Jari-jarinya yang halus terlihat meremas satu sama lain ketika Levana mendengar pernyataan Francis barusan. Ada rasa kesal yang tentunya tidak bisa diungkapkannya mengingat pria itu orang yang cukup berjasa di hidupnya.“Melihat kedatanganmu ke sini pagi sekali itu artinya ada hal yang menyenangkan terjadi kemarin. Bukan begitu, Levana?” ejek Francis yang kini menyandarkan punggungnya di kursi yang ia duduki.“Kenapa Anda memberitahu klinikku dengan Kieran, Tuan?” tanya Levana yang berusaha tetap tenang.“Apa yang terjadi di klinikmu kemarin, Levana? Apa Rave mengamuk?” Francis berbalik tanya dengan seringai tipis terlihat di wajahnya.“Apa yang sebenarnya Anda inginkan, Tuan?” Sungguh, Levana tidak mengerti jalan pikiran ayah mertuanya itu.“Kecemburuan Rave tentu saja,” jawab Francis singkat yang semakin membuat Levana bertanya-tanya.“Apa maksudnya?”Francis terkekeh pelan dan bangkit berdiri dari kursinya. Terlihat pria itu memilih berjalan mendekati jendela yang berada di ruangan
“Apa sebenarnya yang kau butuhkan dari ayahku?” keluh Rave saat pria itu membawa Levana ke dalam ruang kerja pribadinya.“Kenapa kau membawaku ke sini? Aku harus segera pergi bekerja,” seru Levana yang mana hendak keluar, tetapi ditahan oleh Rave.Tatapan Rave kini menyiratkan amarah yang tertahan. “Jangan main-main denganku, Levana. Apa yang sebenarnya kau bicarakan dengan ayahku?”Levana terlihat mengembuskan napasnya mencoba menenangkan diri sendiri. “Seperti yang Tuan Maverick katakan sebelumnya, tidak semua hal perlu kau ketahui, Rave.”“Semua hal tentangmu kini menjadi urusanku, Levana, dan aku berhak tahu apa yang kau bicarakan dengan ayahku. Katakan apa yang kau bicarakan dengannya?” tuntut Rave yang tak juga membuat Levana bersuara.“Aku berhak punya rahasia, Rave.” Levana kini mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit ruang kerja Rave. “Lagi pula kau tidak bisa membantu dengan masalah yang aku alami, untuk apa aku menceritakannya padamu.”Ucapan Levana barusan berhasil
Setelah pertengkaran antara Levana dan Rave tempo hari, Levana menjalankan kehidupannya sendiri. Rave tidak lagi datang ke rumah mereka di Richmond yang mana tidak dipedulikan oleh Levana sama sekali.Pernah suatu hari Levana membuka sosial media miliknya setelah lama sekali tidak pernah dibuka, unggahan milik Lilian entah kenapa tiba-tiba muncul di berandanya. Lilian dan Rave saat ini tengah berada di negara lain, tepatnya di Korea Selatan. Terlihat keduanya sedang berlibur bersama.“Betapa menyenangkannya menjadi orang kaya, bisa berlibur dengan bebas tanpa harus memikirkan bagaimana mereka hidup besok,” keluh Levana yang tiba-tiba merasa iri.Seumur hidupnya ia tidak pernah pergi berlibur ke luar negeri. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang hampir setiap minggu pergi ke luar negeri untuk bekerja, Levana hanya bisa berkutat dengan pekerjaannya menjadi dokter hewan. Setidaknya pekerjaannya membuat dirinya bahagia, sehingga tidak ada kata jenuh saat tengah bekerja.“Aku masih bisa h
Tubuh yang terasa sangat lemas diikuti rasa pusing yang tiba-tiba datang kembali membuat Levana perlahan membuka matanya. Silau lampu membuatnya berkali-kali mengerjap untuk menetralkan cahaya yang masuk ke matanya.“Kau sudah sadar, Levana?” tegur seseorang yang membuat Levana menoleh ke sisi kirinya.“Rave?” Rasa terkejut tiba-tiba mendatangi Levana ketika mendapati raut khawatir di wajah sang suami. “Kenapa kau di sini?”Mata Levana pun beralih memindai semua penjuru ruangan dan mengembuskan napasnya pelan. “Aku masuk rumah sakit lagi?” tanya Levana yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Rave.“Ya, Mom tadi menghubungi dan memintaku untuk segera datang,” jelas Rave dengan suara yang entah kenapa terdengar sangat lembut di telinga Levana saat ini.“Oh aku sampai lupa jika aku bertemu dengan ibumu,” gumam Levana. Ia hendak duduk dan tangan Rave dengan sigap membantunya. “Kau tidak menghubungi orang tuaku, kan?”Rave menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak, begitu juga dengan Mom. K
Sepanjang malam Levana sama sekali tidak tidur, begitu juga dengan Rave yang terus duduk diam di samping ranjang rumah sakit, bahkan ponsel Rave yang berulang kali berbunyi diabaikannya. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Pulanglah, Rave. Aku tidak mau melihat kau di sini sepanjang hari,” usir Levana yang sudah mulai lelah melihat suaminya itu.“Kau terlalu gila untuk aku tinggal sendirian, Levana,” cetus Rave yang tidak mempedulikan Levana.Tak lama ketukan pintu di ruang rawat inap Levana terdengar. Baik Levana maupun Rave langsung tertuju pada pintu yang terbuka yang mana ternyata seorang perawat yang datang.“Kira-kira kapan aku bisa bertemu dengan dokter yang menanganiku?” tanya Levana yang mengajukan pertanyaan pada perawat yang tengah menggantikan infus Levana.“Kenapa kau ingin bertemu dengan dokter?” tegur Rave yang mendahului sang perawat untuk menjawab.“Aku perlu tahu kondisiku sendiri, Rave.” Levana berusaha tenang walau sebenarnya dirinya ingin marah pa
Kembali pulang ke Richmond membawa kebahagiaan tersendiri untuk Levana. Dirinya benar-benar merasa nyaman dan menganggap rumah di Richmond sebagai rumah tempatnya pulang. Namun, terkadang Levana harus sadar diri karena rumah di sana bukan miliknya dan sewaktu-waktu ia bisa ditendang begitu saja.“Sebaiknya kau istirahat dahulu, kita bisa bicara lagi di saat tubuhmu sudah pulih seutuhnya,” ujar Rave saat dirinya membantu Levana masuk ke dalam rumah.“Begitu juga sebaliknya, ada baiknya kau pulang ke rumahmu dan tinggalkan aku sendiri,” ucap Levana membalikkan ucapan Rave barusan.“Levana, tolonglah. Aku tidak mungkin meninggalkan kau sendirian di sini,” sahut Rave yang berusaha berdamai dengan Levana.Tubuh Levana kini berbalik menghadap suaminya itu. “Kau takut aku bertindak buruk hingga melukai kandunganku sendiri?” tanya Levana yang berhasil membuat Rave mengembuskan napas beratnya.“Istirahat, Levana. Kau butuh banyak beristirahat sekarang. Jika kau butuh sesuatu, aku ada di kamark
“Kau tidak pulang juga?” tegur Levana saat dirinya mendapati Rave duduk di ruang makan sembari fokus pada laptop dan ponselnya.Kepala Rave mendongak sebentar ke arah Levana yang baru saja turun dari kamarnya. “Kau membutuhkan sesuatu?” tanya Rave yang mendapat gelengan kepala dari Levana.“Sudah dua hari kau di sini, sebaiknya kau pulang,” tegur Levana yang kini fokus pada lemari pendingin di hadapannya.“Aku tetap akan tinggal,” balas Rave singkat.“Tidakkah kau memikirkan perasaan Lilian saat ini? Aku baik-baik saja, jadi kau bisa pulang sekarang,” usir Levana yang kembali mengingatkan tentang Lilian.Rave yang semula sedang minum pun meletakkan gelas yang ia pegang dengan kuat di atas meja. Amarah tertahan seolah menjalar keluar dari tubuhnya.“Bukankah kita berdua sudah berjanji untuk tidak membahas hal ini? Aku lelah terus bertengkar denganmu,” seru Rave yang tidak dipedulikan oleh Levana.Yang dikatakan Rave benar, Levana sendiri sudah lelah terus bertengkar dengan suaminya itu
“Jam berapa Rave datang menjemputmu?” tegur sang ibu yang membuat Levana tersadar dari lamunannya.Senyum tipis Levana terlihat diikuti dengan gelengan kepalanya. Ia pun beranjak mendekati sang ibu yang duduk di ranjang lamanya dan membaringkan kepalanya di atas paha milik ibunya.“Ingat ya, Levana, langsung beritahu jika ada masalah dengan rumah tangga kalian.” Tangan sang ibu membelai lembut rambut Levana hingga dirinya tak sadar hingga jatuh tertidur.Sesuatu yang dingin tiba-tiba Levana rasakan di pipi kirinya. Perlahan matanya mulai membuka dan mendapati Rave tengah menatapnya.“Kapan kau datang?” tanya Levana yang begitu kaget hingga terperanjat dari tidurnya.Rave yang semula berjongkok pun bangkit dan duduk di tepi ranjang Levana. “Kau mau menginap di sini malam ini?” tanya Rave dengan suara yang terdengar lembut.Bukannya menjawab, Levana justru berbalik tanya. “Kau lelah?” Matanya pun melihat ke sekeliling kamar mencari sang ibu. “Ke mana Mom?”“Ibumu tidur di kamarnya begit