Laras memasuki ruang tamu saat Sonya sibuk mendandani Sasa hingga tak menyadari keberadaannya. Sahabatnya itu terlihat cekatan dan sabar menghadapi polah anaknya yang seperti biasa, selalu banyak tingkah dan tidak bisa diam.
Laras berdehem pelan, membuat Sonya menoleh kearahnya.
"Lo udah enakan? Kenapa turun?" Tanya Sonya, tangannya sibuk memoleskan bedak di sekitaran leher Sasa.
"Udah mendingan, bosen di kamar terus," ucap Laras masih dengan suara sangau, pusingnya memang sudah berkurang tapi badannya masih sangat lemas seperti tak bertenaga.
"Istirahat sana, gue sama Sasa berangkat dulu. Makan siang udah gue siapin di meja makan. Jangan lupa minum obat, oh ya buahnya juga udah gue siapin di meja kamar lo jangan lupa di makan."
Bak ibu yang memberikan petuah pada anaknya, Sonya benar-benar sudah cocok untuk memiliki anak sendiri melihat bagaimana jiwa emak-emak sudah melekat dalam diri perempuan itu.
Laras mengangguk pelan, matanya memandang sang putri yang tengah sibuk mengigit biskuit kesukaannya. Ia ingin mencium Sasa tapi ia tahan karena tak mau sampai anaknya tertular flu darinya. Demam di tambah flu benar-benar membuat Laras tersiksa, namun karena sakit juga Laras jadi lebih sadar untuk tidak terlalu lelah bekerja dan harus benar-benar untuk menjaga kesehatannya.
Ia mengembuskan nafas pelan, sungguh tersiksa tanpa ada Sasa di sampingnya.
"Kita berangkat dulu, Lo hati-hati di rumah. Ingat pesan gue tadi," ucap Sonya dengan nada memerintah membuat Laras mendengus samar.
"Kiss bye sama mama dulu kak," Sonya memberi perintah yang langsung di turuti Sasa dengan memonyongkan bibirnya pada sang mama, membuat kedua orang dewasa itu tertawa gemas.
Suasana toko pagi ini sudah mulai ramai pengunjung, beberapa anak muda duduk memenuhi meja, bersenda gurau dengan temannya.
Sonya tersenyum masam, dulu semasa muda dia juga suka sekali nongkrong dengan teman-temannya yang lain namun beranjak dewasa kegiatan rutin itu tidak bisa lagi ia lakukan karena kesibukan dan alasan lainnya.
"Nuri tolong ajak Sasa ke taman belakang dulu ya, saya ada urusan penting."
Sonya mencegat pegawainya meminta tolong untuk membawa Sasa bermain di belakang karena pagi ini ia ada meeting dengan pegawai bagian lainnya untuk membahas kelanjutan pembukaan cabang kedai di kota lain.
"Iya mbak. Sini sayang ikut teteh," ucap Nuri merentangkan tangan untuk mengendong Sasa yang di turuti bocah itu dengan gelak tawa.
Menjaga Sasa bukanlah sesuatu yang sulit, bocah itu termasuk anak yang ilonan dalam kata lain mudah dekat dan tidak rewel saat di ajak orang lain.
Contoh saja sekarang ini seperti yang dilakukan Sonya pada Nuri, Laras juga bersyukur karyawan disini tidak pernah mengeluh dan keberatan saat ia menitipkan anaknya.
*****
Laras terbangun saat ponsel di atas nakas mengeluarkan bunyi nyaring meminta perhatian, duduk perlahan ia menggeser tombol hijau mengangkat panggilan yang baru saja masuk.
"Gimana nte?"
Laras memulai pembicaraan karena sahabatnya di seberang sana tak kunjung mengeluarkan suara, hanya bunyi krasak-krusuk yang ia dengar.
"Halo ras, ini .. Lo mau dibawain apa? Kita lagi perjalanan pulang."
"Gak usah deh, gue udah makan tadi. Nanti malam gampang, masih ada soup bisa di angetin," tolaknya.
"Oh yaudah, berarti gue gak usah mampir-mampir."
"Anak gue gimana? Rewel gak? Sorry ya ngrepotin Lo," sesal Laras di akhir kalimat
Sebenarnya sejak tadi ia tidak tenang membiarkan anaknya ikut dengan Sonya.
Melihat bagaimana aktifnya polah bocah itu di tambah dengan keceriwisan Sasa yang tidak ada habisnya."Biasa banyak tingkah, tapi tenang aja kayaknya dia tau kalau emaknya sakit jadi gak terlalu manja," jawab Sonya di sertai kekehan pelan.
"Yaudah ya gue tutup, gue cuma mau nawarin Lo makan tadi," sambung Sonya.
Setelah panggilan selesai Laras memilih mandi karena sejak pagi tadi badannya belum menyentuh air. Sekarang tubuhnya sudah sangat membaik, hingga ia berani untuk mandi dengan air hangat. Setidaknya badannya tidak lagi lengket.
Laras menuju pintu depan karena suara bel menandakan ada seseorang yang sedang bertamu, tidak mungkin Sonya karena biasanya sahabatnya itu membawa kunci duplikat dan tidak pernah memencet bel saat pulang ke rumah.
Kelakuannya yang terlalu bar-bar membuat perempuan itu memilih mengetuk pintu tanpa henti saat lupa tidak membawa kunci cadangan membuat ia kerap kali mendengus kasar karena tidak menyukai salah satu kebiasaan buruk sahabatnya itu.
"Tan.. te ...selamat malam," ucap Laras dengan nada gugup, ia tak mengira Tante Mira akan berkunjung malam-malam begini.
"Malam ras. Kenapa gugup begitu?" Tante Mira bertanya dengan nada heran, sahabat Sonya di depannya ini seperti melihat hantu saja saat menatapnya.
"Bu- .. bukan Tante, .. cuman heran tumben Tante berkunjung malam-malam begini."
Laras membalas pertanyaan Tante Mira setelah menutup pintu dan membututi ibu Sonya itu menuju ruang tamu.
Laras mengembuskan nafas pelan, terlihat sekali ibu satu anak itu sedang tidak baik-baik saja. Ia sudah bisa menebak apa yang menganggu pikiran Tante Mira.
"Tante mau jemput Sonya, sudah beberapa hari ini anak itu tidak pulang. Tante mengira bocah itu lupa jalan pulang ke rumah," sungut Mira dengan nada jengkel.
Mengingat kelakuan sang putri membuatnya jengkel setengah mati sekaligus gemas. Anaknya itu kapan bisa bersikap dewasa.
"Kamu tumben di rumah ras? Gak ke kedai?" Sambung Mira lagi.
"Sedikit pusing Tante, jadi gak bisa kerja."
"Kamu sakit? Kenapa gak bilang. Tau gitu Tante ke sini dari pagi biar bisa nemenin kamu. Kamu pasti gak ada yang urus di rumah sendiri waktu sakit begini."
"Udah mendingan Tante. Cuma kecapekan jadi butuh istirahat sebentar," balas Laras dengan senyum hangat.
Ia suka di perhatikan begini, tinggal di panti sejak kecil membuatnya tidak terlalu mendapat perhatian dan kasih sayang karena ibu panti juga sibuk mengurus anak yang lain bukan hanya dirinya.
"Yaudah kamu tiduran aja. Biar Tante yang nunggu anak itu pulang."
Bunyi ketukan sepatu lumayan keras di sertai pekikan bocah membuat Laras dan Mira menoleh ke sumber suara, sedang sang empu pemilik kegaduhan belum menyadari kehadiran dua wanita yang menunggu mereka yang sedang duduk manis di ruang tamu.
"Baru pulang perawan tua?" Ucapan pedas yang di lontarkan Mira membuat Sonya menyudahi aksinya menggoda Sasa, perempuan itu menghela nafas kasar. Ia capek pulang kerja dan sesampainya di rumah di suguhi kalimat yang membuat telinganya panas dan jengkel secara bersamaan. Tuhan berikan ia kesabaran dan umur yang panjang meladeni ucapan menyebalkan mamanya.
"Bunda tau aku baru sampe rumah," balas Sonya sarkas sembari mendudukan pantatnya di sofa setelah menyerahkan Sasa pada sang mama.
"Gak inget rumah kamu beberapa hari gak pulang. Belum puas buat papa kamu kalang kabut nyari anak manjanya yang kabur dari rumah hmm."
"Bun please aku capek pulang kerja. Kenapa selalu cari ribut sih," sungut Sonya berusaha bersabar. Ia tak mau mencari keributan malam-malam begini. Apalagi dengan bundanya sendiri, sebisa mungkin ia selalu mengontrol emosi agar tidak meledak.
"Mandi sana! Terus makan. Besok pagi ikut bunda pulang. Papa kamu ngomel nyari anaknya yang ilang," balas Mira dengan nada memerintah.
Tak akan ia biarkan anaknya kabur dan mencari alasan lagi. Sudah cukup beberapa hari ini ia di buat pusing karena suaminya terus mendesak agar ia mencari anaknya yang minggat dari rumah.
Sonya melangkahkan kakinya menuju kamar dan memilih langsung mandi menuruti perintah, sang ratu. Telinganya akan menjadi korban jika ia kembali membantah dan melontarkan banyak alasan. Mulutnya tak akan ia biarkan bersilat lidah dan menimbulkan banyak dosa lagi. Ia tak ingin menjadi anak durhaka.
Semenyebalkan apapun sikap bundanya Sonya tau wanita kesayangannya itu hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Walaupun cara yang di gunakan bundanya kerap kali membuatnya jengkel namun ia sangat bersyukur orang taunya masih memperhatikannya mengingat usianya yang bukan lagi anak-anak.
Hanya satu yang Sonya sesali, ia belum bisa memberikan orang tuanya menantu seperti yang bundanya inginkan. Hati memang tidak bisa berbohong, lagian Sonya tidak ingin menikah hanya karena desakan mulut orang dan usia. Ia ingin menikah dengan laki-laki yang di cintai namun entah sampai kapan perasaan itu hadir kembali mengingat bagaimana tersiksanya dulu hidupnya karena cinta.
Pagi ini Laras dan Sasa sudah berada di kedai, pengunjung tidak sebanyak biasanya karena rintik hujan yang turun sejak subuh tadi.Mendudukkan anaknya di karpet yang di penuhi mainan Laras langsung berkutat dengan beberapa lembar kertas di meja kerjanya. Pembukaan cabang baru masih dalam proses penyelesaian membuat pekerjaannya cukup padat di tambah hari ini adalah akhir bulan membuat ia di sibukkan dengan pembukuan."Gila, gue beneran bisa gila" Sonya mendudukan pantatnya di sofa setelah masuk ruangan tanpa mengetuk pintu dulu membuat Laras keheranan. Pasalnya sahabatnya itu sudah bilang tidak bisa masuk kerja hari ini. Tapi pagi ini Sonya sudah sampai di toko dengan wajah nelangsa."Lo kenapa dateng-dateng meracau gak jelas?" tanya Laras."Gue pusing ras, bunda berulah lagi."Sonya menjawab dengan kedua bahu merosot, dia benar-benar pusing. Kepulangannya kemarin adalah kesalahan."Ada apa lagi?"Laras memilih bangkit dar
Mall adalah tempat yang mereka pilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Laras mengandeng Sasa memasuki salah satu toko mainan bus tayo yang sejak masuk tadi ditunjuk-tunjuk sang anak. Sasa memang berbeda dengan bocah perempuan sebayanya lainnya. Jika anak perempuan lain bermain dengan boneka maka berbeda dengan Sasa yang lebih suka dengan mainan anak laki-laki. Seperti mainan yang baru saja mereka beli.Laras sendiri terkadang binggung, apakah dulu ia salah saat mengidam. Ataukah memang selera anaknya yang aneh."Ituu ma, yang biru," minta Sasa.Bocah kecil itu menunjuk tayo berwarna biru yang bertengger manis di etalase. Kakinya menghentak-hentak dengan bibir yang tidak berhenti merengek."Mbak tolong yang biru ini ya."Setelah membayar Laras mengendong anaknya yang tengah memeluk boneka tayo besar keluar dari toko tersebut.Dia akan ke restoran Jepang setelah tadi pagi Sonya menghubunginya dan membuat janji di sana."Udah lama?
David tiba saat rumah dalam keadaan Sepi, hanya ada adiknya Bima yang sedang duduk anteng menyantap sepiring nasi goreng tanpa menyadari kehadirannya."Mama papa kemana?"Tanyanya setelah berhasil meneguk sebotol air dingin dari kulkas. Pandangannya mengarah pada sang adik yang tengah mengunyah sarapannya."Ke Bogor, kondangan," jawab Bima cuek dan kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya."Bang?"David yang sudah berdiri, mengurungkan niatnya dan kembali duduk menghadap Bima yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti."Kenapa?" tanyanya setelah beberapa menit adiknya hanya menatap David tanpa mengatakan sepatah katapun."Gak jadi. Sana kalau mau pergi."Usir Bima dan kembali memakan nasi gorengnya yang tinggal setengah.Memilih abai David segera bangkit menuju lantai atas. Ia akan mandi dan bersiap pergi menemui seseorang.Weekend seperti ini biasanya David hanya m
David menghempaskan tubuhnya di ranjang king size miliknya. Pembicaraan dengan Yuda tadi benar-benar menguras emosinya.Dia tidak pernah menyangka Yuda masih mengingat semuanya sejak bertahun-tahun mereka selalu menghindari topik pembahasan ini.Bagaimanapun sahabatnya itu tau bahwa di awal-awal kepergian Laras, David sempat di rawat di rumah sakit karena stress dan kurang istirahat.Pada masa itu memang adalah masa terpuruk bagi David, dia tidak mengelak bahwa Laras adalah sumber kekuatannya. Wanita itu mampu membuat dirinya menjadi lebih percaya diri dan tetap optimis.Laras jugalah wanita yang mengetahui segala kurangnya namun memilih untuk tetap bertahan di sisinya. Sering kali dia berfikir, kenapa dulu dia bisa bertindak bodoh hingga berakibat seperti sekarang ini.Mengutuk diri sendiripun tidak akan mengubah apapun. David kehilangan jejak wanita itu, dan ia belum cukup keberanian untuk mencari keberadaan Laras."Bang."Ketukan p
Pagi ini rumah tampak ribut saat Sasa sulit sekali untuk di bangunkan. Memang anak kecil itu terkadang susah untuk membuka mata tapi tidak separah pagi ini.Laras sudah melakukan segala cara agar anaknya itu tidak rewel dan menangis saat di mandikan. Namun bukannya berhenti Sasa malah menjerit membuat Laras harus mengusap dada pelan melihat tingkah sang anak yang semakin manja."Kakak udah besar lho, masak mandi harus nangis dulu sih.""Mau mama tinggal di rumah aja sendiri? Iya?"Bukan, dia tidak berniat mengancam namun Laras sudah benar-benar kehabisan cara untuk menenangkan putrinya. Dia sendiri juga tidak tau sebab anaknya rewel begini sejak bangun tidur tadi."Sini mama pakein baju."Laras menarik lembut tangan mungil anaknya, wajah Sasa masih saja cemberut dengan lelehan air mata yang membuat ibu muda itu merasa iba."Nanti jajan ice cream kalau Sasa anteng. Nurut sama mama. Oke?"Sasa masih
"Diminum om." "Makasih Ras, harusnya gak usah repot-repot." Ryan meneguk teh hangat yang baru saja di hidangkan Laras. Udara yang dingin memang paling cocok dengan minuman hangat selepas hujan sore tadi. "Gimana kerjaannya?" Laras memulai pembicaraan setelah beberapa menit mereka terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. "Lancar. Tapi capek juga," Jawab Ryan dengan kekehan ringan di akhir kalimat. "Yang penting perusahaan laba banyak kan om?" goda Laras. "Tapi gak kuat kalau harus pisah lama sama kalian." "Lebay ih." "Fakta lho Ras. Kalau kamu mau, pengen banget ajak kalian buat ikut kemanapun aku pergi." "Buat di jadiin asisten pribadi." tebak Laras namun di balas tawa oleh Ryan. Kenapa perempuan di sampingnya ini selalu berfikir negatif. "Yakin mau?" Goda Rian lagi. "Sana pulang. Malem-malem begini gak enak diliatin tetangga." Bukannya menjawab Laras malah me
Siang ini cuaca cukup terik, Ryan mengemudi dengan kecepatan sedang mengingat jalanan juga lengang selepas jam makan siang.Di dalam mobil hanya celotehan Sasa yang menemani perjalanan mereka, bocah dengan rambut di kuncir dua itu tak berhenti mengomentari apapun yang di lihatnya.Setelah tadi tidur cukup lama Sasa tidak akan rewel karena jam tidur siangnya terganggu."Ma, nanti mam es kim lagi."Menghembuskan nafas pelan Laras melirik anaknya yang kini sibuk dengan ponsel di tangan tengah menonton mukbang.Pantas saja bocah kecil itu teringat ice cream."Boleh. Tapi satu ya. Gigi Sasa bolong semua kalau banyak-banyak."Mengangguk-angguk Sasa kembali fokus pada tontonannya, mungkin capek karena selama perjalanan berangkat bocah itu tak berhenti mengoceh."Sampai. Sini, Sasa ayah yang gendong."Ryan mengulurkan tangan dan mengendong Sasa keluar dari mobil. Dengan Laras mereka beriringan memasuki rumah megah ya
"Gue gak nyangka, ternyata jodoh emang gak ada yang tau."David menyeringai menatap sepupunya yang sedari tadi menunduk dalam. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan.Wajah kusut adalah penampilan yang ia lihat akhir-akhir ini. Padahal selangkah lagi sepupunya itu akan menikah dengan perempuan yang di cintai.Namun bukannya bahagia malah wajah kurang gairah yang sering di tampilkan."Dari banyaknya cewek di sekeliling Lo. Kenapa harus dia yang Lo pilih. Cewek petakilan bermulut pedas.""Seperti yang Lo bilang tadi. Jodoh gak ada yang tau.""Tapi Lo bisa milih yang lain.""Gue cinta sama dia vid. Itu kenapa gue pilih dia.""Alasan klasik."Sena memilih tak peduli. Enggan menangapi lebih jauh. Sonya dan David sama-sama memiliki sifat keras dan menjengkelkan. Dan ia tak akan menghabiskan waktu untuk berdebat dengan keduanya.
"Kenapa senyum-senyum sendiri pa."Suara Laras yang menginterupsi membuat David panik, buru-buru laki-laki itu menyembunyikan buku diary yang sedang dipegangnya."O--ohh, itu ma ..," jawab David terbata, binggung hendak menjawab apa."Itu apa?."Laras yang curiga mengernyitkan kening samar, mata perempuan itu awas melihat tangan suaminya yang disembunyikan dibelakang tubuh. Cepat Laras mengintip. Perempuan itu memanyunkan bibir saat tahu apa yang sedang suaminya pegang saat ini."Ihh, kok dipegang sih? Pasti mas senyum-senyum karena baca diary ku ya. Kenapa gak izin dulu, itu namanya mencuri," omel Laras kesal.David yang ketahuan dan merasa bersalah hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Jujur saja ia merasa tak enak pada sang istri."Mas penasaran sayang. Tadi nemu di bawah tumpukan baju pas tadi mau cari baju," Jawab David tak berbohong."Tapi kenapa dibaca, mas tau kan aku malu," ujar Laras dengan menunduk."Kenap
Flash BackSejenak Laras terdiam kaku tanpa sanggup melakukan apapun. Perempuan itu mendudukkan diri di kursi kerja dengan tubuh yang tiba-tiba melemas dan kedua tangan menutup wajah sepenuhnya.Laras tak mampu berfikir, otaknya tiba-tiba kosong bahkan hanya air mata yang mengalir tanpa suara."Ras, ada apa?"Sonya yang baru tiba mendekati sabahabatnya dengan gusar, melihat Laras yang tadi baik-baik saja dan sekarang menangis membuat Sonya khawatir. Sonya kembali karena menyadari ponselnya yang tertinggal. Namun perempuan hamil itu dibuat shock melihat keadaan Laras. Bahu Laras bergetar dengan tangan yang bertumpu pada meja."Ayo," ujar Sonya sembari menuntun sahabatnya untuk duduk di sofa ruang kerja mereka.Perempuan yang tengah hamil itu memeluk tubuh Laras disertai usapan lembut, Sonya tak akan bertanya lagi sebelum Laras benar-benar bisa menguasai diri. Setelah tenang Laras menceritakan semuanya pada Sonya, bahkan perempuan itu juga berte
Hari ini Avin menginjak usia Empat bulan. Balita itu semakin aktif dengan pipi yang semakin montok. Kulitnya yang putih bersih menurun dari papanya, hanya bibir yang menjiplak sempurna milik Laras. Avin tertawa girang saat sang papa menciumi pipi balita itu bergantian. Laras yang memperhatikan turut tertawa melihat putranya segirang ini. Bahagia tampak menghiasi raut perempuan itu. "Teh, Minum dulu sini." Laras melambaikan tangan memanggil Yaya yang berlarian kesana kemari. Bocah itu tampak bahagia berada di taman luas seperti ini. Tentu saja karena Yaya menyukai alam bebas. "Mama, capek. Mau teh aja, yang kemalin Yaya beli sama kakak," pinta bocah itu sembari mengusap keringat yang menuruni pelipis. Laras yang gemas menarik putrinya mendekat dan mengelap keringat itu dengan tissue yang tadi sengaja dibawa dari rumah. "Gimana? Seger?" tanya Laras menatap putrinya geli. Pasalnya bocah itu minum dengan tergesa membuat Laras yang mengamati sejak tadi merasakan takut putrinya akan t
Setelah berziarah ke makan Deon, David beserta anak-anaknya mampir di salah satu restoran seafood yang cukup terkenal di kota mereka yang juga menjadi langganan mereka.Yaya sudah duduk dengan anteng. Tangan bocah itu sibuk menggeser-geser layar handphone sang papa dengan tekun. "Yaya makan dulu nak, hp nya ditaruh dulu." David mengangsurkan sepiring udang goreng crispy kesukaan putrinya. "Halum pa, kayak masakan mama," ujar bocah itu girang. David mengacak surai putrinya gemas. Kedua anaknya memang pecinta seafood, walaupun sebenarnya tak terlalu baik untuk dikonsumsi sering-sering. Namun Laras sendiri membatasi, hanya sebulan 2-3 kali memasakkan makanan kesukaan putrinya itu. "Nanti langsung pulang ya pa? Tanya Sasa yang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu. Remaja itu menatap papanya penasaran, menanti jawaban. "Iya, pesenan mama kan udah dibeli tadi. Kenapa emang kak?" "Emm, kakak boleh nggak nanti diturunin di rumah Zia aja," tanya Sasa dengan tersenyum tipis. Takut p
Minggu pagi ini kediaman David ramai karena berkumpulnya banyak keluarga yang menjenguk bayi mereka. Ada Sonya beserta anak dan suaminya, Ryan juga turut hadir namun tunangannya tidak ikut karena ada jadwal praktek pagi di rumah sakit, orang tua David juga menginap disini beserta adiknya, Bima. Suasana rumah tampak lebih berisik karena suara anak-anak yang memenuhi ruang tengah. Tak lupa bapak-bapak juga sibuk bermain catur di taman belakang. "Yaampun Ras, hidungnya kayak tower tinggi banget." Celetukan Sonya tak urung membuat semua wanita yang berada di kamar Laras tertawa. Sonya memang selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana. Sonya yang sekarang tentu saja berbeda dengan Sonya yang dulu. Berkat menikah dengan Sena, sahabat Laras itu lebih asyik untuk diajak bercerita. Apalagi semenjak memiliki anak, aura keibuan perempuan itu terpancar semakin kuat. "Iya mbak, kayak bapaknya. Ganteng pula." Lisa, mama Leo yang turut memperhatikan juga ikut memberikan komentar. Tetangga
David berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tadi laki-laki itu mendapat telfon dari sang mama bahwa istrinya akan segera melahirkan dan sudah berada di rumah sakit. Setelah memberitahukan pada sekretarisnya, David segera meluncur ke rumah sakit yang tadi mamanya beritahukan.Tiba di ruang bersalin lali-laki itu mengatur nafas yang memburu. Disana sudah ada Bima yang tengah duduk santai bermain ponsel. Segera saja David menghampiri adiknya."Mbak Laras di dalem sama mama, sana masuk, udah bukaan banyak tadi gue denger."Belum sempat David bertanya, Bima lebih dulu menjawab pertanyaan yang ada dalam fikiran abangnya. Segera saja laki-laki itu memasuki ruangan dan menemukan istrinya yang sudah terbaring diatas brankar dan meringis menahan sakit."Sayang, maaf mas telat," ucap David setelah tiba di samping istrinya, tangan laki-laki itu mengelus pinggang Laras mengantikan sang mama yang tadi melakukannya.Laras tak mengatakan apapun, perempuan itu meme
David tengah duduk sendirian di kursi ruang kerja laki-laki itu. Jendela ruangan dibiarkan terbuka lebar, menghadirkan udara sejuk karena malam hingga subuh tadi hujan cukup deras menguyur kota Bogor.Pandangan laki-laki itu menerawang jauh, mengingat beberapa tahun silam saat mengalami kecelakaan. Ia mengalami koma selama beberapa Minggu dan harus dirawat di rumah sakit. David tidak mengingat apapun, setelah bangun laki-laki itu juga linglung dan menatap sekitar dengan pandangan kosong.Setiap hari tidak ada yang dilakukannya selain berdiam diri diatas brankar dan tidur.Setelah dua bulan lebih dirawat, akhirnya ia diizinkan pulang.Semuanya berjalan baik, ingatan laki-laki itu juga berangsur pulih. Salah satu yang David ingat setelah bangun dari koma adalah laki-laki itu selalu melihat perempuan cantik yang setia merawat dirinya selama dirumah sakit."Mas?"Lamunan laki-laki itu buyar saat tangan Laras melambai di depan matanya.Dav
Pagi ini rumah David ramai dengan keluarga yang berkumpul. Laki-laki itu tersenyum melihat Yaya yang lengket pada neneknya, tak ketinggalan juga Zia dan Sasa yang juga membututi kemanapun Bima pergi."Kamu kenapa mas?"Wira bertanya pada putranya yang berdiri tanpa ikut bergabung dengan yang lainnya. Laki-laki tua itu sedikit heran, pasalnya sang putra hanya senyum-senyum sendiri dengan pandangan ke depan, mengamati yang lain tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing."Gak apa-apa pa. Cuma lagi bahagia aja," jawab David tanpa menoleh pada sang ayah."Kamu selalu jawab begitu setiap kali papa tanya."Wira mencibir yang dibalas kekehan ringan sang putra. Jangan heran bagaimana David dan sang papa, Wira bisa seakrab sekarang. Waktu telah mengubah semuanya. Mereka sama-sama intropeksi diri dan saling menerima, dan beginilah hubungan mereka sekarang."Papa gak ikut gabung?" tanya David."Nanti malam saja. Papa mau istirahat dulu. Capek ju
"papa!"Yaya memekik antusias. Bocah tiga tahun itu berlari dan memeluk kedua kaki sang ayah erat yang belum sempat menjaga keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika saja tangan laki-laki itu tak memang kusen pintu untuk menahan bobot tubuh mereka."Uhhh, papa kaget nak. Kalau jatuh bagaimana?"Ucap sang papa dengan tangan mengelus dada. Walaupun putrinya sering begini, tapi tetap saja membuat kaget."Kangen pa. Kenapa pelginya lama?"Yaya memberikan protes. Bibir bocah itu mengerucut ke depan membuat sang papa gemas dan berkahir mencium pipi sang putri berkali-kali."Mas, kapan sampe?"Laras yang baru keluar dari kamar segera menghampiri sepasang ayah dan anak itu, perempuan hamil besar itu mengambil tangan suaminya untuk dicium."Baru aja. Sasa kemana ma?" tanya laki-laki itu."Kok mama gak denger suara mobil papa ya."Bukannya menjawab Laras malah balik bertanya. Perempuan itu sepertinya baru bangun ti