tergesa membuat Laras yang mengamati sejak tadi merasakan takut putrinya akan t
Setelah berziarah ke makan Deon, David beserta anak-anaknya mampir di salah satu restoran seafood yang cukup terkenal di kota mereka yang juga menjadi langganan mereka.Yaya sudah duduk dengan anteng. Tangan bocah itu sibuk menggeser-geser layar handphone sang papa dengan tekun. "Yaya makan dulu nak, hp nya ditaruh dulu." David mengangsurkan sepiring udang goreng crispy kesukaan putrinya. "Halum pa, kayak masakan mama," ujar bocah itu girang. David mengacak surai putrinya gemas. Kedua anaknya memang pecinta seafood, walaupun sebenarnya tak terlalu baik untuk dikonsumsi sering-sering. Namun Laras sendiri membatasi, hanya sebulan 2-3 kali memasakkan makanan kesukaan putrinya itu. "Nanti langsung pulang ya pa? Tanya Sasa yang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu. Remaja itu menatap papanya penasaran, menanti jawaban. "Iya, pesenan mama kan udah dibeli tadi. Kenapa emang kak?" "Emm, kakak boleh nggak nanti diturunin di rumah Zia aja," tanya Sasa dengan tersenyum tipis. Takut p
Minggu pagi ini kediaman David ramai karena berkumpulnya banyak keluarga yang menjenguk bayi mereka. Ada Sonya beserta anak dan suaminya, Ryan juga turut hadir namun tunangannya tidak ikut karena ada jadwal praktek pagi di rumah sakit, orang tua David juga menginap disini beserta adiknya, Bima. Suasana rumah tampak lebih berisik karena suara anak-anak yang memenuhi ruang tengah. Tak lupa bapak-bapak juga sibuk bermain catur di taman belakang. "Yaampun Ras, hidungnya kayak tower tinggi banget." Celetukan Sonya tak urung membuat semua wanita yang berada di kamar Laras tertawa. Sonya memang selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana. Sonya yang sekarang tentu saja berbeda dengan Sonya yang dulu. Berkat menikah dengan Sena, sahabat Laras itu lebih asyik untuk diajak bercerita. Apalagi semenjak memiliki anak, aura keibuan perempuan itu terpancar semakin kuat. "Iya mbak, kayak bapaknya. Ganteng pula." Lisa, mama Leo yang turut memperhatikan juga ikut memberikan komentar. Tetangga
David berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tadi laki-laki itu mendapat telfon dari sang mama bahwa istrinya akan segera melahirkan dan sudah berada di rumah sakit. Setelah memberitahukan pada sekretarisnya, David segera meluncur ke rumah sakit yang tadi mamanya beritahukan.Tiba di ruang bersalin lali-laki itu mengatur nafas yang memburu. Disana sudah ada Bima yang tengah duduk santai bermain ponsel. Segera saja David menghampiri adiknya."Mbak Laras di dalem sama mama, sana masuk, udah bukaan banyak tadi gue denger."Belum sempat David bertanya, Bima lebih dulu menjawab pertanyaan yang ada dalam fikiran abangnya. Segera saja laki-laki itu memasuki ruangan dan menemukan istrinya yang sudah terbaring diatas brankar dan meringis menahan sakit."Sayang, maaf mas telat," ucap David setelah tiba di samping istrinya, tangan laki-laki itu mengelus pinggang Laras mengantikan sang mama yang tadi melakukannya.Laras tak mengatakan apapun, perempuan itu meme
David tengah duduk sendirian di kursi ruang kerja laki-laki itu. Jendela ruangan dibiarkan terbuka lebar, menghadirkan udara sejuk karena malam hingga subuh tadi hujan cukup deras menguyur kota Bogor.Pandangan laki-laki itu menerawang jauh, mengingat beberapa tahun silam saat mengalami kecelakaan. Ia mengalami koma selama beberapa Minggu dan harus dirawat di rumah sakit. David tidak mengingat apapun, setelah bangun laki-laki itu juga linglung dan menatap sekitar dengan pandangan kosong.Setiap hari tidak ada yang dilakukannya selain berdiam diri diatas brankar dan tidur.Setelah dua bulan lebih dirawat, akhirnya ia diizinkan pulang.Semuanya berjalan baik, ingatan laki-laki itu juga berangsur pulih. Salah satu yang David ingat setelah bangun dari koma adalah laki-laki itu selalu melihat perempuan cantik yang setia merawat dirinya selama dirumah sakit."Mas?"Lamunan laki-laki itu buyar saat tangan Laras melambai di depan matanya.Dav
Pagi ini rumah David ramai dengan keluarga yang berkumpul. Laki-laki itu tersenyum melihat Yaya yang lengket pada neneknya, tak ketinggalan juga Zia dan Sasa yang juga membututi kemanapun Bima pergi."Kamu kenapa mas?"Wira bertanya pada putranya yang berdiri tanpa ikut bergabung dengan yang lainnya. Laki-laki tua itu sedikit heran, pasalnya sang putra hanya senyum-senyum sendiri dengan pandangan ke depan, mengamati yang lain tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing."Gak apa-apa pa. Cuma lagi bahagia aja," jawab David tanpa menoleh pada sang ayah."Kamu selalu jawab begitu setiap kali papa tanya."Wira mencibir yang dibalas kekehan ringan sang putra. Jangan heran bagaimana David dan sang papa, Wira bisa seakrab sekarang. Waktu telah mengubah semuanya. Mereka sama-sama intropeksi diri dan saling menerima, dan beginilah hubungan mereka sekarang."Papa gak ikut gabung?" tanya David."Nanti malam saja. Papa mau istirahat dulu. Capek ju
"papa!"Yaya memekik antusias. Bocah tiga tahun itu berlari dan memeluk kedua kaki sang ayah erat yang belum sempat menjaga keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika saja tangan laki-laki itu tak memang kusen pintu untuk menahan bobot tubuh mereka."Uhhh, papa kaget nak. Kalau jatuh bagaimana?"Ucap sang papa dengan tangan mengelus dada. Walaupun putrinya sering begini, tapi tetap saja membuat kaget."Kangen pa. Kenapa pelginya lama?"Yaya memberikan protes. Bibir bocah itu mengerucut ke depan membuat sang papa gemas dan berkahir mencium pipi sang putri berkali-kali."Mas, kapan sampe?"Laras yang baru keluar dari kamar segera menghampiri sepasang ayah dan anak itu, perempuan hamil besar itu mengambil tangan suaminya untuk dicium."Baru aja. Sasa kemana ma?" tanya laki-laki itu."Kok mama gak denger suara mobil papa ya."Bukannya menjawab Laras malah balik bertanya. Perempuan itu sepertinya baru bangun ti