Alya masih mengamati sampel produk yang dikirimkan anak buahnya. Kemarin masuk barang sangat banyak dari supplier baru. Ia mengambil sebungkus milk shake dan mengamatinya dengan seksama, di sana tertulis kode X-B017. Lalu berpindah mengamati supplier produk tersebut, tertulis Starbig Foods.
"Tolong cari informasi tentang Starbig Foods sekarang juga!" perintah Alya, wajahnya merah padam melihat produk yang terdapat campuran barang haram di dalamnya. X-B adalah kode produk yang mengandung minuman keras dalam komposisi bahan.
Tidak lama kemudian, seorang anak buah membawa sebuah dokumen di tangannya dan diserahkan kepada Alya.
"Starbig Foods adalah salah satu anak perusahaan Starbig Group, khusus memproduksi makanan. Mereka salah satu perusahaan manufaktur besar yang sudah mendunia," papar pria yang mengantar dokumen tadi.
"Mereka yang beberapa bulan lalu mengajukan kerja sama dan Abah Nayef yang menandatangani kontraknya," imbuh seorang pria di sebelahnya.
Alya mengangguk sambil terus membaca dokumen di tangannya. Ia memang baru dua bulan menjabat sebagai Presdir Almanar Group menggantikan ayahnya yang sakit keras.
"Syukron Jazakumullahu khairan (Terima kasih, semoga Allah membalas kebaikan kalian)." Alya menutup dokumen itu lalu menghela napas berat. Ayahnya pasti tidak teliti saat menandatangani kontrak sehingga berurusan dengan perusahaan sebesar Starbig dan tidak memastikan produk-produk mereka aman masuk dalam etalase perusahaannya.
Sesuai dengan lingkup keluarga yang religius, perusahaan yang mereka bangun juga membawa nilai-nilai agama. Sebuah muslim mall terbesar di kota itu dan ratusan minimarket dengan konsep islami tersebar di dalam dan luar kota. Tentu produk-produk yang dijual juga tidak jauh-jauh dari produk halal dan thayib (baik). Oleh karena itu, mereka selalu selektif memilih supplier agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Tolak semua produknya. Aku khawatir banyak produk-produk yang lain mengandung bahan seperti itu. Sampaikan baik-baik, perusahaan kita tidak menerima produk yang mengandung bahan yang diharamkan agama. Aku yakin, mereka akan mengerti," ucap Alya sambil menerawang ke luar jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang indah.
"Baik, Ummi," tukas mereka serentak. Lantas bersiap membereskan barang-barang yang berhamburan di atas meja.
"Tunggu!" Alya memanggil kembali.
Ia mendekati sampel-sampel produk lagi, mengambil sebuah fruit drink. Memperhatikan kemasannya, memutar-mutar dengan seksama, lalu berdecak sambil menggeleng.
"Di sini tertera aman. Tapi sama saja, tidak ada logo halalnya. Aku mau periksa dulu di lab kandungan bahan-bahannya." Alya melangkah keluar ruangan menuju ke laboratorium yang letaknya dua ruangan dari ruang kerjanya.
Ia masuk ke dalam, beberapa petugas di dalam menyambutnya dengan ramah dan segera menyiapkan segala keperluan Presdir muda tersebut.
"Ada apa dengan minuman itu, Ummi?" tanya seorang laboran. Ummi adalah panggilan kesayangan para karyawan Almanar Group kepada pimpinan mereka, baik kepada Alya maupun ibunya.
"Ini dari supplier baru, mereka belum memahami kriteria produk yang kita terima jadi mengirimkan produk-produk yang mengandung bahan-bahan tidak layak," tukas Alya sembari memasukkan cairan minuman berwarna kuning itu ke dalam tabung reaksi. Lalu meneteskan beberapa tetes reaktan, menunggu hingga sepuluh menit dan cairan dalam tabung reaksi berubah menjadi keunguan.
"Astaghfirullah," ucap Alya melihat hasil yang terlihat.
Hasil itu menunjukkan minuman kemasan tersebut mengandung Perfluoroalkyl chemicals (PFAS) yang merupakan senyawa kimia berbahaya karena dapat bertahan lama di dalam tubuh dan sulit terurai. Selain itu juga ditemukan kandungan etanol yang cukup tinggi.
Alya dan para laboran saling pandang mengamati hasil mengejutkan itu.
"Kenapa mereka melakukan itu?" Alya bertanya entah pada siapa, sebab pastinya para laboran tidak mengetahui jawabannya.
Alya melepaskan kaos tangan karet yang melekat di tangannya, membuangnya ke tong sampah, lalu kembali ke ruangannya.
Ia mencuci tangan sebelum duduk di kursi kerjanya. Sejenak mengamati pantulan dirinya di cermin yang terpajang di dinding, tampak jilbabnya sudah miring ke kanan dan ke kiri. Ia tersenyum geli melihat dirinya dengan kondisi demikian kacau, lalu membuka peniti cantik yang mengait jilbab di bagian dagu dan merapikannya sedemikan rupa sehingga menjadi rapi kembali. Terakhir, merapikan ujung jilbabnya yang menjuntai hingga ke bawah perutnya.
Ia duduk di kursinya, iseng-iseng browsing dengan kata kunci Starbig. Dan ia terperangah melihat deretan informasi yang ditampilkan oleh mesin pencari berita online itu.
✓ Starbig Meraih Penghargaan Sebagai Perusahaan Tersukses Nomor 1 Di Tanah Air.
✓ CEO Starbig, Egie Andirasmaja, Didaulat Sebagai Pengusaha Muda Paling Sukses Se-Asia.
Alya membuka sebuah situs yang menampilkan gambar CEO itu paling besar. "Egie Andirasmaja, CEO muda berusia 35 tahun yang sukses memimpin perusahaan besar ke kelas dunia. Starbig...." Alya menghentikan bacaannya, beralih memperhatikan gambar sang CEO yang berpose berdiri tegak tanpa senyum dengan sorot mata sangat tajam. Seorang pria berwajah tampan aristokrat dengan rahang tegas dan hidung tinggi, serta dahi lebar. Dari pertama melihatnya, ia yakin pria itu pasti berdarah blasteran.
Alya menutup tab-nya ketika seseorang mengetuk pintu, lalu muncul sosok asisten pribadinya, Hanami.
"Surat-surat pengembalian produk ke Starbig sudah siap, Ummi. Tapi apa Ummi yakin mau kembalikan semuanya?" Hanami terlihat ragu.
Alya sejenak memikirkan kedudukan Starbig yang jauh di atas melampaui perusahaannya yang mungkin tidak akan bisa mencapai prestasi itu. Tapi ia hanya ingin memberitahukan bahwa tidak selayaknya perusahaan sekelas Starbig menggunakan bahan berbahaya dalam meracik produknya.
"Ya, aku yakin. Kamu lakukan saja sesuai prosedur," tukasnya dengan mantap.
Ia lalu membaca tiap lembar dokumen yang diletakkan di hadapannya, lalu mengangguk setuju dan membubuhkan tanda tangan tanpa ragu sedikit pun. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja, tujuannya baik, dan produk juga dikembalikan dengan cara yang paling baik.
Setelah semuanya selesai, ia segera pulang ke rumah dengan wajah ceria, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang besar selama di kantor. Dilihatnya ayah dan ibunya sedang menikmati Halloumi grilled (keju dari susu kambing atau domba atau keduanya yang dipanggang).
"Yummi, enak nih," sapa Alya dan langsung bergabung dengan kedua orang tuanya setelah mencium tangan mereka.
"Wah, ibnaty (anak gadisku) sudah pulang rupanya." Abah Nayef tersenyum sumringah melihat putrinya berjalan mendekati mereka.
"Abah dan Umma dengar sudah masuk barang dari Starbig?" Abah Nayef langsung menanyakan seputar perusahaan.
Alya mencomot sepotong Halloumi, memasukkannya ke dalam mulutnya, tidak terlalu menanggapi pertanyaan sang ayah. Dia yakin ayahnya sudah mengetahui lebih dari cukup dari laporan orang kepercayaannya.
"Na'am (iya). Tapi sudah aku balikin semua produknya, nggak layak dimasukkan ke etalase kita, banyak yang mengandung bahan berbahaya dan bahan haram," jawab Alya enteng.
"Apa?!" Abah Nayef sangat terkejut, bahkan membelalakkan mata saking kagetnya, membuat Alya juga terkejut. "Kamu kembalikan semuanya?!" ulang sang ayah.
"Iya, kenapa, Bi?" Alya mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Itu tidak boleh, aduh....." Abah Nayef memegang dadanya yang tiba-tiba berdenyut kencang dan terasa sangat nyeri.
"Abi, Abi kenapa?" Alya dan ibunya menjadi panik dan histeris, mereka segera memanggil sopir keluarga dan melarikan Abah Nayef ke rumah sakit.
Sementara itu, Egie baru saja menerima surat pengembalian barang dari Almanar Group yang dibawa oleh asisten pribadinya, Tommy. Sejenak ia membaca, wajahnya segera berubah merah padam dengan tangan terkepal. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani membuat setitik kesalahan padanya, apalagi sampai mengembalikan produk yang telah ia kirimkan. Harga dirinya seketika terasa terinjak jatuh ke dasar jurang. Dan yang lebih menggeramkan adalah perbuatan itu dilakukan oleh seorang wanita.Brak!Ia menggebrak mejanya dengan keras. Tommy mengkerut di hadapannya, takut kemarahan bosnya berimbas padanya. Sudah menjadi santapan harian Tommy menerima pelampiasan kemarahan dari Egie."Berani sekali perempuan itu menghinaku!!!" teriak Egie penuh amarah. "Cari informasi tentang dia sekarang juga!" serunya lagi.Tommy segera menuju ke ruangannya untuk melaksanakan tugas dari bosnya. Egie tidak pernah bisa menolerir kesalahan sedikit pun, meskipun itu dirinya yang notabene
Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar."Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya."Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya."Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya ter
Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig. "Melamun?" Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman. "Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya. "Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari te
Alya menatap Hanami dengan pandangan sendu. Baru saja sekretaris pribadinya itu melaporkan tentang penarikan saham dari 50 persen investor dan 25 persen supplier membatalkan kerja sama. Secara otomatis bulan depan mereka akan kehilangan banyak pasokan modal dan barang."Tim sudah mencari tau latar belakang semua itu, mereka mundur atas tekanan dari seseorang. Mereka tidak mengatakan itu siapa, tapi aku yakin pastilah Egie Andirasmaja orangnya." Hanami menambahkan informasi yang dibawanya.Dan seperti yang diprediksi, satu bulan berikutnya, Almanar kehilangan banyak investor dan supplier. Akibat dari penarikan saham dan pembatalan kerja sama, kini mereka memiliki hutang yang sangat besar untuk menutupi biaya pembelian barang. Jumlah barang di gudang dan etalase juga merosot tajam.Alya berdiri dengan gelisah di hadapan dinding kaca. Ia harus membuat sebuah terobosan baru agar bisnisnya terus berkembang. Ia teringat Fahira, sahabat karibnya yang baru pulang beb
Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui. Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini. Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef."Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz. "Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya. "Bukan be
Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna. Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan. "Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah. Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig. "Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya. "Apa mungkin dia menjebakku?" "Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
Alya tidak pernah berpikir bahwa malam pertama akan sangat menegangkan. Merasakan sebuah ciuman hangat di pipi, bibir, dan telinga. Semua itu... begitu mengejutkan dan... menggelikan. Ia bahkan tidak bisa bergerak, tubuhnya membeku seperti es batu baru saja keluar dari freezer, super dingin. Tapi Egie yang sudah berpengalaman tentu tidak akan membiarkan suasana sekaku itu. Ia tahu di mana seharusnya memancing wanita agar bisa mencair dan hanyut bersamanya. Dan kepolosan Alya membuatnya bangga dan merasa terhormat, bahwa dialah satu-satunya pria yang menyentuh tubuhnya. Perlakuan Egie yang lembut dan hangat, membuat Alya melupakan sikap dingin dan kejamnya. Ia mulai terhanyut bersama sapuan halus menggelitik di dalam mulutnya yang baru saja bisa membuka. Matanya telah terpejam melarut bersama sentuhan jemari kokoh yang menelusup masuk di balik gaun tidurnya. Ah, apa ini mimpi? Alya masih belum mempercayai kenyataan manis yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya
Alya memindahkan duduknya menjadi lebih dekat pada Egie, tapi masih ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Ia benar-benar tidak punya ide hendak melakukan apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memilin ujung jilbabnya dan meremas-remas jemarinya. Sementara Egie hanya diam, asyik sendiri dengan ponselnya. Sepertinya dia sangat sibuk karena begitu serius menatap layarnya, terkadang keningnya berkerut-kerut, terkadang mengangguk-angguk, tetapi tak ada satu pun senyuman terukir di sana. 'Apa sebaiknya aku buatkan minuman?' Alya membatin, rasanya sangat menegangkan terus menerus duduk di dekat Egie, hingga otot-ototnya terasa kaku. "M-maaf, Tuan, mungkin Anda ingin minum yang hangat? Teh, kopi, capuccino, atau...?" tanya Alya dengan suara pelan, khawatir membuat pria di sebelahnya itu murka. Beberapa saat Egie masih belum merespon, masih sibuk mengetik di layar ponsel. Lalu menoleh, melayangkan tatapan tajam dan dingin membuat siapa sa
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna. Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan. "Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah. Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig. "Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya. "Apa mungkin dia menjebakku?" "Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara
Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui. Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini. Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef."Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz. "Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya. "Bukan be
Alya menatap Hanami dengan pandangan sendu. Baru saja sekretaris pribadinya itu melaporkan tentang penarikan saham dari 50 persen investor dan 25 persen supplier membatalkan kerja sama. Secara otomatis bulan depan mereka akan kehilangan banyak pasokan modal dan barang."Tim sudah mencari tau latar belakang semua itu, mereka mundur atas tekanan dari seseorang. Mereka tidak mengatakan itu siapa, tapi aku yakin pastilah Egie Andirasmaja orangnya." Hanami menambahkan informasi yang dibawanya.Dan seperti yang diprediksi, satu bulan berikutnya, Almanar kehilangan banyak investor dan supplier. Akibat dari penarikan saham dan pembatalan kerja sama, kini mereka memiliki hutang yang sangat besar untuk menutupi biaya pembelian barang. Jumlah barang di gudang dan etalase juga merosot tajam.Alya berdiri dengan gelisah di hadapan dinding kaca. Ia harus membuat sebuah terobosan baru agar bisnisnya terus berkembang. Ia teringat Fahira, sahabat karibnya yang baru pulang beb
Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig. "Melamun?" Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman. "Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya. "Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari te
Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar."Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya."Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya."Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya ter