“Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”
“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.
“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.
Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.
“Good job, jammer,” keluhku.
Mutia: Say?
Mutia:
“Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se
Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara
Kedisiplinan adalah sebuah standar yang susah dimiliki.“Jadi, tidak ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanya Yusuf kepada semua asisten yang hadir saat itu. Sebenarnya ada topik wisuda, namun mengingat dua wisudawan sedang hadir di lab, akan merusak kejutan jika dibocorkan sekarang.“Aku rasa itu cukup, Yusuf,” komentarku. Asisten lainnya tidak ada yang membantahku, dan sebagai moderator, Yusuf mengakhiri rapat malam itu.“Karena tidak ada yang perlu dibahas lagi, kita akhiri dengan do’a,” ucap Yusuf. Do’a kafaratul majelis menutup rapat malam itu. Para asisten pun kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Aku sendiri masih berkutat dengan skripsi milikku yang berhubungan dengan perekaman data besar untuk permainan dan melakukan
Jangan cari aku kala hanya diperlukan, lalu kamu campakkan begitu saja.Hari sabtu pagi, setelah subuh di masjid kampus, aku memutuskan untuk pulang dari laboratorium. Rahima sudah mengirimkan pesan dia akan lembur di kantor perusahaan Pak Arrow, salah satu dari teman Kak Hamid dulu, sampai minggu.Sebuah rumah kecil yang diberikan oleh Pak Arrow kepada kami aku masuki. Rumah itu tampak bersih, dan tentunya karena tidak sering dihuni. Biarpun aku dan Rahima punya rumah ini sekarang, laboratorium sudah seperti rumah bagi kami. Hanya untuk mandi saja biasanya aku pulang.Aku mandi dan mengganti pakaianku. Ada satu rencana pada sabtu ini, yaitu mengunjungi suatu tempat yang harusnya aku kunjungi lagi. 1 Maret adalah senin depan, tapi aku tidak bisa berkunjung pada hari itu. Jadi,
“Kamu yakin pesan ke anak tekkom itu?” tanya temanku saat kelompok mata kuliahku berkumpul. Aku menganggukkan kepala. Setidaknya, meskipun aku jarang berinteraksi dengan laki-laki yang aku kenal awalnya dari sebuah komunitas kepenulisan.“Kenapa yakin sih, Aristy?” tanya temanku yang lain. Bukan apa, cuma semenjak dua tahun lalu dia jadi satu dari dua orang yang sering aku rujukkan. Aku tersenyum.“Sebenarnya sudah kenal sama Affa semenjak dulu sih. Gak akrab, cuma dia tipikal yang pasti selesai,” jawabku sekenanya, “lagipula, dia kasih kompensasi juga. Padahal dia sendiri bilang itu harga aslinya satu juta,” lanjutku.“Heh. Kamu gak bilang apa-apa lho Aristy!” balas teman-temanku terkejut. Mungkin fakta bahwasanya Affa ternyata salah satu orang yang sering terlibat proyek kampus sudah ter
Tidak perlu alasan untuk berbuat baik.“Makasih banyak atas bantuannya, Dekker,” ucapku kepada asisten yang satu tahun dibawahku secara akademis. Dekker menganggukkan kepalanya.“Makasih juga lho mas. Dapat 150 ribu lagi dari UI UX. Emang berapa sih bayarannya mas seluruh aplikasi gitu?” tanya Dekker.“400 ribu. Itu harga khusus,” jawabku datar. Dekker terkejut mendengarnya.“Seriusan mas!? Biasanya sampean sampe 1 juta per proyek. Makanya anak-anak tekno takut pesan ke sampean kecuali emang mau ngambis,” balas Dekker terkejut. Ya, aku tahu semua aplikasi yang aku kembangkan selalu mendapat juara di teknopreneur, bahkan beberapa dilombakan oleh klien. Ah, yang penting aku dapat share.
“Kepada kelompok 4 dipersilahkan maju,” ucap sang dosen mempersilahkan kami untuk mempresentasikan ide bisnis dan progresnya. Salah satu temanku yang cukup jago dengan presentasi berusaha menunjukkan kemampuan presentasinya sebaik mungkin. Ya, aku tidak suka dengan kondisi seperti sekarang, maju di depan kelas.Temanku menunjukkan demonstrasi aplikasi, dan saat sebuah logo unik menampilkan diri di awal aplikasi, sang dosen terlihat terkejut untuk beberapa saat sebelum dia kembali menormalkan netranya. Apa yang membuat logo aneh dalam aplikasi yang diberikan Affa bisa memberikan reaksi itu?Demonstrasi aplikasi berjalan lancar. Penjelasan juga selesai. Dan kala sesi tanya jawab, teman-temanku bisa melakukan tugasnya dengan baik. Setidaknya mereka tidak sepenuhnya menyebalkan, dan benar-benar membantu.“Oh ya. Saya mau tanya, kalian
Tidak semua hal akan membekas dalam ingatan manusia.“Kenapa tiba-tiba dia membahas itu?” komentarku seraya masuk ke lab, tentunya mengucapkan salam. Aku yang baru selesai bimbingan, segera duduk ke kursi asisten milikku.“Eh, di sini ada yang kemarin sekelas dengan klien-klienku tahun lalu?” tanyaku kepada asisten-asisten di laboratorium. May menganggukkan kepala.“Ada satu di tempat saya Mas. Waktu itu sih dosennya komentar keknya mereka serius banget sama bisnis mereka. Cuma itu aja sih,” jawab May. Aku mencoba berpikir. Oke, itu menjelaskan kenapa Aristy bertanya tentang logo. Tapi...Bagaimana dia tahu tentang kakakku?“Oh ya Mas, baru ingat lag
Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara
“Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se
“Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:
“Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&
“Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas
Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i
Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.
Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?
Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?