Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna.
Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan.
"Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah.
Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig.
"Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya.
"Apa mungkin dia menjebakku?"
"Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara ini setiap kali menaklukkan lawan bisnisnya. Dia bukan pria yang kesepian. Mungkinkah dia menderita suatu penyakit?" Fahira berasumsi.
"Entahlah. Yang jelas aku serasa mau gila." Alya menyesap habis jus alpukat di hadapannya.
Mereka terdiam bersama, tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Atau terima aja dia, Al. Ba...."
"Tidak!" Cepat-cepat Alya memotong ucapan sahabat karibnya itu dengan wajah masam.
"Dengar dulu." Fahira tersenyum lebar. "Kamu terima aja tawaran itu, terus pelan-pelan hancurin dia dari dalam. Kamu kumpul semua bukti-bukti kejahatan dia, terus... eksekusi."
Alya menggeleng. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan pria itu. Baru saja ia menolak pernikahan dengan Aziz, lalu tiba-tiba dia menerima pernikahan dengan Egie? Itu tidak mungkin terjadi.
Akhirnya mereka pulang tanpa memperoleh solusi yang tepat.
Alya kembali ke rumah sakit. Tapi ia dikejutkan dengan kehadiran Hanami di sana. Wanita itu menunduk hormat begitu melihat kedatangan Alya.
Orang tua Alya serentak menatapnya penuh selidik. Dengan perlahan Alya menduduki sebuah kursi di samping ibunya.
"Kenapa untuk masalah sepenting ini tidak kasih tau ke kami?" cecar Abah Nayef. Umi Amelinda mengusap lengan suaminya agar tidak terbawa emosi.
"Aku sedang mencari jalan keluarnya, Bi." Alya menjawab dengan menunduk.
"Kalo bukan Hanami yang ngasih tau ke sini, kami yakin kamu nggak akan kasih tau ini," protes Abah lagi.
Alya menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia hanya tidak ingin membuat orang tuanya khawatir.
"Nggak ada solusi lagi untuk masalah ini. Kamu harus segera menikah dengan Aziz agar secepatnya dapat bantuan dana, lalu kita bawa masalah ini ke ranah hukum." Abah Nayef berucap sangat tegas.
"Enggak, Bi. Aku nggak mau menghancurkan keluarga Aziz. Egie tidak akan semudah itu dikalahkan meski dengan bantuan keluarga Aziz." Alya menatap ayahnya dengan sendu.
"Aku...." Tenggorokan Alya tiba-tiba tercekat saat hendak melanjutkan ucapannya. "Aku... akan menerima tawaran Stabig," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.
"Apa? Jangan asal bicara kamu!" bentak Abah penuh emosi. Baru kali ini Alya mendengar Abah membentaknya. Selama ini pria paruh baya itu selalu mengucapkan kalimat-kalimat lembut yang menentramkan. Ia tahu, ayahnya sudah sangat marah atas segala tindakan dan keputusannya.
Alya buru-buru menggenggam jemari sang ayah. "Bi, kalo aku menolak penawaran ini sudah pasti kita semua akan hancur. Begitu juga kalo aku justru memilih Aziz, kita dan keluarga Aziz akan hancur. Dengan aku menikahi CEO Starbig, maka hanya aku yang hancur, kalian semua aman. Aku sangat menyayangi Abi, Ummi, Aziz, dan perusahaan kita, aku nggak akan rela pria itu menghancurkan kalian semua." Suara Alya bergetar, bulir-bulir bening telah berjatuhan dari kedua matanya.
Semua terdiam mendengar pemikiran Alya yang brilian itu. Tapi sebagai orang tua, mereka tentu tidak ingin menghancurkan putri sendiri.
"Tidak, Alya. Abah tidak setuju." Pria itu melembutkan suaranya yang tadi sempat meninggi.
"Bi, aku janji akan jaga diri dan baik-baik saja di sana. Aku punya rencana untuk menghancurkan pria itu dari dalam." Alya meyakinkan, rupanya ide Fahira kini mendominasi otaknya.
"Kamu putri kami satu-satunya, Sayang. Jangan membahayakan dirimu." Amelinda sudah tidak kuasa menahan tangis, ia tergugu di sisi suaminya.
"Ummi, semua akan baik-baik saja. Ummi, Abah, jangan khawatirkan aku. Aku lulusan terbaik King Saud University dan Al Azhar University, tentu aku tidak akan bertindak gegabah untuk menyelesaikan masalah ini." Alya berusaha tersenyum disela linangan air matanya.
Akhirnya, dengan berat hati kedua orang tua Alya menyetujui rencana Alya. Amelinda memeluk Alya dengan erat, sangat takut kehilangan putri kesayangannya. Selama ini Alya selalu membanggakan dengan berbagai prestasi, rasanya tidak rela jika harus jatuh pada lelaki kejam seperti Egie.
"Tapi, bagaimana dengan Aziz, Bi?" Alya kembali menatap ayahnya yang juga masih meneteskan air mata.
"Biar nanti Abi yang bicara baik-baik dengan dia. Mudah-mudahan dia bisa mengerti."
Mereka terdiam lagi dalam waktu yang cukup lama. Hanya isak tangis Amelinda masih terdengar memecah keheningan.
Alya melepaskan genggaman tangannya dari ayahnya, lalu menatap Hanami yang juga meneteskan air mata.
"Besok saat jam kerja kirimkan surat balasan pada Starbig. Bahwa aku menerima tawaran mereka," perintah Alya mengakhiri pembicaraan sore itu --sekaligus mengakhiri drama permainan Egie menggerus perusahannya.
***Dua hari pasca mengirim balasan pada pihak Starbig, Alya terus berada di kantornya, hanya sesekali menjenguk ayahnya di rumah sakit. Ia lebih banyak diam. Menatap panorama kota Jakarta dengan tatapan kosong dari dinding kaca ruangannya.
Ia tahu, hidupnya akan segera berakhir. Ia bahkan tidak bisa membayangkan akan seperti apa kehidupannya di dalam genggaman Egie. Hanya satu yang membuatnya semangat, keluarganya aman dari ancaman pria kejam itu.
Ia mengesah napas panjang. Seseorang mengetuk pintu, ia mempersilakan masuk. Lalu ia duduk di kursinya.
"Aziz?" Tanpa sadar nama itu meluncur dair mulutnya kala melihat sosok Aziz berjalan memasuki ruangan dengan wajah merah padam dan sorot mata tajam. Oh, tidak! Apakah Aziz murka? Bukannya dia sedang di Dubai? Kenapa tiba-tiba ada di sini?
"Jelaskan padaku kenapa kamu menerima pria itu dan menolak aku?!" Dengan nada tinggi Aziz mencecar Alya. Bahkan pemuda itu tidak duduk, melainkan berdiri di hadapan meja menatap tajam padanya.
Alya hanya menunduk. "Aku hanya ingin menyelamatkan semuanya."
"Menyelamatkan semuanya dan membunuh aku?!" gertaknya lagi. Alya menggigit bibir dalam-dalam, ia tidak menyangka Aziz akan semarah itu.
"Kamu terlalu merendahkan aku!" Masih meninggi nada suara Aziz. "Aku bisa melawan Starbig! Aku akan menghancurkannya hingga tak bersisa! Kamu liat saja, Alya!" Aziz berapi-api sambil memukul-mukul meja.
"Aziz, cukup! Jangan cari masalah baru, aku...." Belum selesai Alya berbicara terdengar tepuk tangan dari arah pintu yang terbuka.
Di sana Egie dengan senyum lebar berjalan perlahan masuk ke dalam ruangan seperti gerakan slow motion.
"Bagus, bagus! Jadi Tuan Aziz Mansyour akan melawanku? Baiklah, itu tantangan menarik!" Egie diikuti Tommy semakin mendekati Aziz.
Bersambung...
Terima kasih masih setia membaca Hati Untuk Presdir... Ikuti terus kelanjutannya ya... Jangan lupa tinggalkan review agar aku makin semangat update... Juga masukkan ke rak buku... Salam hangat dariku, Wina Faathimah
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
Alya memindahkan duduknya menjadi lebih dekat pada Egie, tapi masih ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Ia benar-benar tidak punya ide hendak melakukan apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memilin ujung jilbabnya dan meremas-remas jemarinya. Sementara Egie hanya diam, asyik sendiri dengan ponselnya. Sepertinya dia sangat sibuk karena begitu serius menatap layarnya, terkadang keningnya berkerut-kerut, terkadang mengangguk-angguk, tetapi tak ada satu pun senyuman terukir di sana. 'Apa sebaiknya aku buatkan minuman?' Alya membatin, rasanya sangat menegangkan terus menerus duduk di dekat Egie, hingga otot-ototnya terasa kaku. "M-maaf, Tuan, mungkin Anda ingin minum yang hangat? Teh, kopi, capuccino, atau...?" tanya Alya dengan suara pelan, khawatir membuat pria di sebelahnya itu murka. Beberapa saat Egie masih belum merespon, masih sibuk mengetik di layar ponsel. Lalu menoleh, melayangkan tatapan tajam dan dingin membuat siapa sa
Alya tidak pernah berpikir bahwa malam pertama akan sangat menegangkan. Merasakan sebuah ciuman hangat di pipi, bibir, dan telinga. Semua itu... begitu mengejutkan dan... menggelikan. Ia bahkan tidak bisa bergerak, tubuhnya membeku seperti es batu baru saja keluar dari freezer, super dingin. Tapi Egie yang sudah berpengalaman tentu tidak akan membiarkan suasana sekaku itu. Ia tahu di mana seharusnya memancing wanita agar bisa mencair dan hanyut bersamanya. Dan kepolosan Alya membuatnya bangga dan merasa terhormat, bahwa dialah satu-satunya pria yang menyentuh tubuhnya. Perlakuan Egie yang lembut dan hangat, membuat Alya melupakan sikap dingin dan kejamnya. Ia mulai terhanyut bersama sapuan halus menggelitik di dalam mulutnya yang baru saja bisa membuka. Matanya telah terpejam melarut bersama sentuhan jemari kokoh yang menelusup masuk di balik gaun tidurnya. Ah, apa ini mimpi? Alya masih belum mempercayai kenyataan manis yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya
Alya masih mengamati sampel produk yang dikirimkan anak buahnya. Kemarin masuk barang sangat banyak dari supplier baru. Ia mengambil sebungkus milk shake dan mengamatinya dengan seksama, di sana tertulis kode X-B017. Lalu berpindah mengamati supplier produk tersebut, tertulis Starbig Foods."Tolong cari informasi tentang Starbig Foods sekarang juga!" perintah Alya, wajahnya merah padam melihat produk yang terdapat campuran barang haram di dalamnya. X-B adalah kode produk yang mengandung minuman keras dalam komposisi bahan.Tidak lama kemudian, seorang anak buah membawa sebuah dokumen di tangannya dan diserahkan kepada Alya."Starbig Foods adalah salah satu anak perusahaan Starbig Group, khusus memproduksi makanan. Mereka salah satu perusahaan manufaktur besar yang sudah mendunia," papar pria yang mengantar dokumen tadi."Mereka yang beberapa bulan lalu mengajukan kerja sama dan Abah Nayef yang menandatangani kontraknya," imbuh seorang pria di sebelahnya.
Sementara itu, Egie baru saja menerima surat pengembalian barang dari Almanar Group yang dibawa oleh asisten pribadinya, Tommy. Sejenak ia membaca, wajahnya segera berubah merah padam dengan tangan terkepal. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani membuat setitik kesalahan padanya, apalagi sampai mengembalikan produk yang telah ia kirimkan. Harga dirinya seketika terasa terinjak jatuh ke dasar jurang. Dan yang lebih menggeramkan adalah perbuatan itu dilakukan oleh seorang wanita.Brak!Ia menggebrak mejanya dengan keras. Tommy mengkerut di hadapannya, takut kemarahan bosnya berimbas padanya. Sudah menjadi santapan harian Tommy menerima pelampiasan kemarahan dari Egie."Berani sekali perempuan itu menghinaku!!!" teriak Egie penuh amarah. "Cari informasi tentang dia sekarang juga!" serunya lagi.Tommy segera menuju ke ruangannya untuk melaksanakan tugas dari bosnya. Egie tidak pernah bisa menolerir kesalahan sedikit pun, meskipun itu dirinya yang notabene
Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar."Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya."Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya."Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya ter
Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig. "Melamun?" Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman. "Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya. "Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari te
Alya tidak pernah berpikir bahwa malam pertama akan sangat menegangkan. Merasakan sebuah ciuman hangat di pipi, bibir, dan telinga. Semua itu... begitu mengejutkan dan... menggelikan. Ia bahkan tidak bisa bergerak, tubuhnya membeku seperti es batu baru saja keluar dari freezer, super dingin. Tapi Egie yang sudah berpengalaman tentu tidak akan membiarkan suasana sekaku itu. Ia tahu di mana seharusnya memancing wanita agar bisa mencair dan hanyut bersamanya. Dan kepolosan Alya membuatnya bangga dan merasa terhormat, bahwa dialah satu-satunya pria yang menyentuh tubuhnya. Perlakuan Egie yang lembut dan hangat, membuat Alya melupakan sikap dingin dan kejamnya. Ia mulai terhanyut bersama sapuan halus menggelitik di dalam mulutnya yang baru saja bisa membuka. Matanya telah terpejam melarut bersama sentuhan jemari kokoh yang menelusup masuk di balik gaun tidurnya. Ah, apa ini mimpi? Alya masih belum mempercayai kenyataan manis yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya
Alya memindahkan duduknya menjadi lebih dekat pada Egie, tapi masih ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Ia benar-benar tidak punya ide hendak melakukan apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memilin ujung jilbabnya dan meremas-remas jemarinya. Sementara Egie hanya diam, asyik sendiri dengan ponselnya. Sepertinya dia sangat sibuk karena begitu serius menatap layarnya, terkadang keningnya berkerut-kerut, terkadang mengangguk-angguk, tetapi tak ada satu pun senyuman terukir di sana. 'Apa sebaiknya aku buatkan minuman?' Alya membatin, rasanya sangat menegangkan terus menerus duduk di dekat Egie, hingga otot-ototnya terasa kaku. "M-maaf, Tuan, mungkin Anda ingin minum yang hangat? Teh, kopi, capuccino, atau...?" tanya Alya dengan suara pelan, khawatir membuat pria di sebelahnya itu murka. Beberapa saat Egie masih belum merespon, masih sibuk mengetik di layar ponsel. Lalu menoleh, melayangkan tatapan tajam dan dingin membuat siapa sa
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna. Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan. "Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah. Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig. "Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya. "Apa mungkin dia menjebakku?" "Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara
Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui. Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini. Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef."Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz. "Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya. "Bukan be
Alya menatap Hanami dengan pandangan sendu. Baru saja sekretaris pribadinya itu melaporkan tentang penarikan saham dari 50 persen investor dan 25 persen supplier membatalkan kerja sama. Secara otomatis bulan depan mereka akan kehilangan banyak pasokan modal dan barang."Tim sudah mencari tau latar belakang semua itu, mereka mundur atas tekanan dari seseorang. Mereka tidak mengatakan itu siapa, tapi aku yakin pastilah Egie Andirasmaja orangnya." Hanami menambahkan informasi yang dibawanya.Dan seperti yang diprediksi, satu bulan berikutnya, Almanar kehilangan banyak investor dan supplier. Akibat dari penarikan saham dan pembatalan kerja sama, kini mereka memiliki hutang yang sangat besar untuk menutupi biaya pembelian barang. Jumlah barang di gudang dan etalase juga merosot tajam.Alya berdiri dengan gelisah di hadapan dinding kaca. Ia harus membuat sebuah terobosan baru agar bisnisnya terus berkembang. Ia teringat Fahira, sahabat karibnya yang baru pulang beb
Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig. "Melamun?" Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman. "Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya. "Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari te
Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar."Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya."Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya."Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya ter