Tubuh yang terasa sangat lemas diikuti rasa pusing yang tiba-tiba datang kembali membuat Levana perlahan membuka matanya. Silau lampu membuatnya berkali-kali mengerjap untuk menetralkan cahaya yang masuk ke matanya.“Kau sudah sadar, Levana?” tegur seseorang yang membuat Levana menoleh ke sisi kirinya.“Rave?” Rasa terkejut tiba-tiba mendatangi Levana ketika mendapati raut khawatir di wajah sang suami. “Kenapa kau di sini?”Mata Levana pun beralih memindai semua penjuru ruangan dan mengembuskan napasnya pelan. “Aku masuk rumah sakit lagi?” tanya Levana yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Rave.“Ya, Mom tadi menghubungi dan memintaku untuk segera datang,” jelas Rave dengan suara yang entah kenapa terdengar sangat lembut di telinga Levana saat ini.“Oh aku sampai lupa jika aku bertemu dengan ibumu,” gumam Levana. Ia hendak duduk dan tangan Rave dengan sigap membantunya. “Kau tidak menghubungi orang tuaku, kan?”Rave menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak, begitu juga dengan Mom. K
Sepanjang malam Levana sama sekali tidak tidur, begitu juga dengan Rave yang terus duduk diam di samping ranjang rumah sakit, bahkan ponsel Rave yang berulang kali berbunyi diabaikannya. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Pulanglah, Rave. Aku tidak mau melihat kau di sini sepanjang hari,” usir Levana yang sudah mulai lelah melihat suaminya itu.“Kau terlalu gila untuk aku tinggal sendirian, Levana,” cetus Rave yang tidak mempedulikan Levana.Tak lama ketukan pintu di ruang rawat inap Levana terdengar. Baik Levana maupun Rave langsung tertuju pada pintu yang terbuka yang mana ternyata seorang perawat yang datang.“Kira-kira kapan aku bisa bertemu dengan dokter yang menanganiku?” tanya Levana yang mengajukan pertanyaan pada perawat yang tengah menggantikan infus Levana.“Kenapa kau ingin bertemu dengan dokter?” tegur Rave yang mendahului sang perawat untuk menjawab.“Aku perlu tahu kondisiku sendiri, Rave.” Levana berusaha tenang walau sebenarnya dirinya ingin marah pa
Kembali pulang ke Richmond membawa kebahagiaan tersendiri untuk Levana. Dirinya benar-benar merasa nyaman dan menganggap rumah di Richmond sebagai rumah tempatnya pulang. Namun, terkadang Levana harus sadar diri karena rumah di sana bukan miliknya dan sewaktu-waktu ia bisa ditendang begitu saja.“Sebaiknya kau istirahat dahulu, kita bisa bicara lagi di saat tubuhmu sudah pulih seutuhnya,” ujar Rave saat dirinya membantu Levana masuk ke dalam rumah.“Begitu juga sebaliknya, ada baiknya kau pulang ke rumahmu dan tinggalkan aku sendiri,” ucap Levana membalikkan ucapan Rave barusan.“Levana, tolonglah. Aku tidak mungkin meninggalkan kau sendirian di sini,” sahut Rave yang berusaha berdamai dengan Levana.Tubuh Levana kini berbalik menghadap suaminya itu. “Kau takut aku bertindak buruk hingga melukai kandunganku sendiri?” tanya Levana yang berhasil membuat Rave mengembuskan napas beratnya.“Istirahat, Levana. Kau butuh banyak beristirahat sekarang. Jika kau butuh sesuatu, aku ada di kamark
“Kau tidak pulang juga?” tegur Levana saat dirinya mendapati Rave duduk di ruang makan sembari fokus pada laptop dan ponselnya.Kepala Rave mendongak sebentar ke arah Levana yang baru saja turun dari kamarnya. “Kau membutuhkan sesuatu?” tanya Rave yang mendapat gelengan kepala dari Levana.“Sudah dua hari kau di sini, sebaiknya kau pulang,” tegur Levana yang kini fokus pada lemari pendingin di hadapannya.“Aku tetap akan tinggal,” balas Rave singkat.“Tidakkah kau memikirkan perasaan Lilian saat ini? Aku baik-baik saja, jadi kau bisa pulang sekarang,” usir Levana yang kembali mengingatkan tentang Lilian.Rave yang semula sedang minum pun meletakkan gelas yang ia pegang dengan kuat di atas meja. Amarah tertahan seolah menjalar keluar dari tubuhnya.“Bukankah kita berdua sudah berjanji untuk tidak membahas hal ini? Aku lelah terus bertengkar denganmu,” seru Rave yang tidak dipedulikan oleh Levana.Yang dikatakan Rave benar, Levana sendiri sudah lelah terus bertengkar dengan suaminya itu
“Jam berapa Rave datang menjemputmu?” tegur sang ibu yang membuat Levana tersadar dari lamunannya.Senyum tipis Levana terlihat diikuti dengan gelengan kepalanya. Ia pun beranjak mendekati sang ibu yang duduk di ranjang lamanya dan membaringkan kepalanya di atas paha milik ibunya.“Ingat ya, Levana, langsung beritahu jika ada masalah dengan rumah tangga kalian.” Tangan sang ibu membelai lembut rambut Levana hingga dirinya tak sadar hingga jatuh tertidur.Sesuatu yang dingin tiba-tiba Levana rasakan di pipi kirinya. Perlahan matanya mulai membuka dan mendapati Rave tengah menatapnya.“Kapan kau datang?” tanya Levana yang begitu kaget hingga terperanjat dari tidurnya.Rave yang semula berjongkok pun bangkit dan duduk di tepi ranjang Levana. “Kau mau menginap di sini malam ini?” tanya Rave dengan suara yang terdengar lembut.Bukannya menjawab, Levana justru berbalik tanya. “Kau lelah?” Matanya pun melihat ke sekeliling kamar mencari sang ibu. “Ke mana Mom?”“Ibumu tidur di kamarnya begit
“Kau di rumah sekarang?”Levana yang tengah mengangkat panggilan teleponnya kini kembali memastikan siapa yang menghubunginya. Dirinya tidak salah lihat, Rave memang yang menghubunginya, suaranya juga suara Rave, tetapi ada rasa bingung saat sang suami menghubunginya untuk menanyakan keberadaannya.“Ya, aku di rumah. Bukankah kau sendiri yang melarangku untuk pergi ke mana pun selama satu minggu ini,” seru Levana yang kembali menempelkan ponsel di telinga kirinya.“Dad memintamu untuk makan malam bersama di Belgrave malam ini.” Terdengar suara Rave yang menyampaikan pesan pada Levana. “Sayangnya aku tidak bisa pulang ke rumah untuk menjemputmu, kau bisa datang sendiri? Dan oh gunakan taksi, kau dilarang mengendarai mobil sendiri.”Cukup lama Levana terdiam memikirkan ajakan makan malam dengan orang tua Rave. Entah kenapa rasa gugup dan takut seolah kembali mendatanginya. Belum lagi saat makan malam nanti Lilian pasti ikut serta makan bersama.“Levana, kau mendengarku?” tegur Rave yang
Makan malam yang telah direncanakan oleh Francis Maverick sejauh ini berjalan lancar. Walau Levana cukup tertekan, dirinya bisa mengatasi agar bisa terlihat tenang saat makan malam tengah berlangsung.“Oh Levana, minggu depan ada pameran tanaman hias lagi. Kau mau pergi bersamaku?” tanya Yara Maverick, sang ibu mertua yang tiba-tiba bersuara.Levana yang terkejut langsung refleks menoleh ke samping kanannya di mana Rave berada. Keduanya seolah paham dengan apa yang masing-masing mereka pikirkan.“Mrs Maverick, maafkan aku, tapi aku tidak cukup yakin bisa datang ke sana mengingat aku sudah lama tidak datang ke klinik,” tolak Levana secara halus yang mana mendapat seringai tipis dari Francis.“Bagaimana jika mengajak Lilian? Jadwalmu kosong minggu depan, kan?” Rave terdengar menyarankan Lilian pada ibunya yang mana dibalas anggukan semangat dari wanita itu.“Minggu ini aku tidak ada jadwal apa pun, aku bisa pergi menemanimu, Mom. Bukankah biasanya aku yang selalu menemanimu datang ke pa
Teguran Francis Maverick membuat tiga orang di sana refleks terdiam dalam keterkejutannya. Levana yang juga terkejut mendengar teguran Francis hanya bisa menggigit bibir bawahnya.“Pulanglah bersama Levana ke Richmond, Rave,” perintah Francis yang justru membuat Lilian protes.“Kenapa Rave yang harus mengantarkannya, dia datang ke sini naik taksi, pulangnya ya tentu harus naik taksi. Lagi pula Rave terlalu lelah jika harus mengantar Levana dan kembali lagi ke sini,” protes Lilian yang mana justru membuat Levana yang merasa takut karena keberaniannya.“Kalau Rave terlalu lelah untuk pulang ke sini ya dia tak perlu pulang. Lagi pula ia pulang ke rumahnya sendiri dengan Levana,” sahut Francis.“Tidak bisa begitu, Rave sudah lama tidak pulang ke rumah denganku,” tukas Lilian yang masih teguh pada ucapannya.“Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri, Lilian. Kau tidak perlu harus diantar Rave karena kau tinggal di dekat sini, sedangkan Levana yang seharusnya diantar pulang, karena selain tem