David mengetuk bolpoin yang sedang di pegang keatas meja, wajahnya yang kusut menyiratkan rasa frustasi. Menyender pada kursi kerja, laki-laki matang itu memejamkan matanya sejenak saat rasa pening menghampiri.
Mamanya benar-benar menguji kesabarannya, perempuan paruh baya itu tak pernah lelah menghampiri kantornya hanya untuk menanyakan kapan ia akan membawa pasangannya ke rumah untuk di kenalkan pada keluarga besar mereka.
Tidak ada masalah sebenarnya toh ia juga sudah memiliki kekasih, tapi mimpi sialan yang sering menghampiri malamnya beberapa Minggu terkahir benar-benar membuat dirinya panas dingin.
David mengedarkan pandangan pada lapangan luas yang dipenuhi rumput dan bunga putih, tidak ada siapapun disini selain dirinya. Ia berjalan pelan saat cahaya putih tiba-tiba menghalangi pandanganya, membuat laki-laki itu harus memejamkan mata sebentar. David berjalan hat-hati saat tiba-tiba seorang anak lelaki kecil menubruk tubuhnya pelan dengan senyum lebar yang terlihat begitu tulus.
"Papa."
Bocah kecil tadi melepas pelukan mereka dan menatap David yang masih diam saja binggung dengan apa yang terjadi.
"Papa."
Lagi bocah kecil itu memanggil yang tidak mendapat balasan apapun dari laki-laki dewasa di depannya, mata beningnya menatap David yang saat ini berjongkok menyamakan tinggi mereka.
"Kamu siapa?"
Bukannya menjawab Kedua tangan anak itu terangkat mengelus setiap inci wajahnya membuat David memejamkan mata menikmati usapan mungil tangan halus itu. Darahnya berdesir saat bocah tadi mengecup kedua pipinya pelan, jantungnya memompa dengan cepat menciptakan detakan-detakan dengan ritme yang membuatnya tidak nyaman, David seakan tersadar. Cepat laki-laki itu membuka matanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan pandangan menelisik.
"Papa, ini Deon anak papa David dan mama Laras," terang bocah itu.
Wajah David pias, jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik dan tubuhnya mematung saat mendengar ucapan anak kecil yang masih menatap dengan mata polosnya.
"Deon titip mama. Deon sayang mama, papa sama dedek."
"Deon harus pergi pa. Selamat tinggal."
Deon mencium pipi papanya sekali lagi, sebelum pergi bocah kecil itu menyungingkan senyum dan melambaikan tangan kanannya ke arah sang ayah.
David yang baru tersadar berusaha mengejar anaknya saat cahaya putih menenggelamkan Deon ke dalamnya.
"Sial."
David mengumpat pelan saat mimpi yang selalu menganggu tidurnya kembali berputar yang tak mau enyah dalam fikirannya, semakin David berusaha untuk melupakan semakin besar pula rasa sesal yang menghampiri.
Bayangan beberapa tahun silam kembali berputar saat bagaimana ia dengan kejamnya mencampakkan wanita yang sedang mengandung darah dagingnya sendiri, bahkan dia yang menyuruh Laras untuk melenyapkan anak mereka. Anak yang tidak pernah ia harapkan kehadirannya namun sialnya ia sesali karena ucapan bodohnya di masa lalu.
Sampai sekarang David merasa gamang, entah apa yang membuatnya merasa bersalah sekaligus lega karena kepergian Laras ia tak perlu repot-repot memikirkan bagaimana karir nya dimasa depan jika perempuan itu tidak menepati janjinya. Ia tak tahu bagaimana kabar mantan kekasihnya itu, bahkan David tidak pernah mencari tahu. Baginya itu semua adalah kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Tapi sialnya mimpi itu terus menghampiri tidurnya. Mengacaukan hari-harinya.
Selama beberapa tahun ini ia bisa hidup tenang walau rasa bersalah juga menyelinap dalam hatinya, tapi David bisa mengatasi semuanya dengan mudah. Tapi kenapa sekarang semua berubah, kesalahannya dulu seakan menerornya setiap malam. Bahkan di saat seperti ini, kejadian dulu malah semakin sering menganggu fikirannya.
"Apa itu anak gue."
"Gak mungkin."
David bermonolog sendiri, pikirannya buntu. Memikirkan hal ini benar-benar bisa membuat kepalanya pecah. Memijit pelipis pelan laki-laki itu memejamkan mata, belum sembuh pusingnya karena masalah sang mama dan kini bebannya bertambah karena mimpi sialan itu.
Ketika membuka mata David tersentak kaget saat asistennya Reza sudah berdiri di depan meja kerjanya dengan senyum yang anehnya membuat David ingin menendang laki-laki itu ke rawa-rawa. Dia hafal betul senyum itu, senyum yang seakan mengejek dirinya.
"Ngapain berdiri disitu. Sudah berapa kali saya katakan, kalau masuk ruangan orang ketuk pintu dulu."
David mengomel, bibirnya sudah lelah menasehati laki-laki muda di depannya ini. Tapi lihatlah, bocah gendeng ini tidak pernah mendengar ucapannya.
"Dari tadi saya sudah ketuk pintu pak bos, tapi gak ada jawaban. Ya sudah saya masuk saja"
"Alesan Mulu kamu. Ada apa?"
"Ibu tadi ke sini nyariin bapak. Tapi bapak lagi keluar. Terus ibu pulang."
"Mama sudah telefon saya tadi."
"Ibu pesen ke saya, nanti sore bapak di suruh pulang ke rumah. Mau di tagih calon mantu katanya."
Setelah mengatakan itu Reza berlari terbirit keluar dari ruangan David, takut bosnya itu akan mengamuk seperti yang lalu.
Tanpa mengindahkan sopan santun antara atasan dan karyawan laki-laki muda itu memilih kabur setelah menyelesaikan ucapannya. Tak mau lagi, mukanya yang ganteng jadi sasaran empuk amukan sang bos. Ya Tuhan, berat sekali bekerja dengan laki-laki sableng macam David.
Sedangkan David hanya mengumpat pelan, ia rasa semua orang di sekelilingnya sama saja. Sama-sama suka membuat kepalnya pening.
*****
"Ya ampun," Laras memekik terkejut melihat anaknya yang wajahnya kini belepotan tepung, belum lagi dapur yang sudah di sulap sang putri seperti kapal pecah. Baru sebentar Laras tinggal ke kamar kecil, dan sekarang anaknya ini benar benar menguji kesabarannya.
"Main ma."
"Ini bahaya sayang, nanti kalau Sasa hachim hachim gimana?"
Laras menatap sang anak dengan wajah sendu, antara menahan emosi dan kasihan melihat tubuh anaknya yang sudah berubah menjadi putih.
"No mama, main ini."
"Sekarang mandi ya, lihat badan Sasa kotor semua."
Mengerti mamanya marah, Sasa mencebikkan bibir kesal hendak menangis. Bahkan mata bulat itu sudah berkaca-kaca. Oh tuhan, kalau sudah seperti ini Laras bingung harus bagaimana.
"Mandi dulu, terus nanti beli ice cream. Sasa mau?"
Laras akan mencoba penawaran berharap anaknya akan tertarik, Sasa memang pecinta ice cream dan ia yakin sang putri akan luluh dengan ajakannya.
"Mau ma, es klim. Sasa mau."
Benar kan, makanan dingin itu adalah salah satu kelemahan Sasa. Melihat binar sang putri membuat Laras tersenyum hangat, anaknya ini mudah di bujuk dan di rayu.
Biarkan dulu ia gagal membuat kue, toh nanti ia bisa membuatnya di lain waktu. Yang terpenting anaknya berhenti merecok dan sepertinya hari libur ini akan ia gunakan saja untuk jalan-jalan bersama Sasa.
Selesai mendandani sang putri, Laras mendudukan Sasa di depan televisi selagi menunggu ia mempersiapkan keperluan mereka. Tidak banyak, ia hanya akan membawa keperluan sang anak serta dompet dan handphone.
"Mama udah siap. Yuk, kita jalan-jalan. Sasa senang?"
Laras menggoda Sasa yang kini cemberut karena sang ibu menganggu waktunya menonton televisi membuat ia benar-benar di buat gemas dengan tingkah random sang putri.
"Katanya mau beli ice cream. Kok malah cemberut sih. Gak jadi ya?"
"Mau es klim mama."
"Gemesnya. Anak siapa sih ini lucu banget."
Bukanya berhenti Laras malah mencium kedua pipi gembil Sasa bergantian, membuat bocah itu menjerit geli.
Jalanan Minggu pagi begini memang sedikit ramai dari biasanya membuat Laras mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia bisa tenang karena Sasa sibuk bermain dengan boneka kesayangan bocah kecil itu di car seatnya.
Saat tiba di parkiran Laras keluar dan menggendong Sasa yang antusias menatap sekitar, bocah kecil itu memang berkali-kali lipat lebih ceria saat di ajak keluar rumah.
"Cari ice cream ya."
Laras tersenyum geli menatap anaknya yang menganggukkan kepala semangat, bocah itu memang maniak ice cream.
Setelah memesan, Laras memilih tempat duduk paling belakang, bukan tanpa alasan. Laras hanya tidak mau jika putrinya merecok saat mereka duduk di depan, bukan tidak mungkin anaknya itu akan berjalan di sekitar gerai ini dan jika benar itu terjadi sudah dapat di pastikan Sasa tidak akan mau untuk di atur.
"Mbak Laras?"
Laras mengangkat wajah ketika mendengar seseorang memanggil namanya, ibu muda itu tersenyum hangat saat mengetahui sang empu yang memanggilnya.
"Eh Bim, kebetulan ketemu di sini. Sama siapa?"
Bima, laki-laki muda itu menggaruk tengkuknya yang Laras yakini tidak gatal. ABG itu sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu di lihat dari gerak-geriknya yang mencurigakan.
"Itu .. aku.., "
"Bibim, aku cariin dari tadi ternyata di sini. Kebiasaan banget sih kalau pergi-pergi gak bilang dulu. Aku kan..."
Yuka menghentikan ucapannya saat matanya tidak sengaja mengarah pada Laras yang saat ini menatapnya dengan kening berkerut.
"Eh, maaf mbak aku gak tau ternyata ada orang."
Laras hanya tersenyum geli. Kini ia tahu alasannya kenapa Bima terlihat kikuk saat ia bertanya dengan siapa pelanggan setia kedainya itu di sini.
"Santai aja. Teman Bima ya?"
Laras bertanya menggoda, yang membuat perempuan muda di sampingnya itu tersenyum malu-malu.
"Aku pacarnya mbak."
Jawab Yuka mantap dengan bibir terkulum lucu.
"Heh bocah jangan ngaku-ngaku ya lo."
"Aku kan emang pacar kamu Bibim, tega ya pacar sendiri di lupain."
Yuka memanyunkan bibirnya kesal yang membuat Bima mendengkus bosan, gadis blasteran Jepang ini memang rada sedikit sableng. Sebelas dua belas seperti mas nya, ah lebih tepatnya sama-sama menjengkelkan.
"Jangan ngaco deh, cepet mau beli apa. Kalau lama gue tinggal."
"Jahat banget."
Perdebatan itu terhenti saat pesanan Laras datang, Sasa yang sudah tidak sabar bertepuk tangan heboh dengan bibir yang tidak mau berhenti mengoceh. Padahal tadi saja anteng bermain tayo.
"Sasa, dari tadi om Bima di cuekin, sekarang malah sibuk mam ice cream."
Bima mengajukan protesnya yang tidak di tanggapi Sasa, bocah kecil itu sibuk dengan segelas ice cream berukuran besar di hadapannya.
"Tuh kan di cuekin beneran."
Bima menjawil hidung Bangir Sasa berusaha menarik perhatian anak itu tetapi bukannya di tanggapi Bima malah mendapatkan pelototan dari Laras, Laras hanya takut anaknya itu tersedak karena mulutnya penuh dengan ice cream.
"Yaudah deh om Bima pergi, dadah Sasa cantiknya om."
Bima dan Yuka berlalu setelah berpamitan dengan Laras, ibu muda itu menggeleng takjub melihat kepergian dua ABG itu yang sepertinya tidak pernah akur.
Ia jadi yakin, jika mereka berdua memiliki perasaan yang sama dilihat dari interaksi kedua anak itu yang berhasil Laras tangkap tadi.
Pak Suryo mengendarai mobil dengan santai.Memilih pulang ke apartemen adalah pilihan terbaik untuk saat ini dari pada nanti telinganya panas karena omelan mamanya akibat tidak mendengarkan titah sang ratu. Namun telefon mamanya pagi tadi berhasil membuat David mengurungkan niat. Laki-laki itu akhirnya memilih putar balik dan pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika tidak perempuan paruh baya itu akan mengomel tanpa henti hingga ber jam-jam tanpa bosan.Sejujurnya masalah mereka masih sama, kapan David akan membawa calon istrinya ke rumah. Oh hallo, dia hanya pria dewasa dan belum tua. 28 tahun dan berstatus taken tidak bisa di bilang bujang lapuk bukan.Bukan kenapa-kenapa, hanya saja David belum siap mengenalkan pacarnya pada keluarga besar mereka. Entah bagaimana, ia hanya belum memiliki kemantapan hati.Ponsel yang berdering menganggu lamunan David, ya hari ini laki-laki itu memilih menggunakan sopir
Riana melambaikan tangannya saat menemukan David yang berjalan penuh wibawa memasuki restoran tempat mereka mengadakan janji makan siang."Aku kira kamu gak dateng mas? Aku telfon tapi hp kamu gak aktif?""Tadi masih di proyek, hp aku juga mati."Riana mengangguk tersenyum, memaklumi kebiasaan David yang memang sudah biasa terjadi saat laki-laki itu tengah sibuk dengan pekerjaan.Menjadi pewaris utama perusahaan sang ayah tak membuat David menjadi pemimpin yang manja dan semaunya sendiri, laki-laki itu selalu melakukan yang terbaik dan bekerja maksimal dalam pengerjaan proyek yang di emban.Tak heran di usianya yang masih muda David berhasil mengaet banyak investor dan menjadikan ia salah satu pengusaha muda yang sukses dan terkenal cerdas."Aku udah pesen makanan kesukaan kamu."David hanya mengangguk dengan senyum tipis."Emm.. mas, Senin depan kamu ada jadwal?"Riana bertanya dengan harap-harap cemas, taku
Laras memasuki ruang tamu saat Sonya sibuk mendandani Sasa hingga tak menyadari keberadaannya. Sahabatnya itu terlihat cekatan dan sabar menghadapi polah anaknya yang seperti biasa, selalu banyak tingkah dan tidak bisa diam. Laras berdehem pelan, membuat Sonya menoleh kearahnya. "Lo udah enakan? Kenapa turun?" Tanya Sonya, tangannya sibuk memoleskan bedak di sekitaran leher Sasa. "Udah mendingan, bosen di kamar terus," ucap Laras masih dengan suara sangau, pusingnya memang sudah berkurang tapi badannya masih sangat lemas seperti tak bertenaga. "Istirahat sana, gue sama Sasa berangkat dulu. Makan siang udah gue siapin di meja makan. Jangan lupa minum obat, oh ya buahnya juga udah gue siapin di meja kamar lo jangan lupa di makan." Bak ibu yang memberikan petuah pada anaknya, Sonya benar-benar sudah cocok untuk memiliki anak sendiri melihat bagaimana jiwa emak-emak sudah melekat dalam diri perempuan itu. Laras mengangguk pelan, matanya me
Pagi ini Laras dan Sasa sudah berada di kedai, pengunjung tidak sebanyak biasanya karena rintik hujan yang turun sejak subuh tadi.Mendudukkan anaknya di karpet yang di penuhi mainan Laras langsung berkutat dengan beberapa lembar kertas di meja kerjanya. Pembukaan cabang baru masih dalam proses penyelesaian membuat pekerjaannya cukup padat di tambah hari ini adalah akhir bulan membuat ia di sibukkan dengan pembukuan."Gila, gue beneran bisa gila" Sonya mendudukan pantatnya di sofa setelah masuk ruangan tanpa mengetuk pintu dulu membuat Laras keheranan. Pasalnya sahabatnya itu sudah bilang tidak bisa masuk kerja hari ini. Tapi pagi ini Sonya sudah sampai di toko dengan wajah nelangsa."Lo kenapa dateng-dateng meracau gak jelas?" tanya Laras."Gue pusing ras, bunda berulah lagi."Sonya menjawab dengan kedua bahu merosot, dia benar-benar pusing. Kepulangannya kemarin adalah kesalahan."Ada apa lagi?"Laras memilih bangkit dar
Mall adalah tempat yang mereka pilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Laras mengandeng Sasa memasuki salah satu toko mainan bus tayo yang sejak masuk tadi ditunjuk-tunjuk sang anak. Sasa memang berbeda dengan bocah perempuan sebayanya lainnya. Jika anak perempuan lain bermain dengan boneka maka berbeda dengan Sasa yang lebih suka dengan mainan anak laki-laki. Seperti mainan yang baru saja mereka beli.Laras sendiri terkadang binggung, apakah dulu ia salah saat mengidam. Ataukah memang selera anaknya yang aneh."Ituu ma, yang biru," minta Sasa.Bocah kecil itu menunjuk tayo berwarna biru yang bertengger manis di etalase. Kakinya menghentak-hentak dengan bibir yang tidak berhenti merengek."Mbak tolong yang biru ini ya."Setelah membayar Laras mengendong anaknya yang tengah memeluk boneka tayo besar keluar dari toko tersebut.Dia akan ke restoran Jepang setelah tadi pagi Sonya menghubunginya dan membuat janji di sana."Udah lama?
David tiba saat rumah dalam keadaan Sepi, hanya ada adiknya Bima yang sedang duduk anteng menyantap sepiring nasi goreng tanpa menyadari kehadirannya."Mama papa kemana?"Tanyanya setelah berhasil meneguk sebotol air dingin dari kulkas. Pandangannya mengarah pada sang adik yang tengah mengunyah sarapannya."Ke Bogor, kondangan," jawab Bima cuek dan kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya."Bang?"David yang sudah berdiri, mengurungkan niatnya dan kembali duduk menghadap Bima yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti."Kenapa?" tanyanya setelah beberapa menit adiknya hanya menatap David tanpa mengatakan sepatah katapun."Gak jadi. Sana kalau mau pergi."Usir Bima dan kembali memakan nasi gorengnya yang tinggal setengah.Memilih abai David segera bangkit menuju lantai atas. Ia akan mandi dan bersiap pergi menemui seseorang.Weekend seperti ini biasanya David hanya m
David menghempaskan tubuhnya di ranjang king size miliknya. Pembicaraan dengan Yuda tadi benar-benar menguras emosinya.Dia tidak pernah menyangka Yuda masih mengingat semuanya sejak bertahun-tahun mereka selalu menghindari topik pembahasan ini.Bagaimanapun sahabatnya itu tau bahwa di awal-awal kepergian Laras, David sempat di rawat di rumah sakit karena stress dan kurang istirahat.Pada masa itu memang adalah masa terpuruk bagi David, dia tidak mengelak bahwa Laras adalah sumber kekuatannya. Wanita itu mampu membuat dirinya menjadi lebih percaya diri dan tetap optimis.Laras jugalah wanita yang mengetahui segala kurangnya namun memilih untuk tetap bertahan di sisinya. Sering kali dia berfikir, kenapa dulu dia bisa bertindak bodoh hingga berakibat seperti sekarang ini.Mengutuk diri sendiripun tidak akan mengubah apapun. David kehilangan jejak wanita itu, dan ia belum cukup keberanian untuk mencari keberadaan Laras."Bang."Ketukan p
Pagi ini rumah tampak ribut saat Sasa sulit sekali untuk di bangunkan. Memang anak kecil itu terkadang susah untuk membuka mata tapi tidak separah pagi ini.Laras sudah melakukan segala cara agar anaknya itu tidak rewel dan menangis saat di mandikan. Namun bukannya berhenti Sasa malah menjerit membuat Laras harus mengusap dada pelan melihat tingkah sang anak yang semakin manja."Kakak udah besar lho, masak mandi harus nangis dulu sih.""Mau mama tinggal di rumah aja sendiri? Iya?"Bukan, dia tidak berniat mengancam namun Laras sudah benar-benar kehabisan cara untuk menenangkan putrinya. Dia sendiri juga tidak tau sebab anaknya rewel begini sejak bangun tidur tadi."Sini mama pakein baju."Laras menarik lembut tangan mungil anaknya, wajah Sasa masih saja cemberut dengan lelehan air mata yang membuat ibu muda itu merasa iba."Nanti jajan ice cream kalau Sasa anteng. Nurut sama mama. Oke?"Sasa masih
"Kenapa senyum-senyum sendiri pa."Suara Laras yang menginterupsi membuat David panik, buru-buru laki-laki itu menyembunyikan buku diary yang sedang dipegangnya."O--ohh, itu ma ..," jawab David terbata, binggung hendak menjawab apa."Itu apa?."Laras yang curiga mengernyitkan kening samar, mata perempuan itu awas melihat tangan suaminya yang disembunyikan dibelakang tubuh. Cepat Laras mengintip. Perempuan itu memanyunkan bibir saat tahu apa yang sedang suaminya pegang saat ini."Ihh, kok dipegang sih? Pasti mas senyum-senyum karena baca diary ku ya. Kenapa gak izin dulu, itu namanya mencuri," omel Laras kesal.David yang ketahuan dan merasa bersalah hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Jujur saja ia merasa tak enak pada sang istri."Mas penasaran sayang. Tadi nemu di bawah tumpukan baju pas tadi mau cari baju," Jawab David tak berbohong."Tapi kenapa dibaca, mas tau kan aku malu," ujar Laras dengan menunduk."Kenap
Flash BackSejenak Laras terdiam kaku tanpa sanggup melakukan apapun. Perempuan itu mendudukkan diri di kursi kerja dengan tubuh yang tiba-tiba melemas dan kedua tangan menutup wajah sepenuhnya.Laras tak mampu berfikir, otaknya tiba-tiba kosong bahkan hanya air mata yang mengalir tanpa suara."Ras, ada apa?"Sonya yang baru tiba mendekati sabahabatnya dengan gusar, melihat Laras yang tadi baik-baik saja dan sekarang menangis membuat Sonya khawatir. Sonya kembali karena menyadari ponselnya yang tertinggal. Namun perempuan hamil itu dibuat shock melihat keadaan Laras. Bahu Laras bergetar dengan tangan yang bertumpu pada meja."Ayo," ujar Sonya sembari menuntun sahabatnya untuk duduk di sofa ruang kerja mereka.Perempuan yang tengah hamil itu memeluk tubuh Laras disertai usapan lembut, Sonya tak akan bertanya lagi sebelum Laras benar-benar bisa menguasai diri. Setelah tenang Laras menceritakan semuanya pada Sonya, bahkan perempuan itu juga berte
Hari ini Avin menginjak usia Empat bulan. Balita itu semakin aktif dengan pipi yang semakin montok. Kulitnya yang putih bersih menurun dari papanya, hanya bibir yang menjiplak sempurna milik Laras. Avin tertawa girang saat sang papa menciumi pipi balita itu bergantian. Laras yang memperhatikan turut tertawa melihat putranya segirang ini. Bahagia tampak menghiasi raut perempuan itu. "Teh, Minum dulu sini." Laras melambaikan tangan memanggil Yaya yang berlarian kesana kemari. Bocah itu tampak bahagia berada di taman luas seperti ini. Tentu saja karena Yaya menyukai alam bebas. "Mama, capek. Mau teh aja, yang kemalin Yaya beli sama kakak," pinta bocah itu sembari mengusap keringat yang menuruni pelipis. Laras yang gemas menarik putrinya mendekat dan mengelap keringat itu dengan tissue yang tadi sengaja dibawa dari rumah. "Gimana? Seger?" tanya Laras menatap putrinya geli. Pasalnya bocah itu minum dengan tergesa membuat Laras yang mengamati sejak tadi merasakan takut putrinya akan t
Setelah berziarah ke makan Deon, David beserta anak-anaknya mampir di salah satu restoran seafood yang cukup terkenal di kota mereka yang juga menjadi langganan mereka.Yaya sudah duduk dengan anteng. Tangan bocah itu sibuk menggeser-geser layar handphone sang papa dengan tekun. "Yaya makan dulu nak, hp nya ditaruh dulu." David mengangsurkan sepiring udang goreng crispy kesukaan putrinya. "Halum pa, kayak masakan mama," ujar bocah itu girang. David mengacak surai putrinya gemas. Kedua anaknya memang pecinta seafood, walaupun sebenarnya tak terlalu baik untuk dikonsumsi sering-sering. Namun Laras sendiri membatasi, hanya sebulan 2-3 kali memasakkan makanan kesukaan putrinya itu. "Nanti langsung pulang ya pa? Tanya Sasa yang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu. Remaja itu menatap papanya penasaran, menanti jawaban. "Iya, pesenan mama kan udah dibeli tadi. Kenapa emang kak?" "Emm, kakak boleh nggak nanti diturunin di rumah Zia aja," tanya Sasa dengan tersenyum tipis. Takut p
Minggu pagi ini kediaman David ramai karena berkumpulnya banyak keluarga yang menjenguk bayi mereka. Ada Sonya beserta anak dan suaminya, Ryan juga turut hadir namun tunangannya tidak ikut karena ada jadwal praktek pagi di rumah sakit, orang tua David juga menginap disini beserta adiknya, Bima. Suasana rumah tampak lebih berisik karena suara anak-anak yang memenuhi ruang tengah. Tak lupa bapak-bapak juga sibuk bermain catur di taman belakang. "Yaampun Ras, hidungnya kayak tower tinggi banget." Celetukan Sonya tak urung membuat semua wanita yang berada di kamar Laras tertawa. Sonya memang selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana. Sonya yang sekarang tentu saja berbeda dengan Sonya yang dulu. Berkat menikah dengan Sena, sahabat Laras itu lebih asyik untuk diajak bercerita. Apalagi semenjak memiliki anak, aura keibuan perempuan itu terpancar semakin kuat. "Iya mbak, kayak bapaknya. Ganteng pula." Lisa, mama Leo yang turut memperhatikan juga ikut memberikan komentar. Tetangga
David berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tadi laki-laki itu mendapat telfon dari sang mama bahwa istrinya akan segera melahirkan dan sudah berada di rumah sakit. Setelah memberitahukan pada sekretarisnya, David segera meluncur ke rumah sakit yang tadi mamanya beritahukan.Tiba di ruang bersalin lali-laki itu mengatur nafas yang memburu. Disana sudah ada Bima yang tengah duduk santai bermain ponsel. Segera saja David menghampiri adiknya."Mbak Laras di dalem sama mama, sana masuk, udah bukaan banyak tadi gue denger."Belum sempat David bertanya, Bima lebih dulu menjawab pertanyaan yang ada dalam fikiran abangnya. Segera saja laki-laki itu memasuki ruangan dan menemukan istrinya yang sudah terbaring diatas brankar dan meringis menahan sakit."Sayang, maaf mas telat," ucap David setelah tiba di samping istrinya, tangan laki-laki itu mengelus pinggang Laras mengantikan sang mama yang tadi melakukannya.Laras tak mengatakan apapun, perempuan itu meme
David tengah duduk sendirian di kursi ruang kerja laki-laki itu. Jendela ruangan dibiarkan terbuka lebar, menghadirkan udara sejuk karena malam hingga subuh tadi hujan cukup deras menguyur kota Bogor.Pandangan laki-laki itu menerawang jauh, mengingat beberapa tahun silam saat mengalami kecelakaan. Ia mengalami koma selama beberapa Minggu dan harus dirawat di rumah sakit. David tidak mengingat apapun, setelah bangun laki-laki itu juga linglung dan menatap sekitar dengan pandangan kosong.Setiap hari tidak ada yang dilakukannya selain berdiam diri diatas brankar dan tidur.Setelah dua bulan lebih dirawat, akhirnya ia diizinkan pulang.Semuanya berjalan baik, ingatan laki-laki itu juga berangsur pulih. Salah satu yang David ingat setelah bangun dari koma adalah laki-laki itu selalu melihat perempuan cantik yang setia merawat dirinya selama dirumah sakit."Mas?"Lamunan laki-laki itu buyar saat tangan Laras melambai di depan matanya.Dav
Pagi ini rumah David ramai dengan keluarga yang berkumpul. Laki-laki itu tersenyum melihat Yaya yang lengket pada neneknya, tak ketinggalan juga Zia dan Sasa yang juga membututi kemanapun Bima pergi."Kamu kenapa mas?"Wira bertanya pada putranya yang berdiri tanpa ikut bergabung dengan yang lainnya. Laki-laki tua itu sedikit heran, pasalnya sang putra hanya senyum-senyum sendiri dengan pandangan ke depan, mengamati yang lain tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing."Gak apa-apa pa. Cuma lagi bahagia aja," jawab David tanpa menoleh pada sang ayah."Kamu selalu jawab begitu setiap kali papa tanya."Wira mencibir yang dibalas kekehan ringan sang putra. Jangan heran bagaimana David dan sang papa, Wira bisa seakrab sekarang. Waktu telah mengubah semuanya. Mereka sama-sama intropeksi diri dan saling menerima, dan beginilah hubungan mereka sekarang."Papa gak ikut gabung?" tanya David."Nanti malam saja. Papa mau istirahat dulu. Capek ju
"papa!"Yaya memekik antusias. Bocah tiga tahun itu berlari dan memeluk kedua kaki sang ayah erat yang belum sempat menjaga keseimbangan. Mereka hampir jatuh jika saja tangan laki-laki itu tak memang kusen pintu untuk menahan bobot tubuh mereka."Uhhh, papa kaget nak. Kalau jatuh bagaimana?"Ucap sang papa dengan tangan mengelus dada. Walaupun putrinya sering begini, tapi tetap saja membuat kaget."Kangen pa. Kenapa pelginya lama?"Yaya memberikan protes. Bibir bocah itu mengerucut ke depan membuat sang papa gemas dan berkahir mencium pipi sang putri berkali-kali."Mas, kapan sampe?"Laras yang baru keluar dari kamar segera menghampiri sepasang ayah dan anak itu, perempuan hamil besar itu mengambil tangan suaminya untuk dicium."Baru aja. Sasa kemana ma?" tanya laki-laki itu."Kok mama gak denger suara mobil papa ya."Bukannya menjawab Laras malah balik bertanya. Perempuan itu sepertinya baru bangun ti