Sore harinya, Intan datang ke ruangan Hazel dan mengatakan, "Bu Hazel, malam ini ada acara makan malam amal di Lumina Hotel. Penyelenggara mengundang Bu Hazel untuk datang. Gaun untuk pergi ke sana sudah disiapkan.""Ya."Hazel mengangguk, menandakan kalau dia mengerti.Setelah beberapa saat, dia tiba-tiba teringat sesuatu dan menoleh untuk melihat Intan di belakangnya."Bu Intan, malam ini kamu nggak perlu ikut. Aku akan meminta Risma buat ikut denganku."Intan tertegun, sedikit kepanikan melintas di pelupuk matanya. Lalu, dia bertanya dengan penuh semangat, "Kenapa? Bu Hazel, apa ada yang kurang dengan kinerja saya?"Hazel tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Matanya tertuju pada perut Intan, lalu dia menjawab, "Kamu lagi hamil, jadi lebih baik jangan pakai sepatu setinggi itu. Ada banyak hal di perjamuan nanti, jangan sampai bayi dalam kandunganmu kenapa-kenapa."Hazel memang menyukai anak kecil.Meskipun masih belum punya pemikiran untuk memiliki anak, masalah ini selalu ada dala
Menyadari berbagai macam tatapan mata banyak orang yang tertuju padanya, Hazel mengaitkan bibirnya erat-erat. Bahkan genggamannya pada tangan Sergio sedikit mengencang tanpa dia sadari.Sergio menunduk dan kebetulan melihat wajah Hazel yang tegang. Dia langsung mengulurkan tangannya dan menarik Hazel ke dalam pelukannya.Dia menundukkan kepalanya dan berbisik ke telinga Hazel, "Jangan gugup, ada aku di sini."Hazel tanpa sadar mengangkat matanya dan bertemu dengan mata Sergio yang penuh kelembutan dan menyalurkan semangat itu.Entah karena matanya yang terlalu memikat atau karena Sergio mampu memberikan rasa aman yang cukup, hati Hazel yang tadinya tegang seketika menjadi rileks.Alisnya perlahan terangkat dan dia menebarkan senyuman ke arah Sergio."Hmm!"Dalam sekejap, tekanan yang berasal dari ruang perjamuan seakan menguap entah ke mana.Sergio tersenyum tipis. Dia memaksa dirinya untuk tidak menundukkan kepala dan mencium Hazel. Dia hanya merangkul pundak Hazel, lalu membawanya ma
Winda benar-benar menunjukkan wajah dingin dan meronta sekuat tenaga. "Hei, Tuan, tolong tunjukkan sedikit rasa hormatmu. Ada banyak orang yang melihat, apa kamu nggak takut kehilangan muka?"Namun, pria itu tidak memiliki rasa takut sedikit pun, malah tertawa dengan penuh semangat."Oh, jadi kamu menolakku karena di sini ada banyak orang? Kalau begitu kita naik ke atas saja. Aku punya kamar presiden suit di sini. Sayang, kamu tenang saja. Aku pasti akan memuaskanmu!"Setelah mengatakan itu, pria itu mendekat dan terlihat ingin mencium bibir Winda.Winda berteriak dan meminta pertolongan kepada orang-orang di sekitar, tetapi semua orang menatapnya dengan acuh, tetapi ada gurat simpati dalam sorot mata mereka.Namun, tidak ada satu orang pun yang bersedia mengulurkan tangan untuk menolongnya.Karena pria itu bukan orang lain, melainkan ayah dari seorang pejabat tinggi di Kota Palapa. Penyelenggara perjamuan ini memiliki hubungan yang tidak biasa dengan pejabat tinggi ini.Tepat ketika W
Dia meraih tangan Hazel dan menggelengkan kepalanya dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Rafael yang menolongku."Hazel melirik ke arah yang ditunjuk Winda dan gelombang kemarahan membuncah di dadanya.Jika Rafael tidak datang tepat waktu, Winda pasti sudah dilecehkan!Sungguh keji!Melihat Sergio, mata Rafael langsung berbinar. Dia pun memanggilnya, "Sergio."Sergio mengangguk pelan, lalu menatap pria yang terbaring di lantai, yang masih terus meratap kesakitan."Tuan Bima?"Mata pria paruh baya itu berbinar, merasa kalau dia sudah menemukan seorang penyelamat. Dia mengangguk, lalu menjawab, "Ya, namaku memang Rama. Tuan Sergio ternyata punya daya ingat yang bagus. Tolong minta Tuan Rafael untuk melepaskanku. Kita sama-sama teman, jadi kenapa harus sampai seperti ini?"Sergio mengangkat alisnya, sudut bibirnya perlahan-lahan menyunggingkan senyuman dingin, "Daya ingatku memang bagus, tapi aku nggak ingat kalau ada orang bernama Bima yang berkuasa di Kota Palapa."Nada suaranya memang t
Melihat keraguan dan ketakutan di dasar mata Winda, Rafael langsung berkata, "Nggak perlu. Kalau kamu benar-benar menyesal, bilang padanya. Kalau dia macam-macam lagi sama Winda, dia akan berhadapan dengan Keluarga Bramantyo."Suara Rafael jernih dan penuh daya tarik, membuat jantung Winda berdebar kencang ketika mendengarnya.Penyelenggara acara mengangguk berulang kali dan meyakinkan kalau Bima tidak akan pernah muncul di depan Winda lagi. Setelah itu, Rafael baru melepaskannya.Mendapatkan jawaban yang diinginkan, Rafael menatap penyelenggara acara dengan sorot dingin, lalu menggandeng tangan Winda untuk meninggalkan ruang perjamuan.Melihat punggung keduanya yang menjauh, Hazel mengerjap kosong, matanya dipenuhi kebingungan."Apa yang mereka lakukan ...."Melihat keterkejutan Hazel, Sergio tertawa pelan.Telapak tangannya menempel di atas kepala Hazel dan mengusapnya dengan lembut, lalu dia mengatakan, "Sejelas ini, tapi kamu masih nggak tahu?"Rasanya seperti ada yang meledak di d
Mendengar kata-kata Hazel, Sergio bahkan sampai tertawa terbahak-bahak.Suaranya rendah dan seksi, dadanya bergetar ketika dia tertawa.Pipi Hazel terasa panas. Dia menggosok telinganya dengan ekspresi tidak wajar, merasakan arus listrik mengalir di sepanjang telinganya."Sergio, sudah cukup! Jangan mengejekku lagi!"Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Hazel, sebuah tangan yang hangat dan kuat tiba-tiba melingkari pinggangnya, membuat Hazel tertarik ke dalam pelukannya.Hazel tidak siap dan tubuhnya membentur dada yang keras.Dia mendongak tanpa sadar, lalu melihat kalau Sergio tengah menatapnya. Mata yang dalam itu seakan memantulkan ribuan bintang."Aku nggak mengejekmu, aku cuma lagi bahagia."Hazel yang mendengar itu pun menimpali acuh, "Bahagia kenapa? Kamu memang mengejekku!"Bukankah Hazel hanya terpesona oleh godaan Sergio?Apa yang memalukan dari terpesona oleh suaminya sendiri?Merasakan kelembutan dalam pelukannya, hati Sergio langsung luluh.Dia menunduk, mencium kening
Rafael diam-diam menarik bibirnya membentuk senyuman tipis, lalu menunjukkan gerakan mempersilakan.Winda tidak punya pilihan lain selain masuk ke dalam mobilnya.Setengah jam kemudian, mobil sudah terparkir di lantai bawah rumah Winda. Winda melirik ke arah Rafael dan berkata, "Tuan, terima kasih karena sudah membantuku hari ini."Rafael mengetuk setir mobil dengan lembut, lalu bertanya sambil mengangkat alis, "Hmm? Apa yang akan kamu lakukan untuk berterima kasih kepadaku?"Winda tertegun, lalu menjawab, "Aku akan mentraktir makan, tapi aku nggak bisa kasih yang mahal."Winda memang sudah mendapat pekerjaan, tetapi dia masih harus membayar uang sewa rumah.Namun, Rafael tidak peduli dan mengangguk pelan, "Ya! Kalau begitu aku menantikannya. Sudah malam, cepat masuk dan istirahatlah."Winda mengangguk, melepaskan sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.Setelah sampai di rumah, Winda menghela napas lega. Entah kenapa, dia selalu merasa gugup saat berduaan dengan Rafael.Apa yang dia p
Sergio yang baru selesai mandi berjalan ke sisi ranjang, lalu mencium kening Hazel dengan lembut.Hazel memelototinya dengan kesal. "Ini salahmu! Aku jadi kesiangan begini!"Sergio tersenyum, lalu mengambil baju yang ada di tangan Hazel, membantu Hazel memakainya. Lalu, dia menjawab lembut, "Ya, ini memang salahku. Pintarnya, masih sakit nggak?"Wajah Hazel memerah, bahkan rona merah ini menjalar sampai ke telinganya.Masih sakit nggakPintarnya ....Selama ini tidak ada yang pernah memanggilnya seperti ini.Bibir Hazel yang merah merona sedikit cemberut, dia mendengus dengan nada kesal, "Sudahlah, kali ini aku maafkan."Melihat sikap patuh Hazel, Sergio tidak bisa menahan senyumnya.Hazel-nya masih bisa luluh dengan mudah, membuat Sergio memiliki dorongan untuk lebih menyayangi dan memanjakannya.Sergio menunduk dan memberikan sebuah kecupan di bibir Hazel. Kecupan ini tidak mengandung nafsu, sangat tulus dan serius."Hazel, aku mencintaimu."Hazel tidak menyangka Sergio akan menyatak