“Siapa yang memberikan ini?” tanya Rave yang ikut bertanya perihal kue pie yang baru saja dibuka oleh Levana.Baik Eva maupun Damian terlihat saling berpandangan satu sama lain. Rave yang melihatnya kini menatap mereka curiga karena merasa ada yang tengah disembunyikan.“Siapa yang mengirimkannya?” tegur Rave dengan suara yang sedikit meninggi.“Nyonya Lilian, Tuan,” ujar Damian yang mengambil alih menjawab pertanyaan yang ditujukan pada Eva.“Lilian?” tanya Rave yang mendadak bingung mendengarnya.Levana yang berada di samping Rave pun kini memilih duduk setelah menerima air hangat yang diambilkan oleh Eva. Segera saja Levana meminum obat sakit kepala yang juga dibawakan oleh Eva.“Ya, Tuan, pie ini dari Nyonya Lilian, tetapi Nyonya Lilian memberitahuku jika kue ini buatan Nyonya Maverick,” jelas Eva yang akhirnya bersuara setelah mengumpulkan keberanian.Yang dilakukan oleh Levana sekarang adalah pura-pura tidak mendengar apa pun. Dirinya hanya fokus menenangkan dirinya. Ia juga mer
Saat dirinya sadar, Levana tahu jika dirinya tengah dirawat di dalam rumah sakit. Punggung tangan kirinya terasa nyeri karena selang infus, dan juga di beberapa bagian tubuhnya yang lain, tepatnya di bagian perut, dirinya juga merasakan rasa sakit yang begitu nyeri.Kepalanya masih terasa pusing saat dirinya berusaha melirik ke arah seseorang yang tengah menggenggam erat tangan kanannya. Tanpa melihat dengan jelas siapa yang tengah menjaganya pun Levana sudah tahu jika itu adalah Rave.“Rave.”Suara Levana terdengar begitu serak dan seolah tak mampu untuk bersuara lebih keras. Dirinya sudah pernah pingsan sebelumnya, tetapi entah kenapa kali ini dirinya benar-benar merasa tidak bisa melakukan apa pun.“Rave,” panggil Levana sekali lagi yang mana berhasil membuat Rave mengangkat kepalanya.“Levana!” seru Rave yang langsung bangkit dan lebih mendekat ke arah dirinya. “Kau sudah sadar?”Kepala Levana mengangguk pelan karena hanya itu yang bisa dilakukannya. Saat dirinya mencoba untuk ber
Tangis Levana semakin terdengar begitu sakit saat dirinya mendengar sendiri fakta tentang anak yang di kandungannya tidak selamat. Dirinya benar-benar merasa sedih hingga tidak mampu menahan semua emosi yang sejak tadi coba ditahannya.“Levana, tenanglah, kau belum pulih sepenuhnya,” ucap Rave yang berusaha membujuk Levana, tetapi sang istri semakin histeris mendengarnya.Mata Levana terlihat begitu merah dan bengkak karena terus-terusan menangis. Tubuhnya bergetar hebat, walau saat ini Rave tengah berusaha membujuk dan menenangkan Levana. Tidak ada yang bisa menghentikan Levana untuk dirinya meluapkan emosi.Bibir Levana yang bergetar hendak mencoba mengatakan sesuatu. Namun, sampai Rave merasakan tubuh Levana yang mendadak lemas, dirinya tidak mendengar satu kata pun keluar dari mulut sang istri.“Astaga, Levana!”Rave mulai panik saat menyadari Levana kembali tak sadarkan diri. Dirinya dengan cepat memanggil perawat yang tengah berjaga dan membuat sang dokter kembali mendatanginya.
Pagi, siang maupun di malam hari yang bisa dilakukan oleh Levana hanya menangis. Dirinya juga menutup diri tidak ingin bertemu dengan siapa pun kecuali ibu dan dokter yang merawatnya.Sulit bagi Levana untuk menerima jika dirinya sudah kehilangan anak dalam kandungannya. Dirinya juga tidak bisa bertanya pada sang ibu karena ibunya tetap meminta jika Levana pulih dan jauh lebih kuat terlebih dahulu.“Dokter,” panggil Levana saat dirinya merasa sudah cukup baik.“Ya, ada yang Anda butuhkan, Nyonya?” respon dokter tersebut dengan suara yang sangat tenang.“Bisa aku bicara berdua saja denganmu?” pinta Levana yang mana membuat sang dokter menoleh ke arah perawat yang datang bersamanya.Seolah sang perawat paham dengan permintaan sang dokter, perawat tersebut pun tersenyum ke arah Levana dan meminta izin meninggalkan mereka berdua. Hanya ada Levana dan Dokter Winston sekarang di ruangan tersebut.“Jadi, apakah aku harus bersikap layaknya dokter untuk Anda, atau Anda ingin aku bersikap santa
“Levana, sebaiknya kau tidur, ini sudah larut malam,” tegur sang ibu yang mana tidak membuat Levana beralih sedikit pun dari jendela yang telah ditutupi tirai.“Di mana Mum biasa tidur saat aku tidur di malam hari?” tanya Levana yang pada akhirnya menoleh untuk melihat respon sang ibu.Ibunya terlihat cukup bingung hendak menjawab, tetapi setelahnya tersenyum hangat. “Tentu saja menemanimu di sini. Ke mana lagi Mum akan pergi?”Bohong. Levana tahu jika ibunya itu sedang berbohong.“Sebaiknya Mum pulang ke rumah. Sudah berapa hari Mum tidak pulang?” Tiba-tiba Levana tersadar akan sesuatu. “Ngomong-ngomong tanggal berapa ini? Bagaimana pekerjaan Mum saat menemaniku di sini?”Embusan napas pelan kini terdengar keluar dari mulut sang ibu. Tangan ibunya pun kembali membelai rambut Levana dengan lembut. “Kau tak perlu mengkhawatirkan pekerjaan Mum, Levana. Selagi ayahmu bekerja, kenapa Mum perlu khawatir? Lagi pula yang terpenting saat ini Mum ada untukmu.”Tangan Levana pun kini menggengga
Rasa gugup Levana semakin terasa ketika pintu ruangan kamar inapnya terbuka. Sama seperti dirinya, Rave juga terlihat gugup saat menghampiri Levana yang tengah menunggu kedatangannya.“Bagaimana kabarmu?” tanya Levana yang lebih dulu membuka suara.Kepala Rave menggeleng pelan. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, bagaimana kabarmu, Levana?”Levana berusaha untuk tersenyum, menyembunyikan rasa sedihnya. “Bukankah hari ini acara kegiatan amal. Kenapa kau justru berada di rumah sakit?”Mata Rave terlihat terpejam dan kini mencoba untuk menggenggam tangan Levana. Levana sendiri membiarkan Rave menggenggam tangannya dengan begitu erat.“Tak ada yang lebih penting selain menemanimu di sini, Levana,” ungkap Rave yang mana suaranya terdengar begitu jujur.“Itu sebabnya kau setiap malam datang ke ruanganku?” tanya Levana yang justru membuat Rave terkejut.“Kau menyadarinya?” Rave berbalik tanya yang mana tidak dipedulikan oleh Levana.Levana kembali mengajukan pertanyaan baru. “Kenapa kau me
“Jadi benar semuanya berawal dari pie itu?”Rave terdiam cukup lama mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Levana, membuat Levana kini memperhatikan gerak-gerik sang suami. Ia tahu jika ada yang coba disembunyikan oleh Rave dan dirinya berusaha untuk menunggu sampai waktunya tepat.“Lupakan soal pie, kita bahas nanti setelah aku cukup kuat dan keluar dari rumah sakit.” Wajah Levana terlihat begitu serius saat ini, walau di dalam hati dan pikirannya tetap merasa sedih. “Bisa kau atur rencana pemakaman untuk Orion besok?”Permintaan Levana barusan lagi-lagi membuat Rave tampak begitu terkejut. Sepertinya permintaan Levana barusan tidak pernah terbayangkan di pikiran sang suami.“Levana, tapi kau belum cukup kuat untuk itu,” ucap Rave seolah mengisyaratkan jika sebaiknya Levana memikirkan ulang pendapatnya.“Aku tahu tubuhku sendiri, Rave. Setelah apa yang terjadi di hidupku, aku tidak mungkin merasa cukup kuat dalam waktu yang singkat,” balas Levana.“Setidaknya kau pikirkan baik-baik,
“Apa maksudmu?” tegur Rave yang tidak suka mendengar ucapan Levana barusan.“Aku ingin kita bercerai, Rave. Semuanya sudah berakhir sekarang dan setelah ini, pastikan untuk tidak menemuiku lagi,” ucap Levana dengan tegas dan berusaha menggerakkan kursi rodanya sendiri.“Angkat tanganmu,” perintah Rave yang hendak dibalas oleh Levana, tetapi suaminya itu langsung mendorong kursi roda mereka.Para keluarga dan kerabat yang datang ke pemakaman Orion ternyata tengah menunggu Levana dan Rave. Tatapan iba dari mereka semua tidak dipedulikan Levana sampai dirinya mendengar Rave bersuara.“Terima kasih untuk semuanya yang menyempatkan hadir dan mendoakan putra kami. Maaf tidak bisa membersamai hingga akhir,” ujar Rave yang kini memberi hormat kepada semuanya.Kursi roda Levana pun kembali di dorong ke arah Audi putih yang sangat Levana kenal. Dengan cekatan, Rave pun langsung menggendong Levana masuk ke dalam mobil, duduk tepat di samping pengemudi.“Ke mana kau akan membawaku?” tanya Levana