Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui.
Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini.
Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef.
"Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz."Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya.
"Bukan begitu maksudnya. Aku pasti akan membantumu, tapi untuk ayahku, kita butuh sebuah ikatan untuk mendapat bantuan dana darinya," tukas Aziz.
"Atau kamu meragukan aku?" Aziz mulai terbawa emosi.
Alya yang sejak tadi hanya menunduk, perlahan mengangkat wajahnya. Sepasang bola mata lentik itu menatap tajam bola mata hitam Aziz, mereka saling tatap beberapa saat. Ada gejolak tak kasat mata yang tengah menyelinap di hati kedua insan itu.
"Jaga ucapanmu, aku tidak pernah mengkhianati kesetiaan seseorang. Aku hanya tidak ingin hubungan kita tercampur aduk dengan bisnis. Kamu bisa bayangkan apa yang terjadi jika suatu saat aku atau kamu terlibat masalah serius dalam bisnis, akankah pernikahan kita tetap bertahan?" Alya mengalihkan perhatiannya ke luar ruangan melalui dinding kaca.
"Juga urusanku dengan Starbig, biar aku sendiri yang menyelesaikan, aku tidak ingin menyeret perusahaanmu dan ayahmu dalam masalah ini. Kamu pasti sangat tau seperti apa seorang Egie Andirasmaja," ucap Alya lagi.
Mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Aku berangkat ke Dubai lusa, tolong jaga dirimu baik-baik," ucap Aziz mengakhiri perdebatan. Ia tahu Alya tidak akan mengubah pendiriannya jika sudah mengambil keputusan.
"Bukannya masih dua bulan lagi?" Alya mengernyitkan keningnya mengetahui Aziz akan segera pergi, padahal rencana awalnya pemuda itu akan berangkat dua bulan lagi.
"Ada urusan mendesak," jawabnya singkat, ia sedikit kesal karena sifat Alya yang sangat keras kepala.
Ia lalu bangkit dari kursinya, berjalan menuju ke pintu.
"Hati-hati di perjalanan," tukas Alya sebelum Aziz meninggalkan ruangan.
Alya mengusap wajahnya berkali-kali sepeninggal Aziz, berusaha meredam perasaan kesal yang masih bersemayam di lubuk hatinya. Lalu meraih surat peringatan yang dikirimkan oleh Starbig beberapa menit yang lalu. Ia belum sempat membacanya karena Aziz tiba-tiba datang setelah Hanami mengantarkan surat itu.
Dan ia langsung membulatkan bola matanya begitu membaca sebaris kalimat di dalam surat itu, "Aku akan mengembalikan kejayaan perusahaanmu dengan syarat kamu menikah denganku."
"Apa aku salah baca?" Alya mengulang-ulang hingga beberapa kali sebaris kalimat yang tercetak tebal itu.
"Bisanya dia menawarkan solusi konyol begitu? Apa dia pikir aku wanita murahan?" Alya memprotes seorang diri. Memikirkan wajah dingin Egie membuatnya bergidik ngeri.
Alya mengabaikan tawaran Egie itu, ia masih bisa mencari cara lain agar bisa mengembalikan kemakmuran perusahannya.
Baru saja ia terlepas dari pernikahan karena bisnis dengan Aziz, kini mendapat tawaran baru dari musuh bisnisnya. Apa mereka sebegitu merendahkan wanita? Sehingga sangat mudah mengikat dengan pernikahan untuk memuluskan sebuah bisnis! Alya merasa geram dengan semua itu.
***Dua minggu berlalu, Alya belum merespon surat peringatan yang dikirimkan Egie. Pria itu tidak sabar menunggu lagi. Entah mengapa ia begitu bersemangat kali ini, mungkin karena hanya Alya yang melakukan perlawanan dan berani mengulur waktu untuk menerima penawarannya.
"Tommy! Buat gadis itu menyerah secepatnya!" perintah Egie.
"Baik, Tuan," tukas Tommy. Lalu bergegas meninggalkan tuannya.
Egie tersenyum menyeringai. Ia sangat menyukai permainan dalam berbisnis. Memiliki segalanya dalam hidup membuatnya bisa melakukan apa saja yang ia inginkan.
"Kamu pikir bisa menghindari jurang neraka yang sudah aku gali?"
Ponsel Egie berdering, ia merogoh saku celananya, mengambil benda pipih dari dalam sana. Tampak sang ibu menelepon. Ia berdecak kesal, sejak dulu ia tidak pernah akrab dengan ibunya semenjak bercerai dengan ayahnya.
"Halo," jawabnya dingin.
"Halo, Egie. Kamu di mana sekarang?" tanya sang ibu lembut.
"Masih di kantor. Ada perlu apa?" Egie menjawab seperlunya, ia juga tidak ingin bermanja ria dengan sang ibu. Ditinggalkan saat usianya masih membutuhkan kasih sayang membuatnya memendam kemarahan pada ibunya.
"Mama dengar dari asisten rumah tangga, kamu tidak pulang ke rumah sudah tiga hari? Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya ibunya tetap lembut.
Egie berdecak kesal, ia sangat tidak suka diperhatikan seperti itu. Meski sang ibu selalu melimpahkan kasih sayang secara tidak langsung, ia tidak pernah menanggapi semua itu, ia selalu mengabaikannya dan menganggapnya tidak pernah ada.
"Mama tidak perlu khawatirkan aku. Uruslah urusan Mama, aku sibuk." Egie segera memutuskan sambungan telepon. Ia tidak ingin berlama-lama berbicara dengan ibunya.
Tidak lama kemudian, Tommy sudah kembali ke ruangannya.
"Bagaimana?" tanya Egie tidak sabar.
"Dia ingin bertemu dengan Anda, Tuan." Tommy mengabarkan.
"Untuk apa lagi?" Egie menghempaskan dirinya di atas kursi dengan malas.
"Katanya ada yang perlu didiskusikan, dia tidak mengatakannya padaku. Dia sekarang ada di depan ruangan," ucap Tommy.
"Baiklah, suruh dia masuk." Egie akhirnya mengizinkan. Ia juga penasaran, alasan apalagi yang akan dilontarkan Alya untuk mengulur waktu.
Tommy keluar ruangan, lalu tidak lama kemudian kembali masuk bersama Alya. Gadis itu tampak lebih kurus dan sedikit pucat, Egie memperhatikannya sejak pertama kali Alya memasuki ruangan. Gadis itu segera duduk di hadapan Egie setelah dipersilakan.
"Maafkan saya, Tuan Egie. Saya hanya ingin mengatakan kepada Anda bahwa tawaran pernikahan itu tidak ada hubungannya dengan masalah bisnis kita. Anda sebutkan saja berapa nominal yang harus saya serahkan untuk membayar kerugian yang Anda alami," ucap Alya sambil menunduk.
Egie tersenyum mendengar ucapan Alya, ia cukup terkesan dengan keberanian gadis itu. Selama ini tidak ada yang berani bernegosiasi dengannya.
"Apa kamu sudah tidak sanggup mengikuti permainanku, hem? Aku hampir mengakhiri permainanku, bukan? Dan aku sudah menawarkan harga yang harus kamu bayar, apa kamu tidak mengerti?" Egie memegang dagunya sendiri memandangi Alya yang masih menunduk. Wanita itu, benar-benar membuatnya penasaran.
Alya terdiam, ia tidak memiliki kata-kata lagi untuk membalas ucapan Egie. Pria itu memang cerdik dan licik! Perlahan ia mengangkat wajahnya, menatap bola mata tajam Egie yang berkilat-kilat. Wajah itu semakin mengerikan dengan senyum seringainya kali ini.
"Saya...."
"Kalau kamu menolak tawaran terakhirku ini, artinya kamu sudah merendahkan aku berkali-kali. Aku tidak akan berbelas kasihan lagi," ancam Egie memotong kalimat Alya.
Egie berdiri dari tempat duduknya, mendekati kursi yang sedang diduduki Alya.
Melihat pria itu semakin mendekat, jantung Alya berdegup kencang. Baru kali ini ia merasakan ketakutan yang teramat sangat. Dan kini, Egie tepat berada di hadapannya sambil mencondongkan tubuhnya. Kedua tangan pemuda itu bertumpu di kiri dan kanan kursi yang diduduki Alya, wajah mereka berhadapan sangat dekat.
Menyaksikan semua itu membuat tangan Alya gemetar, keringat dingin membasahi telapak tangannya.
"Ap-apa yang Anda lakukan?" tanya Alya tergagap.
Bersambung...
Halo sobat, jangan lupa klik subscribe dan berikan review ya... Terima kasih...
Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna. Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan. "Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah. Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig. "Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya. "Apa mungkin dia menjebakku?" "Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
Alya memindahkan duduknya menjadi lebih dekat pada Egie, tapi masih ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Ia benar-benar tidak punya ide hendak melakukan apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memilin ujung jilbabnya dan meremas-remas jemarinya. Sementara Egie hanya diam, asyik sendiri dengan ponselnya. Sepertinya dia sangat sibuk karena begitu serius menatap layarnya, terkadang keningnya berkerut-kerut, terkadang mengangguk-angguk, tetapi tak ada satu pun senyuman terukir di sana. 'Apa sebaiknya aku buatkan minuman?' Alya membatin, rasanya sangat menegangkan terus menerus duduk di dekat Egie, hingga otot-ototnya terasa kaku. "M-maaf, Tuan, mungkin Anda ingin minum yang hangat? Teh, kopi, capuccino, atau...?" tanya Alya dengan suara pelan, khawatir membuat pria di sebelahnya itu murka. Beberapa saat Egie masih belum merespon, masih sibuk mengetik di layar ponsel. Lalu menoleh, melayangkan tatapan tajam dan dingin membuat siapa sa
Alya tidak pernah berpikir bahwa malam pertama akan sangat menegangkan. Merasakan sebuah ciuman hangat di pipi, bibir, dan telinga. Semua itu... begitu mengejutkan dan... menggelikan. Ia bahkan tidak bisa bergerak, tubuhnya membeku seperti es batu baru saja keluar dari freezer, super dingin. Tapi Egie yang sudah berpengalaman tentu tidak akan membiarkan suasana sekaku itu. Ia tahu di mana seharusnya memancing wanita agar bisa mencair dan hanyut bersamanya. Dan kepolosan Alya membuatnya bangga dan merasa terhormat, bahwa dialah satu-satunya pria yang menyentuh tubuhnya. Perlakuan Egie yang lembut dan hangat, membuat Alya melupakan sikap dingin dan kejamnya. Ia mulai terhanyut bersama sapuan halus menggelitik di dalam mulutnya yang baru saja bisa membuka. Matanya telah terpejam melarut bersama sentuhan jemari kokoh yang menelusup masuk di balik gaun tidurnya. Ah, apa ini mimpi? Alya masih belum mempercayai kenyataan manis yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya
Alya masih mengamati sampel produk yang dikirimkan anak buahnya. Kemarin masuk barang sangat banyak dari supplier baru. Ia mengambil sebungkus milk shake dan mengamatinya dengan seksama, di sana tertulis kode X-B017. Lalu berpindah mengamati supplier produk tersebut, tertulis Starbig Foods."Tolong cari informasi tentang Starbig Foods sekarang juga!" perintah Alya, wajahnya merah padam melihat produk yang terdapat campuran barang haram di dalamnya. X-B adalah kode produk yang mengandung minuman keras dalam komposisi bahan.Tidak lama kemudian, seorang anak buah membawa sebuah dokumen di tangannya dan diserahkan kepada Alya."Starbig Foods adalah salah satu anak perusahaan Starbig Group, khusus memproduksi makanan. Mereka salah satu perusahaan manufaktur besar yang sudah mendunia," papar pria yang mengantar dokumen tadi."Mereka yang beberapa bulan lalu mengajukan kerja sama dan Abah Nayef yang menandatangani kontraknya," imbuh seorang pria di sebelahnya.
Sementara itu, Egie baru saja menerima surat pengembalian barang dari Almanar Group yang dibawa oleh asisten pribadinya, Tommy. Sejenak ia membaca, wajahnya segera berubah merah padam dengan tangan terkepal. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani membuat setitik kesalahan padanya, apalagi sampai mengembalikan produk yang telah ia kirimkan. Harga dirinya seketika terasa terinjak jatuh ke dasar jurang. Dan yang lebih menggeramkan adalah perbuatan itu dilakukan oleh seorang wanita.Brak!Ia menggebrak mejanya dengan keras. Tommy mengkerut di hadapannya, takut kemarahan bosnya berimbas padanya. Sudah menjadi santapan harian Tommy menerima pelampiasan kemarahan dari Egie."Berani sekali perempuan itu menghinaku!!!" teriak Egie penuh amarah. "Cari informasi tentang dia sekarang juga!" serunya lagi.Tommy segera menuju ke ruangannya untuk melaksanakan tugas dari bosnya. Egie tidak pernah bisa menolerir kesalahan sedikit pun, meskipun itu dirinya yang notabene
Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar."Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya."Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya."Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya ter
Alya tidak pernah berpikir bahwa malam pertama akan sangat menegangkan. Merasakan sebuah ciuman hangat di pipi, bibir, dan telinga. Semua itu... begitu mengejutkan dan... menggelikan. Ia bahkan tidak bisa bergerak, tubuhnya membeku seperti es batu baru saja keluar dari freezer, super dingin. Tapi Egie yang sudah berpengalaman tentu tidak akan membiarkan suasana sekaku itu. Ia tahu di mana seharusnya memancing wanita agar bisa mencair dan hanyut bersamanya. Dan kepolosan Alya membuatnya bangga dan merasa terhormat, bahwa dialah satu-satunya pria yang menyentuh tubuhnya. Perlakuan Egie yang lembut dan hangat, membuat Alya melupakan sikap dingin dan kejamnya. Ia mulai terhanyut bersama sapuan halus menggelitik di dalam mulutnya yang baru saja bisa membuka. Matanya telah terpejam melarut bersama sentuhan jemari kokoh yang menelusup masuk di balik gaun tidurnya. Ah, apa ini mimpi? Alya masih belum mempercayai kenyataan manis yang sedang dialaminya. Hingga akhirnya
Alya memindahkan duduknya menjadi lebih dekat pada Egie, tapi masih ada jarak sekitar satu meter di antara mereka. Ia benar-benar tidak punya ide hendak melakukan apa, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah memilin ujung jilbabnya dan meremas-remas jemarinya. Sementara Egie hanya diam, asyik sendiri dengan ponselnya. Sepertinya dia sangat sibuk karena begitu serius menatap layarnya, terkadang keningnya berkerut-kerut, terkadang mengangguk-angguk, tetapi tak ada satu pun senyuman terukir di sana. 'Apa sebaiknya aku buatkan minuman?' Alya membatin, rasanya sangat menegangkan terus menerus duduk di dekat Egie, hingga otot-ototnya terasa kaku. "M-maaf, Tuan, mungkin Anda ingin minum yang hangat? Teh, kopi, capuccino, atau...?" tanya Alya dengan suara pelan, khawatir membuat pria di sebelahnya itu murka. Beberapa saat Egie masih belum merespon, masih sibuk mengetik di layar ponsel. Lalu menoleh, melayangkan tatapan tajam dan dingin membuat siapa sa
Tepat satu pekan setelah acara lamaran singkat tempo hari, acara pernikahan dilaksanakan di rumah Alya dengan sederhana. Bahkan setelah acara usai, Egie langsung memboyong Alya ke kediamannya. Rumah itu berada di puncak, vila lebih tepatnya. Sebuah bangunan mewah bergaya modern namun tetap mengusung tema natural. Alya belum sempat menikmati keindahan tempat itu karena Egie terus berjalan cepat masuk ke dalam rumah, lalu terus lagi berjalan hingga sampai di sebuah kamar. "Ini rumah khusus untukmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan di sini. Jangan coba-coba untuk kabur atau membuat makar, aku tidak akan berbelas kasihan." Egie berdiri di pintu kamar dengan tatapan tajam dan dingin, tatapan yang membuat Alya semakin membencinya. "Baik, aku mengerti." Dengan menunduk Alya menjawab.Egie masuk, mendekat ke arah istri barunya. Tubuh Alya menegang, jantungnya bertabuh sangat kencang, bahkan ia yakin Egie dapat mendengar detak jantungnya. Ia sang
"Aziz, pergi dari sini sekarang!" seru Alya. Baru kali ini ia berbicara dengan nada tinggi seperti itu. "Al...!" "Pergi! Aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalah ini!" seru Alya lagi memotong ucapan Aziz. Aziz menatap tajam bola mata Egie dengan sorot penuh kebencian. Sementara Egie hanya berdiri dengan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aziz mendengus, lalu keluar ruangan sambil menabrakkan sebelah bahunya ke bahu Egie. "Heh, berani melawanku? Bersiap gulung tikar!" desis Egie tersenyum sinis. Ia menepuk-nepuk bahunya yang bersentuhan dengan Aziz, seolah ada debu atau kotoran yang melekat di sana. Alya terdiam, membuang pandangan ke luar jendela. Terus terang ia amat sangat membenci Egie. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti semua kemauannya. Aroma parfum pemuda itu yang memenuhi ruangannya membuatnya semakin muak. "Kau tidak menyambutku, tidak juga menyuruhku duduk?" Egie menarik kursi, la
Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna. Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan. "Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah. Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig. "Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya. "Apa mungkin dia menjebakku?" "Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara
Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui. Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini. Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef."Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz. "Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya. "Bukan be
Alya menatap Hanami dengan pandangan sendu. Baru saja sekretaris pribadinya itu melaporkan tentang penarikan saham dari 50 persen investor dan 25 persen supplier membatalkan kerja sama. Secara otomatis bulan depan mereka akan kehilangan banyak pasokan modal dan barang."Tim sudah mencari tau latar belakang semua itu, mereka mundur atas tekanan dari seseorang. Mereka tidak mengatakan itu siapa, tapi aku yakin pastilah Egie Andirasmaja orangnya." Hanami menambahkan informasi yang dibawanya.Dan seperti yang diprediksi, satu bulan berikutnya, Almanar kehilangan banyak investor dan supplier. Akibat dari penarikan saham dan pembatalan kerja sama, kini mereka memiliki hutang yang sangat besar untuk menutupi biaya pembelian barang. Jumlah barang di gudang dan etalase juga merosot tajam.Alya berdiri dengan gelisah di hadapan dinding kaca. Ia harus membuat sebuah terobosan baru agar bisnisnya terus berkembang. Ia teringat Fahira, sahabat karibnya yang baru pulang beb
Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig. "Melamun?" Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman. "Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya. "Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari te
Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi.Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar."Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya."Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya."Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan.Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya ter