Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.
Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar.
"Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya.
"Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya.
"Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.
Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.
Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya Alya tengah menangis dan ibunya mengusap punggungnya. Tapi, kehadirannya tetap tak lepas dari pandangan Ummi Amelinda. Wanita itu pun memberi isyarat agar ia mendekat.
"Ada apa, Han?"
Menyadari kehadiran orang lain di dekat mereka, Alya segera mendongak. Ia sedikit terkejut melihat Hanami sudah berdiri di hadapannya dengan wajah tegang.
"Starbig mengirimkan balasan, mereka...." Hanami menggantung ucapannya, menatap Alya menunggu persetujuan melanjutkan laporannya.
"Biar aku baca sendiri," tukas Alya cepat. Ia segera menghapus air matanya dan menyambar tab yang disodorkan Hanami.
Dada Alya bergejolak membaca e-mail Starbig. Sebuah jawaban yang jelas-jelas menyatakan perang pada perusahannya. Ia tidak pernah menyangka, ada seseorang yang tidak menjunjung nilai toleransi di dunia yang penuh kedamaian. Ia menarik napas berat.
"Ada apa, Al?" Amelinda menangkap aura tidak menyenangkan dari kedua wanita di dekatnya itu.
Alya tersenyum tenang, berusaha menyembunyikan kenyataan pahit yang mendera perusahaan. "Nggak apa-apa, Mi. Ummi tenang saja."
"Apa Starbig nggak mempermasalahkan keputusan kamu, Al?" Sang ibu masih khawatir.
"Enggak kok, Mi. Oya, aku ada yang harus diselesaikan di kantor. Ummi tolong jaga Abi, kabari aku kalo ada sesuatu yang penting, Mi." Alya memeluk ibunya sebelum beranjak.
"Iya, hati-hati, Nak."
Alya dan Hanami berjalan keluar dari rumah sakit, lalu masuk ke mobil.
"Karena aku sudah memutuskan, aku juga yang akan menanggung resiko." Alya mengembalikan tab pada Hanami setelah mereka berada di dalam mobil.
"Jadi kita langsung ke kantor, Ummi?" tanya Hanami.
"Iya."
Mobil melaju perlahan menyusuri jalanan kota yang padat merayap. Waktu menunjukkan pukul 17.50, tidak lama lagi waktu maghrib tiba, berarti ia akan shalat Maghrib di kantor.
"Kamu sudah mencari tau secara lengkap mengenai Starbig dan CEO-nya?"
"Iya, sudah, Ummi. Semua sudah saya kumpulkan lengkap. Kalau Ummi mau baca sekarang...."
"Tidak perlu, nanti di kantor saja," potong Alya cepat.
Setibanya di kantor, mereka langsung melaksanakan shalat berjamaah. Lalu menuju ke ruang kerja Presdir.
"Jelaskan detailnya," pinta Alya.
"Mereka meminta kita minta maaf dan menerima kembali semua produk yang sudah mereka kirim. Terus, mereka juga mensyaratkan, permintaan maafnya harus dengan...." Hanami ragu untuk melanjutkan.
"Harus dengan?" ulang Alya penasaran.
"Mereka mensyaratkan permintaan maafnya harus dengan... berlutut di depan CEO Starbig." Hanami memelankan suaranya, tidak tega mengucapkan kalimat tidak terhormat itu di hadapan keluarga Al Manari yang sangat dihormati.
"Berlutut?" Alya mengernyit heran. Baru kali ini ia mendengar ada permohonan maaf seperti itu di zaman merdeka seperti sekarang ini.
"Perlu Ummi ketahui, CEO Starbig, Egie Andirasmaja terkenal sangat kejam dan dingin. Dia tidak mengenal belas kasihan. Sudah banyak perusahaan jatuh karena berurusan dengan mereka."
"Pantasan Abah langsung kambuh jantungnya begitu tau aku kembalikan produk-produk mereka, ternyata seperti itu." Alya mengangguk mengerti.
"Baiklah, aku mengerti. Tapi kita harus mencoba dulu, gunakan jalur diplomasi agar kita bisa berkomunikasi dengan mereka. Kita punya bukti kuat untuk membela diri kalau mereka menolak dan menekan. Oya, cari negosiator dan pengacara hebat yang bisa menangani kasus ini," imbuhnya.
"Baik, Ummi."
***
Egie tertawa terbahak-bahak setelah membaca balasan e-mail dari Almanar Group. Saking kerasnya tertawa, air mata mengalir di sudut matanya dan memegangi perutnya karena geli.
"Mereka mau bernegosiasi denganku?" Ia tertawa lagi. "Perusahaan kecil itu mau mengundi nasib denganku?"
Tommy dengan setia mendengarkan semua ucapan pedas bosnya tanpa menyela.
"Kalau masih ada kursi kosong, terima saja. Aku mau liat, sampai di mana nyali perempuan itu berhadapan denganku."
Egie menyandarkan kepalanya ke kursi sambil tersenyum senang, sepertinya ia akan memiliki permainan baru. Tidak lama kemudian, ia bangkit menuju ke wine cooler. Mulai memilih minuman kesukaannya itu, lalu berniat mengambil salah satu wine ketika tangan Tommy lebih dulu menutup kembali pintunya.
"Maaf, Tuan. Anda sudah minum lebih dari lima botol hari ini. Ingat kesehatan Anda, Tuan."
Egie menatap tajam wajah Tommy, lalu mendengus kesal. Tapi ia menurut, tidak lagi mengambil botol miras itu, berpindah mengamati pemandangan kota dari dinding kaca.
Dan keesokan harinya, sesuai dengan kesepakatan, mereka bertemu di meeting room Starbig. Egie duduk dengan pongah memandang rendah Alya dan para rekannya. Ia sama sekali tidak tersenyum atau beramah-tamah. Hanya sekali memandang ke arah Alya ketika pertama kali gadis itu memasuki ruang meeting.
'Ternyata Presdir kecil itu lebih cantik aslinya dari yang di foto. Hmmm, kita liat saja, apa dia tetap bertahan. Tapi, tunggu... wajahnya seperti mirip seseorang, siapa kira-kira?' Egie menggumam dalam hati sambil memegangi dagunya. Lalu membuang pandangan ke arah lain.
Acara meeting berlangsung dengan kaku, sebab Egie sama sekali tidak memberikan pendapat. Padahal Alya sendiri yang menjelaskan latar belakang kenapa dia sampai menolak produk Starbig.
"Kami bukan menolak dalam artian menghina pihak Starbig, bukan, sama sekali bukan. Tapi kami hanya tidak bisa menerima karena produk Anda tidak sesuai dengan standar operasional perusahaan kami. Karena kalau kami terima, tapi kami tidak menjualnya, bukannya justru mubazir?" Alya mengemukakan pendapatnya lagi.
"Aku tidak peduli! Sistem yang kami terapkan adalah, begitu terjadi kerja sama, tidak ada istilah pengembalian produk. Apalagi sampai berani menggurui aku, mengatakan produkku mengandung bahan berbahaya!!" Egie akhirnya menyela. Ia menatap tajam Alya, pandangan mata mereka bertemu dalam waktu beberapa detik. Ia kembali merasa mengenal wajah itu.
"Baiklah, karena Anda bersikeras, kami juga tidak bisa membiarkan Anda terus-menerus melakukan penindasan seperti ini. Kami punya bukti kuat," tegas Alya. Ia lalu berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Hanami dan beberapa orang lainnya segera mengikuti.
"Berani sekali dia meninggalkan ruangan rapat sebelum aku keluar!" teriak Egie sepeninggal orang-orang Almanar Group. "Dia pikir dia siapa berani bersikap begitu?!"
"Tuan, sudah larut, Anda sebaiknya beristirahat." Tommy mengingatkan. Ia juga sebenarnya sudah lelah, ingin segera membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Tapi tuannya tidak bergeming dari tempat duduknya. Bahkan mereka masih berada di dalam meeting room tadi.
"Tarik sebagian besar investor dan supplier mereka! Biarkan mereka merasakan sulitnya mencari supplier dan investor baru dengan kondisi ekonomi yang pincang!" seru Egie lagi.
===================================
Halo, salam hangat dariku...
Terima kasih sudah mampir...
Jangan lupa subscribe dan berikan komentar/review ya... biar aku makin semangat update.
Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig. "Melamun?" Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman. "Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya. "Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari te
Alya menatap Hanami dengan pandangan sendu. Baru saja sekretaris pribadinya itu melaporkan tentang penarikan saham dari 50 persen investor dan 25 persen supplier membatalkan kerja sama. Secara otomatis bulan depan mereka akan kehilangan banyak pasokan modal dan barang."Tim sudah mencari tau latar belakang semua itu, mereka mundur atas tekanan dari seseorang. Mereka tidak mengatakan itu siapa, tapi aku yakin pastilah Egie Andirasmaja orangnya." Hanami menambahkan informasi yang dibawanya.Dan seperti yang diprediksi, satu bulan berikutnya, Almanar kehilangan banyak investor dan supplier. Akibat dari penarikan saham dan pembatalan kerja sama, kini mereka memiliki hutang yang sangat besar untuk menutupi biaya pembelian barang. Jumlah barang di gudang dan etalase juga merosot tajam.Alya berdiri dengan gelisah di hadapan dinding kaca. Ia harus membuat sebuah terobosan baru agar bisnisnya terus berkembang. Ia teringat Fahira, sahabat karibnya yang baru pulang beb
Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui. Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini. Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef."Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz. "Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya. "Bukan be
Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna. Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan. "Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah. Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig. "Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya. "Apa mungkin dia menjebakku?" "Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
Alya memindahkan duduknya menjadi lebih dekat pada Egie, tapi masih ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Ia benar-benar tidak punya ide hendak melakukan apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memilin ujung jilbabnya dan meremas-remas jemarinya. Sementara Egie hanya diam, asyik sendiri dengan ponselnya. Sepertinya dia sangat sibuk karena begitu serius menatap layarnya, terkadang keningnya berkerut-kerut, terkadang mengangguk-angguk, tetapi tak ada satu pun senyuman terukir di sana. 'Apa sebaiknya aku buatkan minuman?' Alya membatin, rasanya sangat menegangkan terus menerus duduk di dekat Egie, hingga otot-ototnya terasa kaku. "M-maaf, Tuan, mungkin Anda ingin minum yang hangat? Teh, kopi, capuccino, atau...?" tanya Alya dengan suara pelan, khawatir membuat pria di sebelahnya itu murka. Beberapa saat Egie masih belum merespon, masih sibuk mengetik di layar ponsel. Lalu menoleh, melayangkan tatapan tajam dan dingin membuat siapa sa
Alya tidak pernah berpikir bahwa malam pertama akan sangat menegangkan. Merasakan sebuah ciuman hangat di pipi, bibir, dan telinga. Semua itu... begitu mengejutkan dan... menggelikan. Ia bahkan tidak bisa bergerak, tubuhnya membeku seperti es batu baru saja keluar dari freezer, super dingin. Tapi Egie yang sudah berpengalaman tentu tidak akan membiarkan suasana sekaku itu. Ia tahu di mana seharusnya memancing wanita agar bisa mencair dan hanyut bersamanya. Dan kepolosan Alya membuatnya bangga dan merasa terhormat, bahwa dialah satu-satunya pria yang menyentuh tubuhnya. Perlakuan Egie yang lembut dan hangat, membuat Alya melupakan sikap dingin dan kejamnya. Ia mulai terhanyut bersama sapuan halus menggelitik di dalam mulutnya yang baru saja bisa membuka. Matanya telah terpejam melarut bersama sentuhan jemari kokoh yang menelusup masuk di balik gaun tidurnya. Ah, apa ini mimpi? Alya masih belum mempercayai kenyataan manis yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya
Alya tidak pernah berpikir bahwa malam pertama akan sangat menegangkan. Merasakan sebuah ciuman hangat di pipi, bibir, dan telinga. Semua itu... begitu mengejutkan dan... menggelikan. Ia bahkan tidak bisa bergerak, tubuhnya membeku seperti es batu baru saja keluar dari freezer, super dingin. Tapi Egie yang sudah berpengalaman tentu tidak akan membiarkan suasana sekaku itu. Ia tahu di mana seharusnya memancing wanita agar bisa mencair dan hanyut bersamanya. Dan kepolosan Alya membuatnya bangga dan merasa terhormat, bahwa dialah satu-satunya pria yang menyentuh tubuhnya. Perlakuan Egie yang lembut dan hangat, membuat Alya melupakan sikap dingin dan kejamnya. Ia mulai terhanyut bersama sapuan halus menggelitik di dalam mulutnya yang baru saja bisa membuka. Matanya telah terpejam melarut bersama sentuhan jemari kokoh yang menelusup masuk di balik gaun tidurnya. Ah, apa ini mimpi? Alya masih belum mempercayai kenyataan manis yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya
Alya memindahkan duduknya menjadi lebih dekat pada Egie, tapi masih ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Ia benar-benar tidak punya ide hendak melakukan apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memilin ujung jilbabnya dan meremas-remas jemarinya. Sementara Egie hanya diam, asyik sendiri dengan ponselnya. Sepertinya dia sangat sibuk karena begitu serius menatap layarnya, terkadang keningnya berkerut-kerut, terkadang mengangguk-angguk, tetapi tak ada satu pun senyuman terukir di sana. 'Apa sebaiknya aku buatkan minuman?' Alya membatin, rasanya sangat menegangkan terus menerus duduk di dekat Egie, hingga otot-ototnya terasa kaku. "M-maaf, Tuan, mungkin Anda ingin minum yang hangat? Teh, kopi, capuccino, atau...?" tanya Alya dengan suara pelan, khawatir membuat pria di sebelahnya itu murka. Beberapa saat Egie masih belum merespon, masih sibuk mengetik di layar ponsel. Lalu menoleh, melayangkan tatapan tajam dan dingin membuat siapa sa
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna. Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan. "Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah. Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig. "Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya. "Apa mungkin dia menjebakku?" "Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara
Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui. Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini. Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef."Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz. "Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya. "Bukan be
Alya menatap Hanami dengan pandangan sendu. Baru saja sekretaris pribadinya itu melaporkan tentang penarikan saham dari 50 persen investor dan 25 persen supplier membatalkan kerja sama. Secara otomatis bulan depan mereka akan kehilangan banyak pasokan modal dan barang."Tim sudah mencari tau latar belakang semua itu, mereka mundur atas tekanan dari seseorang. Mereka tidak mengatakan itu siapa, tapi aku yakin pastilah Egie Andirasmaja orangnya." Hanami menambahkan informasi yang dibawanya.Dan seperti yang diprediksi, satu bulan berikutnya, Almanar kehilangan banyak investor dan supplier. Akibat dari penarikan saham dan pembatalan kerja sama, kini mereka memiliki hutang yang sangat besar untuk menutupi biaya pembelian barang. Jumlah barang di gudang dan etalase juga merosot tajam.Alya berdiri dengan gelisah di hadapan dinding kaca. Ia harus membuat sebuah terobosan baru agar bisnisnya terus berkembang. Ia teringat Fahira, sahabat karibnya yang baru pulang beb
Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig. "Melamun?" Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman. "Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya. "Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari te
Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar."Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya."Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya."Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya ter